[Cerpen] Perempuan Alfa

[Cerpen] Perempuan Alfa

 

Satu

 

Tak pernah mudah bagiku untuk mencari jodoh. Ketika usiaku sudah cukup matang dan saudara-saudaraku yang lain sudah beranak lima, enam, bahkan lebih, aku masih juga melajang. Tapi tak apa. Ada Bibi Lona yang menemaniku melajang di usia matang.

 

Bibi Lona adalah adik ibuku. Sepertinya ia keasyikan nimbrung mengasuh bayi-bayi yang lahir dalam kawanan kami. Kedudukannya sebagai perempuan beta yang begitu dekat dengan lingkaran alfa rupanya sudah membuat para lelaki dalam kawanan kami ngeper duluan. Tapi kelihatannya ia asyik-asyik saja menjalani hidupnya. Dan, sikap santainya itu menular padaku.

 

Ayah-ibuku sendiri memahami kesulitanku mencari pasangan yang pas. Mereka tak pernah mendesakku untuk segera berpasangan. Kedudukanku sebagai perempuan alfa membuat posisiku jauh lebih rumit daripada Bibi Lona. Dan lagi, tak ada lelaki alfa lain dalam kawanan kami kecuali ayahku. Berpasangan dengan ayahku sendiri? Haaa! Tidak boleh!

 

* * *

 

Ini sudah ketiga kalinya aku menemukan Bibi Lona bicara dengan laki-laki asing itu. Kelihatannya mereka akrab. Tapi aku tahu ayahku tak akan suka bila ada penyusup di daerah kami. Apalagi bila penyusup itu laki-laki. Dan, insting membuatku melaporkan hal itu pada ayahku.

 

Hah? Alih-alih marah, ayahku malah tertawa.

 

“Biar saja, Ilde,” ucapnya santai. “Mungkin memang sudah keharusan buat bibimu untuk mencari laki-laki di luar kelompok kita.”

 

“Jadi, Ayah sudah tahu?” tanyaku bodoh.

 

Ayahku menggeram, berlagak marah karena sepertinya aku sudah meremehkan kealfaannya. Aku menyeringai.

 

“Sekarang tinggal kamu,” ucapnya sambil meninggalkan aku.

 

Dan, aku masih juga terbengong di tengah salju kalau saja keponakan-keponakanku tidak merubungku sambil berteriak-teriak berisik.

 

“Bibi, ayo main! Bibi, ayo main!”

 

Aku tak punya pilihan lain kecuali menuruti kemauan para bola bulu imut itu. Kubiarkan saja mereka menyerangku dari segala arah. Menggigitku dengan gigi tumpul mereka yang membuatku geli. Menginjak kepalaku dengan telapak kaki mungil mereka. Menyundul badanku dengan kepala bulat mereka yang lembut.

 

Ahay! Ternyata hari-hariku indah juga walau belum punya pasangan.

 

* * *

 

Lalu, apa yang harus terjadi, terjadilah. Tanpa upacara berlebihan yang menguras makanan, laki-laki itu begitu saja sudah menjadi pasangan Bibi Lona. Kesediaannya bergabung dengan kawanan kami diterima dengan tangan terbuka oleh ayahku.

 

Paman Sammy memang laki-laki yang baik. Ia sangat menyayangi Bibi Lona dan sangat hormat pada ayah dan ibuku. Bukan hanya sampai di situ, ia juga hormat padaku, perempuan alfa selain ibuku. Ia mengajariku banyak hal, melengkapi ajaran-ajaran ayahku.

 

Hm.... Aku jadi berpikir bahwa sebetulnya Paman Sammy layak menjadi laki-laki alfa kelak. Tapi salahnya, ia berjodoh dengan bibiku yang tergolong perempuan beta, bukan denganku. Laki-laki lain dalam lingkaran beta dan omega pun hormat padanya, walau tak sebesar penghormatan yang diterima ayahku. Hebatnya, hal itu tak pernah menjadikannya tinggi hati.

 

Ah! Betapa beruntungnya Bibi Lona mendapatkan Paman Sammy. Aku jadi sering memimpikan bertemu laki-laki seperti Paman Sammy dalam bunga tidurku yang cuma berwarna hitam, putih, dan kelabu. Tapi di mana laki-laki lain itu, yang seberani Paman Sammy mendekati area kekuasaan ayahku yang sudah terkenal hebat di mana-mana?

 

Entah kapan aku harus sabar menunggu....

 

* * *

 

Dua

 

Aku sudah tiga kali ini melihatnya berkeliaran di tepi daerah kekuasaan ayahku. Pertama kali aku mengetahui kehadirannya dari embusan angin yang membawa aroma asing itu mengelus hidungku. Aroma yang merangsang seluruh syaraf rasaku sehingga aku memutuskan untuk melangkah mengikuti arah asal aroma itu. Aroma yang... jantan. Benar-benar jantan!

 

Dan, di tepi hutan aku menemukannya sedang berdiri tegak di atas sebuah batu besar. Menatap lurus ke arah sungai di bawah. Terlihat begitu gagah dan seketika itu juga hatiku berdebar hebat. Tapi ini daerahku, daerah kami tepatnya, bukan daerahnya. Maka aku pun menggeram pelan, membuatnya seketika menyambarku dengan tatapannya yang begitu tajam.

 

“Tuan, kau masuk ke daerah kami. Segera keluarlah sebelum terjadi sesuatu yang tak diinginkan,” ucapku tegas.

 

Ia melengos, tersenyum sinis, menggeram sedikit, lalu melangkah pergi.

 

Yang kedua, aku kalah cepat dari Paman Sammy. Ia segera meloncat pergi begitu aroma asing itu samar tercium di udara. Entah apa yang dilakukannya, aku tidak tahu. Yang jelas beberapa saat kemudian ia sudah kembali lagi, seolah tak terjadi apa-apa. Kukira ia berhasil mengusir penyusup itu.

 

Lalu, kali ini angin kembali berembus dan lagi-lagi aku membaui sesuatu yang asing, tapi sesungguhnya sudah tidak asing lagi bagiku. Hasrat kemudian membawaku melangkah menuju padanya. Tapi baru beberapa langkah saja kudengar ada suara geraman di belakangku. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa yang menggeram itu. Paman Sammy. Ketika aku melanjutkan langkahku lagi, ia pun menghalang  tepat di depanku hanya dengan sekali loncat saja.  Aku menatapnya dan ia menyeringai padaku.

 

“Dia lagi,” geramnya.

 

“Coba aku selidiki, Paman,” bisikku.

 

Kita selidiki,” ralat Paman Sammy.

 

Aku tak punya pilihan lain kecuali mengangguk. Segera saja aku melangkah dengan paman kesayanganku itu mengikuti dari belakang.

 

Angin berembus lagi dan aroma asing itu semakin kuat tercium. Aroma yang.... Ah! Aku tak mampu menerjemahkannya. Yang jelas menimbulkan ketertarikan yang kuat dari dalam hatiku untuk menemukannya lagi.

 

Ia tetap pada posisi yang sama dengan ketika pertama kali kutemukan. Berdiri diam di atas batu. Tapi kali ini ia menoleh saat menyadari kehadiranku. Sejenak tatapannya yang tajam membuaiku.

 

“Olweyn!”

 

Aku tersentak mendengar geraman Paman Sammy.

 

“Bisakah kau sedikit hormat pada Alfa Ilde?”

 

Geraman tegas Paman Sammy membuat laki-laki itu turun perlahan. Aku berdiri tegak menunggu apa yang akan dilakukan oleh.... Siapa tadi namanya? Ah, ya! Olweyn, kalau aku tak salah dengar. Hm... namanya cakep juga.... Dan, Paman Sammy mengenalnya? Siapa dia?

 

Paman Sammy mendekati Olweyn dan telingaku yang tajam mendengar bisikannya, “Jangan lama-lama di sini, Ol. Alfa Evander tak pernah suka ada penyusup di daerahnya.”

 

“Biarkan saja, Sam!”

 

Aku terperanjat mendengar gelegar suara di belakangku. Hah? Sejak kapan ayahku menguntit kami? Hm.... Tampaknya aku memang harus lebih banyak lagi belajar trik darinya agar bisa jadi perempuan alfa yang lebih tangguh.

 

* * *

 

Olweyn tak pernah menjadi bagian dari kawanan yang dipimpin ayahku. Tapi ia suka berkunjung kadang-kadang. Tampaknya ia lebih menikmati status solitaire-nya daripada hidup berkelompok. Ayahku selalu menerima kedatangannya dengan baik.

 

Oh, ya, aku juga akhirnya tahu kalau Olweyn adalah keponakan Paman Sammy. Ibu Olweyn adalah kakak Paman Sammy. Dan hebatnya, ia sebenarnya punya darah alfa, tapi ayahnya lebih memilih abangnya untuk jadi laki-laki alfa untuk jadi penggantinya kelak.

 

Paman Sammy yang menyadari potensi Olweyn kemudian mengajaknya meninggalkan kelompok. Berdua mereka berpetualang dan menjadi laki-laki sejati ditempa oleh alam. Hingga Paman Sammy kecantol kecantikan Bibi Lona. Dan, kita tahu bagaimana kelanjutannya, kan? Oh, ya, mereka sudah punya lima anak yang baru saja selesai disapih sekarang ini. Menambah koleksi bola bulu imut dalam kelompok kami.

 

Olweyn.... Aku sering memikirkannya. Entah ia pernah memikirkan aku atau tidak. Hanya saja, ia selalu melemparkan tatapan tajamnya padaku sebelum pergi setelah berkunjung. Kadang-kadang aku menangkap seringai tipisnya. Tapi sungguh, ia tak pernah mengatakan apa-apa.

 

Kurasa ia juga tak pernah pergi jauh-jauh dari kelompokku. Suatu ketika ia begitu saja datang membantu ketika kawanan kami diserang beruang grizzly.

 

Aku segera membantu ibuku menyelamatkan para perempuan dan anak-anak ke tempat yang aman. Setelah memastikan mereka tak terjangkau oleh beruang grizzly itu, Ibu dan aku pun bergabung dengan para lelaki lain untuk mencoba mengusir beruang nyasar itu. Saat itulah kulihat dengan mata kepalaku sendiri, Olweyn dengan gagah berani berada di barisan terdepan bersama Ayah dan Paman Sammy. Kami semua membuat beruang itu kewalahan dan akhirnya pergi. Yang lebih menyenangkan lagi, tak ada satu pun dari kami yang terluka.

 

“Hm.... Kau berani juga,” geramnya pendek sebelum pamitan pada ayahku.

 

Aku yang masih terengah-engah tak bisa menjawab geramannya. Tapi sungguh, pujian singkat itu kurasakaan jauh lebih berarti dari apapun yang pernah kudengar. Aku ge-er, ya? Apa boleh buat?

 

* * *

 

Tiga

 

Hari ini para omega membawa pulang seekor babi hutan dan rusa yang besar sekali. Tentu saja kami berpesta sekenyang-kenyangnya. Hanya saja ada yang aneh. Ketika selesai makan, sempat kutangkap Ayah seperti setengah melamun menatapku lama. Sepertinya ia memang benar-benar melamun. Buktinya ia diam saja ketika kudekati.

 

“Yah, ada apa?” Aku berusaha untuk tidak mengagetinya.

 

“Hm...,” geramnya lembut. “Coba sekarang katakan padaku apa saja yang sudah kau pelajari hingga sekarang dari kehidupan kita, Ilde?”

 

Whoaaa.... Tampaknya sebuah pembicaraan yang cukup serius. Maka aku duduk saja di sebelah Ayah. Berusaha untuk santai sambil menjulurkan kaki depanku.

 

“Kita kawanan yang sangat kuat, Ayah,” ucapku. “Karena pelindung kita bukanlah sembarangan. Ayah dan Ibu adalah alfa yang hebat. Dan, aku.... Aku belajar untuk kelak jadi seperti Ibu. Supaya kawanan kita terlindungi dengan baik.”

 

“Kamu butuh pasangan yang hebat,” gumam Ayah. “Kurasa Olweyn cocok untukmu.”

 

What? Laki-laki pendiam yang hobi menyeringai dan irit bicara itu? Hm....

 

“Kurasa tidak.”

 

“Kenapa?”

 

Aku kaget mendengar pertanyaan ayahku. Ah, rupanya aku mengucapkan pikiran terakhirku dengan cukup keras. Aku pun terpaksa harus menjawabnya.

 

“Dia solitaire, Ayah. Mana mau bergabung dengan kawanan kita? Biarpun dia saudara Paman Sammy, tapi kulihat wataknya lain.”

 

“Maka kamu yang harus ikut dengannya,” ucap Ayah tegas.

 

Maksudnya? Aku menatap Ayah dengan mulut ternganga.

 

“Ilde, aku ayahmu.” Ayah menatapku dengan sorot mata yang begitu tajam. “Aku mengenalmu. Kamu sudah cukup punya bekal untuk mendirikan kawananmu sendiri. Bersama Olweyn, aku yakin kalian adalah pasangan alfa yang hebat. Tapi tempatmu bukan di sini. Kau tak akan berkembang kalau tetap di sini.”

 

Jadi? Aku akan jadi perempuan alfa yang diusir ayahku sendiri? Kurasa apa yang kupikirkan bisa dibaca Ayah dari tatapan mataku. Ia tertawa.

 

“Aku tidak mengusirmu, Nak. Kupikir memiliki kawanan sendiri adalah mimpi tiap bangsa kita di dunia ini. Hanya saja terkadang kendalanya adalah kesempatan dan kemampuan. Kamu mampu, kamu punya kesempatan. Gunakan itu!”

 

“Lalu kawanan kita?”

 

Ayah mengalihkan tatapannya dariku. Aku mengikuti arah matanya yang jatuh pada Paman Sammy yang sedang bercanda dengan Bibi Lona dan anak-anak mereka. Ah, aku tahu kini.

 

Ya, Paman Sammy dan Bibi Lona! Kupikir mereka memang punya kemampuan untuk itu. Mereka akan bisa melindungi kawanan ini kelak kalau Ayah dan Ibu sudah tiada. Ayah dan Ibu pun sudah mulai tua. Harus memikirkan pengganti yang cocok untuk membawa kawanan ini ke arah yang lebih baik.

 

“Dia menunggumu di tepi hutan,” gumam Ayah.

 

“Siapa?”

 

“Kau ini bodoh atau apa?” geram Ayah. “Kau tahu siapa yang kumaksud!”

 

Aku menyeringai sambil bangkit berdiri. Lalu, aku pun melangkah di bawah bulan purnama menuju ke tepi hutan.

 

* * *

 

Benar, ia sudah menungguku di sana dalam diam. Sekilas kutangkap kilatan matanya yang diam-diam selalu membuatku kagum dan hatiku bergetar.

 

“Alfa Ilde,” sapanya halus.

 

“Alfa Olweyn,” balasku.

 

Ia tertawa, membuatku makin merasa jatuh cinta.

 

“Jadi ayahmu sudah mengatakan segalanya?” Ia duduk di sebelahku.

 

“Ya,” jawabku singkat.

 

“Lantas?”

 

“Ya, aku diusir.” Aku menyeringai ringan.

 

“Maaf, aku tidak bermaksud begitu,” ucapnya penuh penyesalan.

 

Aku tertawa. “Tak perlu seserius itu.”

 

Ia pun tertawa bersamaku.

 

“Hm.... Olweyn,“ ucapku ragu-ragu. “Kau yakin kita mampu mendirikan kawanan sendiri?”

 

“Denganmu aku yakin. Dengan perempuan yang lain, tidak.”

 

Whoaaa.... Terdengarnya seperti gombalan tapi ia mengucapkannya dengan sangat serius.

 

“Ya, sudah.” Aku bangkit.

 

“Lho, mau ke mana?” Ia ikut berdiri.

 

“Tidur,” jawabku. “Kamu mau bermalam?”

 

Ia menggeleng. “Aku di sini saja.”

 

“Perasaan, kok, kita tidak ada romantis-romantisnya, sih, Ol?” celetukku tiba-tiba.

 

Ia tertawa. “Lha, bangsa kita kalau romantis malah dikira lebay. Bisa-bisa di-bully kita nanti.”

 

Aku jadi tertawa juga, menyadari kebodohanku.

 

* * *

 

Empat

 

Ibu memelukku sekali lagi sebelum aku pergi. Ayah menatapku dengan tegar tapi aku melihat cahaya kesedihan ada dalam mata tajamnya. Olweyn berdiri dengan sabar menunggu aku menyelesaikan cipika-cipiki dengan seluruh kawanan ayahku. Ketika semuanya selesai, aku menyadari bahwa waktuku sudah tiba untuk pergi mengembara bersama Olweyn.

 

Selanjutnya adalah romantika yang tak lagi terbendung. Hari-hariku bersama Olweyn selamanya adalah hari-hari terindah yang pernah kumiliki. Ketika aku melahirkan anak-anaknya (kembar enam), ia adalah ayah paling bahagia yang pernah kulihat.

 

Ketika adikku, Hercules, memutuskan untuk bergabung dengan kami bersama Mimi, istrinya, Olweyn menerima mereka dengan tangan terbuka. Juga ketika datang bergabung Sacha dan Arlene, anak dan menantu Paman Sammy dan Bibi Lona.

 

Perlahan kawanan kami jadi tetangga kawanan Ayah dan Ibu. Sesekali kami bertemu dalam satu kawanan besar dalam ikatan keluarga yang sudah kuat sejak awal.

 

Dan, saat itu aku tahu, ayahku tak pernah salah. Aku memang sudah ditakdirkan untuk jadi perempuan alfa dalam kawananku yang baru. Selalu jadi perempuan alfa di samping Olweyn. Karena kami, kaum serigala, mengenal cinta sejati dalam perkawinan monogamis.

 

Kehidupan kami romantis juga, bukan?

 

* * * * *

 

Ilustrasi: www.pixabay.com (dengan modifikasi)

Pernah diunggah di blog pribadi.

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.