Bagi Empat – Rata!

Bagi Empat – Rata!
Image by Kevin Seibel from Pixabay
"Nyebelin...," gerutuku sambil memelototi lembaran akumulasi SKS (satuan kredit semester) di tanganku.
 
Secara keseluruhan, jumlah SKS-ku sudah lebih dari jumlah minimum untuk bisa mengikuti ujian komprehensif, sebuah ujian yang harus ditembus untuk mencapai jenjang skripsi. Tapi, aku kekurangan satu SKS wajib. Satu saja! Dan, mata kuliah wajib itu tidak ada di semester yang akan berjalan ini. Baru akan ada di semester depannya lagi.
 
Berarti, aku harus menunggu satu semester lagi. Bukan itu sih yang membuatku menggerutu. Menjalani semester menunggu ini kuyakin akan sangat menyenangkan. Karena, aku bisa ikut kuliah-kuliah bebas yang seru, dan bisa melanjutkan jalan-jalan sebagai mahasiswa. Yang bikin sebal hati ini adalah soal lain.
 
Mata kuliah yang mana aku kekurangan satu SKS itu adalah mata kuliah Agama. Setiap mahasiswa wajib mendapatkan total dua SKS dari mata kuliah ini. Semula, mata kuliah tersebut diadakan pada dua semester berturut-turut. Agama 1 pada semester ganjil, dan Agama 2 pada semester genap. Masing-masing ber-SKS 1.
 
Aku tak lulus Agama 1. Berhubung tak ada syarat harus lulus Agama 1 demi dapat mengikuti mata kuliah Agama 2, maka di semester berikut aku bisa langsung ikut Agama 2. Lulus pula! Namun, karena malas dan dasarnya punya kebiasaan menunda, aku terus menerus menghindar untuk segera mengikuti mata kuliah Agama 1.
 
Sampai kemudian terjadi perubahan, di mana mata kuliah ini jadinya diadakan hanya sekali per dua semester. Dengan nilai dua SKS. Ini yang bikin aku sebal sehingga berkeluh, “kalau tahu begitu…,” tanpa menyelesaikan kalimat karena memang tak tahu mau bicara apa. Mana aku tahu bahwa akan ada perubahan seperti itu, bukan!?
 
Nah, tapi mari kuceritakan sebab aku tak lulus Agama 1...
 
Pada ujian akhir semester, soal ujiannya hanya satu dan sebenarnya tak sulit. Merupakan perhitungan pembagian harta warisan dalam sebuah keluarga batih. Beberapa teman merasa geli hati, karena buat mereka serasa sedang mengerjakan pelajaran matematika.
 
"Yang bawa kalkulator, boleh dipakai," tambah dosen mata kuliah Agama.
 
Tak ada pemberitahuan sebelumnya bahwa boleh pakai kalkulator, dan kami adalah mahasiswa fakultas sastra. Jadi, siapa juga yang membawa kalkulator? Masa praponsel pula, jadi tak ada yang punya benda mutakhir di abad milenial ini, yang otomatis mempunyai kalkulator.
 
Saya? Ya saya menggerundel panjang buntut tikus, pendek ekor kodok. Bukan sebab tak bisa berhitung, melainkan karena dalam soal ujian itu disebutkan bahwa presentase hak warisan untuk anak perempuan adalah lebih kecil daripada anak laki-laki. Sebagai anak perempuan satu-satunya dalam keluarga yang bersaudara empat, saya jadi kesal hahaha...
 
Jadilah saya mengumpulkan lembar ujian tanpa mengerjakan soalnya. Akibatnya, ya itu tadi, tidak lulus.
 
Di keluarga batihku, kami tak pernah membahas soal warisan apalagi secara rumit. Demikian pula dalam hal mempertanyakan hak warisan kami masing-masing. Setelah Ayah meninggal pada 1995, otomatis segala sesuatunya, dalam hal ini terutama segala sesuatu yang bernilai ekonomis tentunya, menjadi milik dan hak Ibu. Sudah lumrah saja. Anak-anak mendukung ke-otomatis-an itu, dan membantu serta mendukung Ibu apabila diperlukan.
 
Saya tak paham secara hukum bagaimana yang seharusnya, tapi saya menjadi sangat terheran-heran ketika ada seorang teman yang menuntut ibu kandungnya sendiri. Ia menganggap bahwa sang ibu telah merampas hak-nya atas warisan dari ayahnya, yang berupa rumah yang dihuni oleh si ibu.
 
Entah bagaimana kelanjutan tuntutan itu, saya tidak tahu. Tak tertarik juga untuk tahu…
 
Ibu kami sendiri sebelum meninggal sudah membuat keputusan bulat tentang warisan untuk anak-anaknya.
 
"Semua yang Ibu tinggalkan nanti harus dibagi empat dengan rata. Tidak secara agama di mana Nina akan dapat lebih sedikit, tidak juga secara Minangkabau di mana Nina akan mendapat semua," kata Ibu berkali-kali pada beberapa kesempatan.
 
"Khusus buat emas-emas Ibu, kalau ada ya, semua untuk Nina. Seperti yang dilakukan Oma, di mana hanya anak perempuannya yang mendapat peninggalan emas," tambah Ibu.
 
Oma adalah panggilan kami untuk ibunda dari Ibu.
 
Setiap ucapan itu keluar dari mulut Ibu, kami mengiyakan saja. Biasalah, antara lain karena ada sedikit pemikiran, “ah, itu kan urusan nanti”.
 
Ibu meninggal pada 2006. Tak ada surat wasiat tertulis dari beliau, tapi pada akhirnya toh kami pasti akan melakukan segala sesuatunya sesuai dengan keinginan Ibu. Kami kan sudah hafal apa mau Ibu. Dua tante, satu kakak dan satu adik Ibu, sebagai sekandung Ibu yang masih ada pada saat itu, juga hafal akan pesan Ibu itu. Beliau berdua kerap mengingatkan kami.
 
"Cepat saja diselesaikan semua, supaya nggak ada masalah. Itu kan amanah terakhir ibu kalian," Tante Enna yang adalah kakak Ibu, memperingati kami lebih dari sekali.
 
Kami sendiri menjalankannya dengan tidak tergesa-gesa. Bukan karena nilainya tak banyak-banyak amat, hehe…, tetapi lebih karena kami berempat saling percaya satu sama lainnya. Kami yakin tak akan ada keributan perebutan warisan di antara kami. Toh memang akhirnya semua berjalan sesuai dengan permintaan Ibu. Semua dibagi empat. Secara rata.
 
Buat kami, soal bagi empat rata itu memang sudah biasa. Bukan hal baru. Karena, merupakan ajaran yang sudah ditanamkan Ibu dan Ayah sejak kami masih sangat kecil. Sebagai keluarga tentara, tak banyak yang kami miliki. Maka, Ibu dan Ayah selalu memastikan bahwa yang tak banyak itu harus selalu dibagi empat secara rata sesuai dengan jumlah anak-anak mereka. Telur asin atau telur dadar, sama saja. Satu butir untuk empat anak. Rata.
 
Pembagian biasanya dilakukan oleh Ibu. Kalau yang membagi adalah salah satu dari kami berempat, maka si pembagi harus lapang dada menerima sisa pilihan. Dia menjadi orang terakhir yang bisa memilih. Tepatnya, tak mempunyai hak pilih sih. Menyebalkan juga, karena bisa saja seperempat telur asin yang akhirnya menjadi bagiannya, meski besarnya sama, merah telurnya keciiiiiil sekali.  =^.^=
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.