Sikap Hedonis Berujung pada Kerusakan Lingkungan

Hedonis, Shopping, Fashion, Limbah

Sikap Hedonis Berujung pada Kerusakan Lingkungan

Apa yang terbesit di benak Anda ketika melihat tulisan "discount" atau "limited edition" di pusat perbelanjaan? Familiarkah Anda dengan slogan "here today gone tomorrow"? Rasanya tidak asing di telinga kita bukan? Ini adalah beberapa slogan yang digunakan untuk menarik para pembeli untuk berbelanja, khususnya di dunia fashion. Kesuksesan dalam beriklan di dunia fashion sangat terlihat jelas. Masyarakat saat ini sangat perhatian pada gaya berpakaian, salah satunya untuk mendapatkan status sosial sebagai seorang "fashionable". Sehingga menumbuhkan motivasi untuk bersikap berbelanja secara hedonis. Sikap ini memberi pengaruh signifikan terhadap pembelian secara impulsif. Terdapat 68% masyarakat membeli barang tanpa melakukan perencanaan. Sisanya, 15% membeli barang dengan terencana. Melihat kondisi ini, pihak pasar berusaha untuk menciptakan kondisi pusat perbelanjaan yang nyaman, agar konsumen semakin tertarik.

Hasil penelitian jumlah konsumen H&M menunjukkan 70% adalah wanita, dan 30% nya pria. Kategori usia berkisar 21-30 tahun mencapai 98%, dengan dominasi status sebagai pelajar yakni 88%. 82% konsumen berpenghasilan di bawah Rp 3.000.000,00 per bulan. Kegiatan berbelanja merupakan aktivitas yang perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. Namun, ketika dilakukan secara berlebihan akan berimplikasi pada permasalahan lain. Jika ditelaah sikap hedois ini akan memotivasi para produsen untuk mengikuti permintaan pasar. Implikasi berikutnya akan menjurus pada permasalahan lingkungan.

Bagi pihak produsen, peristiwa ini adalah kesempatan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Kecepatan perubahan tren melahirkan konsep "ready to wear" dalam industri fast fashion. Beberapa brand terkenal yang masuk dalam kategori fast fashion adalah H&M, Bershk, Zara, Uniglo dan lain sebagainya. Mereka mampu memperbarui produk tiap minggunya. Istilah "ready to wear" berimplikasi pada tren fashion yang murah dan mudah diperoleh. Laporan tahun 2020, hasil penjualan bersih H&M mencapai 187 miliar SEK atau setara dengan Rp 279.052.085.741.000,00 sejak 2002.

Sadarkah Anda bahwa setiap proses produksi yang dilakukan menghasilkan limbah?
Melansir dari laman theguardian.com, 10% emisi karbon dunia disumbangkan dari industri pakaian, bahkan masuk dalam industri kedua yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Banyak proses di dalam produksi pakaian berpotensi menurunkan kualitas lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik. Beberapa diantaranya adalah proses pewarnaan, kebutuhan energi maupun air, dan sebagainya. Selain itu "fate" dari pakaian juga perlu diperhatikan, agar setelah menjadi barang jadi tidak menjadi beban lingkungan. Mengejutkan bahwa pada tahun 2016, Inggris harus menimbun pakaian bekas sebanyak 300.000 ton. Penimbunan baju bekas seperti ini akan terus berlanjut. Faktanya brand seperti H&M memproduksi 100 miliar pakaian untuk 7 miliar penduduk, dengan harga murah, modis tetapi tidak tahan lama. Banyak brand ternama yang melakukan praktik ini. Jika terus terjadi tanpa adanya kontrol, lalu seberapa banyak baju bekas yang akan tertumpuk di tempat pembuangan akhir?

"Eco-conscious" sedang digadang saat ini menjadi langkah awal untuk menyikapi upaya penurunan emisi, dan berbagai dampak lainnya. Banyak ritel ternama yang sudah menandatangani persetujuan skema Carbon Disclosure Project (CDP), termasuk H&M dan Nike. Melihat laporan H&M group, emisi karbon yang dihasilkan tahun 2020 mencapai 72.580 ton, dari emisi cakupan [1]1 dan [2]2. Jumlah ini mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Sebaliknya jumlah konsumsi energi menurun hingga 4%. Meskipun produksi emisi mengalami peningkatan, ritel ini mampu memperoleh skor tinggi dari CDP, dikarenakan teknik dalam penghitungan. Apabila suatu perusahan menghasilkan peningkatan emisi di bawah total peningkatan pendapatan, maka tetap dikatakan telah mengalami penurunan emisi. Nike melaporkan bahwa emisi yang dihasilkan meningkat 1%, diimbangi dengan pertumbuhan pendapatan sebesar 7%. Artinya telah mencapai penurunan emisi 5% dalam emisi per pendapatan. Cakupan yang dihitung tidak termasuk emisi tidak langsung (emisi cakupan [3]3). Pengecualian terhadap cakupan 3 menjadi celah bagi industri fashion dalam menyebabkan peningkatan emisi global. Label "eco-conscious" pada perusahaan tidak serta-merta memberi dukungan terhadap keberlanjutan lingkungan.

      Selain perusahan fashion, masyarakat sebagai konsumen juga perlu bersikap eco-
conscious
. Konsep menjaga lingkungan menjadi pertimbangan dalam berbelanja. Meskipun dari pihak produsen menganggap hal ini sedikit menghawatirkan. Mengutip dari fastcompany.com, CEO H&M mengatakan bahwa eco-conscious pada konsumen dapat berdampak buruk bagi industri fast fashion. Kekhawatiran ini datang dari turunnya pendapatan perusahaan apabila gaya konsumsi berubah. Jika pihak produsen menanggapi positif pendapat para ahli, maka mereka akan totalitas dalam menjalankan konsep eco-conscious. Para ahli mengatakan bahwa biaya dalam menangani masalah iklim akan jauh lebih besar. Tingginya konsentrasi karbon saat ini dapat menelan 10,5 % PDB pada tahun 2100. Justru dengan adanya kesadaran dari produsen maupun konsumen, akan meningkatkan keberlanjutan jangka panjang dari industri fashion dalam berproduksi maupun menghasilkan keuntungan
.

     Merunut dari skema permasalahan lingkungan yang kita hadapi, rasanya berbagai inovasi dan kebijakan tidaklah cukup. Kita harus mampu menemukan kunci yang mampu mendukung upaya perlindungan lingkungan. Titik pusatnya berada pada diri kita sendiri, sebagai seorang manusia yang memiliki akal dan naluri. [4]Manusia tercipta dengan sempurna, salah satunya dicirikan sebagai makhluk yang memiliki kehendak. Tindakan manusia berawal dari kehendak. Setiap kehendak memiliki kebebasan, dan tidak dapat dipaksakan atau dibatasi oleh unsur luar diri manusia, melainkan hanya bisa dibatasi oleh dirinya sendiri. Potensi yang mampu mengendalikan setiap kehendak maupun kebebasannya, yaitu cinta. Hal ini menjadi sangat penting, mengingat sistem kehidupan bumi terbentuk dari berbagai sistem. Interaksi antara manusia dengan lingkungan membentuk identitas sistem, karena pola relasi yang berlangsung secara invarian dan sirkuler. Jika kita memandang alam adalah bagian dari ekosistem manusia, yakni manusia sebagai makrokosmos. Sangat masuk akal apabila lingkungan alam rusak, maka manusia akan mengalami dampaknya atau ikut "binasa". Tindakan dan kebebasan manusia perlu dipadukan dengan cinta, karena cinta akan pasti dikehendaki yang mana bertentangan dengan kebebasan.

[5]Penerimaan cinta dalam suatu kehendak akan mempengaruhi sudut pandang kita. Kita tidak lagi mempertanyakan apa dan bagaimana dalam mencintai. Namun, mempertanyakan mengapa tidak saling mencintai atau tidak mencintai. Sama halnya kalau pertanyaan ini dituangkan dalam lingkungan alam. Jika dianalogikan dengan air, pertanyaan bukan lagi soal "mampukah air mengalir", melainkan "apa yang menyebabkan air tidak mengalir". Pertanyaan besarnya adalah "apa yang menyebabkan lingkungan kita mengalami kerusakan?". Interaksi antara manusia dengan lingkungan alam merupakan proses pembelajaran, agar sustainabilitas tetap berlangsung. Artinya dengan menjamin perlindungan lingkungan alam, maka sustainabilitas kehidupan manusia dapat terjamin dari segala aspek.

   Konsep "eco-conscious" tidak cukup untuk melindungi lingkungan. Dibutuhkan upaya edukasi dini. Tujuan daripada edukasi ini tidak terbatas pada kesadaran terhadap lingkungan, melainkan menciptakan rasa cinta pada lingkungan alam.

 

Sumber :

Anggraeni Melinda.,Patrikha Finisica Dwijayati. 2021.    Pengaruh motivasi belanja hedonis dan fashion involvement terhadap pembelian impulsif. Akuntabel. 18 (3) : 490-497.

Donald Rachel. 2022. Why ‘eco-conscious’ fashion brands can continue to increase emissions. (https://www.theguardian.com)

H&M Group. Sustainability Performance Report 2020. 

Leman Fiona May., Soelityowati., Purnomo Jennifer. 2020. Dampak Fast Fashion Terhadap Lingkungan. Seminar Nasional Envisi 2020 : Industri Kreatif.

Muadz M Husni., 2014. Anatomi Sistem Sosial Rekonstruksi Normalitas Relasi Intersubyektivitas dengan Pendekatan Sistem. IPGH : Mataram.

Segran Elizabeth. 2019. H&M’s CEO is worried that eco-conscious consumers could be bad for fast fashion. (https://www.fastcompany

 

[1] Bersumber langsung dari perusahaan, emisi pembakaran bahan bakar fosil

[2] Emisi yang tidak langsung dari perusahaan, yaitu energi yang dibeli dari penyedia

[3] Emisi tidak langsung lainnya, berasal dari venue chain

[4] Dalam buku Anatomi Sistem Sosial Rekonstruksi Normalitas Relasi Intersubyektivitas dengan Pendekatan Sistem (hal 101-127)

[5] Dalam buku Anatomi Sistem Sosial Rekonstruksi Normalitas Relasi Intersubyektivitas dengan Pendekatan Sistem (hal 139)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.