R E S I G N

R E S I G N

“ Sandraa mana laporannya, bawa ketempat saya sekaraang !”.

“Duh mati gue! Kenapa si Bemper masih kedengeran suaranya? Bukannya dia udah pulang? kalau begini alamat pasang badan lagi nih. Hadeeh… bisa pulang telat lagii…malang bener nasib gue!”. Rutuk Sandra dalam hati sambil menahan kesal.

“Tau gitu tadi cabut sekalian bareng anak – anak. Ah payah lo San, pake ketahuan segala lagi kalo lo masih ada di kantor”. Makinya dalam hati setengah menyesal gak ikut rombongan anak-anak depan buat cabut.

“Mana Sandra?”, suara Bemper makin terasa deket. Terbayang dipelupuk mata Sandra, lelahnya wajah Bunda mengurus Biyan dan Bianca seharian. Ayah yang mencoba bersikap baik-baik saja mengantar jemput anak-anak sekolah dan mengaji. Padahal sebenarnya fisik Ayah juga sudah tak sanggup lagi untuk kerja berat antar sana sini, karena dua cincin sudah terpasang didada kirinya. Semakin merasa bersalah kalo begini. Belum lagi penyakit asam urat dan kolesterolnya yang kadang suka kambuh. Ayah bisa berhari-hari tergolek ditempat tidur dan libur pergi ke Mesjid karena tak sanggup berjalan. Selintas bayangan Bunda dan Ayah muncul, meminta aku untuk segera berhenti .

“Rey, kenapa lagi sih dia?”, bisik Sandra mencoba mencari tahu ke kawan satu ruangannya yang duduk tepat disebelah kubikelnya. Rey baru saja sampai di kantor. Tapi timnya tak ada satupun yang terlihat. Oh mungkin mereka sedang ngumpul di warung Bang Jamal.

Akhir – akhir ini Rey dan timnya sedang mencari kreditur yang sudah masuk sandi empat dan lima. Gue tahu banget deh rasanya gimana, soalnya gue udah pernah diposisi dia. Berasa kaya jadi detektif dan kaya lagi main film gitulah. Cuma memang jadi seorang Rey mesti kebal mental ciin. Siap diomelin nasabah kalau mereka melawan, dan kita gak boleh main fisik, apalagi sampai memaksa dengan kekerasan. Salah - salah malah berbalik ke kita nanti, nasabah yang mensomasi balik kita. Bisa pusing tujuh keliling.

“Mana gue tau San, gue juga baru balik. Noh! babe lo datang gue ke toilet dulu yaa..! Hihihi… Sory San gue tinggal.” Ucap Rey sambil jalan menunduk melewati kubikel Sandra. Rey buru-buru pergi sambil cekikikan. Rey tahu banget kalo Bemper datang pastinya bukan cuma Sandra yang didongengin. Satu ruangan bakalan dapat kuliah singkat. Nah daripada nyebur mendingan cari selamat.

“Kasian juga sih Sandra, tapi gue juga udah sumpek banget seharian ngejar nasabah macet, mending gue ngopi dulu ke warung Bang Jamal.” Pikir Rey sambil jalan ketoilet yang terhubung ke pintu keluar.

“Sandraa !!”. Tuhkan dia udah ada dibelakang gue. Kedengeran banget suara langkah kakinya yang gerabak - gerubuk. Sandra sedang membuka laci file yang ada dibelakang mejanya ketika seseorang datang. Pelan – pelan Sandra menoleh dan ternyata Bemper sudah berdiri tepat dibelakangnya, melotot sambil jarinya memegang rokok yang mulai habis.

Beruntung si Bemper gak sempat melihat anak-anak yang sudah ngacir duluan semenjak pulang dari pasar tadi. Kalau sampai dia melihatnya bisa kacau, pikir Sandra. Alamat makian dan bentakan yang akan mereka terima, karena hari ini belum mencapai target. Walaupun sudah ada calon yang masuk, tetapi masih jauh dari pencapaian dan hal yang begini gak ada dikamus si Bemper.

“Ah lelahnya, rasanya gue mau resign aja secepatnya dari sini. Lepas dari semua beban kerja yang semakin lama semakin menghimpit dan menyesakan dada. Kalau begini semua kata-kata puitis bisa tiba-tiba keluar dari otak gue.” Sandra mulai membatin lagi.

Sandra Selomita adalah seorang pegawai yang sudah lama bergelut di dunia perbankan selama kurang lebih enam belas tahun. Sebenarnya passion Sandra bukan dibidang ini, tapi entah kenapa rasanya takdir membawanya terus ke dunia ini. Setiap kali melamar kebeberapa perusahaan, tak satupun yang berhasil. Panggilan selalu datang dari dunia perbankan, entah Bank BUMN, Bank Swasta, Bank Asing atau Bank Daerah. Jadilah Sandra disini menerima dan berusaha menikmati takdir.

Sandra pernah merasakan bekerja disalah satu Bank Swasta, lalu pindah ke Bank berpelat merah, dan terakhir di Bank Daerah. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Tapi yang pasti salah satu alasan dari setiap kepindahannya adalah untuk mencari yang terbaik dari sisi financial. Hanya saja itu dulu sebelum berkeluarga. Setiap kali pewawancara bertanya jawabannya selalu sama.

HRD : “Ibu Sandra apa alasan anda memutuskan untuk pindah kerja?”

Sandra : “Karena financial pak.”

HRD : “Bisa tolong jelaskan maksudnya ?”

Sandra : “ Ya Pak, saya tidak munafik alasan paling utama untuk saya mencari pekerjaan ini adalah mencari nafkah dan saya pindah bekerja karena saya mencari pekerjaan yang tetap juga pendapatan yang lebih baik.”

HRD : “ Lalu bagaimana dengan jenjang karir anda? Apakah anda tidak ingin meningkatkan karir ?”

Sandra :”Meningkatkan karir itu bonus Pak.” Sandra menjawab asal.

Berdasarkan pengalaman dia dan juga teman-temannya yang selalu bermasalah ditempat kerja, mereka pasti sakit hati manakala ada anak baru masuk tetapi bisa promosi duluan padahal kinerja gak bagus –bagus amat. Setelah dicari tahu rupanya anak baru itu titipan langsung Pejabat X ke Pimpinan Y atau ke Pihak Manajemen paling atas. Gue gak peduli lagi deh sama yang namanya jenjang karir apalagi alasan sampai membesarkan Perusahaan atau apalah namanya itu. Bullshit! Pikir Sandra waktu menjawab pertanyaan Bapak HRD.

Jawaban itu cuma berlaku buat anak-anak kuliah yang baru lulus dan lagi seneng-senengnya dapat wawancara perdana, kaya gue dulu sewaktu dapat panggilan kerja pertama kali. Kita berkerja pasti mencari penghasilan yang terbaik dan hal itu lumrah untuk siapapun terlebih seseorang seperti gue. Setelah berkeluarga dan mempunyai  anak, fokus Sandra mulai berkurang. Dia tak seperti dahulu yang workoholic.

Jika mengingat masa lalu, seperti tak ada waktu untuknya memikirkan hal lain selain pekerjaan. Terkadang bosnya sampai menegur karena masih menyelesaikan pekerjaaan padahal sudah melewati batas jam pulang kantor. Sering dia dimarahi karena terus bekerja sementara waktu pulang sudah lewat. Terasa aneh, tapi Sandra malah menikmatinya. Dulu Sandra selalu tertawa melihat teman-temannya yang mengantri didepan mesin absensi, padahal waktu  masih menunjukkan pukul lima kurang lima belas menit lagi untuk absen pulang. Tetapi untuk mereka yang sudah berkeluarga terutama seorang ibu, waktu lima menit itu sangatlah berharga, dan ternyata dia benar-benar merasakannya sekarang. Wawancara masih berlanjut..

HRD : "Kenapa anda bilang itu bonus?"

Sandra : “ Ya iya tentu saja bonus Pak. Untuk orang seperti saya yang tidak mempunyai back up, tentu saja hal tersebut sebuah bonus jika saya mendapatkan promosi.

HRD : “Bisa anda jelaskan secara detail Bu Sandra?”

Ya ampun, nih HRD bloon amat sih, apa dia memang beneran polos yak? Pikir Sandra dalam hati.

Sandra : “Begini Pak, kalau kita pintar, rajin, disiplin, pokoknya kinerja bagus tetapi pihak Manajemen tidak suka, ya tidak akan naik atau mendapatkan promosi, kecuali jika Manajemennya objektif ya Pak. Melihat pegawai itu benar-benar dari kinerja dan kriteria yang sesuai aturan untuk kenaikan karir.

HRD : “Maksud anda Manajemen disini tidak objektif ?” Tuhkan...beneran bloon nih kayaknya. Kenapa juga jadi dia yang sewot sama gue, kan barusan dia yang tanya? Hadeh! batin Sandra makin kesal. Enaknya gue apain yak si Bapak ini? Udahlah kumisnya tebel banget, mungkin maksudnya buat nakut-nakutin calon pegawai baru, tapi gue malah kepengen ngakak lihatnya. Jadi inget polisi di film-film india hahahaha.

Sandra : “ Loh tadi kan Bapak yang tanya ke saya maksud pernyataan saya. Saya tidak ada menyebut tentang Manajemen Perusahaan ini Pak.” Sandra membela diri, sambil melihat pewawancara satunya yang seorang Psikolog dari pihak ketiga. Sepertinya Ibu ini malah keliatan smart dan mengerti dengan apa yang gue bilang. Dia senyum aja, gue udah tahu kalau dia pinter. Aduh bu, tolong saya dong jelasin sama Bapak HRD yang gak ngerti ini. Sandra makin membatin. Mata Sandra terlihat sayu memohon kepada Ibu yang ada disamping Bapak HRD.

Psikolog : “ Maaf Pak Andi kalau saya memotong, menurut saya pembicaraan ini sudah keluar dari maksud wawancara kita Pak. Mungkin bisa dipersingkat karena waktu sudah mendekati istirahat Pak”.

Ah, akhirnya.. Ibu ini baik banget. Gak salah memang dia jadi Psikolog. Tahu banget cara membaca pikiran orang yang udah kepepet kaya gue. Wah kebayang kalau gak ada dia, bisa berantem nih kayaknya gue sama Bapak HRD.

HRD (speechlees tapi masih nyureng mukanya) : “Baik mbak Sandra saya rasa wawancara anda sudah selesai. Ditunggu pengumumannya minggu depan.”

Satu minggu kemudian datang jawaban dari HRD dan ternyata gue diterima. Sumpah gak nyangka, padahal gue dah mau berantem sama tuh Bapak. Kalau inget suka ketawa ngakak. Apalagi gue sempet ketemu sama Ibu Julia, Psikolog yang waktu itu ikut wawancara gue. Akhirnya kami jadi kenal baik hingga sekarang. Satu hal yang gue tahu bahwa ternyata jawaban gue itu jarang muncul saat wawancara. Ibu Julia pernah bilang katanya saat itu cuma kamu yang memang natural apa adanya. Padahal dibalik itu semua, sumpah deh gue sendiri udah capek ngadepin wawancara yang pertanyaannya rata-rata mirip semua.

***

Sandra masih mencoba mencari file hardcopy yang tadi siang dia serahkan dimeja Bemper, ketika terdengar lagi suara itu.

“Mana laporannya?”, Pak Bambang membuyarkan lamunan indah Sandra.

“Saya sudah taruh dimeja Bapak tadi siang Pak”. Jawab Sandra dengan penekanan. Ini orang kenapa ya, segitu laporan gede terus pakai map warna ijo neon dan ada bacaannya dari Tim Layanan Nasabah, masih aja gak keliatan. Aneh deh! Masa iya anak-anak ada yang ambil, setahu gue gak ada yang berani masuk keruangan dia kalau gak ada kepentingan. Termasuk gue juga sih, kalo bukan karena tugas mah hadeh males banget. Asap rokoknya itu loh, sumpah bikin sesak napas dan baunya membuat gue gak betah berlama-lama duduk disitu.

Mendingan gue berdiri aja kalo dipanggil, ambil posisi yang agak jauh dari meja sambil mepet ke tembok. Kaya video klip Reza Atramevia yang judul lagunya ‘Pertama’. Nah segitu udah lumayan aman deh. Minimal kalo pas gue menghadap buat kasih laporan terus pas dia lagi ngasap, ya gue gak kena langsung. Even udara diruangan udah pasti sesak karena rokok dan pastinya bakalan bikin mata gue pedih terus batuk-batuk.

Gue rasa pihak Manajemen Gedung udah imun sama kelakuan si Bemper. Smoke detector dan sprinkler diruangan sampe dimatiin gegara tiap kali dia ngasap selalu keluar air. Dalihnya dia gak bisa hidup tanpa rokok. Padahal udah disediain smoking room tapi emang ya kelakuan mahkluk satu ini ajaib banget. Jujur gue paling gak tahan sama asap rokok. Keluarga gue dirumah juga gak ada yang merokok. Suasana tiba-tiba hening dan Sandra masih mikir laporan yang manalagi yang dimaksud si Bemper.

“Bukan yang itu, tapi yang perhari ini ! saya minta sekarang sekaligus penjelasan kamu kenapa minggu ini belum ada target yang masuk, ada kendala apa?”, nada Bemper semakin tinggi.

Waduh! Bahaya kalo sudah begini pikir Sandra. Ok, gue harus tenang menghadapi Bemper yang kadang kelewatan. Ini sudah jam pulang tapi terkadang dia gak mau tahu. Kalo harus sekarang, ya sekarang. Gak ada tawar – menawar.

“Baik Pak, segera saya siapkan, sepuluh menit sudah siap”, Sandra mencoba memberi tawaran agar tak terjadi perang . Kenapa perang? Karena jika tak sesuai dengan apa yang diminta, rapat dadakan bisa tiba-tiba diadakan sampai malam. Sandra tak mau sampai terjadi, banyak pegawai yang masih mempunyai bayi dan anak balita. Tak tega jika Sandra harus memaksa mereka untuk mengikuti rapat dadakan. Tidak terkecuali yang laki-laki, mereka juga pasti ingin cepat sampai dirumah bertemu dengan keluarga masing-masing setelah seharian bekerja.

***

“San, gimana kemarin?”, Firda tiba-tiba sudah duduk disebelahnya sambil membawa sepiring gado-gado dan jus Alpukat. Cuaca yang terik memang sangat enak minum jus segar dingin pikir Sandra.

“Biasalah… kan lo tahu si Bemper kek gimana dia,” jawab Sandra datar tanpa ekspresi sambil mengaduk – aduk gelas jus strawberry.

“Lah, kok lo gak makan?”, selidik Firda melihat yang ada dimeja Sandra.

“Gak kepengen Fir, masih kenyang,” jawab Sandra sekenanya. Beberapa hari ini Sandra memang kurang nafsu makan. Pikirannya penuh dengan hal-hal yang penting seperti Biyan, Bianca, Papi dan Mami. Terutama yang paling inti adalah tentang sakitnya Papi.

“Ya lah, gak usah lo ambil hati, lagian tim yang kemaren turun udah dapat target kok, even gak achieve yang penting masih ada yang masuk. Dah santai aja, mending lo makan deh San. Kasian Biyan sama Bianca kalo mamanya sampe sakit. Lo juga mesti inget San, bokap masih butuh lo.” Firda membujuk dengan gayanya yang selalu to the point.

“Ada benarnya juga sih yang dibilang Firda. Gue harus kasih semangat buat Papi. Saat ini Papi pasti sangat memerlukan dukungan dari seluruh keluarga terutama gue,” batin Sandra.

“Fir, kayaknya gue harus menentukan sikap.” Tukas Sandra sambil menatap mata sahabatnya.

“Maksud lo apa San? Sikap apa?,” tanya Firda penasaran.

“Gue dah pikirin ini fir, awalnya gue merasa kalau ini cuma keinginan sesaat disaat gue merasa lelah dan terpuruk. Tapi setelah gue lihat dan pertimbangkan baik juga buruknya, gue harus mengambil yang terbaik buat gue dan keluarga gue.”

“Ok, tapi apa San? Maksud lo apa dengan keinginan yang lo bilang barusan? Lo mau memutuskan apa San?,” desak Firda semakin tak sabar.

“Gue mau resign !,” pungkas Sandra mantap.

“What? Lo ga salah San?”, teriak Firda sambil menatap Sandra dengan mata terbelalak.

“Ah, lo dah gila kali San, yang bener aja? Gak mungkin ah, posisi lo yang udah enak dengan gaji lo sekarang lo yakin mau resign? Apa lo dah dapat kerjaan baru yang lebih ok lagi? Salary lebih tinggi? Posisi makin tinggi? Atau lo ada masalah disini? Lo kenapa San? Cerita San sama gue.” Firda masih terus memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Sandra tersenyum pahit melihat sahabatnya seperti cacing kepanasan. Firda memang selalu rame, gak bisa dengar sampai selesai, dia pasti sudah memotong tanpa tahu keseluruhan.

“Jadi Fir, gue gak dapat kerjaan baru, gue juga gak ada masalah disini, baik dengan kerjaan ataupun dengan orang –orangnya. Masalah sih kalau udah kelewatan kerja kita gak dikasih pulang hahaha..,” Sandra mencoba bercanda untuk mencairkan suasana yang mulai redup.

Firda mulai serius dan terdiam. Sandra gak mau Firda seperti ini, biasanya dia bisa tiba-tiba jadi mellow dan setelah itu menangis. Sandra gak mau membuat sahabatnya merasa sedih dengan rencananya. Sebelas tahun sudah mereka bersahabat dan selalu bersama, walaupun mereka tak pernah berada dalam satu tim. Namun kekompakan dan kerjasama mereka selalu berhasil membuat pegawai –pegawai lain bahkan atasan – atasan mereka iri melihat kebersamaan mereka. Tapi kali ini keputusan Sandra sudah bulat.

***

Dua bulan yang lalu wajah Papi terlihat pucat dan lemas sewaktu pulang dari Rumah Sakit. Saat Sandra menanyakan kondisinya, Papi tak langsung menjawab tetapi malah tersenyum dan mengalihkan pembicaraan. Alih-alih menjelaskan keadaannya, malahan bertanya bagaimana kondisi kantor dan pekerjaan Sandra. Papi selalu begitu, tak mau membuat Sandra khawatir. Karena penasaran Sandra mencari Mami dan menanyakan kondisi Papi.

“Mi, sebenarnya gimana kondisi papi sekarang? Jantungnya baik-baik aja kan mi? Apa ada masalah dengan ringnya?”, dengan rasa cemas Sandra memberondong Mami dengan pertanyaan yang mengganggunya.

“Kondisi jantungnya Alhamdulillah gak ada masalah San, cuma…,” tiba – tiba mami berhenti berbicara seakan ada yang yang menghentikan.

“ Cuma kenapa mi?”, desak Sandra semakin penasaran. Ada apa ini? Tak biasanya mami bersikap demikian. Sandra tahu mami, dia tak pernah bisa membohonginya, pasti ada yang disembunyikan mami.

“Mi, kenapa sama Papi? cerita ke Sandra Mi ada apa?”, desaknya membuat mami malah berkaca-kaca. Spontan Sandra memeluknya dan mengatakan bahwa semua akan baik baik saja, padahal dia tak tahu apa yang membuat Mami tiba-tiba meneteskan airmata. Mereka sama-sama terdiam, lalu tiba-tiba suara Mami membuat Sandra serasa melayang. Mami hanya punya Sandra sebagai teman curhat. Sebagai anak tunggal, kadang terasa berat saat ingin berbagi rasa apalagi terkait orang yang disayangi. Selain Papi, Mami dan Mas Awan, tak ada orang lain yang bisa diajak berbagi. Sandra tak begitu dekat dengan sepupu-sepupunya. Mereka rata-rata berada diluar kota dan mempunyai kesibukan masing-masing.

Dulu sewaktu masih kecil ketika Opa dan Oma masih hidup, mereka sering bertemu. Tapi sekarang om dan tante – tantenya sudah tinggal jauh. Ada yang masih di Pulau Jawa, ada juga yang sudah merantau ke negeri orang. Sahabat? cuma Firda yang sekarang selalu menemannya. Tanpa dia rasanya bosan. Mereka saling bergantung dalam menghadapi kondisi yang terjadi dilingkungan kantor. Kepala sama hitam tapi isinya kita tak pernah tahu. Selama ini mereka saling menguatkan dan memberi semangat manakala kondisi membuat mereka menjadi semakin terpuruk. Itu saja sudah lebih dari cukup untuknya.

Hmm…Sandra juga punya seorang kawan dekat tapi sekarang dia sudah jauh dibelahan dunia sana mengikuti suami. Ada waktunya mereka bersua lewat sosmed ataupun whatsup, tapi kadang terbentur waktu. Jika disini pagi, disana pasti sudah siang. Sandrapun tak mau mengganggu kehidupannya yang pasti tengah sibuk mengurusi keluarga kecilnya. Hal terpenting adalah sahabatnya disana selalu sehat dan bahagia.

“San, papimu sakit… dokter bilang kanker prostat,” ucap Mami membuyarkan lamunannya. Rasanya sekeliling Sandra sekarang menjadi gelap. Ujian apalagi ini Ya Allah. Wajah mami begitu khawatir, sama seperti dahulu sewaktu Papi terkena serangan jantung. Mami sendiri juga menderita jantung coroner sama seperti Papi. Hanya saja penyumbatan Mami masih dibawah lima puluh persen setelah dilakukan kateterisasi dua tahun yang lalu. Jadi dokter tak menyarankan tindakan apapun kecuali dengan obat. Mereka berdua harus minum obat jantung seumur hidup.

Tak pernah terbayangkan oleh Sandra sebelumnya. Saat itu doa Sandra hanya satu, meminta kesembuhan untuk keduanya. Terasa klise, tapi ini yang benar-benar dia rasakan. Entah seperti apa keadaan keluarganya, jika salah satu atau bahkan keduanya tak ada. Ah, sulit untuk membayangkan, lagipula dia tak pernah mau berfikir sampai kesitu. Sesak dada Sandra, tubuhnya mulai limbung, tiba-tiba matanya terasa panas dan mulai berair.

“ Gue harus menahannya demi Mami, harus kuat demi Mami dan Papi. Gue gak boleh cengeng.” Sandra mencoba tegar dalam hati. Menarik napas panjang dan mulai berfikir jernih. Walaupun ingin rasanya saat ini Sandra meluapkan kesedihannya dengan tangisan. Biasanya kalau sudah begini Mas Awan pasti sudah memeluknya, tapi dia masih berdinas di Kalimantan saat ini.

“Mas, aku butuh kamu sekarang”, bisik Sandra dalam hati.

***

Sebulan berlalu cepat, hari ini Sandra dengan segenap hati dan keyakinan tinggi berjalan menuju ruangan Bemper untuk memberikan kabar bahagia ini. Sekarang dia sudah duduk didepan mejanya. Seperti biasa asap mengepul memenuhi ruangan dengan pendingin udara. Sandra tak sanggup harus berlama-lama disini, jadi tanpa banyak basa-basi dia menyerahkan surat pengunduran dirinya.

“Jadi ini surat pengunduran diri saya Pak”, ucap Sandra dengan suara lugas.

“Apa ini Sandra?”, tanya Pak Bambang kaget, matanya tajam melihat kearah Sandra sambil mematikan rokok ditangannya dengan cepat. Bemper tak pernah melakukan hal itu jika bukan sesuatu yang penting. Sandra dan Firda memang mempunyai nama panggilan untuk Pak Bambang, hanya mereka berdua yang tahu siapa bemper.

Kenapa bemper? Karena menurut mereka Pak Bambang ini layaknya seperti bemper alias orang kedua sebagai penahan orang pertama yaitu Pak Joko. Tapi memang posisinya juga sebagai orang kedua, makanya paslah Sandra dan Firda memberikan julukan itu.

“Kamu yakin?”, tanya Bemper sambil melihat surat pengunduran dirinya.

“Insha Allah Pak.” Jawab Sandra tersenyum penuh keyakinan.

“Maaf Sandra saya tidak yakin kamu benar – benar mau resign, coba kamu pikirkan dulu.

” Rasanya ini tak benar, aku harus mengingatkan dia, pikir Pak Bambang cepat.

“Kalau masalahnya orang tuamu yang sudah tidak bisa lagi menjaga anak-anakmu, coba kau cari Asisten Rumah Tangga yang bisa menjaga anak-anak.” Pak Bambang mulai khawatir dan mencoba menahan Sandra. Dia tahu Sandra adalah salah satu aset dikantor ini. Tak banyak yang seperti dia. Anak ini bukan tipe pembangkang atau pemberontak. Dia pintar dan bisa diandalkan, apalagi jika sudah bekerjasama dengan kawan dekatnya Firda. Mereka berdua seperti amplop dan prangko, kemanapun bersama. Sandra punya kemampuan lebih, dia bisa merangkul seluruh pegawai dari berbagai lini. Bukan hal mudah untuk melakukan itu.

Pak Bambang sendiri tak sanggup menghandle para pegawai jika semua sudah mulai tak bisa diatur. Kerjanya rapi dan cepat. Banyak nasabah menyukai pelayanan yang diberikan olehnya. Sandra juga pintar melobby pihak ketiga. Banyak hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh atasannya tetapi dia yang bisa mengerjakannya. Awalnya Pak Bambang menganggap sepele Sandra, sampai suatu saat dia menantang Sandra untuk melobby salah satu pihak ketiga yang terkait dengan kepentingan kantor. Sandra dengan semangat menerima dan bersedia melakukannya.

Dengan penuh keyakinan dia mengerjakan perintah Pak Bambang dan dia berhasil mempertemukan salah satu petinggi dari Bank terbesar di Indonesia dengan Pak Bambang sehingga mereka dapat bekerjasama tanpa harus melewati prosedur yang berbelit-belit. Dari situ Pak Bambang tahu bahwa anak ini dapat diandalkan dan penuh tanggung jawab setiap menerima tugas. Tapi didepan semua pegawai dia tetap memperlakukan Sandra sama. Karena dia tak mau pegawai lain jadi membenci Sandra jika dia memperlakukannya berbeda. Biarlah dia dibenci oleh semua pegawai tetapi yang terpenting mereka bisa bekerja dengan seluruh kemampuan yang mereka punya.

“Saya tidak bisa memberikan kamu izin untuk resign sekarang. Hal ini harus dibicarakan dulu dengan Pak Joko. Lagipula sayang karirmu San, kau bukan lagi staf tapi posisimu sudah pejabat disini. Tidak mudah mencapai posisi itu. Banyak yang menginginkannya”. Pak Bambang menjelaskan panjang lebar dengan serius. Tak pernah Sandra melihat wajah Bemper khawatir seperti itu. Walaupun ada masalah dalam setiap pekerjaaan, Bemper selalu terlihat santai dengan rokok ditangannya. Tapi kali ini bicaranya sangat berhati-hati. Seperti bukan Bemper yang biasa, yang selalu meledak-ledak dan teriak-teriak jika marah dan santai jika ada masalah.

“Pak, tapi ini sudah saya pikirkan baik-baik. Seluruh keluarga saya juga sudah mengetahuinya. Justru karena merekalah alasan saya resign Pak.” Jawab Sandra Kenapa juga si Bemper ini jadi nahan surat gue?”, pikir Sandra.

“Tetap saya tidak bisa memberikan kamu izin untuk resign Sandra,” tegas Pak Bambang.

“Loh Pak, ya tidak bisa begitu dong pak, resign ini kan hak saya, kenapa Bapak menahan saya ?”, Sandra mencoba untuk bernegosiasi dengan Pak Bambang.  Ah sialan si Bemper, bikin masalah aja! Dipikirnya gue mainmain kali ngajuin surat ini. Dia gak tahu kondisi Bokap gue. Emosi gue jadi naik . Hadeh Sandra…sabar..sabar…

“Pokoknya saya minta kamu pikirin dulu masak-masak. Jangan sembarangan membuat keputusan yang nantinya berakhir dengan penyesalan. Masih bagus ini surat baru sampe di saya. Kalau sudah sampe di Pak Joko bisa habis kamu. Udah pokoknya saya kasih waktu kamu dua minggu buat berfikir. Kalo udah kamu pikirin masak-masak, kamu boleh balik lagi ke saya. Ini suratnya saya tahan disini. Ya sudah kamu sana kembali kerja. Hari ini kan nanti kita mau ada sosialisasi terkait pendidikan kamu kemarin ke pusat”. Bemper ngomong gak pake berenti, sampe ngos-ngosan. Sandra mulai naik pitam gegara kelakuan bosnya ini.

“Waduh ! apa-apaan ini? Kok bisa- bisanya dia nyuruh –nyuruh gue seenak jidatnya dia. Gak bisa begini! Gue gak mau kalo harus nunggu sampe dua minggu. Ga bisa.. GAK BISA! GAAK BISAA!! GAAAKKK BISAAAAA!!!”.

“San..San.., bangun Sayang…”.

“GAK BISA!! POKOKNYA GAK BISAAA!!!”.

“Sayaang! Bangun!, sayang ..kamu kenapa?”. Awan mencoba membangunkan Sandra dengan pelan dan terus menggoyangkan pundaknya.

“Aarghh..!“ Sandra mencoba terbangun dengan tertahan, perlahan membuka matanya dan melihat sekeliling.

“Mas, aku dimana?”, tanya Sandra masih setengah sadar.

“Kamu dikamar sama aku sayang..,” jawab Awan sambil menenangkan paniknya Sandra.

“Mas..aku, aku..huhuhu…hiks hiks”, Sandra mulai menangis. Awan yang semula tenang mulai panik melihat istrinya tiba-tiba nangis sesegukan.

“Sayang..kamu kenapa? cerita sama aku, ada apa?”, tanya Awan sambil mendesak Sandra. Awan mencoba mendudukan Sandra diujung tempat tidur lalu mengambil air putih untuk Sandra.

“Ayo minum dulu, tarik napas pelan-pelan lalu kamu ceritakan semuanya sama aku,” pinta Awan setenang mungkin.

“Mas, aku hiks..aku nggak dikasih izin buat resign..hiks hiks hiks..,” pekik Sandra tertahan.

“Hah? Gak dikasih izin resign? Maksud kamu apa sayang?”, tanya Awan kebingungan.

“Si Bemper gak ngasih aku izin buat resign mas, suratku ditahaan hiks,hiks..,” jawab Sandra masih sesegukan dan banjir air mata.

“Bhahahahahaha..!”, Awan tiba-tiba tertawa kencang sampai menahan sakit diperutnya.

“Kamu kok malah ketawa sih mas?”, Sandra mulai merajuk.

“Ya ampun sayaaang, jelas aja aku ketawa, lah wong kamu udah resign sejak sebulan yang lalu hahhahahaha…”

***

“Suatu masa kamu akan merasa bahwa masa lalu adalah perjalanan menuju masa kini dan masa depan. Tapi jangan pernah melawan masa karena tanpa kamu sadari masa itu sendiri yang akan menghampirimu tanpa sadar.”

Ternyata memasuki usia kepala empat itu butuh kesabaran extra -Sis Meilan

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.