Subur

Sebuah kisah pasangan muda yang baru saja menikah

Subur
Subur

Saya dan istri menikah pada November 2021 yang lalu. Perjalanan hidup dalam berumah tangga kami lalui dengan berbagai macam rasa. Bahagia, sedih, marah, semuanya ada. Yah.. Namanya juga berumah tangga. Apapun masalahnya harus dihadapi bersama. Saya sebagai suami selalu mengajak istri untuk mengutamakan komunikasi. Apapun yang terjadi, komunikasi adalah nomor satu. Walau cuma sekecil biji dzarrah. Sok iyes banget gue, padahal cuma suami yang baru ospek kemarin sore.

Sebulan setelah menikah, istri mengutarakan isi hatinya bahwa ia ingin segera mendapatkan momongan. Dengan menunduk dan wajah yang lesu ia berkata

"Sayang aku haid. Kok belum hamil ya? Aku pengen kita segera dapat momongan. Aku hawatir termakan usia, sehingga berpengaruh dengan sistem reproduksiku dan kita kesulitan untuk mendapatkan keturunan." pungkasnya.

Spontan saya menjawab sambil mengelus rambutnya

"biasa itu yang, namanya juga baru nikah. Usia pernikahan kita masih sangat muda. Nanti kita coba lagi ya. Semoga bulan depan sampean tidak haid"

Istripun terlihat sumringah, mungkin karena ia merasa saya setuju dengan keinginannya yang ingin segera memiliki momongan.

Memang, kami menikah tidak dalam usia muda. Bagi sebagian orang jawa, perempuan yang menikah di atas usia 25 tergolong nikah tua. Itu yang dialami istri saya. Kami menikah saat usianya menginjak angka 30 tahun. Saya menyadari, faktor itulah yang membuatnya segera ingin dapat momongan.

"Gimana kalau kita program kehamilan di dokter Subur? Kata teman-temanku di kantor, dokter Subur itu bagus loh yang, dan banyak yang berhasil." ia melontarkan pendapat kepada saya.

"O begitu, ya ayo kita coba. Segera cari info praktek dokter Subur. Apa besok aja kita langsung ke sana biar segera dapat momongan?"  sahut saya agar istri senang. Dipikir dokter subur bisa langsung cetak bayi kali ya. Haha...

"Ya ga bisa sayang, harus nunggu haidnya selesai dulu baru kita priksa ke dokter" ucapnya sambil tersenyum. Bodohnya saya. Hahaha. Namanya juga gak paham dengan dunia begituan. Yaaah... Harap maklum. Hihi.

"Oalah begitu ya. Okelah, kalau haidnya sudah selesai kita langsung tancap ke dokter Subur" kata saya.

Setelah saya googling ternyata dokter Subur memang dokter terkenal urusan kehamilan di kota saya. Hal ini membuat saya bertambah yakin bahwa dokter subur bisa membantu kami dalam mewujudkan impian ingin segera mendapatkan momongan.

Singkat cerita, istripun sudah boleh salat lagi dan tentunya masa haidnya sudah selesai.

"Sayang, aku udah suci. Nanti malam kita ke dokter ya? Prakteknya buka dari sore sampai jam delapan malam" ungkapnya pada saya dengan wajah sumringah penuh harapan.

Saya pun langsung memegang tangannya sambil mengatakan "oke sayang, nanti malam kita berangkat setelah salat Magrib aja, gimana?"

Ia langssung menjawab "Iya yang, biar gak kemalaman. Eh, tapi sampean punya uang gak buat bayar? Program hamil mahal loh yang. Aku kemarin lupa ngasi tau sampean kalau kita butuh uang banyak untuk program kehamilan" sahutnya dengan wajah cemas.

Saya langsung meyakinkannya "oh tenang untuk urusan itu yang. InsyaAllah ada rezeki kalau untuk istri dan calon anak kita. InsyaAllah, Allah cukupkan rezeki kita untuk kebutuhan kekuarga dan keturunan"  Istripun terlihat senang. Saya pun bahagia melihat istri senang.

Waktu menunjukkan pukul 15.00. Rasanya tak sabar menunggu waktu salat Magrib, karena ingin segera ke dokter. Daripada bosan menunggu, saya menghabiskan waktu untuk membuka kitab yang besok akan dijadikan materi kelas ngaji online saya.

Hingga pada akhirnya tibalah waktu salat Magrib. Selesai salat berjamaah, istripun dengan semangat langsung ganti pakaian, berdandan, bersiap-siap untuk meluncur ke tempat praktek dokter Subur. Demikian juga saya, ikut mempersiapkan diri.

Setelah mengikuti petunjuk Google Maps, akhirnya kami pun sampai di tempat tujuan. Ya. Tempat praktik dokter Subur.

"Selamat datang. Ada yang bisa kami bantu ibu?" sambut petugas yang ada di ruang depan tempat praktik. Pertanyaan itu dilayangkan kepada istri saya. Ya tentu saja. Karena diakhiri dengan sebutan ibu. Kalau sebutan bapak, baru pas ditujukan ke saya.

"Saya mau program hamil mbak." sahut istri saya.

"Baik. Sebelumnya apakah sudah pernah ke sini?" tanya si petugas. "Belum pernah. Ini baru pertama kali" sahut istri saya lagi.

Setelah petugas menanyakan data kami untuk kebutuhan administrasi, kami dipersilakan kami untuk menunggu antrian. "Silakan bapak ibu duduk dulu"

Tak berselang lama, nama kami dipanggil petugas. Kami dipersilakan masuk ke ruang dokter.

"Assalamualaikum" sapa dokter. Dengan berbarengan kami menjawab salam dokter "wa'alaikumsalam dok"

Dokternya ramah sekali.

"kenapa ini?" lanjut dokter mempertanyakan masud dan tujuan kami.

"ini dok, mau konsultasi program hamil" jawab istri.

"o ya... Udah berapa lama nikah?" sahut dokter Subur.

"baru satu bulan dok" jawab istri dengan tersipu malu.

"Lha kok buru-buru? Santai aja tho. Wong baru satu bulan. Dinikmati dulu aja" dokter Subur menimpali.

Saya tersenyum malu dan istri langsung menjawab "hehe... anu dok, usia saya dok. Jadinya pengen buru-buru punya baby"

"O begitu... Baik, saya periksa dulu ya" saut dokter Subur sambil mempersiapkan peralatan dengan dibantu perawatnya.

Setelah selesai memeriksa istri, dokter Subur memberikan arahan kepada kami untuk menjaga pola makan, pola tidur, juga memberikan resep obat yang harus dibeli untuk membantu program kehamilan.

"Sayang, semoga bulan depan aku hamil" ucap istri, saat saya sedang fokus mengemudikan mobil menuju arah pulang ke rumah usai dari tempat praktek dokter Subur. "Aamiin. Semoga Allah kabulkan semua niat baik dan hajat kita" sahut saya sambil tetap fokus berkendara.

Hari-hari berlalu. Perasaan ingin mendapatkan kabar baik untuk mendapatkan momongan tak dapat dibendung. Setiap malam sebelum tidur, saya selalu mengelus perut istri sambil berdoa "Ya Allah, karuniakan kami keturunan yang salih dan salihah, ahli ilmu, dan ahli kebaikan."

Doa itu selalu saya haturkan tidak hanya pada saat mengelus perut istri saja. Bahkan saat shalat, saat berkunjung ke tempat-tempat suci. Bahkan saat mengakhiri telepon dengan orang tua, saya selalu minta didoakan dengan doa yang sama. Saya dan orang tua tinggal di kota yang berbeda. Jadi, selalu saya telepon mereka untuk mengetahui kondisi orang tua dan bertanya kabar, juga untuk melepas rindu walau hanya lewat video call.

"Sayang, aku kok belum haid ya? Apa aku hamil?" Wah... Bahagia sekali mendengar kabar baik di pagi hari. Buru-buru saya menimpali "emang udah telat berapa hari?" tanya saya penuh antusias. "Udah tiga hari yang" jawab istri. "Berarti ini harusnya sudah waktunya haid ya?" lanjut saya untuk meyakinkan. "iya" jawabnya singkat. Masih belum percaya dan penasaran pertanyaan lanjutan saya utarakan "sebelumnya belum pernah telat kayak sekarang kan yang?" ujar saya dengan intonasi penuh semangat. "iya belum pernah sayang" jawab istri dengan wajah serius untuk meyakinkan saya. "Alhamdulillah, semoga positif hamil ya yang, biar kita segera punya anak" jawab saya penuh harapan sambil memegang tangan dan menatap matanya. "aamiin" pungkasnya sambil tersenyum. Lalu saya elus perut istri sambil berkata "Ya Allah semoga ada dedeknya ini" Istri terlihat tersenyum manja.

Kabar istri telat datang bulan itu segera saya sampaikan kepada orang tua saya. Saat itu kami sedang mudik, pulang ke rumah orang tua saya untuk kedua kalinya setelah menikah. Saat itu ummi (ibu saya) terlihat sedang sibuk membersihkan dapur. Tanpa basa-basi saya langsung saja mengabarkan "mi, istri telat" ucap saya singkat. Terlihat ummi menghentikan aktivitasnya sejenak setelah mendengar kabar itu. "Alhamdulillah nak" jawab umi juga singkat dengan wajah penuh harapan dan antusias. Saya pun kembali ke kamar dan meninggalkan ummi sendirian di dapur dengan langkah penuh semangat.

Sore hari menjelang salat Asar, istri terlihat gelisah dan raut wajahnya terlihat gusar. Kondisi seperti itu sangat asing bagi saya. Sebab istri termasuk orang yang periang. Niat hati ingin menanyakan kenapa dia begitu. Tapi ternyata seketika itu juga dia bilang "yang, aku haid." Sektika suasana menjadi hening. Saya pun terdiam. Bingung. Perasaan baru tadi pagi dapat kabar baik dan rasanya senang sekali. Kok sekarang dapat berita istri haid.

Ya. Memang bukan berita atau malasah besar, dan juga bukan kabar musibah. Tapi bagi saya, kabar ini sedikit tak mengenakkan. Namun saya berusaha terlihat tenang di hadapan istri. "emangnya udah haid beneran yank?" tanya saya. "iya, udah" jawabannya singkat dengan wajah menunduk. Saya kembali berusaha terlihat tenang dan mencoba menenangkan istri. "ya sudah yang, gapapa. Belom rezeki. Nanti kita coba lagi ya. Kita cuma bisa usaha. Ikhtiyar kita sudah, doa juga sudah. Urusan anak, adalah urusan penciptaan. Tentunya itu menjadi urusan Sang Pencipta" ujar saya sambil memeluknya.

"Tapi sampean gak kecewa kan sama aku?" tanya istri dengan wajah penuh gelisah. "nggak. Aku gak ada hak aku untuk kecewa. Kita harus menerima realita. Terima dan ridha dengan apa yang Tuhan tetapkan dalam kehidupan kita. Kalau belum waktunya, kita bisa apa? jawab saya sambil mengelus rambutnya." mau ribuan dokter Subur pun yang menolong kita, tapi kalau belum rezekinya, ya tetap gak dapat jatah. Tapi bukan berarti kita putus usaha. Ikhtiar tetap kita lanjutkan. Sampean yang tenang." sambung saya untuk meyakinkannya kalau saya memang benar-benar tidak kecewa demgannya.

"tapi yang, aku risih dengan pertanyaan orang-orang, tetangga, teman kerja. Mereka selalu nanyain udah ngisi apa belum? Udah nikah kok belum hamil juga?  " Sedikit terpancing emosi. Karena memang pertanyaan tersebut suka bikin istri bad mood dan saya yang terkena dampaknya. Tapi saya sadar, saya harus bersikap tenang dan menenangkan istri.

"yang, sudahlah. Tak perlu risau dengan pertanyaan dan pernyataan seperti itu. Jawab aja dengan menyuruh mereka untuk mendoakan kita agar segera dikaruniai anak. Aku gak mau loh sampean jadi stress, banyak pikiran hanya karena hal-hal yang begituan. Belum hamil bukan suatu aib" ucap saya sambil memegang erat tangannya dan menatap matanya dengan penuh cinta. Saya pun melanjutkan "hidup kita, kita yang jalani. Jangan sampai hidup kita berubah jadi neraka hanya karena omongan orang lain. Dulu kita sebelum menikah, kita selalu berdoa agar segera dipertemukan jodoh, berdoa agar segera menikah. Sampean tau sendiri kan perjuangan kita untuk sampai pada jenjang pernikahan seperti apa? Perjuangannya tidak sebentar. Makan waktu tahunan. Sekarang aku jodoh sampean, dan sampean jodohku. Sampean sudah jadi istriku, aku jadi suami sampean. Kita sudah sah suami istri. Dulu kita sering mengeluh karena gak nikah disebabkan belum ada jawaban dari orang tua. Sekarang kita sudah dapat ridha orang tua dan bisa hidup bersama. Mungkin Allah suruh kita menikmati masa-masa indah dulu. Allah suruh kita istirahat. Allah ingin kita kasi jeda dalam hidup ini. Karena mungkin kalau kita sampean hamil terburu-buru, kita tidak bisa menikmati masa-masa berdua seperti sekarang" ujar saya menguatkannya. Istri mulai terlihat tenang, tidak seperti di awal tadi. "tapi sampean janji ya gak bakal ninggalin aku?" lirihnya dengan mata berair. "iya. Sampean istriku. Apapun kondisinya, aku akan tetap membersamai sampean. InsyaAllah wa biiznillah" ucap saya dengan tenang namun tegas.

"Sudah. sampean yang tenang. Kalau banyak pikiran justru malah menghambat program kehamilan. Kalau mau hamil, pikiran dan perasaan harus bahagia. Gak boleh stress" ia mengangguk mengiyakan apa yang saya ucapkan sambil memeluk saya dengan erat. "makasih ya yang" ucapnya dengan suara sendu. Sayapun membalas pelukannya sambil mengecup keningnya.

"dah....mandi dulu gih, setelah ini kita keluar, jalan-jalan sore" ujar saya sambil tersenyum menutup pembicaraan. 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.