Seruwetnya Cinta

Seruwetnya Cinta

Seruwetnya Cinta

 

“Gw ngga mau. Gw cinta sama Sesha!” teriak Bano. “Ok tapi elo pikirin orangtua elo ya, kakak dan adik elo yang masih butuh hidup!” serang Lisya. Bano terdiam. Kata kata ini yang paling dibencinya. Orangtua, kakak dan adik Bano akan menanggung akibatnya.

 

———

 

“Temenin jemput kakak yuk, Mas!” rayu Sesha. “Ooo kamu punya kakak. Ngga pernah cerita,” kata Bano. “Ah mas ini. Kita kan baru seminggu jalan bareng. Masih banyak waktu untuk cerita. Makanya ikut jemput kakak ya supaya langsung kenalan sendiri,” pinta Sesha setengah memaksa. “Hari apa dan jam berapa? Aku harus cek scheduleku dulu,” jawab Bano. “Weekend kok...pasti bisa. Kan waktunya buat aku,” Sesha masih tetap merayu Bano. Bano tak kuasa bilang tidak karena benar yang dikatakan Sesha. Weekend pasti dibela belain semua buat Sesha walaupun kadang ada keperluan bersama keluarga. Bano selalu mendahulukan Sesha dan keluarga Bano bisa mengerti.

 

“Sesha!” Seorang gadis memanggil. “Kakak Lisya?” Sesha ragu-ragu bertanya. “Yesss…kamu masih kenal aku kan,” gadis itu berkata. “Ya ampun Kakakkk kenapa potong rambut pendek banget?” tanya Sesha. “Buang sial!”  gadis itu menjawab sambil tertawa. Sudah lama Sesha dan Lisya tidak bertemu karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan Lisya menetap di luar kota bertahun tahun lamanya. Untuk video call pun juga tidak pernah karena Lisya sibuk sekali. Tidak punya waktu untuk yang lain selain kerja dan kerjaKakak beradik yang hanya bertemu lewat suara. Walaupun demikian Sesha sangat sayang kepada kakak satu satunya yang cuek dan tidak pedulian. Tidak pernah ada cerita asmara selama tinggal di luar kota. Lisya memang seorang yang sangat workaholic. “Kenalin ini Bano, Kak,” pinta Sesha. “Bano,” memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Lisya menatap Bano. Lama. Ada rasa berbeda ketika melihat mata Bano. Rasa yang tidak pernah dirasakan sebelumnya tapi Lisya tidak tahu apa. “Lisya,” membalas uluran tangan Bano. Lisya seperti tersihir. Kaku. Tangannya tak mau lepas. Tapi Bano hanya memberi kesempatan tidak sampai sedetik untuk menikmati debar di dada. “Ayo, Kak. Pulang,” ajak Sesha. Sesha menggandeng tangan Bano di sebelah kanan dan menggandeng tangan Lisya di sebelah kiri. Bahagia sekali bisa berada di tengah dua orang yang amat  disayanginya.

 

Pelabuhan kembali sepi karena kapal yang membawa Lisya pulang sudah pergi. Kapal berikutnya akan datang sesuai jadwal. “Girls, tunggu di sini ya. Aku ambil mobil dulu,” kata Bano. Lisya dan Sesha menunggu di tempat bertuliskan ‘drop off’. “Hati-hati ya,” kata Sesha. “Kamu pasti sayang banget sama Bano sampai mau ambil mobil aja disuruh hati-hati,”  Lisya menggoda adik satu-satunya sambil tersenyum. “Kok ngga cerita udah punya pacar?” Tanya Lisya. “Baru seminggu, Kakak,” jawab Sesha dengan muka memerah.. “Bano juga tanya kenapa ngga cerita punya kakak terus aku jawab supaya kenalan sendiri aja,” Sesha berkata sambil tertawa. Lisya melihat muka Sesha begitu berseri-seri dan berkata dalam hati “oh seperti ini ya muka orang lagi ketiban cinta.” Refleks Lisya memegang mukanya ingin cepat-cepat sampai rumah dan ngaca! “Mobilnya udah dateng, Kak,” Sesha berkata sambil membawa koper Lisya dan memasukkannya di bagasi. Sesha duduk di depan di samping Bano. Lisya duduk di belakang. Matanya melihat keluar jendela. Sesekali melihat ke arah Bano. Dari awal bersalaman Lisya sudah terpikat. Bano gagah. Tidak banyak bicara. Pesona Bano berhasil membuat Sesha klepek-klepek dan sekarang dirinya pun terpesona.

 

Perjalanan terasa singkat. Lisya sempet tertidur. Goncangan ombak di laut ketika tengah malam membuatnya terjaga. “Sudah sampai. Welcome home sweet home, Kakak sayang. Kami semua merindukanmu,” Sesha berkata sambil membuka pintu mobil. Dengan sigap ia berjalan cepat ke bagasi, membuka pintunya dan mengeluarkan koper Lisya. Lisya pun cepat-cepat turun dari mobil, bergegas masuk ke rumah. Kerinduan yang memuncak. Rumah tempat menghabiskan masa kecilnya yang bahagia. Masih sama persis ketika Lisya harus meninggalkan rumah delapan tahun yang lalu. Lisya menuju kamarnya dan mencari cermin. Hal yang sangat ingin dilakukannya ketika di pelabuhan tadi. Ia memandangi mukanya. Confirmed! Berseri-seri.

 

Lisya keluar kamar. Ia mendengar suara orang berbicara. Lisya menuju ruang makan. “Pulang dulu ya, Kak,” pamit Bano. “Panggil Lisya aja. Kenapa buru-buru?” tanya Lisya. “Gantian mau ada acara sama keluarga,” jawab Bano. Tambah lagi pesona Bano. Sayang keluarga. “Terima kasih ya sudah jemput aku,” kata Lisya. “Ya, Kak. Sama-sama,” Bano menjawab. “Bapak, Ibu, saya pulang dulu,” pamit Bano kepada orang tua Sesha dan Lisya. “Terima kasih Nak Bano. Maaf sudah direpotkan,” Bapak dan Ibu berkata sambil menjabat tangan Bano. “Tidak apa-apa,” Bano berkata sambil tersenyum dan kemudian berjalan keluar rumah bersama Sesha. “Anak ku Lisya,” Ibu memeluk Lisya erat. “Tadi Ibu di kamar waktu kamu dateng. Sesha yang kasih tau Ibu. Begitu Ibu keluar kamar, kamu ngga ada,” Ibu berkata sambil melepaskan pelukannya. Rindu sudah terobati. Hatinya lega. Anak sulung  sudah kembali ke pangkuannya. “Bapak kangen, Nduk. Delapan tahun kamu ngga pernah pulang,” Bapak memeluk Lisya erat erat. “Jangan pindah keluar kota lagi ya. Kerja di sini saja,” Bapak memohon. Lisya mengangguk. Permohonan Bapak akan dikabulkannya. Lisya ngga mau jauh dari Bano. “Besok ikut Bapak ke kantor ya, Nduk!” pinta Bapak. “Maaf, Pak. Besok Lisya mau ketemu rekan bisnis. Sudah janji,” Lisya menolak ajakan bapak. “Rabu depan Lisya ke kantor bapak,” janji Lisya.

 

Alarm berbunyi nyaring. Lisya terbangun. Ia tidak ingin terlambat. Bergegas Lisya mandi dan kemudian sarapan. Bapak, Ibu, Sesha sudah berkumpul di ruang makan. Rutinitas keluarga di pagi hari yang tidak boleh dilewatkan. Bapak dan Ibu memang menjadikan sarapan sebagai ajang ngobrol untuk memulai hari dan makan malam sebagai penutup hari. Mereka bisa berbicara apa saja, dari curhat, curcol sampai becanda, dari sangat serius sampai tertawa lepas. Kebiasaan ini sudah dilakukan dari Lisya dan Sesha lahir. Suasana pagi ini lebih ramai karena kehadiran Lisya. “Buru-buru, Kak?” Sesha melihat kakaknya menghabiskan sarapan dengan cepat. “Iya Sha. Ada janji,” jawab Lisya. “Pelan-pelan saja makannya Lisya,” Ibu mengingatkan. “Lisya harus ketemu rekan bisnis jam 8, Bu!” Lisya menjelaskan kepada ibunya. “Mau bapak antar?” Bapak bertanya. “Ngga usah, Pak. Lisya setir sendiri saja.” Lisya menjawab. “Ok hati-hati tidak usah ngebut,” nasihat bapak. “Siap, Pak,” Lisya menenangkan bapak. “Lisya duluan ya, bapak, ibu, Sesha,” pamit Lisya. “Sampai ketemu nanti malam ya, Kak. Kita lanjut ngobrol lagi,” pinta Sesha. Lisya mengangguk, mengambil kunci mobil dan berangkat.

 

“Huft…sampai juga,” Lisya berkata kepada dirinya sendiri. Ia memarkir kendaraannya. Lisya masuk ke dalam gedung dan menaiki lift. Di lantai 10 ia keluar dan berjalan menuju receptionist. “Selamat pagi. Saya Lisya sudah ada janji bertemu dengan Bapak Kin,” Lisya memperkenalkan diri. “Baik. Mohon ditunggu,” kata seorang wanita di balik meja. Wanita itu masuk ke dalam dan tidak berapa lama keluar. “Mari ikut saya,” ajak wanita separo baya itu. Lisya mengikuti receptionis kantor tersebut. Mereka masuk ke ruangan besar dengan banyak bilik. Sampailah di depan pintu kayu besar, wanita  itu mengetuk pintu. “Masuk,” suara pria terdengar. Lisya membuka pintu. “Apa kabar Pak Kin?” tanya Lisya. “Lama sekali tidak bertemu,” Lisya menghampiri seorang pria dengan perawakan besar, mengulurkan tangan dan tersenyum. “Welcome back Lisya,” sambut Pak Kin. Ia membalas uluran tangan Lisya. “Akhirnya proyek kita yang tertunda bisa berjalan lagi,” Pak Kin  tertawa senang. Terdengar suara ketukan di pintu kemudian pintu dibuka. Seorang anak muda memasuki ruangan. “Bano!” teriak Lisya kaget. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Lisya!” Bano pun melakukan hal yang sama. Kaget melihat Lisya. “Kalian sudah saling kenal?” Pak Kin bertanya sambil melihat Bano dan Lisya bergantian. “Sudah, Pak. Lisya kakaknya Sesha,” jawab Bano. “Ngapain di sini?” Lisya bertanya kepada Bano. Masih tidak percaya sosok gagah yang berdiri tepat di depannya adalah Bano. “Pak Kin bapakku,”  Bano menjawab pertanyaan Lisya. “Ya benar Lisya. Bano adalah anak saya. Saya meminta Bano untuk ikut terlibat dalam proyek kita,” Pak Kin memberi penjelasan kepada Lisya. Tersadar dari rasa kagetnya, Lisya berkata, “ide yang sangat bagus, Pak Kin. Saya setuju sekali”. Ingin rasanya Lisya melompat dan memeluk Bano. Impian memiliki Bano seutuhnya ada di genggaman tangan.

 

“Bano, aku harus bicara sama kamu. Empat mata. Temui aku di Burger Corner jam 10 besok pagi,” Lisya meminta Bano menemuinya. “Jangan ajak Sesha. Ingat empat mata,” Lisya memohon kepada Bano. Bano tak ingin menemui Lisya. Jauh di dalam lubuk hatinya sungguh tak ingin. Apalagi hanya berdua saja. Entah apa yang ingin dibicarakan. Bano tak tertarik. Tapi sebelum Bano menjawab tidak, Lisya sudah mematikan telpon. Pertanda perintah yang harus dilakukan mau atau tidak mau. Tidak seperti biasanya Bano terjaga sepanjang malam. Pikirannya penuh dengan tanda tanya. Ia menduga-duga apa yang besok Lisya ingin bicarakan. Begitu pula dengan Lisya yang tidak bisa memejamkan mata. Ia membolak balikkan badannya ke kanan dan ke kiri, berusaha untuk memasuki alam mimpi tapi tak bisa juga. Ia memikirkan Bano. Lisya sedang mempersiapkan kata-kata dan hatinya untuk bertemu Bano besok. Lisya tidak peduli. Bano harus jadi miliknya!

 

Jam 09.30 Lisya sudah sampai di Burger Corner. Sengaja datang lebih awal agar bisa memilih meja di pojokan. Lisya ingin pembicaraan maha penting ini tidak terganggu oleh lalu lalang pengunjung. Meja pojok memang sudut favorit Lisya setiap kali ia datang ke sini. Ia bisa menghabiskan waktu seharian. Sendirian. Baca buku sambil makan burger adalah dua hal yang sering Lisya lakukan. Ia merasa tempat ini adalah rumah keduanya. Lisya melihat Bano datang. Lisya melambaikan tangan memberi tanda. Bano menghampiri dan duduk menghadap Lisya. Muka Bano terlihat serius. Lisya masih sibuk menghabiskan kentang gorengnya. “Mau pesan apa?” tanya Lisya kepada Bano. “Ngga usah. Gw masih kenyang,” jawab Bano. “Mau bicara apa?” Bano bertanya dengan ketus. “Gw buru-buru. Mau ke kantor bapak,” nada suara Bano semakin ketus terdengar. “Aku mau bicara mengenai proyek kita,” Lisya memulai pembicaraan. “Pak Kin belum bisa memberikan separo modal padahal banyak klien yang sudah meminta proyek berjalan,” sambung Lisya. “Aku bisa menanggung modal sepenuhnya dengan satu syarat,” Lisya menambahkan. “Apa syaratnya?” Bano bertanya ingin tahu. “Kamu,” Lisya menjawab sambil menatap mata Bano dalam dalam. “Maksud elo...,” Bano tak sanggup melanjutkan perkataannya. “Iya, maksudku, kamu jadi pasanganku maka Pak Kin tidak perlu mengeluarkan modal sepeser pun sehingga proyek dapat berjalan sesuai rencana,” terang Lisya. “Elo gila, Lisya!” nada suara Bano penuh dengan amarah. “Gw ngga mau. Gw cinta sama Sesha!”, teriak Bano. “Ok tapi elo pikirin orangtua elo ya, kakak dan adik elo yang masih butuh hidup!” serang Lisya. Bano terdiam. Kata kata ini yang paling dibencinya. Orangtua, kakak dan adik Bano akan menanggung akibatnya. Bano berdiri. Meninggalkan Lisya. Seperti orang limbung ia pergi. Tanpa tujuan ia memacu mobilnya. Ia mencari tempat untuk menjerit. Ingin sekali Bano menelepon Sesha dan mencurahkan isi hati tapi ia menahan diri. Sesha tidak pantas untuk disakiti. Aku terlalu mencintai Sesha. Terbayang wajah Sesha yang begitu lembut selembut hati Sesha.

 

Telpon genggam Bano berbunyi. Nama Lisya muncul di layar. Bano mengangkat telponnya dan berkata tegas, “pasti ada jalan lain, Sya!” “Tidak ada,” Lisya pun tak kalah tegas berkata. “Sudah jelas buat kamu, Bano. Apa masih perlu aku perjelas lagi?!” Lisya tak mau kompromi. “Tidak perlu!” suara Bano meninggi. “Temui aku lagi di rumah  jam 5 sore besok,” pinta Lisya. “Ada dokumen yang harus kamu baca sebelum aku kasih ke Pak Kin,” Lisya memohon kepada Bano. Sekali lagi, Bano tak kuasa menolak. Terlebih Lisya menyebut nama Pak Kin yang tak lain adalah  bapaknya. Proyek ini adalah proyek yang sangat dinantikan oleh bapak. Bertahun-tahun bapak menunggu saat yang tepat untuk memulainya. Bano baru tahu kalau bapak dan Lisya adalah rekan bisnis puluhan tahun yang lalu. Proyek belum bisa dilaksanakan karena Lisya masih terikat kontrak kerja di luar kota.

 

Bano terlambat. Sudah jam 5 lewat. Ia tak tertarik dengan apa yang akan dibacanya. Semata-mata ia datang demi kelancaran bisnis bapak. Bano membuka pintu pagar. Langkahnya berat memasuki rumah Lisya. Biasanya ia datang ke rumah ini dengan berbunga-bunga karena ia tahu Sesha sudah menunggu dengan senyum manis sambil membuka tangan lebar-lebar minta dipelukTapi kali ini bukan Sesha yang menyambutnya. Bano menuju pintu depan. Mengetuk pintu. Tak berapa lama Lisya membuka pintu. Mempersilahkan Bano masuk dan duduk di ruang tamu. “Sebentar ya,”  Lisya meminta Bano menunggu. Bano hanya terdiam. Lisya kembali dengan setumpuk dokumen dan diserahkan ke Bano sambil berkata, “tolong dibaca baik-baik.”Bano mengambil dari tangan Lisya. Ia membuka lembar demi lembar. Ada namanya tertera di sana. Bano tidak menyangka bapak  sudah menyiapkan proyek ini buat Bano. Bapak ingin Bano yang menjalankan proyek ini. Artinya Bano yang akan memimpin bersama Lisya. “Oh, tidak!” jerit Bano dalam hati. Belum sampai Bano membaca lembar terakhir, pintu depan terbuka. 

 

“Sudah pulang?” suara Lisya memecah keheningan. “Mas Bano! Aku tidak melihat mobil kamu di depan,” Sesha benar-benar tidak percaya dengan penglihatannya. Sesha masuk dengan seorang pria. Tak kalah gagahnya dengan Bano. “Aku datang ke sini disuruh Lisya untuk membaca dokumen proyek,” terang Bano. “Sama siapa, Sha?” jelas terdengar nada cemburu pada suara Bano. “Oh iya, kenalin ini Bian. Anak teman kuliah bapakku,” jawab Sesha. “Bian,” sambil mengulurkan tangan ke Bano. Bano membalas dan menjabat tangan Bian dengan cepat. Gemuruh amarah meluap. Dengan suara nyaring Bano bertanya kepada Sesha, “kenapa kamu ngga bilang kalau pergi sama laki-laki ini?” Sesha tercekat. Ia tahu Bano murka. Sesha tahu dirinya salah tapi keadaan yang lebih harus disalahkan. “Aku diminta bapak untuk menemani Bian,” kata Sesha lirih. “Aku menjaga perasaan kamu, Mas,” tambah Sesha dengan wajah sendu. “Aku memang sengaja ngga bilang. Aku ngga mau cari gara-gara dan kamu salah paham,” Sesha menjelaskan dengan hati-hati. Sungguh Sesha tidak ingin menyakiti hati Bano walaupun Sesha tahu Bano akan sangat terluka dengan kenyataan yang akan diterimanya. 

 

“Momennya pas nih. Berempat sudah kumpul. Kita bicara aja sekarang,” ajak Lisya. Bano duduk di sebelah Sesha. Ia selalu ingin berada di samping wanita idamannya. No matter what. Lisya membuka pembicaraan, “aku tahu apa yang akan aku bicarakan ini akan membuat beberapa pihak tidak menerima tapi keadaan tidak memberikan pilihan.” Bian adalah anak sahabat bapak dari mereka duduk di bangku SMA. Sampai kuliah mereka masih bersama. Bapaknya Bian banyak membantu bapak terutama ketika bapak di masa sulit. Bapak merasa hutang budi dan mereka pun  sepakat untuk menjodohkan anak mereka. Aku bilang sama Bapak kalau dijodohkan aku ngga mau pulang sampai kapan pun. Bapak mengalah tidak memaksa aku lagi karena bapak ingin aku pulang  berkumpul kembali bersama keluarga. Dan perjodohan jatuh ke Sesha. Sesha menolak. Bapak kecewa dan sempat mengurung diri tidak mau makan. Sebagai anak bungsu, Sesha harus menjalankan amanat bapak. Sesha setuju untuk kebahagiaan bapak. Hari ini Bian datang untuk berkenalan langsung dengan Sesha sekalian mengantar Sesha mengambil pesanan kue.” Lisya menerangkan dengan panjang lebar. Bano mematung. Ia berharap sedang bermimpi, salah dengar atau mendadak tuli. Ia tak sanggup mengeluarkan kata satu pun. Lisya melanjutkan pembicaraan, “aku sudah minta Bano untuk menjadi milikku. Bano tidak mau. Tapi demi kelangsungan hidup keluarganya, aku memohon Bano bersedia menerimanya,” Lisya berkata sambil melirik ke arah Bano. Lisya tahu Bano sedang menahan amarah. Lisya siap dimaki Bano. Sejahat apa pun perlakuan Bano kepada Lisya, Lisya harus bisa menerimanya. Lisya ingin menunjukkan kepada Bano kesungguhan hatinya. Sesha hanya diam membisu. Kepalanya tertunduk. Sesha tidak bisa membendung airmata Ia menangis sejadi jadinya. Sesha sangat mencintai Bano tapi ia tidak ingin bahagianya bersama Bano mengorbankan perasaan bapak yang juga amat dicintainya. “Terimalah permintaankak Lisya, Mas,” Sesha memohon kepada Bano. “Kamu pasti lebih bahagia bersama kakak,” Sesha meyakinkan Bano. Ia menggenggam tangan Bano. “Pergilah. Aku rela,” tangis Sesha kembali meledak. Bano tak sanggup melihat Sesha menangis terlebih menatap matanya. Tapi Bano harus kuat. Ia tidak mau mengeluarkan airmata di depan Sesha. Bano mengangkat wajah Sesha dengan tangan, melihat mata dan memeluk Sesha sangat erat. Kemudian ia melangkah keluar sebelum meluapkan sesak di dada.

 

Bano yakin hati Sesha hanya untuknya sebagaimana hatinya hanya milik Sesha seorang. Bano akan membiarkan Sesha pergi dan berharap suatu saat nanti akan kembali. Aku tidak sanggup berbicara. Tatapan kami berdua sudah menjelaskan semuanya. Hanya pelukan sebagai tanda cukup sampai di sini. Aku tidak bisa merasakan apa-apa,  rasa cinta seketika hilang tergantikan oleh perih menyengat hati. Terlalu terluka. Aku berada di titik tidak tahu lagi artinya cinta. Yang aku tahu hanya ingin membahagiakan orang-orang tercinta, yaitu bapak, ibu, kakak dan adikku.  

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.