Warung Atet

Ekonomi dan emosi takkan pernah bagus bila tercampur aduk.

Warung Atet
Di pojok tikungan itu ada warung yang lumayan bisa jadi warung idolaku. Dikenal sebagai Warung Atet, sesuai dengan nama pemiliknya. Lokasinya lumayan dekat, sekitar 100 meter saja dari rumahku. Sebagai warung sembako, dia cukup lengkap. Menyediakan juga air mineral berbagai ukuran sampai galon, gas elpiji, juga kelapa untuk santan yang bisa dikupas dan diparut dadakan di tempat. Beras dan sejenisnya ada tak terbilang.
 
Selain itu, pelanggan juga bisa beli token listrik dan pulsa ponsel. Fasilitas penting yang dekat rumah macam begini sungguh menyenangkan hatiku. Meski proses pembelian token atau pulsa bisa berjalan sangat lambat, dan nomer tokennya ditulis seadanya di sobekan karton slop rokok alih-alih berbentuk slip khusus.
 
Proses lambat bukan saja karena Bu Atet yang melayani pembelian tak secanggih petugas di konter khusus token & ponsel. Tapi, juga karena ia tak memakai ponsel tersendiri untuk bisnis ini. Ia selalu harus cari tahu lebih dahulu di antara tiga anaknya, yang manakah yang sedang main gim dengan ponselnya. Setelah ketemu, kadang baterai-nya sudah mepet. Heboh lagi cari charger ponsel. Bisa jadi proses pembelian berlangsung di kamar sebelah, karena colokan listrik yang bisa dipakai berada di situ. Pembicaraan antarkami berlangsung dengan saling teriak.
 
Anak bungsu Bu Atet yang masih balita sangat benci padaku. Karena, dialah yang paling merasa terganggu main ponselnya kalau aku datang beli pulsa atau token. Meskipun yang sejatinya memainkan adalah kakak perempuannya, sementara dia hanya menonton. Dia memang anak bontot yang manja, yang suka seenaknya dan sering keluyuran tanpa celana sehingga burungnya nyaris terbang lepas sampai bikin panik ibunya.
 
"Sana pulang!" ia selalu menghardikku. Kuanggap sepi sajalah, sebagaimana pula ibunya.
 
Tadi kubilang bahwa warung itu ada di pojok tikungan kan. Kalau aku pulang naik ojol, aku sering berbelok di situ. Kalau aku naik taksi online, biasanya aku cukup turun di depan Warung Atet karena tikungannya sempit. Sesekali saja kalau hujan, barulah aku minta supir belok di tikungan yang tak hanya sempit tapi juga tanggung tersebut. Seperti yang terjadi di suatu malam tertentu itu.
 
Dari kejauhan sudah terlihat bahwa di depan Warung Atet yang berada di kiri jalan, sebuah mobil tampak terparkir. Bukan hal baru sebenarnya, tapi yang ini hidungnya sedikit menutupi mulut gang. Akibatnya, taksi online-ku mengalami kesulitan untuk berbelok ke kiri.  Hujan makin keras, tapi kurasa tak sopan kalau hanya klakson-klakson. Maka itu, aku turun dan minta Pak Atet untuk memundurkan mobil yang ternyata milik kerabatnya yang sedang berkunjung.
 
"Iya, nanti!!!" kata Pak Atet ketus tanpa menggeser pantatnya.
 
Setiap kali kuminta, semakin ketus jawaban nanti-nya sementara kulihat pantatnya semakin kuat tertancap di tempatnya duduk. Tiap kali minta aku memakai kata ‘tolong’ lho! Akhirnya, aku yang menyerah. Sambil memeluk ransel yang antara lain berisi laptop, kuterjang hujan yang makin deras. Mana tak bawa payung pula…
 
Bagiku, peristiwa itu kuanggap selesai sampai di situ. Tapi, buat keluarga Atet tak begitu adanya. Beberapa hari kemudian, lagi-lagi hujan meski hanya gerimis. Aku pulang dengan taksi online yang supirnya tak rela aku kehujanan meski kubilang tak mengapa. Tak ada mobil diparkir di depan Warung Atet. Di bagian depan warung kulihat Bu Atet sedang sibuk melayani pembeli kelapa parut.
 
Supir pun membelokkan mobilnya di tikungan itu. Sayang ia tak terlalu pandai, hitungannya rada meleset sehingga ban kiri belakang nyaris masuk ke got kering di pojok warung Atet. Sedikit meluruhkan tembok got yang terbuat dari semen yang sudah melunak. Tak enak hati, aku berniat untuk minta maaf ke Bu Atet. Saat jendela mobil hendak kubuka, kulihat Bu Atet memandang sengit ke arahku. Entah apakan dia bisa melihatku melalui kaca yang agak gelap di dalam mobil yang gelap atau tidak. Tapi, kelihatannya dia tahu aku ada di dalam mobil.
 
"Jalan sedikit aja nggak pernah mau dia itu," katanya ketus memberi tahu pembeli kelapanya, sambil menunjuk ke arah mobil di mana aku berada dengan cibiran bibirnya.
 
Jendela yang sudah sedikit terbuka mengantar angin membawa makiannya ke telingaku.  Eee... Ya sudah, tak jadi minta maaf. Lagi-lagi, kuanggap urusan selesai. Maka, satu hari aku pun masih kembali belanja ke sana.
 
"Mau apa!!!" sergah Pak Atet yang berdiri gagah di depan warungnya, bahkan sebelum cangapku membuka untuk mengucap salam.
 
"Beli kecap," sahutku sedikit terkejut.
 
Pak Atet diam saja. Aku langsung masuk ke warung, menuju rak tempat botol-botol kecil kecap berdiri berantakan. Kuraih satu sambil berpikir, emosian amat sih si bapak. Aku hampiri deretan kotak-kotak beras yang memisahkan antara pembeli dan Bu Atet. Si ibu tengah melayani pembeli lain.
 
Sambil menunggu, aku yang masih kesal dengan sikap Pa Atet berpikir: ngapain juga aku masih mau belanja di warung koplak ini. Kecap yang semula di tanganku segera kuletakan tegak lurus di puncak gunungan beras pada salah satu kotak. Tanpa berucap apa-apa, kutinggalkan Warung Atet untuk tak pernah kembali lagi.
 
Aku punya prinsip bahwa lebih baik belanja di warung terdekat untuk mendukung ekonomi rakyat setempat. Di samping tentunya mendukung kemalasan berjalan lebih jauh ke swalayan mini dengan nama-nama terkenal, atau warung-warung lainnya yang sebenarnya tak kurang. Tapi, daripada mendukung ekonomi pemilik warung emosian gara-gara satu kali saja diminta untuk minggirin mobil, ya mending jalan jauhan dikit. Hitung-hitung olahragalah ya, hiburku pada diri sendiri.   =^.^=

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.