Semburat Asmara Di Negeri Cina

Cerita Cinta

Semburat Asmara Di Negeri Cina
by. virisatraproduction @michaelvirisatra

Namaku Ivonne Setya Christiani. Menikah dengan seorang pria dan dikarunia dua orang putra  yang sehat dan ganteng. Agak berat bebanku menyandang nama yang kupunya. Kalian tahu kan maksudku. Orang tuaku pasti berharap aku menjadi seorang wanita Kristen yang setia. Setia kepada pasangan, keluarga, bangsa dan negara, terlebih kepada Tuhan.

Aku ingat sekali mamaku sering berkata, “Jenengmu kui dongaku lho nDuk. Ati-ati leh mu nglakoni uripmu yo. Gusti kudu dadi sing utama.”

Kira-kira dalam Bahasa Indonesia artinya seperti ini, “Namamu itu adalah doaku lho Nak. Hati-hati dalam menjalani hidupmu, Tuhan harus jadi yang utama.”

Tentu saja sebagai seorang anak yang baik, taat dan hormat pada orang tua, aku selalu berusaha untuk menjalankan pesan Mama dalam setiap langkah hidupku. Tapi Yah, seperti yang aku bilang di awal tadi, berat rasanya menanggung nama itu. Iman kuat, tapi daging lemah. Salah satunya seperti yang aku ceritakan di bawah ini.

---------------0oo0--------------------

Tergesa aku menuju lift dan menekan tombol tanda ke atas. Pagi ini aku bangun kesiangan. Semalam baru tiba di rumah jam 1 pagi karena harus supervise pemotretan untuk content website salah satu brand yang sedang kami develop. Pintu lift terbuka, aku masuk dan menekan tombol angka 6. Tempat kerjaku ada di lantai 6 wing kanan, dimana tim Marketing, Sales & Distribution dan Procurement berada. Sementara di wing kiri berisi tim Medical, Finance, dan HR.

“Hai, wait,” teriak seseorang minta pinta lift untuk ditahan. Aku pun menekan tombol tanda hold.

“Thank you. Eh, kamu Von, morning,” kata orang itu. Ternyata dia temen kantorku yang tiga tahun lalu dipindahtugaskan ke kantor pusat di Belanda.

‘Hai Hen, apa kabar ? Long time no see,” kataku membalas sapaannya sambil tersenyum. Kata teman-temanku senyumanku itu manis tapi pahit. Manis untuk dilihat, tapi pahit karena tidak bisa dijilat. Sialan memang mereka. Suka asal kalau memberikan pendapatnya.

“Baik Von. Aku sudah kembali ke Indonesia lagi sekarang. Tapi bakalan bolak-balik Jakarta, Yogyakarta, Singapura.” Kata Hendra.

“Cool. Sekarang bakal lamakah di Jakarta ?” Tanyaku

Ting. Suara lift menandakan kami tiba di lantai yang kami tuju.

“Lunch bareng ? Kita lanjut ngobrolnya nanti, “ katanya sambil menatapku.

“Yup,” kataku ringan.

Dan begitulah. Siang itu kami lunch bareng, ngobrol panjang lebar. Dari situ aku tahu kalau dia akan ada di Jakarta selama dua minggu, kemudian ke Yogya selama 2 minggu, ke Singapura selama dua minggu dan balik lagi ke Jakarta.

Oh iya, kalian belum kenal dengan laki-laki ini. Namanya Hendra Yudhistira Perkasa. Menurutku namanya keren banget, sekeren orangnya. Tubuhnya yang tniggi atletis, wajah tampan, kulit kecoklatan bersih, hidung mancung seperti hidung orang bule, bola mata kecoklatan yang terbingkai indah dengan alis mata yang lurus tebal. Pembawaannya santai, periang dan humoris. Mungkin dia sanguin ekstrovert, jadi selalu dengan gampang mencairkan suasana di manapun dia berada, bahkan di lingkungan yang baru buat dia. Kalau dia ada disuatu perkumpulan sekelompok orang, pasti dia akan seperti magnet. Semua orang akan terpusat padanya.

Ah, apakah aku berlebihan menilainya ? atau jangan-jangan aku ada rasa ?

Kata orang hati-hati dengan hati. Tersentuh sedikit saja bisa jadi benci atau malah cinta setengah mati.

Aku kenal Hendra sudah cukup lama, sejak aku bergabung dengan perusahaan ini dia sudah ada duluan. Tapi karena kami di divisi yang berbeda dan kemudian dia dipindahtugaskan ke Belanda, maka intensitas komunikasi dan pertemuan kami pun amat sangat kecil. Dia menikah dan punya seorang anak perempuan. Aku pernah bertemu dan berkenalan dengan istrinya di sebuah acara kantor kami. Mungil, cantik, berkulit putih dan masih keturunan darah biru  keluarga Raja Solo.

Selama dia di Jakarta kami sering janjian makan siang bareng atau sekedar ngopi sepulang kantor. Kalau dia  di Yogya atau Singapura, obrolan kami berlanjut via skype. Tidak ada yang istimewa dari obrolan kami. Topik yang sering kami obrolkan biasanya seputar kantor dan intriknya, situasi sosial politik yang sedang menhangat dan ekonomi global yang berpengaruh besar pada bisnis perusahaan tempat kami bekerja. Sering juga kami ngobrol tentang destinasi wisata yang kami masing-masing ingin kunjungi karena belum pernah ke tempat itu.

Tidak pernah sekalipun kami membicarakan tentang kondisi keluarga ataupun curhat tentang pasangan. Sepertinya kami memang sama-sama menghindari pembicaraan tentang hal itu.

Pernah aku dengar seorang Bapak menasihati anaknya di sebuah pesawat ketika aku sedang dalam perjalan ke Lombok. Aku bisa mendengar karena kami duduk sederet. Begini katanya, “Setiap pasangan dan keluarga pasti mempunyai masalah, tapi jangan sekali-kali kamu membicarakan masalah keluargamu  terlebih masalah dengan pasanganmu, dengan orang lain, apalagi lawan jenis.”

“Kenapa Pak ?” tanya anaknya.

“Karena orang itu pasti akan mencoba bersimpati bahkan berempati dengan masalah yang sedang kamu hadapi. Lalu kamu akan merasa nyaman cerita ke orang itu dan kamu pun tidak dapt menghindar untuk jatuh hati padanya.” Kata Bapak itu kepada anaknya.

Hhhm..berawal dari simpati, berlanjut dengan memberi empati lalu jatuh hati. Well, bisa jadi itu benar adanya. Tapi aku selalu meyakinkan diriku bahwa itu tidak akan pernah terjadi padaku.

 

Semusim sudah intensitas komunikasi kami terjalin dengan sangat baik. Sampai pada suatu siang ketika kami makan siang bareng, kami ngobrol tentang destinasi wisata yang menarik untuk dikunjungi. Tibet adalah salah satu tempat yang kami perbincangkan dengan penuh semangat.

“By the way, aku ada business trip ke Cina next month. Udah pernah ke Cina          belum ?” tanya Hendra sambil mengaduk vanilla ice cream sebagai dessertnya.

“Belum. Keknya ribet ya, karena kata temanku yang ngerti Bahasa Inggris  dikit banget di sana. Hampir sebagian besar signage di public area  menggunakan huruf                      Mandarin, “ kataku.

Dia berhenti menyuap es krimnya.

“Really ? Yuk coba kita ke sana. Banyak tempat menarik dan bersejarah juga kan di Cina.” Kata Hendra sambil menatapku

“Mmmm, menarik juga sih. Tapi budget travellingku sudah kepake Christmas kemarin,” kata bibirku berbohong, berharap dia tidak melanjutkan rencana itu. Sementara hatiku berkata, “Mau.mau. Pasti seru travelling sama kamu di tempat yang belum pernah aku kunjungi.”

“Ah, sudahlah. Gak usah dipikirin. Yang penting kamu siapin aja visanya and I will do the rest. “ katanya sambil menatapku seakan ingin menembus langsung ke dalam hatiku.

“Jangan ah, ntar aku jadi keenakan,” bohong bibirku lagi, sementara hatiku berkata. “Yes, why not. Sure I’ll prepare it.”

Tiba-tiba Hendra memegang tanganku. Ya, kami duduk bersebelahan.

Come on Von. Gak usah kuatir. Gak akan terjadi apa-apa. I promise,” katanya sambil tangannya masih memegang tanganku dan matanya menatapku lembut.

Uh, mata itu. I can’t resist the charm.

“Aku pikirin dulu boleh ya. Besok aku kabarin.” Kataku.

“Coba ya, coba ya. Ivonne Setya Christiani ingat pesen Mama” bisik hatiku berkali-kali setiap memikirkan tawaran menarik Hendra. Selain memang aku suka travelling, Cina memang salah satu destinasi yang ingin aku kunjungi.  Lagipula dia sudah janji tidak akan terjadi apa-apa. Kenapa mesti takut, kenapa mesti kuatir ? Suami juga pasti mengijinkan kalau aku bilang ada tugas keluar karena memang kerjaanku mengharuskan aku sering ke luar kota.

“Tapi kan jadi bohong. Tapi kan seru. Tapi kan aku mau.” Begitulah perang di hati kecilku.

----------------o0o---------------

 

“Hai, sudah lama ? sapa Hendra

“Lumayan. Ada mungkin setengah jam.” Kataku sambil menggeser tasku agar Hendra bisa duduk disampingku.

Pesawat yang kami tumpangi masih 1 jam lagi boarding, jadi kami menunggu di salah satu coffee shop yang ada. Kebetulan aku juga belum sempat sarapan tadi.

Yup, kami menuju bandara Pu Dong di Shanghai hari ini dan perjalanan diperkirakan memakan waktu 5 jam. Kami akan tiba di tujuan kira-kira pukul 5 sore waktu setempat.

“Jadi gini rencananya Von, begitu tiba di airport kita akan naik taksi ke hotel yang sudah aku booking. Naik taksi lebih aman menurutku karena kita kan belum tahu situasi dan kondisi kota Shanghai. Aku juga belum sempat pelajari trasportasi publiknya bagaimana.” Hendra menerangkan rencana hari itu.

“OK,” kataku pendek. Jujur aku sedang sibuk mengatur ritme detak jantungku yang tidak beraturan. Perasaan excited, kuatir, takut, merasa bersalah silih berganti memenuhi ruang pikiran dan hatiku.

“Malam ini kita makan di hotel saja. Besok pagi aku harus ke exhibition mungkin sampai jam 4 sore. Kamu aku tinggal dulu gak papa kan ?” katanya sambil membuka schedule di gadgetnya.

“it’s OK. Aku bisa explore city. Kan udah biasa juga jalan sendiri. I’ll be fine” kataku sambil membuka-buka buku Lonely Planet China yang sengaja aku bawa.

‘Yuk, boarding kita,” lanjutku sambil memasukkan bukuku ke dalam tas tentang dan mengambil boarding pass serta passport dari dalamnya.

Kami segera masuk pesawat, karena kami masing-masing memiliki kartu Frequent Flyer, jadi tidak perlu mengikuti antrian masuk. Pada waktu check-in kami tidak bersamaan, maka tempat duduk kami juga tidak bersebelahan. Lima jam tidak berasa lama dengan semua suguhan makanan dan minuman serta in flight entertainment yang beragam. Pesawat pun mendarat dengan mulus di Pu Dong Shanghai Airport.

Ah, tak perlu tergesa-gesa turun pikirku, toh tidak sedang mengejar waktu. Lagipula tempat dudukku ada di barisan tengah, sehingga mau tidak mau memang harus menunggu barisan depan keluar terlebih dahulu.

Penumpang dalam pesawat ini boleh dibilang sangat tertib. Tidak ada satu orang pun yang buru-buru berdiri mengambil bawaan mereka dari dalam compartment. Sangat berbeda dengan penumpang pesawat yang pernah aku temui dalam penerbangan dari Jordan ke Mesir dan sebaliknya. Dalam penerbangan itu, ketika pesawat sudah touch down di landasan, maka tidak berapa lama kemudian suara seat belt dibuka pun bersahut-sahutan dan para penumpang itu pun berdirilah. Sungguh pemandangan yang menakjubkan, seperti penumpang bus yang bergelantungan. Padahal sudah ada announcement bahwa penumpang diharapkan tetap duduk dan menggunakan sabuk pengaman sampai pesawat benar-benar berhenti di tempat yang sudah ditentukan.

Pesawatku pun berhenti dengan sempurna. Mataku menangkap sosok Hemdra yang sedang berdiri beberapa baris di depanku, dengan tangan terjulur membuka compartment di atas kepalanya. Tubuhnya yang tinggi atletis cukup menonjol di antara barisan penumpang yang rata-rata dari Asia. Aku lihat dia sempat menoleh ke arah barisan di belakangnya. Mungkin berusaha mencariku.

Akhirnya barisanku bisa mulai bergerak keluar. Kuikuti sosok Hendra yang berjalan agak jauh di depanku. Toh nanti pasti ketemu pada waktu mengambil bagasi, jadi aku tidak perlu berusaha mengejarnya.

Dan benar juga, kulihat Hendra sedang berdiri di dekat baggage conveyor. Aku melangkah mendekatinya.

“Udah dapet kopermu ?” tanyaku sekedar berbasi-basi, padahal aku lihat belum ada satu pun koper di dekatnya.

“Belum, ini masih nunggu. Oh ya, habis ini kita langsung ke hotel ya. Di depan pasti banyak taksi stand by. Nanti tinggal tunjukin aja alamat dan nama hotelnya, nih udah aku siapin,” katanya sambil menunjukkan gambar hotel lengkap dengan alamatnya dalam Bahasa Mandarin dari handphonenya.

“sipsip. Ah, itu koperku,” kataku sambil bersiap mengambil koper dari conveyor belt. Tapi Hendra lebih cekatan. Dia mengulurkan tangannya sambil menarik koperku dari conveyor belt.

“Ini kan ya kopermu ?” tanyanya mengkonfirmasi.

“Iya, bener. Thanks Hen,” kataku sambil mengambil handle koper dari tangannya.

“Nah, itu punyaku, “ segera ia mengambil kopernya dan berkata, “Yuk, jalan kita.

Kami pun segera berjalan keluar menuju tempat taksi yang berbaris rapi. Mobil yang dipakai sebagai taksi bandara di PuDong ini bermerk VW, bukan mobil baru, tapi terlihat terawat dan bersih. Hendra menunjukkan nama dan alamat hotel dalam Bahasa Mandarin pada sopir taksi, dan sepertinya dia paham. Taksi pun segera meluncur.

Nice weather ya. Gak jauh kok hotelnya dari sini. Lima belas menit juga sampai kita,”katanya sambil melihat GPS di handphonenya.

“Sebenernya dari airport kita bisa juga naik kereta atau bus ke hotel. Tapi ya karena aku belum sempat pelajari dan sekilas aku lihat semua dalam tulisan Mandarin, ya udah aku nyerah deh. Pake taksi dulu aja biar aman.” Lanjutnya lagi.

“Seperti yang kita bicarakan, kita di Shanghai 2 malam, lanjut ke Beijing 2 malam dan balik lagi ke Shanghai semalam trus pulang deh ke Jakarta. Kelihatannya cuaca cukup bersahabat di sini. Malam nanti sekitar 19 derajat dan sedikit berangin. Besok bakalan cerah dengan suhu 20 derajat. Enaklah buat jalan-jalan.” Katanya bersemangat.

“Sebenernya aku pingin banget bisa juga ke Tibet, tapi cutiku ga bisa lama. Lagi banyak project dari global,” lanjutnya.

Yah, seperti yang aku bilang, karakternya yang sanguine extrovert membuat dia selalu mudah mencari bahan pembicaraan, terlihat riang, ringan membahas sesuatu dan nada bicaranya selalu terdengar optimis. Sementara aku choleric introvert yang lebih suka diam berpikir, solitaire, pendengar yang baik karena suka menganalisa dan pastinya ga terlalu punya banyak teman, karena amat sangat pemilih. Hanya yang punya minat sama biasanya yang bisa berteman lama denganku.

Shanghai boleh dibilang kota modern. Gedung-gedung pencakar langit terlihat di sepanjang perjalanan kami. Jalanannya cukup ramai, namun tidak ada macet dan amat tertib. Shanghasi juga merupakan kota pelabuhan tersibuk ketiga setelah Singapura dan Rotterdam karena posisi kota Shanghai yang strategis di mulut sungai Yangtze.

Akhirnya sampai juga kami ke hotel yang kami tuju. Hendra melihat angka yang tertera di argometer kemudian mengeluarkan uang Yuan. Dari airport ke hotel dengan taksi yang kami pakai kira-kira 180 RMB atau kalau dirupiahkan sekitar Rp. 390.000,-. Kami segera menurunkan koper dan berjalan memasuki lobi hotel. Kami termasuk tipe traveller yang praktis, jadi koper kami boleh dibilang cukup kecil, jadi mudah di bawa ke mana-mana.

“Wow, boleh juga nih hotel,” kataku dalam hati sambil menebarkan pandangan ke semua penjuru. Sebenarnya hotel bintang 5 ini konsepnya adalah hotel bisnis. Tapi kesan resortnya membuat hotel ini terasa begitu nyaman. Minimalis, modern, elegan dan hangat, begitulah kira-kira kata yang tepat untuk mendeskripsikan hotel ini.

Sementara Hendra mengurus check-in kamar, aku duduk di salah satu sudut yang terlihat cozy. Kubuka handphoneku untuk melihat apakah ada pesan masuk, karena sejak dari airport tadi aku belum aktifkan handphoneku. Ternyata ada beberapa notifikasi masuk, salah satunya dari suamiku. Segera kubuka aplikasi chat yang ada untuk membaca isinya.

“Sudah tiba ? Take care ya. Love you.” Begitu pesannya.

Aku tersenyum sembari membalas chat tersebut, “Sudah tiba n baru c/i. you take care too. Love you.”

Suamiku tipe laki-laki yang tidak pernah melarang istrinya untuk beraktifitas. Dan karena dari awal kami sudah punya komitmen untuk saling mendukung pekerjaan masing-masing, maka dia tidak pernah banyak bertanya kalau aku harus pergi ke luar kota atau pun keluar negeri karena tugas. Begitu juga denganku. Pekerjaannya mengharuskannya pergi ke luar negeri setiap 3 atau 4 bulan sekali dan dalam waktu yang cukup lama. Belum lagi yang ke luar kota. Jadi kami sudah terbiasa saling berjauhan.

Pernah suatu kali aku harus ke luar negeri beberapa hari dan pada hari kepulanganku dia harus pergi tugas ke luar. Jadi akan ada kemungkinan kami bertemu di bandara. Maka kami sepakat membuat janji bertemu di bandara pada jam yang memungkinkan. Ketika hari itu tiba, kami benar-benar bisa bertemu sebentar di bandara. Di pintu kedatangan dia menungguku dan kemudian kami ngopi sebentar menunggu pesawatnya boarding sambil melepas rindu.

Pernah juga suatu hari dia berkata, “Kamu cuti sepuluh hari bisa gak ya bulan depan?”

“Emang kenapa ?” tanyaku waktu itu.

“Aku ada tugas ke Eropa selama dua minggu lebih. Kalau kamu bisa ambil cuti nanti ketemu di Belanda aja. Aku selesaikan dulu trip ke Jerman selama satu minggu. Dari Jerman aku ke Belanda dan kita ketemu di sana. Nanti dari Belanda kita ke Prancis. Sekalian rayain ulang tahun kamu di sana.” Kata suamiku.

Dan begitulah, aku berangkat menyusul suamiku dan kami ketemuan di Belanda. Empat malam di Belanda dan empat malam di Prancis dan sisanya adalah untuk perjalanaan pulang ke Indonesia. Singkat tapi seru, karena kayak orang baru pacaran rasanya.

            “Von, yuk,” kudengar Hendra memanggilku, aku pun segera beranjak berjalan ke arahnya.

            “Kamar 1515. Ke lantai 15 kita,” katanya sambil menekan tombol angka yang ada di luar lift.  Sementara menunggu lift mana yang akan mengantarkan kami ke lantai 15, karena ada 6 lift di hadapan kami, aku berusaha menjawab pertanyaan yang mucul di kepalaku, “twin bed or double bed.” Kurasakan jantungku berdetak lebih cepat.

Salah satu lift terbuka dan kami masuk. Lift itu sekelilingnya terbuat dari bahan kaca tembus pandang dan terletak di sisi bangunan, sehingga aku bisa melihat keramaian serta Gedung-gedung pemcakar langit di sekitar daerah ini dengan leluasa. Lift pun berhenti di lantai yang kami tuju. Pintu terbuka dan kami pun segera berjalan keluar, mencara arah kamar 1515.

“Duh, kenapa aku jadi deg-degan gini sih,”batinku.

Hendra mengeluakan kunci kamar yang bebentuk kartu dan menempelkannya pada pintu.

“Welcome,” kata Hendra sambil membuka pintu lebar dan tersenyum.

Aku segera masuk mengikuti. Mataku langsung menyapu isi ruangan kamar ini, dan aku pun tersenyum. Kulihat di depanku dua buah ranjang dengan ukuran cukup besar. Terjawab sudah yang menjadi pertanyaanku tadi.

Aku berjalan menuju jendela dan kubuka tirainya. Taman yang indah terhampar luas dan di dekatnya terlihat kolam renang yang amat sangat besar dengan landscape yang cantik.

“Kamu mandi dulu aja Von, aku mau keluar sebentar. Kita cuma dapat satu kunci, jadi nanti aku bel aja kalo sudah balik. Mudah-mudahan kamu sudah selesai mandi, jadi bisa denger kalo aku bel,”kata Hendra sambil merapikan rambutnya di depan cermin, kemudian berjalan menuju pintu.

“Ok,” kataku pendek.

Setelah Hendra keluar,aku segera membuka koperku dan mengeluarkan peralatan mandi serta baju ganti. Aku bukan tipe perempuan yang suka bergaun, jadi baju yang kupunya rata-rata adalah celana Panjang, celana pendek, blouse, kemeja dan kaos.  Aku ambil blouse warna putih lengan Panjang dengan belahan dada yang agak rendah. Bukan, bukan mau menggoda Hendra dengan memilih blouse itu, tapi memang aku  berdada tipis, sehingga aku suka memilih kerah baju V-neck atau belahan dada yang rendah karena menurutku bisa menyamarkan dadaku yang tipis dan kurang berisi.

Aku pun segera masuk kamar mandi, dan beberapa saat terkagum-kagum melihat semua bagian di kamar mandi ini. Amenities dan toiletries tersedia lengkap dan dari brand ternama HERMES. Yup, produsen tas terkemuka itu ternyata juga punya line toiletries juga.Jadi semua peralatan mandiku tidak akan terpakai. Mulia dari sikat gigi, pasta gigi, shower gel yang wanginya tidak pasaran, body lotion yang tidak murahan, shampoo yang jadi satu dengan conditioner sehigga rambut tidak kering setelah keramas dan masih ada beberapa perlengkapan lainnya seperti loofah, shaving kit, soap, cologne yang membuatku takjub. Belum lagi design toiletnya yang serba otomatis, membuatku harus mengambil waktu sebentar untuk mempelajari dan mencobanya satu persatu agar tidak salah.   

Pas aku selesai memakai bajuku bel berbunyi. Segera aku menuju pintu untuk membukanya.

“Nah, pas kan,” kata Hendra.

“Oya, nanti kita makan di restoran di hotel ini ya, tadi aku sudah booking. Ntar aja jam tujuh lebih gitu. Belum laper kan Von,” lanjutnya.

“Belum kok, ini juga baru kelar mandi, mesti ngeringin rambut dulu.” Kataku  sambil menyiapkan hair dryer yang tersedia di salah satu nakas dekat ranjangku.  Agak kikuk juga aku sebenernya melakukan ritual setelah mandi di depan laki-laki ini. Belum lagi bagian tubuhku yang bawah masih hanya berlilitkan handuk mandi.

Tapi Hendra terlihat biasa saja.  “Santai aja Von, anggap di rumah sendiri dan anggap aku gak ada, “ katanya seperti bisa membaca pikiranku.

“Mandi ah,” katanya sambil berjalan menuju kamar mandi.

Sial, kataku dalam hati. Kenapa dia seperti selalu bisa membaca pikiranku ya.

Aku pun segera melanjutkan mengeringkan rambutku yang lumayan panjang. Tidak sampai sepinggang, tapi sudah melebihi bahu. Agak tebal dan sedikit ikal, sehingga butuh waktu tidak cepat untuk bisa kering dengan sempurna.

Belum juga aku selesai dengan urusan rambutku, mataku menangkap bayangan dari cermin di depan kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka, dan kulihat Hendra badannya hanya berlilitkan handuk mandi dengan rambut yang basah acak-acakan karena mungkin habis dikeringkan dengan handuk. Walaupun hanya dari bayangan di cermin, aku bisa melihat dengan jelas dadanya yang bidang, lengannya yang berotot,  dan perut sixpacknya, menandakan dia suka berolahraga. Hendra membuka kopernya, diambilnya pouch, kaos putih dan   satu kemeja kotak-kotak warna biru.

Aku pura-pura tidak memperhatikannya, tangan kananku sibuk memegang hairdryer dan tangan kiriku memegang sisir. Sengaja wajahku kusembunyikan di balik rambutku. Padahal mataku masih bisa melihat semua aktifitas Hendra dengan jelas dari gerai-gerai rambutku.

Diambilnya botol parfum dari pouch dan disemprotkan perlahan di dada, leher dan tengkuk dan belakang telinganya. Wanginya tidak lembut, tapi juga tidak terlalu menyengat, seolah membuatku ingin mendekat dan mendekapnya. Dipakainya kaos putih sebelum memakai kemejanya. Nafasku seperti tertahan ketika dia melepaskan handuknya. Kakinya yang terlihat begitu kokoh dengan otot-.otot yang menonjol di pahanya. Pikiran liarku pun mulai mengajakku untuk melihat lebih lagi.

“Belum selesai Von ? Mau kubantu ngeringin ?” tanya Hendra membuyarkan

pikiranku yang sedang  menelanjangi dirinya.

‘Eh,ehm,  udah mo kering kok, “ kataku tergagap dan segera mematikan hairdryer, beranjak ke kaca dan menyisir rambutku.

Kulirik Hendra sudah rapi dengan bajunya. Dia pun berdiri di depan kaca, di sebelahku juga menyisir rambutnya. Aku segera beranjak ke ranjangku, karena tadi aku letakkan celana Panjang di situ, selain memang aku ingin memghindar dari berdiri berdekatan denganya dalam kondisi seperti saat ini. Aku menuju kamar mandi untuk memakai celana Panjang sekaligus menjemur handuk yang tadi kupakai.

“Hen, habis makan kita jalan bentar yuk, di sekitaran hotel aja gak usah jauh-jauh. Pingin tahu kalo malam seperti apa sih suasananya di sini,” kataku sambil kembali ke depan kaca untuk sekedar merias wajahku agar tidak terlalu pucat.

“Ok. Kalo gitu bawa jaket ya. Di luar dingin dan berangin.” Hendra duduk di samping ranjangnya, memandangku dari belakang. Aku bisa melihatnya dari kaca di depanku.

“Kenapa Hen ? “ Tanyaku

“Ah nggak. Kamu masih sama seperti dulu,” katanya sambil memalingkan wajahnya ke TV yang dianyalakan.

“Jam berapa kita makan ?”

“Sudah siap ? Yuk kalo sudah siap.” Kata Hendra sambil berdiri dan mengambil coat.

Kami pun berjalan keluar kamar, menuju lift. Restoran ada di lantai 3, tidak terlalu ramai, karena sepertinya jarang tamu hotel yang makan malam di hotel. Kebanyakan mereka memilih makan di luar hotel sambil menikmati suasana malam di kota Shanghai yang penuh dengan gedung pencakar langit dengan lampu yang berwarna-warni serta pertokoan yang begitu gemerlap.

Setelah makan kami pun keluar hotel untuk sekedar berjalan-jalan melihat suasana malam di sekitar hotel. Sejujurnya ini sekedar untuk menghabiskan waktu saja dari pada harus di kamar berduaan sementara aku belum ngantuk sama sekali.

Hotel kami terletak di area yang cukup nyaman untuk pejalan kaki. Tidak jauh dari pusat perbelanjaan, art center dan museum. Namun karena udah malam, maka art center & museumnya sudah tutup. Shanghai termasuk kota yang sibuk, tertib dan cukup nyaman untuk pejalan kaki.

Udara dingin mulai menusuk masuk ke dalam coat yang kupakai.

“Sini tanganmu,” Hendra meraih tanganku, menggenggamnya, kemudiannya memasukkannya ke dalam kantung coatnya.

“Biar sama-sama ga berasa terlalu dingin,” katanya sambil tetap menggenggam tanganku di dalam kantungnya.

Memang tanganku berasa lebih hangat. Kubiarkan hangatnya menjalar ke semua bagian tubuhku. Kubiarkan badanku lebih menempel ke badannya dan kunikamti setiap sensasi yang kurasakan. Sepanjang jalan yang kami susuri tangannya tak lepas menggenggam tanganku. Kalaupun dia lepaskan, dia memeluk piggangku agar tubuh kami tetap dapat berdekatan.

“Yuk, duduk bentar,” Aku melihat bangku di salah satu sisi jalan yang kami lalui. Kami pun duduk.

“Besok mau ke mana aja rencananya Von ?” tanya Hendra

“Aku sudah catat beberapa tempat yang pingin aku kunjungi. Yuyuan Garden, beberapa Temple, Tianzifang sama ke Jews Ghetto. Tapi lihat besok waktunya cukup ga,” kataku.

Angin sedikit kencang tiba-tiba bertiup menerbangkan rambutku kea rah wajah Hendra. Hendra merapikan rambutku “Yuk balik hotel. Besok mau jalan jam berapa kamu ?”

“Kamu berangkat, aku juga jalan deh besok,” kataku sambil berdiri. Kali ini aku ulurkan tanganku memegang tangannya yang lebih dulu terjulur ke arahku dan menggenggamnya. Kami pun berjalan kembali ke hotel sambil bergandengan tangan.

Kami berjalan dalam diam, entah apakah karena kami menikmati angin malam dan suasana di sekitar kami, ataukah kami menikmati perasaan hangat yang menjalar dari tangan kami yang saling menggenggam bergandengan. Yang pasti aku nikmati setiap langkah kaki menuju ke hotel malam itu.

Sesampainya di hotel kami segera menuju ke kamar. Tidak sekali pun tangan ini terlepas dari tangan Hendra sampai kami ada di dalam lift. Begitu pintu lift terbuka, dia segera menarikku ke dalam, menekan tombol close dan tanpa kusadari wajahnya sudah persis di depan wajahku. Dia mendekat lebih lagi dan mencium keningku sekilas. Bau wangi tubuhnya begitu lekat di hidugku. Aku terhenyak sesaat. Mungkin seandainya ada cermin, aku bisa melihat betapa memerahnya mukaku. Tapi aku tidak marah, tidak juga malu. Hanya terkejut, terpana dan tidak dapat berkata-kata.

“Sorry Von,” katanya seperti tersadar akan apa yang baru saja terjadi.

“It’s Ok.” Kataku pendek.

Suasana jadi sedikit awkward, saling diam dan sibuk dengan gadget masing-masing. Sampai pintu lift pun terbuka.

Sesampainya di kamar, aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti baju tidur. Memang sebelum tidur aku biasa cuci muka, kaki, tangan dan menggosok gigi.

Kulihat Hendra sudah berganti baju juga ketika aku keluar dari kamar mandi.

“Von, besok kita sarapan jam 7 ya, aku jalan jam setengah delapan,” katanya sambil beranjak menuju kamar mandi.

“Sipsip,” kataku

Setelah menyisir rambutku, aku ambil buku ”Lonely Planet China” dan menuju ranjangku. Aku ingin membaca-baca tempat yang akan aku kunjungi besok, juga menentukan apa yang akan kami kunjungi di Beijing selain dari The Great Wall dan Forbidden City.

Hendra keluar dari kamar mandi, anak rambutnya sedikit basah, membuat wajahnya terlihat semakin bersih. Jantungku berdesir mengingat kejadian di dalam lift tadi. Akankah kejadian tadi berlanjut sekarang ? tanyaku dalam hati. Aku tidak menyalahkan Hendra sama sekali tentang hal itu. Suasana memang sangat mampu memprovokasi kami berdua untuk melakukan hal yang lebih lagi, bahkan saat ini.

Hendra menyisir rambutnya dengan tangannya. Dia hanya mengenakan celana pendek dan kaos berwarna putih. Dari belakangaku bisa lihat dengan jelas tubuhnya yang tinggi tegap dengan torso yang sempurna. Tiba-tiba dia membalikkan badannya dan menatapku.

“Belum ngantuk ?” tanyanya sambil tersenyum.

“eh, belum,” kataku tergagap ketahuan memperhatikan dirinya.

Dia melompat kecil ke ranjangnya. “Jadi gimana Von, nanti di Beijing kita mo ke mana aja?”

“Nah, ini lagi aku cari-cari Hen. Yang pasti seperti rencana kita, pasti ke Great Wall dan Kota Terlarang kan ya. Kita kan punya waktu cuma 2 hari. Hari pertama kita habiskan di sekitar Kota Terlarang. Tian’anmen Square, Museum Nasioanl,  Palace Museum, lanjut nonton Martial Art, dan menikmati kuliner. Baru hari kedua kita ke Great Wall dan nyobain lokal adventure yang ada.” Kataku sambil mencatat tempat-tempat yang akan kami kunjungi. Sebenernya kami sudah membuat agenda tempat tujuan yang selama di China. Tapi terkadang apa yang sudah direncanakan dan diagendakan berubah ketika sampai di tujuan. Apalagi kalau pergi tanpa ikut tour, pasti bakalan banyak lokasi yang kita pingin cari dan kunjungi. Karena kami berdua suka makan, maka kemungkinan besar waktu kami akan habis untuk mencari dan menikmati makanan lokal khas daerah setempat.

“Ok. Besok coba kita eksplor lagi. Aku tidur dulu ya, “ kata Hendra sambil menarik bedcovernya.

“Night Hen,” kataku.

Dan malam itu kami tidur di ranjang masing-masing.

 

----o0o------

           

Setelah sarapan Hendra berangkat ke exhibition dan kami janji untuk ketemu di lobby hotel nanti sore jam lima. Aku pun menuju ke reseption desk untuk menitipkan kunci kamar. Perjalanan ke Yuyuan Garden dengan bus tidaklah lama. Sesampainya di tempat aku langsung terpukau dengan keindahan bangunan yang ternyata sudah ada sejak lebih dari 400 tahun yang lalu. Yang menarik dari Yuyuan Garden ini adalah bukan hanya keindahan artisitik penataan tamannya, tapi juga setiap detil dari a bangunan pagoda, kolam, jembatan serta pavilion-paviliun yang indah yang menyatu sempurna dengan bebatuan unik di sekitarnya. Belum lagi patung dan pahatan yang indah yang mengelililngi tembok taman ini, sangat sesuai dengan namanya Yuyuan Garden yang  artinya Taman Kebahagiaan. 

Di dekat Yuyuan Garden ada Yuyuan Bazaar, tempat beraneka macam hiasan, kerajinan dan makanan lokal dijual. Suasana sangat berbeda karena di sini orang sangat banyak dan seperti berebut untuk membeli apa yang mereka mau. Seringkali aku terkejut mendengar orang berteriak satu sama lain. Aku pikir ada yang sedang berantem atau adu mulut. Ternyata memang logat mereka kalau bicara adalah dengan suara keras dan intonasi tinggi.

Setelah cukup puas berkelling, aku pun segera mencari shuttle bus untuk melanjutkan perjalannanku ke Tianzifang. Aku memang sudah mencatat semua bus yang bakalan aku tumpangi hari ini. Nomer berapa, naik dari mana dan turun dimana sehingga perjalananku terasa nyaman walaupun sendirian.

Suasana di Tianzifang berbeda jauh dengan Yuyuan Garden, apalagi dengan Yuyuan Bazaar yang begitu riuh. Lorong-lorong yang begitu artisitik dengan bangunan kombinasi antara Prancis dan Cina membuat tempat ini terkesan begitu romantis dan elegan.  Berbagai macam café, bar, art shop, art studio serta restoran baik lokal maupun internasional berjajar rapi di sepanjang Lorong yang menyerupai maze. Tidak ada orang yang bicara dengan teriak-teriak, semua terlihat begitu tenang. Hanya sesekali terdengar tawa dari café atau bar yang penuh dengan anak muda, baik itu turis maupun anak muda lokal. Memang pada waktu Perang Dunia I & II, Cina menjadi negara yang terbuka menerima “orang buangan” dari Eropa juga Yahudi. Itulah mengapa, diantara gedung-gedung pencakar langit, banyak juga gedung dengan gaya arsitektur art deco juga bangunan-bangunan yang melambangkan symbol bangsa Yahudi. Cukup lama aku di Tianzifang, karena memang aku benar-benar menikmati setiap sudut yang penuh dengan seni dan keindahan.

Sesuai rencanaku sebelumnya, masih ada satu tempat lagi yang ingin aku kunjungi, yaitu Jewish Ghetto. Segera aku beranjak untuk melanjutkan perjalan ke tujuan selanjutnya. Aku tidak pernah menyangka sebelumnya kalau di Cina dahulu ada komunitas Yahudi yang berhasil melarikan diri dari Perang Dunia dan Holocaust. Di daerah Jewish Ghetto aku dapat melihat berbagai symbol, plakat yang melambangkan kekejaman perang dan juga makam yang panjang yang terdapat ratusan nama yang di pahat di dinding makam tersebut. Sinagoge sebagai tempat ibadah komunitas Yahudi juga masih ada dan masih aktif dipakai, terjaga dan terawat rapi. Aku masuk juga ke dalam The Jewish Refugees Museum. Kekejaman perang dan juga kebaikan hati bangsa Cina yang terdeskripsikan dalam museum itu membuatku geram dan sekaligus terharu. Bangsa Cina yang dikenal sebagai bangsa komunis, bengis dan kejam, ternyata lebih memiliki hati yang mau berbagi. Tidak seperti bangsa-bangsa yang mengaku beragama, namun suka menista dan menghina sesama manusia.

Kulihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 3, aku ingat jam 5 sudah harus berada di hotel. Masih ada waktu untuk keliling kota pikirku. Aku pun melangkahkan kaki untuk mencari bus city tour. Di hampir setiap negara pasti ada bus yang akan berkeliling kota dan berhenti di daerah wisata, kita bisa menumpang secara gratis dan tentu saja bisa melihat secara garis besar situasi kota yang kita kunjungi. Setelah puas berkeliling dengan bus city tour, aku pun mencari taksi untuk kembali ke hotel.

Tepat jam 5 aku sudah di lobby hotel. Kulihat Hendra sedang duduk di sofa disalah satu sudut lobby yang begitu sibuk dengan manusia yang lalu lalang.

“Sudah lama Hen?” tanyaku

“Hai Von, kirain lo nyasar,” kata Hendra. “Aku sudah dari setengah jam yang lalu sih. Kebetulan tadi schedule ketemu supplier selesai lebih cepat. Langsung jalan aja yuk.”

“Mo ke mana kita ?”

“Ntar liat ajalah,” kata Hendra sembari mengamit lenganku, kemudian menggandeng tanganku.

Kami naik taksi, ternyata Hendra mengajakku ke The Bund . Tempat ini dulunya adalah dermaga yang tepat berada di tengah kota Shanghai. Menikmati sunset di tempat ini banyak dilakukan orang, selain karena daerahnya yang dikelilingi bangunan pencakar langit juga banyak bangunan art deco di sepanjang sungai Huangpu, berasa di daerah Eropa. Itulah mengapa daerah ini juga dikenal sebagai Little Eropa.

Menikmati senja berdua dengan Hendra di tempat yang baru membuatku merasa seperti gadis remaja yang sedang berpacaran. Gejolak perasaan dan adrenalin yang sering tiba-tiba naik  terus aku coba tahan. Walaupun sebenarnya banyak sekali kesempatan untuk kami berdua bisa bermesraan, tapi sepertinya kami sama-sama mencoba untuk menahan diri.

“Kita naik cruise yuk, sekalian makan malam. kebetulan tadi aku ketemu dengan teman yang kerja di sini. Dia bilang menikmati malam dengan cruise menyusuri sungai Huangpu ini pasti akan menyenangkan. Terus dia tunjukkan cara beli tiket secara online biar gak usah ngantri, karena pasti banyak yang naik cruise.”  Kata Hendra menunjukkan tiket yang dia beli melalui handphonenya.

“Berapa lama Hen ?”

“Satu setengah jam. Sambil jalan yuk ke sana. Kayaknya itu deh dermaganya.” Kata Hendra menunjuk satu arah di mana ada beberapa kapal sedang tertambat.

Malam ini langit cerah dan bersih, tapi angin bertiup cukup keras dan dingin. Kukeluarkan syal dari dalam tasku dan kukalungkan begitu rupa di leher sehingga terasa hangat. Kami berjalan beriringan, sesekali Hendra merangkulku, mungkin dia kedinginan. Sesekali juga aku menggandeng lengannya ketika angin bertiup dan dingin tak dapat kutahan.

Sesampainya di dermaga, kami pun segera naik ke kapal yang sudah ditentukan seperti yang tertera di tiket. Walaupun sebelumnya kami harus banyak bertanya ke orang-orang yang ada di situ, mana kapal yang harus kami naiki. Untungnya banyak turis di daerah itu sehingga gampang bagi kami berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Kapal yang kami tumpangi bisa membawa 80 – 1000 orang sekali jalan, dilengkapi dengan restoran dan beberapa spot untuk duduk-duduk menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Kami memilih untuk berdiri di salah satu sudut kapal, sehingga bisa dengan leluasa melihat pemandangan di depan kami. Angin malam menerpa wajahku, menerbangkan rambutku yang tergerai bebas. Hendra di sebelahku, seperti menikmati setiap pemandangan yang ada di depannya.

Tidak berapa lama kemudian ada informasi bahwa bagi yang memesan tiket termasuk dengan dinner dapat segera menempati ruangan yang sudah disediakan. Kami pun masuk ke dalam. Ternyata banyak juga tamu yang dinner. Meja sudah diatur sesuai dengan nama pemesan. Ada yang satu meja berempat, ada yang berenam, ada yang berdelapan dan ada juga yang hanya berdua seperti kami.

Selama makanan dihidangkan, hiburan juga disuguhkan. Wanita-wanita cina yang cantik menari memukau gemulai. Ada juga pertunjukan Kung Fu yang memukau para penumpang, bahkan ada yang ingin mencoba bertarung melawan pemainnya.

Tidak terasa satu setengah jam usai di atas cruise. Kami segera turun dan berjalan berjalan menyusuri The Bund untuk kembali ke hotel.

“Besok setelah breakfast kita ke stasiun kereta. Aku sudah beli tiket  Bullet train ke Beijing sekitar jam 9, jadi sampai sana gak kesorean.”

“Hen, katanya kita mo nginep backpackeran selama di Cina. Kok ini kamu booking hotel bintang 5 sih,”

“Ini kan jatah dinas Von, ntar baru di Beijing kita hidup susah hahahaha. Jangan kaget aja ntar begitu sampai sana lo mesti tidur di lantai Von.”

“Ah, gak masalah sih.”

“Aku seneng bisa pergi bareng gini Von,” kata Hendra sambil merangkulku.

“Aku juga seneng,” kataku dalam hati.

 

--------0O0--------

 

Perjalanan dari Shanghai ke Beijing  dengan bullet train memakan waktu kurang lebih 5 jam. Sepanjang perjalanan aku cerita tentang tempat-tempat yang aku kunjungi selama di Shanghai, dan yang paling menarik buat Hendra adalah Jewish Ghetto. Sisa waktu selama perjalanan dihabiskan oleh Hendra yang banyak cerita tentang pengalamannya selama tinggal di Belanda. Mendengarkan dia cerita membuatku seolah-olah berada di tempat yang dia ceritakan. Hendra memang story teller yang sangat baik. Akhirnya sampai juga kami di Beijing. Sama seperti pertama tiba di Shanghai, Hendra menunjukkan nama hotel dan alamatnya dalam Bahasa Mandarin kepada sopir taksi yang akan membawa kami. Sesuai kesepakatan, untuk urusan transportasi dan akomodasi Hendra yang akan handle, sedangkan untuk destinasi wisata yang akan kami tuju itu jadi urursanku.

“Sampai kita Von. Nih hotelnya, “ kata Hendra sambil tersenyum

Aku benar-benar tidak menyangka kalau ini adalah hotel. Bentuk depannya seperti ruko yang ada di komplek tempat tinggalku. Begitu masuk lobby hanya tersedia satu sofa 2 seat dan counter kecil untuk reception desk. Setelah urusan administrasi chek-in selesai, kami segera menuju ke kamar yang ada di lantai 3. Lift yang membawa kami seperti lift barang, beda jauh dengan hotel yang kami pakai di Shanghai.

Begitu pintu kamar hotel dibuka, aku hanya melihat satu ranjang dengan ukuran yang tidak terlalu besar dan disebelahnya persis kamar mandi yang tembus pandang, karena sekelilingnya adalah kaca. “Oh my god gimana caranya aku mandi kalau tembus pandang begini,” pikirku membayangkannya.  Dinding kamar ini berwarna cream dan sprei kasurnya berwarna putih. Tidak ada bed cover, hanya ada selimut berwarna coklat satu saja.

Aku segera menaruh koperku ke salah satu sudut kamar yang boleh dibilang berukuran sangat kecil, mungkin lebih kecil dari kamarku di rumah.

“Kita cari makan yuk, laper nih” aku mengajak Hendra keluar agar tidak berlama-lama di dalam kamar ini.

“Yuk. Tadi sempet googling sekitar satu kilometer dari sini ada restoran yang cukup terkenal bebek pekingnya. Kita ke sana jalan kaki aja ya. Seharian udah duduk terus tadi.”

Aku setuju dengan Hendra, kami pun segera turun dan berjalan menuju restoran yang kami tuju. Suasana di sekitar hotel tempat kami menginap sebenernya cukup bagus karena hotel kami berada di pusat kota. Jadi mudah sekali untuk akses ke fasilitas public. Pedesteriannya juga cukup lebar nyaman untuk berjalan kaki. Sepanjang kanan kiri jalan took-toko kecil dengan bangunan khas tradisional cina banyak terlihat kontras dengan bangunan pencakar langit yang ada di belakangnya.

Bebek Peking atau Peking Duck adalah makanan yang wajib dicoba ketika berada di Beijing. Disajikan begitu rupa dengan daun bawang, mentimun, kecap dan irisan lobak. Kulitnya yang tipis dan krispi serta rasanya yang begitu nikmat karena di panggang di atas kayu, membuat ketagihan.

Setelah makan kami sepakat untuk berkeliling kota dengan bus. Aku sudah menyiapkan catatan perjalanan bus yang berada di daerah ini. Hal yang menyenangkan dari sebuah perjalanan menurutku adalah ketika bisa mengikuti kebiasaan orang-orang setempat. Namun hal ini tidak bisa berlaku di Beijing. Banyak orang yang aku jumpai masih meludah sembarangan di jalan. Toilet umum mereka juga tidak bersih, masih jauh lebih bersih toilet umum di Indonesia. Seperti pada saat ke toilet di restoran sebelum kami meninggalkan restoran tadi. Bau yang menyengat serta banyaknya tissue berserakan di lantai membuatku batal untuk masuk ke dalam toilet. Terpaksa aku tahan saja keinginanku untuk buang air kecil.

Di dalam bus umum ini pun masih ada juga orang yang meludah sembarangan. Belum lagi nada bicara mereka yang seperti orang sedang bertengkar, membuat aku dan Hendra saling berpandangan. Masih bersyukur dengan orang-orang di Jakarta yang masih bisa menjaga kebersihan di fasilitas umum, walaupun ada juga beberapa yang masih suka buang sampah sembarangan.

Kami memutuskan untuk turun di Beihai park, salah satu taman yang mengelilingi temple dari abad 18 dengan Tibetan-style yang cukup terkenal di Beijing. Kami tidak bisa lama, karena jam untuk kunjungan wisatawan sudah hampir berakhir. Kemudian kami lanjutkan perjalanan kami ke Summer Palace tapi kami tidak dapat masuk ke dalamnya. Sebenarnya tempat ini adalah tempat yang menarik karena peninggalan dari dinasti Yuan jauh sebelum abad 18. Namun sekarang sudah dipenuhi oleh pedagang souvenir yang membuat tempat ini terlihat tidak tertata dan kurang nyaman.

Menjelang malam kami menyusuri hutong di sekitar hotel tempat kami menginap. Hutong adalah Lorong-lorong yang terbentuk dari pertemuan halaman rumah yang ada di suatu daerah. Biasanya disepanjang hutong pertokoan dengan style banguna tradisonal cina akan banyak ditemui.

Kami berhenti di salah satu toko yang menjual makanan lokal. Aku membeli dimsum dan Hendra membeli bir buatan Beijing.

“keknya ga usah makan malam ni, kenyang aku,” kataku sembari menawari Hendra dimsum yang kubeli karena ternyata porsinya cukup banyak.

“Ok, kita balik hotel istirahat aja. Besok baru kita puas-puasin jalan. By the way, enak juga lho birnya, cobain deh.”

Aku mengambil gelas dari tangan Hendra dan meminumnya. Rasa bir ini memang beda, pahitnya tidak terlalu berasa, ada rasa manis dan juga sedikit rasa asem.

“Habisin aja kalo suka Von, “ kata Hendra melihatku minum seperti orang kehausan.

“Heeh,” kataku sambil meneguk habis sisa bir dalam gelas. “Yuk balik kita.” Kataku begitu gelas sudah kosong.

Sesampainya di depan hotel Hendra bilang padauk kalau dia harus mampir ke toko untuk membeli sikat gigi karena dia lupa membawa, sedangkan hotel ini tidak menyediakan peralatan mandi. Aku pun segera naik ke kamar untuk mandi. “Mumpung Hendra lagi ga ada, bisa mandi sepuasnya tanpa malu dilihat,” pikirku.

Hendra balik ke kamar ketika aku sudah bersiap untuk tidur, ngantuk dan capek baru mulai kurasakan. Dia langsung menuju kamar mandi. Lampu di kamar hotel ini tidak terlalu terang, warnanya kuning remang-remang. Baguslah, jadi tubuh Hendra yang sedang mandi tidak terlalu terlihat dari ranjang yang berada persis di samping kamar mandi. Sedikit mulai sedikit penampakan tubuhnya hilang tertutup kaca yang mengembun penuh karena uap air panas. Aku berusaha untuk bersikap biasa saja, walaupun pikiranku mengajak mata ini melirik kea rah kamar mandi. Kudengar Hendra bersenandung di dalam sana, mungkn dia juga berusaha menyembunyikan rasa groginya.

Ketika Hendra keluar dari kamar mandi, aku pura-pura memejamkan mataku seperti tertidur. Tidak berapa lama aku merasakan ranjang sedikit bergerak karena Hendra naik ke atasnya. Aku masih memejamkan mataku. Pikiranku sibuk menduga-duga apa yang akan terjadi di ranjang ini. Aku memiringkan tubuhku membelakanginya. Tidak berapa lama aku dengar Hendra berkata, “Halo Ma, lagi ngapain ?”

Oh, ternyata dia menelpon istrinya.

“Aku lagi di Beijing, ini lagi mo tidur. Nih, kelihatan kan kalo lagi di kasur.”

Ya ampun, ternyata dia sedang video call. Aku pun segera menggeser tubuhku lebih lagi ke pinggir ranjang, takut in frame. Berani juga dia, pikirku.

“Iya, dua hari lagi aku pulang, mungkin sampai di rumah agak malam. Aku tidur dulu ya. Love you,” kudengar dia mengakhiri percakapannya. Aku masih pura-pura tertidur. Tiba-tiba aku merasakan tangannya memelukku dari belakang dan menarik tubuhku mendekat ke tubuhnya.

“Jangan terlalu di pinggir, nanti jatuh,” katanya.

Aku masih pura-pura tertidur, tak bergerak. Diam, hanya merasakan dekapannya yang hangat. Dan aku pun terlelap.

 

--------o0o---------

 

Aku terbangun ketika mendengar suara air mengalir. Ternyata pagi sudah tiba dan Hendra sudah lebih dulu mandi. Kucoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Ah, aku yakin tidak terjadi apa-apa, karena aku hanya ingat Hendra memelukku dan aku langsung tertidur. Memang kemarin terasa sekali capek badan ini.

“Morning Von, tidur nyenyak semalam ?”

“Pagi Hen. Iya capek banget aku kemarin.”

‘Buruan mandi. Aku tunggu di bawah ya. Kita cari sarapan lanjut ke jadwal kita.”

“Ok.”

Selesai mandi, aku segera berkemas dan menyusul Hendra di bawah.

Kami memilih sarapan yang cepat dan praktis. Kebetulan tepat di seberang hotel kami ada satu restoran kecil yang menyediakan menu sarapan. Sambil sarapan kami berdiskusi tentang rute perjalanan kami hari ini, tidak banyak yang bisa kami kunjungi, karena tempat wisata rata-rata tutup jam 5 sore.

Bus yang kami tumpangi menuju Forbidden City cukup padat penumpang, mungkin karena kami keluar bersamaan waktunya dengan para pekerja. Setelah berhenti di beberapa bus station, kami pun tiba. Antrian orang yang ingin membeli tiket masuk sudah terlihat mengular. Banyak juga terlihat grup-grup tur baik lokal maupun luar. Kota Terlarang ini sebenarnya bukanlah kota, tetapi dulu adalah tempat tinggal kaisar dari beberapa dinasti. UNESCO menetapkan daerah wisata ini sebagai salah satu peninggalan sejarah yang dilindungi.

Butuh waktu 14 tahun untuk membuat istana ini. Dengan Panjang hampir 1 kilometer dan lebar lebih dari 500 meter, istana ini memiliki 980 bangunan dan 8700 kamar yang semuanya terbuat dari marmer dan kayu terbaik dari Cina. Keindahan, kemegahan dan keagungan sebuah kekuasaan tercermin dari setiap detil bangunan ini. Bahkan konon katanya, burung pun tidak dapat hinggap di atas atap bangunan istana ini, agar tetap terjaga kebersihan dan kemegahannya.

Hendra sibuk mengabadikan setiap sudut dan detil yang menurutnya indah dan sangat artisitik dengan kameranya. Tidak jarang beberapa kali memintaku untuk memotretnya. Well, disbanding denganku Hendra lebih sadar kamera, lebih narsis dan lebih eksis apabila berdekatan dengan kamera. Mungkin karena dia sadar akan ketampanan wajahnya dan juga bodynya yang tak kalah dengan foto model.

Dari courtyard Kota Terlarang akan terlihat  Tian’anmen Square. Sebuah lapangan di pusat kota Beijing yang terkenal dengan tragedi pembantaian 3000 orang pada tahun 1989 yangdilakukan oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu terhadap para demonstran yang menuntut kebebasan pers dan demokrasi.

Tian’anmen sendiri artinya Gerbang Kedamaian Surgawi. Lapangan ini sekarang menjadi pusat perayaan National Day, yaitu hari di mana Mao Zedong dari Partai Komunis yang menang dan berkuasa,  mendirikan Republik Rakyat Cina pada tanggal 1 Oktober 1949. Jika kita mengarahkan pandangan ke Kota Terlarang dari Tian’anmen Square ini, maka kita bisa melihat bagian depan dari Kota Terlarang dengan gambar foto Mao Zedong yang sangat besar.

“Von, laper ni, cari makan yuk,”

Aku lihat jam tanganku menunjukkan pukul 1, wajarlah kalau mulai berasa lapar.

“Ayuk. Kalau gak salah sekitar 500 meter dari sini tadi kulihat ada tempat makan, coba kita ke sana.”

Hendra menggandeng tanganku, seolah dia takut aku hilang diantara manusia yang cukup banyak memenuhi lapangan ini. Memang aku perhatikan lapangan ini dijadikan meeting point bagi grup-grup tur yang membawa rombongan cukup besar.

Tempat makan yang kami tuju untungnya tidak terlalu ramai, tapi sayangnya pemiliknya tidak dapat berbahasa Inggris dan menunya semua dalam Bahasa dan huruf Mandarin.  Jadi kami hanya memilih menu berdasarkan gambar yang kami lihat. Ada dua gambar yang terlihat enak, yaitu mie dengan kuah dan topping daging merah serta sayur, dan satunya adalah gambar daging yang terlihat digoreng garing dan renyah.

“Mau makan apa Hen ?”

“Kamu apa Von?”

Aku tunjukkan dua gambar yang aku perhatikan tadi, ”ini sepertinya enak dan bisa dimakan.”

“Hhhm. Aku ini aja deh,” kata Hendra sambil menunjukkan gambar nasi dengan beberapa model dan warna irisan daging, serta satu mangkok kuah.

Aku menunjukkan gambar yang kami maksud kepada pelayan restoran sembari menunjukkan jari telunjuk, dengan maksud memberi tahunya kalau masing-masing kami pesan 1 porsi.

“Semalam aku ngorok ga Von ?” tanya Hendra

“Waduh, aku tidur nyenyak banget, ga denger apa-apa Hen. Aku kali yang ngorok karena kecapekan.”

“Gak kok. Kamu tidur kayak sleeping beauty. Eh Von, semalam aku video call istriku, kamu denger ga ?”

“Gaklah, kan tidur nyenyak,” kataku berbohong.

Aku tahu arah pembicaraan Hendra, sepertinya dia ingin tahu reaksiku ketika dia memelukku semalam.

“Nah, datang ni makananmu.” Kataku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Lha, kok mirip nasi campur gini,” kata Hendra begitu melihat makanan di depannya.

Aku tersenyum, “Gak papalah Hen, daripada pesen tapi ga bisa di makan.”

“Habis ini kita jalan kaki ke Imperial Garden of the Palace Museum lanjut ke Jingshan Park,” kataku sembari mengaduk mie yang masih mengepul panas di depanku.

Hari ini benar-benar kami selesaikan dengan mengunjungi tempat wisata hanya di area sekitar Forbidden City dengan berjalan kaki, itu pun sudah hampir lewat dari jam 5 sore ketika kami tiba di Jingshan Park. Untungnya tempat itu buka sampai jam 9 malam. Dengan menumpang bus kami kembali ke hotel. Besok kami menyewa pemandu wisata lokal untuk mengantarkan kami ke Tembok Cina, yang perjalanannya memakan waktu cukup lama dari hotel kami.

Setibanya di kamar hotel aku segera menyiapkan baju ganti untuk mandi. Lengket sekali badan rasanya pingin segera merasakan siraman air di seluruh tubuh. Hendra membasuh muka, tangan dan kakinya.

“Aku di sini gak papa kan Von kalau kamu mandi, pingin selonjoran kaki soalnya.”

“Eh iya, gak papa,” kataku sedikit gugup. Ah, sudahlah, toh tidak terlalu terlihat juga karena remang-remang dan pasti kacanya mengembun, pikirku.

Aku berusaha untuk tidak terlalu peduli dengan hal itu. Aku nikmati setiap air yang membasahi tubuhku. Segar dan air yang hangat membasahi tubuhku itu seperti memberikan pijatan yang membuat nyaman. Aroma sabun dengan wangi rempah membuatku semakin merasa rileks. Satu hal yang paling aku malas adalah ketika harus mencuci rambut di malam hari, karena butuh waktu untuk mengeringkannya. Tapi malam ini aku harus mencuci rambutku karena besok pagi tidak ada waktu lagi sebab harus berangkat pagi-pagi.

Sampai Hendra selesai mandi pun rambutku belum kering juga.

“Sini aku bantu,” kata Hendra sambil mengambil hairdryer dari tanganku. Dia pun dengan cekatan mengeringkan rambutku. Di pegangnya sisir dengan tangan kiri, persis seperti pegawai salon.

“Nah udah kering, udah bisa tidur sekarang. Thank you for today Von,” katanya sambil mencium rambut di ubun-ubun kepalaku.

“Makasih Hen,” kataku kagok. “Dah tidur gih,” lanjutku sambil merapikan hairdryer.

Hendra membaringkan tubuhnya sembari berkata, “Aduuh enaknya punggung ketemu Kasur.”

Aku membaringkan diriku di sampingnya.

“Jangan terlalu di pinggir Von.”

“iya, enggak kok,” kataku sambil menarik selimut. Ah, kenapa juga selimutnya hanya satu, pikirku.

Hendra menarik di sisi satunya, dan pastilah kaki kami saling bersentuhan walau tidak sengaja. Itu pun cukup memberikan sensasi aneh dalam diriku.

“Night Von,” kata Hendra

“Night Hen,” kataku.

Dan Hendra pun tertidur meniggalkan aku dengan seribu satu perasaan yang mebuat mata ini susah terpejam.

 

-------oO0---------

 

Perjalanan ke Forbidden City memakan waktu hampir dua jam dengan jalanan yang tidak ada macet sama sekali. Pemandu wisata kami adalah orang Indonesia yang sudah cukup lama tinggal di Beijing, sehingga Bahasa Indonesianya masih cukup lancar. Sepanjang perjalanan dia bercerita tentang sejarah kota Beijing  dan juga sejarah Tembok Cina yang akan kami kunjungi. Kata dia, mending dia ceritakan sejarahnya sekarang, jadi begitu sampai tinggal menjelaskan detilnya dan pasti akan sibuk foto-foto. Benar juga sih, biasanya kalau ikut tur dengan pemandu wisata, jarang sekali ada peserta yang mau mendengarkan dengan detil dan lama. Rata-rata akan sibuk foto-foto dan berjalan ke sana kemari sesuai dengan yang mereka inginkan.

Pemandu wisata kami memilih akses melalui Mutianyu, selain karena tidak terlalu ramai pengunjung, daerah ini lebih banyak memiliki pemandangan yang indah dan arsitektur yang otentik. Di tempat ini juga ada terdapat makan yang diyakini sebagai makam Kaisar Ming.

The Great Wall sendiri sebenarnya dapat diakses dari 15 daerah province di Cina dan dari beberapa daerah yang tidak terlalu terkenal, namun yang paling bagus dan mudah untuk diakses adalah dari Beijing. Kami pun asyik meyusuri tembok cina yang seperti taka da ujung.

“Bro, tolong fotoin dong. Sini Von,” kata Hendra menarik tanganku dan mneyerahkan kameranya kepada pemandu wisata kami.

Tangannya merangkulku, “Buat kenang-kenagan.”

Beberapa kali foto dengan gaya yang berbeda, pemandu wisata itu berkata, “kayak foto prewed mas.”

“Namanya juga pengantin baru bro,” timpal Hendra.

Tembok Cina ini sering juga di pakai untuk lomba lari marathon, juga untuk latihan fisik para tantara Cina. Banyak juga anak sekolah yang berkunjung, mereka sibuk mencatat apa yang mereka lihat dan dengar.

Fasilitas di Tembok Cina ini juga lumayan bagus. Tersedia jalur untuk wheel chair juga untuk para disable. Ada juga cable car yang menghubungkan satu tempat pendakian dengan yang lain.

Menjelang sore kami kembali menuju hotel. Malam ini adalah malam terakhir kami di negeri Cina yang sarat dengan budaya dan peninggalan bersejarahnya. Besok kami akan terbang kembali ke Jakarta.  Back to our normal life.

Setibanya di hotel, setelah membersihkan badan, kami pun packing dan memastikan alarm berbunyi supaya kami tidak kesiangan karena jarak bandara dari hotel ini cukup jauh dan penerbangan kami di jam rush hour.

Setelah beres, aku segera ke ranjang. Hari ini benar-benar melelakan. Hiking  terpanjang dan terlama yang pernah aku lakukan.

“Capek Von ?”

“Banget,” kataku sambil melakukan gerakan twisting untuk punggungku.

Hendra memegang kakiku, “Sini aku pijitin.”

“Eh gak usah, kamu juga pasti capek kan,” sambil mencoba menarik kakiku pelan.

Tapi Hendra tetap memegangnya, “Aku tau lho titik-titik di telapak kaki yang bisa mengurangi rasa capek kalau dipijit.”

Dan akhirnya aku hanya bisa pasrah menikmati pijatan di kakiku. Dan tanpa terasa aku pun tertidur.

 

 -------o0o---------

 

Pesawat yang kami tumpangi untuk pulang ke Jakarta boarding tepat waktu. Kami duduk bersebelahan. Konfigurasi tempat duduk di pesawat ini adalah 2-4-2, dan kami mendapatkan seat yang berdua.

“Makasih ya Hen buat perjalanan yang menyenangkan,” kataku.

“Sama-sama Von. Makasih sudah jadi partner jalan yang menyenangkan.” Hendra memegang tanganku.

“Von, kamu tahu gak kalau aku memang sengaja booking kamar double bed pada waktu di Shanghai. Sebenernya aku juga booking yang sama untuk hotel kita di Beijing, tapi mereka ternyata tidak punya double bed. Aku juga kaget pas masuk dan lihat kamar mandinya tembus pandang begitu. Makanya pas awal itu kan aku cari alasan agar bisa keluar supaya kamu juga tidak kagok.” Hendra masih memegang tanganku.

“Aku mau cerita sedikit boleh ya,” lanjutnya.

“Kamu mesti percaya Von, kalau kita suatu saat pergi berdua lagi kamu pasti aman. Aku memang menikah dan punya anak, kamu tahulah, kan sudah kenal juga sama istriku. Aku sayang sama istriku.”

Cerita Hendra terpotong oleh pramugari yang menawarkan minuman tambahan pada kami. Aku minta white wine, sedangkan Hendra minta kopi.

“Kamu tahu kenapa kita bisa aman-aman saja selama perjalanan Von ? “

Pikiranku kembali pada kejadian di lift dan beberapa kejadian lain yang memang jika diteruskan bisa saja kami melakukan hal yang lebih. Tapi sampai kami pulang tidak ada sekalipun hal itu terjadi.

“Mungkin kamu kaget pas aku cium kening kamu atau pada waktu aku pijit dan peluk kamu. Tapi aku gak mungkin bisa lebih dari itu Von.”

Aku ingat satu malam dimana Hendra tertidur duluan meninggalkan aku yang sibuk dengan pikiranku yang bertanya-tanya kenapa dia tidak melakukan hal yang lebih lagi.

“Kalau boleh memilih, aku akan memilih untuk tidak menikah Von. Aku gay.”

Seperti mendengar suara petir aku terhenyak mendengar kata-kata Hendra barusan.

“Iya, aku gay dan sudah lama mencoba untuk kembali normal, tapi gak bisa.”

Damn !

Jadi selama di Cina ini aku jadi leinci percobaannya Hendra. Batinku mengumpat.

“Gak ada maksud sama sekali untuk mempermainkan kamu Von. So sorry, jangan marah ya.” Katanya seperti bisa membaca pikiranku.

Aku terdiam, tidak bicara sepatah kata pun. Aku bingung mesti ngomong apa.

Semburat asmara yang sempat muncul di negeri Cina, perlahan sirna seiring roda pesawat yang menginjak landasan untuk mendarat.

“Aku memaafkanmu Hen, thanks for everything.” Kataku sembari berjalan mendahului untuk segera keluar pesawat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.