KU PEJAMKAN MATA DAN KAU PUN DI SINI

" Laki - laki itu seharusnya bisa jadi imam. Lah kalau lelakimu saja tidak pernah sholat terus bagaimana caranya bisa menjadi imam buatmu?"

KU PEJAMKAN MATA DAN KAU PUN DI SINI
Bunga mawar kuning by pixabay


"CKLEKK!!" suara daun pintu dibuka. Sejurus kemudian suara langkah kaki dengan sandal diseret memasuki rumah.

Wiryo menghela nafas melepaskan rasa penat setelah seharian mengurusi pemakaman Sutris adiknya. Malamnya masih harus menyambut para tetangga yang datang untuk tahlilan.

Mutia berjalan malas keluar dari kamar. Dengan mata yang masih terasa berat masih berusaha menyambut kedatangan suaminya.

" baru selesai tahlilannya pak?"
Menegok jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Di seretnya salah satu kursi untuk diduduki. Mencoba mengumpulkan kembali kesadarannya.

" Sudah dari jam sembilan tadi. Setelah itu lanjut mengobrol sama para tamu tadi". Wiryo melepas peci, duduk sambil mengipas kipaskan pecinya.

"Hmm" Mutia menanggapi masih dengan setengah mengantuk.

"Mau kopi?"

"Aku lapar.. bisa buatkan aku nasi goreng saja?"
Wiryo memegangi perutnya yang rata. Seharian menjadi penanggungjawab acara membuatnya tidak sempat memakan sesuatu.

"Aku ngantuk pak capek. Kalau mau makan masih ada lauk itu di meja. Tadi sudah kupanasi" Mutia menguap lebar. Usahanya untuk kembali terjaga masih gagal.

"Cuma minta nasi goreng saja tidak bisa kau turuti. Kalau aku tinggal kaya istrinya sutris baru tau rasa?" Wiryo bergumam lirih namun cukup ampuh membuat Mutia kembali terjaga.

Mata Mutia terbelalak. Hilang sudah semua kantuknya.

"Kamu itu loh pak, kalo ngomong mbok ya jangan sembarangan. Jangan main main sama omongan semacam itu"

kata Mutia terus mengomel. Tapi masih bergegas ke dapur mencari bawang telur dan semua alat perangnya.

Sembari mengaduk nasi di wajan Mutia masih saja terus meracau. Kesal tapi takut omongan suaminya mejadi kenyataan. Sementara Wiryo tersenyum penuh kemenangan.

Tidak sampai 15 menit sepiring nasi goreng pesanan Wiryo terhidang di meja. Wiryo menyantapnya dengan sangat lahap sampai tidak ada yang tersisa lagi di piring meskipun hanya seiris bawang.

"Kau tahu? aku belum pernah makan nasi goreng seenak buatanmu". Kata Wiryo sambil meraih kendi kemudian meneguk airnya.

" Tapi lain kali jangan ngomong seperti itu lagi" kata Mutia ketus.

"Hahaha" Wiryo terkekeh
"Aku tidak akan memaksamu lagi untuk membuatnya tengah malam seperti ini. Aku janji"

Wiryo memegangi perutnya yang sudah terisi penuh sambil bersandar pada kursi makannya.

Wiryo menepati janjinya. Itu adalah terakhir kalinya dia meminta istrinya memasak nasi goreng.

Mutia duduk bersimpuh didepan jasad suaminya yang terbujur kaku. Diam tak bergerak seolah hanya tubuhnya saja yang ada di sana. Bahkan menangispun tidak.

Bu dhe Jumirah dan fitri sepupunya memapah Mutia masuk ke dalam kamar karena jenazah Wiryo akan segera dimandikan.

"Sing sabar yo nduuuk iki wes kersane sing Kuoso.. ikhlasno yo nduuuk sing ikhlaas.." Bu Dhe Jumirah mencoba menenangkan Mutia. Berharap keponakannya memberi respon.

Namun Mutia tetap mematung. Pandangannya tetap kosong. Bahkan suara tangis anak-anaknya tak ia pedulikan. Untungnya banyak saudara yang berbaik hati merawat 2 anak Mutia yang masih kecil. Sementara anak sulungnya yang masih duduk di bangku SMP ikut sibuk membantu mengurus pemakaman ayahnya.

**************************************
"Pokoknya aku ndak mau!! Mak saja yang nikah sama dia kalau mau."

Saat itu Mutia masih berusia 16 tahun. Kasmirah ibunya baru saja menerima lamaran seorang pemuda dari Semarang tanpa sepengetahuannya. Alhasil Mutia yang keras kepala tetap tidak mau menerimanya.

"Barang - barang seserahan ini semua sudah terlanjur aku terima. Mau ditaruh dimana muka emak kalau kamu menolak seperti ini?"

Kasmirah memijit pelipisnya. Memikirkan cara untuk membujuk anak gadisnya agar mau menerima lamaran pemuda itu.

" Salah sendiri nerima lamaran tanpa persetujuanku? Kan aku yang mau nikah bukan emak" Mutia bersungut kesal.

"Terus barang - barang ini mau dikemanakan Nduk?"

" terserah emak. Mau dibuang atau dikembalikan aku ndak mau tau"

Mutia melangkah keluar tanpa melirik sedikitpun barang - barang seserahan itu.

Wiryo menghela nafas. Beberapa kali ia memanjangkan lehernya sekedar untuk melihat wajah seorang gadis di balik gorden biru bergambar bangau terbang yang memisahkan ruang tamu dan dapur. Namun si gadis tak juga mau menunjukkan wajahnya.

" Lama- lama gordenmu ini aku bakar juga Mak.. biar ndak ada lagi yang menghalangi pandanganku" Wiryo berseloroh kesal.

Bu Dhe Jumirah hanya terkekeh. Baru sehari Mutia tinggal bersamanya karena kabur dari acara perjodohan sudah ada pemuda yang datang melamar

"Lah kamu juga gimana to le.. mosok baru tadi sore ketemu malam ini langsung datang melamar? Ya pantes to bocahe isin". Bu Dhe kembali terkekeh.

Di balik gorden Mutia tak kuasa menahan detak jantungnya yang bergemuruh. Sore tadi dia baru saja bertemu pemuda itu. Pemuda dengan perawakan tinggi besar itu sedang menggiring sapinya ke kandang sewaktu Mutia lewat di depan rumahnya.

Ketika bola mata kecokelatan pemuda itu beradu pandang dengannya entah mengapa jantung Mutia rasanya ingin meloncat keluar. Pemuda itu tersenyum jenaka dan langsung membuntuti Mutia sampai warung mbah Sukinah. Tak disangka sekarang pemuda yang sudah berstatus duda tanpa anak itu berada di sini melamarnya.

"Dasar wong gemblung" batinnya.

Tapi entah mengapa ada perasaan yang tak bisa dijelaskan diam diam menyusup ke dalam hatinya. Sikap pemuda yang blak blakan menyatakan cinta pada pandangan pertamanya dan bahkan langsung secara jantan melamar ke rumah Bu Dhenya membuat Mutia terkesan. Meskipun belum yakin dengan perasaannya sendiri namun entah mengapa Mutia tidak bisa menolak.

"BRUKKK!!" Wiryo menjatuhkan badannya dengan wajah menghadap ke atas. Tepat di depan sajadah dimana Mutia menunaikan sholat Isya'.
Dan ketika Mutia hendak bersujud Wiryo justru dengan jahil menggeser kepalanya tepat di tempat Mutia hendak bersujud. Hingga menempel lah kedua wajah mereka.

"Astaghfirullahal Adziiim.. A'udzubillahi minnas Syaithonirrojiiim.."

Mutia melonjak terkejut dan berteriak kesal. Sementara Wiryo hanya terkekeh jenaka. Dikerlingkannya matanya yang merah karena alkohol tersebut.

"Kau pikir aku Setan? " kata wiryo sambil tak berhenti tertawa,semakin lama tawanya semakin keras. Membuat wajahnya semakin memerah.

"Iya.. karena hanya setan yang suka mengganggu orang sholat " Mutia berseloroh kesal sambil membuka mukenanya.

" hahahahaha.." Wiryo kembali tertawa, kali ini semakin keras.

Dengan perasaan jengkel Mutia mengambil wudhu lagi dan mengulangi sholatnya dari awal. Kali ini dia sholat di dalam kamar dan menguncinya agar tidak mendapat gangguan lagi.

Sudah 3 bulan mereka menikah , namun sifat Wiryo tak pernah berubah. Hampir setiap malam pulang dalam keadaan mabuk. Sebenarnya Mutia merasa kesal, namun dia hanya terus berdoa dalam setiap sholatnya agar Wiryo suatu saat bisa insyaf. Entah mengapa hati kecilnya merasa bahwa Wiryo pasti bisa berubah.

" Laki - laki itu seharusnya bisa jadi imam. Lah kalau lelakimu saja tidak pernah sholat terus bagaimana caranya bisa menjadi imam buatmu?"

Mutia hanya diam tak menanggapi seloroh kesal dari Kasmirah ibunya. Entah sudah berapa kali ibunya membahas hal yang sama tiap kali berkunjung. Dan yang dilakukan Mutia hanya menebalkan kupingnya saja.

"Kalau kau dulu menuruti emak menikahi Rohim pasti hidupmu tidak akan seperti ini. Dia mapan dan agamanya juga baik" kasmirah terus mengomel sambil menjejalkan sirih ke mulutnya. Sudah menjadi kebiasaannya menyirih untuk merawat giginya.

"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan mak jadi jangan terburu buru menghakimi". Sahut Mutia mulai jengah dengan kata-kata ibunya.

"Memangnya apa yang membuatmu bertahan dengan lelaki seperti itu? Apa yang kamu lihat dari dia?"

"Entahlah Mak.. aku juga tidak tahu"

Mutia menerawang mencoba mencari tahu alasan mengapa dia jatuh cinta dengan Wiryo.

Mungkin karena bola mata cokelatnya yang berbinar saat menatapnya. Membuat Mutia merasa menjadi perempuan yang paling cantik di matanya. Bahkan sampai saat ini Mutia masih sering merasa deg degan saat beradu pandang dengan Wiryo.

Tak hanya soal agama. Secara ekonomi pun mereka jauh dari kata cukup. Wiryo hanya kerja serabutan sambil menggarap beberapa sawah sewaan yang hasilnya hanya cukup untuk makan sekeluarga.

Beberapa kali Mutia terbuai mimpi untuk hidup lebih layak namun semua kandas di tengah jalan.

Yang paling parah suatu ketika Wiryo bekerjasama dengan agen penyalur TKI. Dia dipercaya mengelola pendaftaran TKI di kampungnya dengan iming - ining imbalan yang tidak sedikit. Bahkan mereka sekeluarga dijanjikan untuk dikirim dan tinggal juga di luar negeri.

Secercah sinar harapan muncul di hati Mutia. Dengan semangat ia ikut mempromosikan ke para tetangga dan mereka pun banyak yang tertarik untuk mendaftar. Banyak yang menjual perhiasan, hewan ternak, bahkan sawah untuk membayar biaya pendaftaran. Namun setelah uang pendaftaran di setor ke agen penyalur, tiba-tiba kantor agen penyalur tersebut tutup. Pengelolanya tidak bisa dihubungi, raib bersama puluhan juta uang pendaftaran yang dibayarkan para calon TKI.

Habis sudah, tidak ada yang bisa mereka mintai pertanggungjawaban selain Wiryo. Dan mereka kehilangan hampir seluruh harta benda untuk mengganti semua uang pendaftaran yang hilang. Pupus sudah semua harapan mereka. Berganti dengan kemalangan yang bertubi tubi. Sampai mereka terlilit hutang demi mempertanggungjawabkan perbuatan agen palsu tersebut.

Wiryo jatuh sakit, bangkrut dan berbulan-bulan tidak bekerja. Namun Mutia tidak pernah menyalahkannya. Malah merawat dengan sepenuh hati. Dan dengan menebalkan muka berhutang belanjaan di warung sayur. Sambil melakukan apa saja yang bisa menghasilkan uang.

Kesakitan dan kepahitan terus menghampiri kehidupan mereka. Namun Mutia tetap bertahan. Tak ada niat sedikit pun untuk meninggalkan Wiryo.

Sampai suatu sore sewaktu pulang dari sawah. Entah mengapa Wiryo seolah terpaku memandang istrinya dikerumuni anak anak kecil. Dengan telaten dia menuntun dan membenarkan gerakan sholat mereka. Ini bukan kali pertama Wiryo melihat istrinya mengajar mengaji. Namun entah mengapa kali ini terlihat lain?

Pandangan Wiryo terhenti pada kertas koran bekas yang menjadi alas mereka. Ada rasa getir di hatinya. 2 hari berikutnya Wiryo pulang membawa gulungan Tikar pandan dan lampu minyak.

"Buat apa semua ini pak?" Mutia nampak keheranan dengan barang-barang yang dibawa suaminya.

Wiryo tak langsung menjawab, digelarnya tikar Pandan di teras tempat anak-anak belajar dan meletakkan lampu minyak di meja kecil di sudut teras.

"Mulai sekarang ajarilah anak-anak sholat di malam hari kalau kau ajari mereka sewaktu sore, aku tidak bisa ikut belajar".

" kamu mau belajar sholat juga?" Mutia terkejut namun segera senyum cerah menghiasi bibirnya

" kenapa? Apa aku sudah terlalu tua untuk belajar?"

"Tentu saja tidak Pak. Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Aku akan mengajarimu dengan senang hati "

Mutia sumringah. Jauh lebih sumringah dibanding ketika mendengar janji akan hidup layak di luar negeri.

Wiryo pun mulai belajar sholat dengan sungguh sungguh. Dia mengamati sewaktu istrinya mengajari anak - anak tetangga , lalu setelah mereka pulang Wiryo mulai mempraktekkan apa yang sudah ia perhatikan sebelumnya.

Bagai mendapat murid yang jenius. Mutia semangat mengajari Wiryo. Dia sama sekali tidak menyangka Wiryo si pemabuk begitu cepat menangkap pelajarannya. Dan bahkan sekarang Wiryo menjadi pribadi yang berbeda.

Ketika sudah bisa sholat tak pernah sekalipun Wiryo meninggalkan sholat. Bahkan dia akan mengomel jika sudah terdengar suara Adzan namun Mutia dan anak-anaknya tak segera beranjak mengambil wudhu. Kini pun dia tak pernah lagi menyentuh minuman keras.

Ilmu agama Wiryo semakin dalam ketika dia berguru pada seorang Kyai di Lereng Muria. Bahkan kini dia sudah bisa mengimami istri dan anak-anaknya sholat.
************************************
Mutia tersadar dari lamunannya. Ia memejamkan mata dan merasakan belaian lembut tangan Wiryo di kepalanya.

Selama 20 tahun terakhir, inilah yang dia lakukan untuk mengobati rindunya. Duduk berdoa untuk mendiang suaminya selepas sembahyang lalu membayangkan suaminya hadir dan diajak bicara. Berkeluh kesah seolah dia mendengarnya.

Ibunya berulang kali menyarankan dia untuk menikah lagi. Karena tidak mungkin Mutia bisa merawat ke tiga anaknya seorang diri. Lagipula saat ditinggalkan Wiryo, Mutia terbilang masih muda dan cantik. Namun entah mengapa Mutia enggan menanggapi. Dia hanya memikirkan cara untuk menghidupi anak-anaknya ketimbang mencari pasangan lagi.

Mutia beranjak dari sajadahnya. Melepas mukenanya dan bersiap untuk memasak sarapan bagi anak cucunya.

Ya setiap hari jumat pagi anak cucunya selalu datang pagi buta untuk nyekar ke makam suaminya.
Mutia memandang ke luar jendela. Langit gelap karena mendung. Sepertinya akan segera turun hujan.

Tiba-tiba dia teringat dengan anak cucunya yang berada di makam.

"Apa mereka tadi membawa payung?"

Mutia begumam kebingungan. Dia khawatir dengan kedua cucunya kalau nanti kehujanan.

Selama 20 tahun sejak Wiryo meninggal tak sekalipun Mutia menengok kuburnya. Berbagai alasan dipakainya untuk menghindar dari kegiatan nyekar. Banyak yang mempertanyakan dalam hati namun tidak ada yang berani menanyakan langsung ke Mutia. Mereka takut kalau hal itu justru membuka luka di hati Mutia.

"Bismillah aku bisa" Mutia memejamkan mata sejenak memantapkan hatinya. Diambilnya 2 buah payung dan 2 jas hujan kelelawar dan dengan setengah berlari Mutia menuju makam suaminya yang tidak begitu jauh dari rumahnya.

Mutia berhenti di depan pintu masuk makam. Gerimis sudah mulai turun perlahan. Dilihatnya anak dan cucunya duduk menghadap sebuah pusara dengan kayu nisan berwarna biru muda. Dengan ragu dia melangkah masuk mendekati mereka.

Tepat ketika Mutia sampai di depan pusara suaminya, doa tahlil selesai dibacakan. Kamal anak ke duanya menoleh dan terkejut mendapati ibunya datang ke makam.

Mutia menyodorkan sebuah jas hujan ke Maira anak bungsunya. Lalu dibukanya jas hujan itu lebar lebar untuk menutupi kepalanya. Maira merangkul kedua keponakannya agar terlindung juga dari gerimis yang sudah mulai lebat.

Kemudian Kemal diberikan sebuah jas hujan juga. Lalu Mutia mengulurkan sebuah payung untuk Rozak kakak tertuanya.

Kemal menepuk bahu Rozak kakak pertamanya. Dengan ekspresi terkejut yang hampir sama dengan Kemal, Rozak lalu menerima payung yang disodorkan ibunya kepadanya.Setelah itu dia bergeser dan membiarkan ibunya duduk tepat di depan pusara sang ayah.

Rasa sesak memenuhi dada Mutia, dan dengan sekuat tenaga dia menahan butiran air di sudut matanya agar tidak terjatuh.

Mutia menghela nafas panjang dan memejamkan mata sejenak berusaha untuk tetap tenang. Disiramkannya bunga di atas pusara orang yang sangat dicintainya itu. Lalu dengan ujung lengannya dia membersihkan kayu nisan yang sedikit berdebu.

"Pak aku datang" ucapnya lirih. Diaturnya emosinya sedemikian rupa agar tak menangis.

" kau lihat aku tidak menangis kan?" Mutia berusaha tersenyum.

" Aku dan anak anakmu baik baik saja jadi kau tak perlu mengkhawatirkan kami" Mutia sudah mulai bisa mengendalikan perasaanya.

"Kau lihat anak anakmu? Aku merawat mereka dengan baik bukan? Mereka bahkan sudah setinggi dirimu saat terakhir kita bertemu. Kau bahkan sudah memiliki 2 orang cucu yang tampan dan pintar. Dan anak gadismu sebentar lagi sudah akan menikah. Jadi sudah tidak ada lagi yang perlu kau khawatirkan. Beristirahatlah yang tenang Pak. Tunggu hingga waktunya kita berkumpul lagi di sana".

Anak anak Mutia terharu mendengar setiap kata yang diucapkan ibunya. Betapa besar kesetiaan yang dijaga oleh ibunya untuk sang ayah. Jika mengingat kembali betapa besar perjuangan ibunya menghidupi mereka seorang diri.

"Mbah Uty ayo pulang aku dah lapel nih" tiba-tiba cucunya yang baru berumur 3th merengek minta pulang.

"Wah iya sayang setelah ini kita mampir di warung bu Karti ya beli nasi uduk. Mbah Uty ndak masak hari ini".

" nggak ah aku mau nasi goleng buatan mbah Uty".

Mutia tersenyum mendengar perkataan cucunya.

" Baiklah ayo kita pulang! Akan mbah Uty siapkan nasi goreng yang paaaliing enak".

"Yeeeyyy...!!" Kedua cucu Mutia melonjak kegirangan.

"Ribuan malam sepi ku arungi sendiri
Namun aroma tubuhmu masih disini
Hembusan nafasmu
Terasa meniup hangat setiap jengkal leherku.

Ketika ku merasa tak sanggup berdiri.
Kupejam mata dan kau pun di sini

Menemaniku mengarungi malam.

Meski hanya sebuah angan."

Kutipan puisi "Ku Merindu" dalam Buku Antologi " Bidadari - Bidadari
Sekar Langit".
**********************************





Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.