(BUDAK) ALGORITMA

(BUDAK) ALGORITMA

 

 

(BUDAK) ALGORITMA

 

Film ini rasanya wajib ditonton. Sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang ini. Apalagi, kita semua kebanyakan pengguna. Bahkan, kata "pengguna" sendiri hanya disematkan pada dua hal: narkoba dan software.

The Social Dilemma. Ada di Netflix. Di Google juga ada. Cari aja, nanti juga ketemu.

Ini film dokumenter, yang membongkar bagaimana sebenarnya media sosial itu bekerja. Yang membongkar orang-orang mantan karyawan di facebook, google, twitter, youtube, pinterest, uber, dan lainnya.

Para coach digital marketing sibuk membongkar bagaimana algoritma facebook, instagram, tiktok, bekerja. Sebenarnya, hal paling utama yang dituju para pembuat platform adalah bagaimana kita-kita ini, yang menginstal platform itu, selama mungkin terus menatap layar ponsel.

Gila.

Artificial Intelligence (AI) semakin dikembangkan, semakin presisi dibuat untuk prediksi perilaku kita di medsos. Gak heran kan kalau kita ngobrol di WA, tau-tau iklan produk yang relevan nongol di beranda fesbuk atau instagram? Atau ketik kata di google, muncul juga iklannya.

Memang tujuan akhirnya itu. UANG.

Karyawan di platform berpikir keras bagaimana supaya platform ini menghasilkan uang. Monetisasi. Iklan terpasang adalah jalannya. Ada cara luar biasa yang cukup menggambarkan hal tersebut di film garapan Jeff Orlowski ini.

Tokoh bernama Ben, sedang menaksir teman kuliahnya. Seperti film animasi Inside Out, di balik layar ponsel Ben ada tiga orang yang terus mengatur supaya Ben tetap di hadapan ponselnya.

Tiga karyawan platform memberi rekomendasi hal-hal yang disukai Ben; memberi notifikasi bahwa kecengannya baru saja bergabung di platform tersebut-ayo berikan lambaian!; memberi akses informasi yang disukai Ben; memberitahu bahwa kecengannya suka emoji-ayo kirimkan emoji!; dan setelah beberapa tap dan scroll, muncullah iklan yang kemudian tiga orang tersebut berkata, "Terjual! Untuk lilin rambut Deep Fade. Ada 468 penawar yang berminat. Kita menjual Ben seharga 3,262 sen untuk satu impresi."

Kita memang ditargetkan selama mungkin menatap layar ponsel, agar semakin banyak iklan dimunculkan.

Ada juga analogi yang menarik dijelaskan oleh Tristan Harris, mantan pakar etika desain google. Sepeda, kata Tristan, adalah alat, yang tidak ada orang kemudian protes karenanya. Alat itu pasif. Semua yang disebut alat, adalah pasif. Tapi teknologi industri ini bukan alat. Platform, medsos, itu bukan alat. Tapi dia adalah sebuah teknologi yang tujuannya memanipulasi psikologis para pengguna dan membuatnya candu. Ketagihan.

Jika ada dua orang terkoneksi dalam sebuah platform, itu akan didanai oleh orang ketiga yang licik yang membayar untuk memanipulasi kedua orang tersebut. Hal ini dikatakan oleh Jaron Lanier (founding father of virtual reality computer scientist).

Bahkan, untuk tetap membuat kita ini menatap layar ponsel di WA, atau facebook messenger misalnya, adalah fitur sederhana seperti typing. Hanya tanda titik tiga yang disebut elipsis (...) sebagai simbol "sedang mengetik", itu akan membuat bertahan dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Entah hanya kirim emoji, gif, atau kalimat. Yang penting kita terus menatap layar selama mungkin.

Saya pernah hitung dalam sehari berinteraksi dengan ponsel di waktu weekend. Hampir lima jam! Parah. Karyawan platform tentu bakal senang, karena ada waktu lima jam untuk terus menyisipkan iklan, untuk diinformasikan kepada pengiklan bahwa saya suka dengan hal ini dan itu. Sekian rupiah untuk impresi ini, hasil dari Oksand yang menatap layarnya lima jam di hari Sabtu!

Kenapa kita bisa betah dengan ponsel? Dengan medsos di dalamnya? Itu hasil dari tap, scroll, ketikan kata kunci, yang semua perilaku kita tadi dikuantifikasi sehingga di layar ponsel kita hanya muncul hal-hal yang kita sukai.

Makanya, polarisasi makin tajam terjadi. Fanatisme akan kubu tertentu di politik, teori konsipirasi, berita hoax. Yang hoax makin hoax. Yang fanatik makin fanatik. Karena memang didesain seperti itu. Karena kita sendiri! Lucu. Dan miris. Kita menciptakan pundi untuk pemilik dana yang licik, yang memanipulasi informasi untuk ditampilkan di layar ponsel kita.

Bagaimana cara menghentikan kecanduan ini? Bagaimana menghentikan diri sebagai budak algoritma media sosial?

Matikan notifikasi. Apapun. Email, direct message, komentar, tag, bahkan like.

Setelah nonton The Social Dilemma, saya langsung ke pengaturan fesbuk dan instagram, dan segera mematikan notifikasi. Biar saya yang mengatur kapan saya mau lihat layar ponsel. Medsos tidak perlu mengatur saya untuk terus menatap layar. Grup WA, silent aja. Hidupkan kalau hanya ada japri. Bedakan suara notifikasi untuk pesan pribadi.

Minimal, kita sudah sedikit menjauh dari diri sebagai budak algoritma.

Hidup kita, kita yang mengatur. Bukan medsos. Bukan ponsel.

.oksand.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.