Seni Bermonolog dan Berdialog

Masalah tidak pernah berhenti; mereka hanya datang silih berganti dan/atau meningkat. Dalam memecahkan setiap masalah, konsepnya selalu sama: awali dengan komunikasi pada diri sendiri, dan jika memang perlu kesepahaman, berkomunikasilah dengan orang lain. Saya menyebut konsep ini dengan Seni Bermonolog dan Seni Berdialog.

Seni Bermonolog dan Berdialog
Kebebasan dari masalah selalu berawal dengan bermonolog/berdialog

Kita semua benci dengan masalah-masalah yang menimpa kita. Tetapi, hidup memang selalu dan akan selalu berjalan demikian. Dan itu bagus! Masalah adalah fakta universal; tak pernah dan tak akan pernah menghilang.

Ketika kita makan atau minum, sebenarnya kita sedang memecahkan masalah, yaitu masalah kelaparan dan kehausan. Termasuk ketika kita mandi, adalah cara kita untuk memecahkan masalah bau badan akibat keringat. Belajar di sekolah adalah cara diri kita memecahkan masalah kebodohan. Sudahkah Anda memecahkan masalah itu?

Semua hal yang kita lakukan adalah cara instan kita untuk memecahkan segala permasalahan dalam hidup. Secara gamblangnya, hidup adalah rentetan dari masalah.

Bahkan ketika Anda membaca tulisan ini, adalah cara yang Anda lakukan untuk memecahkan masalah kebingungan dan rasa penasaran Anda.

Masalah tidak pernah berhenti; mereka hanya datang silih berganti dan/atau meningkat.

Karena hidup merupakan rentetan dari masalah yang tiada henti, maka kebahagiaan pun akan datang dari masalah itu sendiri. Ini bukan tentang kita mempunyai masalah atau tidak, tapi tentang keberhasilan kita dalam memecahkan masalah. Kata kuncinya ada pada “memecahkan”.

Jika kebahagiaan Anda adalah memiliki uang banyak, maka Anda harus bisa memecahkan masalah ekonomi dari diri Anda. Dan satu contoh saja sudah cukup, saya hanya dapat membuat Anda berpikir.

Meskipun masalah setiap orang berbeda, tetapi kunci pemecahannya selalu sama. Ya, benar sekali! Kuncinya ada pada komunikasi. Apa konteks “komunikasi” dalam hal ini? Bagaimana komunikasi dapat menjadi “solusi”, dan bukannya “polusi”?

Sebagai awalan, saya ingin sedikit skeptis: mengapa sesuatu dikatakan masalah? Barangkali karena sesuatu itu menghambat langkah kita, mengganggu sebagian atau seluruh diri kita, atau memang harus “dipecahkan”. 

Maka, adakah cara untuk menghilangkan masalah dari hidup? Tentu, tidak ada! Tetapi pembaca, ada orang-orang yang mampu menjalani hidupnya seakan tak punya masalah. Mereka begitu tenang dan menikmati setiap detik waktunya. Mungkin Anda mengenal beberapa orang yang demikian. Dan saya tahu banyak akan hal itu setelah memerhatikan para filosof. Apakah mereka terjebak dalam pikiran yang delusional?

Saya mendapati sebuah kesimpulan yang aneh, sekaligus nyata: bahwa orang-orang yang demikian telah berhasil memecahkan semua masalahnya hanya dengan komunikasi. Tidak salah lagi!

Kita tahu bahwa hidup merupakan rentetan dari masalah, pada dasarnya. Maka, tidak ada cara untuk bisa mengelak dari masalah. Solusinya ialah, bagaimana membuat masalah-masalah kita menjadi sesuatu yang bermakna, bukan sekadar kesakitan yang sia-sia. Dan bagaimana makna itu didapat? Adalah dari cara kita menyikapinya.

Kita tak bisa menghindari atau bahkan memilih setiap masalah yang menimpa kita, sebab itu di luar kendali. Tetapi pembaca, hati kita selalu bisa memilih untuk menyikapinya. Apa pun bisa dirampas dari manusia, kecuali satu: kebebasan terakhir seorang manusia—kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan, kebebasan untuk memilih jalannya sendiri. Karenanya, tidak ada kemerdekaan yang benar-benar hilang bahkan dalam situasi yang paling tidak manusiawi sekali pun.

Di sini kita bisa tahu, bahwasanya meskipun masalah itu selalu ada, tetapi merasa “bermasalah” merupakan sebuah pilihan. Dalam situasi sekacau apa pun, hati kita masih bisa menentukan sikap atas masalah itu.

Maka, orang bijak tak pernah merasa “bermasalah”. Mereka pun sama, mendapatkan masalahnya masing-masing. Tetapi mereka memiliki kebijakan dalam memilih dengan hati nuraninya. Karena itu, mereka tak merasa “bermasalah”. Bukan tak bermasalah, tapi tak “merasa bermasalah”.

Dengan demikian, kunci pertama dari memecahkan segala masalah adalah dengan berkomunikasi. Bukan dengan orang lain, tetapi selalu berawal dengan diri sendiri.

Saya menyebutnya dengan Seni Bermonolog.

Mari sedikit bermain permainan logika!

Ketika Anda memiliki masalah yang tak terselesaikan, hal terbaik pertama yang harus dilakukan ialah melalui komunikasi dengan diri sendiri. Tanyakan pada diri Anda, mengapa masalah itu ada? Dan mengapa ia tak kunjung terselesaikan? Apa akibatnya bila dibiarkan? Bagaimana ia bisa begitu menghambat Anda? Mungkin sedikit gila untuk bertanya pada diri sendiri. Tetapi cara ini akan membawa Anda pada akar permasalahan. Dengan begitu, Anda tahu apa yang harus dilakukan.

Hal ini berlaku pada masalah apa pun. Kunci pertamanya selalu sama: berkomunikasi dengan diri sendiri. Ini karena hal-hal tertentu sering dianggap sebagai masalah akibat paradigma yang ada dalam diri kita sendiri.

Kita masing-masing cenderung berpikir bahwa kita melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, bahwa kita sudah obyektif. Namun pada kenyataannya, tidak demikian. Kita melihat dunia, bukan sebagaimana adanya, melainkan sebagaimana kita adanya—atau sebagaimana kita terkondisikan untuk melihatnya. 

Ketika kita membuka mulut untuk menjabarkan apa yang kita lihat, kita sebenarnya menjabarkan diri kita, persepsi kita, paradigma kita sendiri. Ketika orang lain tidak setuju dengan kita, kita segera berpikir pasti ada sesuatu yang salah dengan mereka. Namun, orang yang tulus dan berpikiran jernih melihat segala sesuatunya secara berbeda, masing-masing melihat melalui lensa unik pengalamannya. Dan ini tidak berarti bahwa fakta itu tidak ada. Tetapi, setiap orang memiliki “kacamatanya” masing-masing.

Dan “racun” untuk mengendalikan paradigma dalam diri adalah melalui komunikasi dengan diri sendiri. Senantiasa demikian!

Saya tahu Anda tak begitu puas. Jadi, mari kita cari contoh lainnya.

Bayangkan Anda sedang berjalan-jalan di taman yang menawan dan sejuk. Bunga-bunga mengiringi setiap langkah Anda di sana. Ketika Anda melihat sekeliling, di sana ada banyak sekali orang. Hampir tak bisa dihitung. Orang-orang itu adalah diri Anda sendiri di masa lalu.

Anda mendapati diri Anda yang sedang menjalani tahun-tahun di sekolah dasar, diri Anda yang menyebalkan ketika remaja, kemudian diri Anda beberapa bulan lalu yang mungkin telah membuat kesalahan besar. Anda akan sangat tertarik untuk berbicara dengan diri Anda yang memesona ketika baru tumbuh remaja, di saat Anda belajar banyak hal berharga dan pertama mengenal cinta.

Tapi kemudian, akan ada satu “mantan” diri Anda yang sangat ingin Anda hindari. Anda sangat mengingat tentang diri Anda yang satu ini. “Mantan” diri Anda itu telah melakukan hal mengerikan yang belum pernah Anda temukan cara untuk memaafkan diri sendiri. Jika Anda dipaksa untuk berbicara dengannya, Anda akan menghukum, “Bagaimana kamu bisa melakukan hal itu? Apa yang kamu pikirkan? Kamu benar-benar bodoh, Ya Tuhan!”

Semakin lama Anda mengutuk diri Anda itu, semakin terlelap diri Anda dalam rasa penyesalan. 

Ini adalah perumpamaan tentang apa yang terjadi ketika Anda merasa menyesal. Anda akan mengabaikan dan mengacuhkan seluruh bagian menarik dari hidup Anda, karena terlalu mempertajam kesalahan di masa lalu yang selalu menghantui. Semakin dalam rasa penyesalan, semakin banyak bagian menarik yang Anda lewatkan begitu saja dalam hidup ini.

Dan kita semua mengakui, bahwa sebuah masalah menjadi “abadi” dengan timbulnya rasa penyesalan.

Penyesalan adalah salah satu bentuk dari kebencian pada diri sendiri. Jika siapa kita hari ini adalah puncak dari semua tindakan yang telah mengarahkan kita hingga saat ini, maka penolakan beberapa tindakan di masa lalu kita hanyalah penolakan terhadap sebagian dari diri kita saat ini.

Tetapi pembaca, cara untuk mengatasi rasa penyesalan adalah justru dengan tidak mengusirnya. Malah kita harus mendorongnya. Ini adalah cara kita untuk melibatkan diri kita sebelumnya, untuk berbicara dengan “mereka” secara langsung, berkomunikasi, dan memahami mengapa “mereka” melakukan semua itu. Dengan cara ini, kita akan lebih bersimpati pada diri kita yang dulu, untuk merawat “mereka”, dan akhirnya, memaafkan "mereka".

Semakin kita mencoba untuk melupakan sesuatu, semakin kita mengingatnya. Maka pembaca, untuk mengatasi rasa penyesalan bukanlah dengan melupakannya, tetapi justru memahaminya dan berkomunikasi dengan diri sendiri. Pahami alasan di balik kekeliruan yang Anda lakukan, sehingga Anda bisa bersimpati dengan diri Anda yang dulu, bahwa semua itu tak terhindarkan.

Karena dengan begitulah Anda bisa memaafkan diri sendiri.

Apa perbedaan antara kesalahan dan penyesalan?

Penyesalan hanyalah bentuk dari kesalahan yang belum pernah kita pelajari dengan benar. Maka, penyesalan memiliki tujuan yang adaptif. Itu bisa membantu kita atau menyakiti kita. Ketika kita merasa menyesal, kita bisa berkubang dalam kesalahan masa lalu atau kita bisa mengambil langkah untuk memastikan kita tidak mengulangi kesalahan masa lalu kita.

Dengan begitu kita tahu, bahwa untuk mengatasi masalah penyesalan adalah melalui komunikasi dengan diri sendiri. Lihat betapa ajaibnya ketika Anda berhasil memahami diri Anda sendiri; maka penyesalan bukanlah kesalahan, melainkan pembelajaran.

Ini memaksa Anda untuk bertanggung jawab atas segala kekacauan, dan jika Anda benar-benar bertanggung jawab terhadapnya, Anda tidak akan mengulangi kekeliruan di waktu mendatang. Untuk itulah penyesalan ada.

Metode komunikasi dengan diri sendiri ini selalu menjadi syarat utama sebelum Anda memecahkan masalah, bahkan jika itu melibatkan orang lain.

Beberapa tahun yang lalu, saya sangat membenci seseorang. Saya merasa dikhianati, dimanfaatkan; sangat benci! Dia bahkan mengetahuinya, bahwa saya tak suka dengannya. Saya pikir itu ide yang bagus! Tetapi kemudian, saya menyadari betapa pentingnya menyusun ulang “naskah” diri sendiri.

Saya mencoba berkomunikasi dengan diri sendiri; mengapa saya begitu membencinya, mengapa ia berkhianat, dan bagaimana itu bisa terjadi. Setelahnya, saya mendapati kesimpulan lain, bahwa saya terlalu lebay. Saya segera menemuinya dan meminta maaf. Kami akrab hingga kini.

Barangkali Anda dapat menarik benang merah, bahwa berkomunikasi dengan diri sendiri adalah cara kita untuk menjernihkan pemikiran, menyusun ulang “naskah”, memahami paradigma dalam diri, kemudian merencanakan bagaimana seharusnya kita bertindak.

Setelah berhasil berkomunikasi dengan diri sendiri, ada kalanya kita pun harus berkomunikasi dengan orang lain demi kesepahaman. Mengapa berkomunikasi dengan orang lain itu penting dalam menyelesaikan masalah? Karena orang lain pun memiliki paradigmanya sendiri. Untuk bisa menyelaraskan paradigma, maka komunikasi menjadi syarat utama.

Dan uniknya, terkadang kita harus membiarkan orang lain menjadi yang “menang”. Ini tidak berarti kita kalah! Justru, ini merupakan cara kita untuk memahami dan “mengalahkan” situasi. Dengan begitu, pikiran kita lebih jernih dalam menyelesaikan masalah.

Sesekali, sebuah bunga harus membiarkan ulat untuk memakan daun-daunnya. Karena kelak, ulat itu tumbuh menjadi kupu-kupu yang membantu bunga dalam proses penyerbukan. Maka tak apa menjadikan orang lain sebagai yang “menang”.

Saya menyebutnya dengan Seni Berdialog.

Barangkali tulisan ini sudah sangat membosankan, maka satu contoh terakhir akan menjadi pemanis dari tulisan ini.

Dalam masalah “kebodohan” misalnya, cara untuk memecahkannya adalah dengan berkomunikasi. Lebih tepatnya, jadilah seorang “bidan”! Bukan, bukan berarti kita harus menjadi bidan dalam arti sesungguhnya. Dalam hal ini—yaitu menyampaikan pembelajaran pada orang lain—kita tidak harus menggurui seorang pun.

Layaknya seorang bidan, dia tidak melahirkan sendiri anak itu, tetapi dia ada untuk membantu selama proses persalinan. Begitu pula, tugas kita ialah membantu orang-orang “melahirkan” wawasan yang benar, sebab pemahaman yang sejati harus timbul dari dalam diri sendiri. Itu tidak dapat ditanamkan oleh orang lain. Dan hanya pemahaman yang timbul dari dalam itulah yang dapat menuntun kepada wawasan yang benar.

Socrates pernah mengatakan, “Aku tidak bisa mengajarkan apa pun kepada siapa pun. Aku hanya dapat membuat mereka berpikir.” Demikianlah kita seharusnya! Tidak menggurui, melainkan berdiskusi dengan mereka sehingga kita pun akan belajar sesuatu dari lawan bicara kita.

Menggurui itu bersifat satu arah; semacam monolog. Sedangkan berdiskusi itu bersifat dua arah; bersifat dialog. Dengan begitu, kita lebih terbuka untuk belajar dari lawan bicara kita.

Pada akhirnya, kita bisa tahu bahwa masalah itu selalu ada. Kendati demikian, merasa “bermasalah” merupakan sebuah pilihan. Dan pilihan itu datang dari cara kita menyikapinya. Sikap itu datang dari cara kita berkomunikasi dengan diri sendiri.

Apa pun masalahnya, konsep memecahkannya tetap sama: awali dengan komunikasi pada diri sendiri, dan jika memang perlu kesepahaman, berkomunikasilah dengan orang lain.

Seberapa kacau pun keadaan kita saat ini, hidup yang kita jalani tetap akan berjalan sebagaimana mestinya; menuntut kita untuk terus berlari. Maka cukup penting untuk menjadi “tak apa-apa”!

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.