NOAM

Bagian 3: Karangan Bunga Layu

NOAM

 

Sudah tiga hari tubuh ini sulit menelan makanan dan hanya bisa meneguk beberapa gelas air putih sehari. Keluar kamar pun hanya untuk ke kamar mandi untuk buang air kecil … aku lupa kapan terakhir aku mandi. Malam silih berganti pagi, tetapi aku tidak tahu hari lagi sejak akhir pekan lalu, aku sepertinya sudah dua hari tidak masuk kantor … entahlah.

Gorden jendela kamar kututup rapat, aku hanya bisa meraba kalau pagi tiba ketika ada bayang-bayang cahaya menari-nari dari balik kain gorden ungu itu. Janganlah matahari memancarkan sinarnya di ruangku lagi karena setiap hari yang baru hanya akan memperpanjang kepiluanku.  

“Layla …” Aku dengar suara Lara dari balik pintu. “Kamu sudah bangun? Siap-siap ke kantor, nanti kamu dipecat loh gak masuk terus. … Ini ada muffin dan kopi, ayo sarapan dulu.” Suaranya memudar hingga terdengar suara pintu apartemen terbuka dan tertutup. Lara sudah berangkat kerja.

Aku menengok ke meja kerjaku. Ada piring dengan sisa-sisa nasi goreng masakan Lara. Itulah Lara, ia selalu memperhatikan temannya. Ia sering memanggilku untuk makan sejak aku mengurung diri. Tentunya aku tidak mau keluar kecuali untuk minum dan ke kamar mandi. Sekembali dari kamar mandi, di meja kamarku pasti ada sepiring makanan yang telah diletakkan Lara. Bisa dibilang Laralah yang telah mengurusku pada masa-masa sulit ini. Aku kira dia benar, aku harus berangkat ke kantor karena ternyata hidupku belum berakhir hingga saat ini.

***

Tidak mudah menjalankan hariku di kantor. Untuk bisa mengabaikan rasa sakit hatiku dan dapat berkonsentrasi, aku harus minum bergelas-gelas kopi sampai aku merasa seperti zombi. Mati rasa. Mati hasrat. Sudah seperti itu pun, wajah Noam akan tiba-tiba muncul dalam benakku.

 

Aku pun teringat Malam Tahun Baru yang kami lalui bersama, sulit sekali rasanya melakukan perayaan dengan situasi di Gaza.

 

Ketika membuka internet aku lihat ada berita tentang warga Israel melakukan protes terhadap Benjamin Netanyahu dan mendesak PM Israel itu untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam pelepasan sandera. Ingatanku terbawa ke beberapa bulan silam ketika aku dan Noam bersama kawan lainnya melakukan aksi protes pro-Palestina di Hyde Park. Aku pun teringat Malam Tahun Baru yang kami lalui bersama, sulit sekali rasanya melakukan perayaan dengan situasi di Gaza. Gelas sampanye di tangan kami, kami bersulang, tetapi sebagai warga Inggris apakah berarti darah para korban perang di Gaza juga menetes di tangan kami karena sikap pemerintah kami yang mendukung Israel?

Setelah melewati Tahun Baru di salah satu kediaman teman kami, aku dan Noam menghindari keramaian dengan mengunjungi sebuah klub sepi yang masih buka menjelang pagi, yang memainkan lagu-lagu Indie yang tidak ngehits. Kami berdua berdiri di sebuah pojokan, tetapi masih cukup dekat untuk melihat panggung.

Semuanya masih jelas dalam ingatanku … Noam memelukku rapat ke tubuhnya, kedua lengannya melingkari pinggangku. Lengan kananku memeluknya dan lengan kiriku bersandar di dadanya, seperti juga kepalaku. Noam sekali-sekali mengecup rambutku. Tubuh kami kadang mengayun-ayun mengikuti ritme musik. Kami menjadi satu dalam jiwa dan cinta. Aku masih ingat, damai yang kurasakan dalam pelukan Noam, aroma tubuhnya, hangat napasnya. Suasana begitu sendu karena kami akan berpisah untuk beberapa waktu.

Kemudian ingatanku terbawa ke hari terakhir bersama Noam. Pagi hari di sebuah stasiun kereta, di situlah aku merasakan hangat mulutnya pada bibirku untuk terakhir kalinya. Tetesan air mata terasa hangat membasahi kedua mataku, bahkan menyengat pipiku yang dingin memerah karena hembusan angin kota London pagi itu. Terbayang senyum Noam dan lambaian tangannya. Terdengar jelas di telingaku, bunyi kereta melaju di pagi yang dingin berkabut.

Kini kenangan itu seperti belati yang mencabik-cabikku. Setelah tiga bulan Noam kembali ke kampusnya di kota Leeds dan kami berpacaran jarak jauh, ia memutuskanku. Sudah 78 jam, 28 menit sejak Noam memutuskanku … ya, aku menghitungnya!

Sebelumnya, ada suatu kejadian. Aku menerima sebuah karangan bunga mawar berbungkus kertas putih yang dikirim ke apartemen. Sebuah karangan bunga-bunga mawar layu … ya, dead roses. Terdapat kartu yang menempel di bungkusnya. Kartunya bertuliskan huruf yang seperti goresan darah dan berbunyi:

To

Layla

From

Your Jewish lover

Ketegangan antarwarga Muslim dan Yahudi London sejak perang Gaza telah menimbulkan tindakan hate crime maupun teror, tak terbayang bahwa aku akan menjadi sasaran. Lara dan Linh pun menjadi risau. Aku langsung menelepon Noam dan ia sarankan agar aku laporkan ke polisi. Namun, tak kusangka, esok malamnya Noam memutuskanku. Ia berkata, “Ini lebih baik dan aman bagimu, Layla, agar tidak ada yang menerormu lagi.”

Namun, banyak tanya timbul di hatiku. Apakah Noam merasa ribet melanjutkan hubungan ini? Apakah ia bosan denganku? Apakah mungkin dia ingin memulai hubungan dengan perempuan lain di sana?

Buyarlah pikiranku menjelang jam-jam terakhir di kantor. Pukul 5 teng, aku langsung mengenakan mantelku dan mengarah pulang.

***

Ketika hendak turun dari lift sesampai di lantaiku, aku berpapasan dengan Linh yang hendak turun dan berangkat kerja mengisi shift malam di rumah sakit. Sambil memasuki lift dan mengucir rambut panjangnya, sementara aku melangkah keluar, Linh mengatakan, “Lara mengajak seorang laki-laki ke apartemen.” “Siapa?” tanggapku segera. “Pokoknya untuk dikenalin ke ka …” Sebelum Linh bisa selesai menjawab, pintu lift sudah tertutup.

Aku berjalan menuju pintu apartemen dan membukanya dengan kunciku. Ketika kakiku melangkah ke dalam, langsung tampak Lara sedang bercakap-cakap dengan seorang pria berpakaian rapi. Ia mengenakan setelan kemeja krem dan celana panjang korduroi cokelat serta sepatu pantofel berwarna sama dengan celananya. Mereka langsung menengok ke arahku.

 

“Nice to meet you,” sambut Jimmy dengan genggaman yang tak ragu.

 

Laki-laki itu berambut pendek agak ikal, berkulit gelap, hidungnya mancung, bola matanya coklat. Aku sudah bisa menebak, ia berasal dari India.

“Hey Layla,” sapa Lara. “Perkenalkan, ini Jimmy, temanku.”

Jimmy langsung berdiri dan menjulurkan tangan kanannya ke hadapanku. Ternyata ia cukup tinggi. Aku menyalaminya.

“Nice to meet you,” sambut Jimmy dengan genggaman yang tak ragu. Matanya menatap mataku, senyumnya yang agak lebar menunjukkan barisan gigi putih tertata rapi.

“Nice to meet you too,” balasku dengan senyum tipis.

***

“Aku sepertinya pernah melihat Jimmy beberapa kali,” kataku kepada Lara setelah Jimmy pulang usai kami bertiga ngobrol-ngobrol sekitar setengah jam. “Bukannya dia juga ada bersama mahasiswa Asia ketika aksi Pro-Palestina di Hyde Park?” tanyaku.

“Iya, dia memang sering ngumpul sama anak-anak Asia lainnya, makanya dia ikut aksi protes itu,” jawab Lara. “Bagaimana pendapatmu tentang Jimmy? Tertarik gak? Aku khusus memilihnya untukmu, Layla. Jimmy itu terkenal pintar loh di kampusnya. Aku tahu kamu gak suka sama cowok bodoh … haha,” tawa Lara.

“Tapi Jimmy disukai banyak cewek, dia sering gonta-ganti cewek. Gak apa-apalah. Pacaran gak perlu serius-serius amatlah, seperti kamu sama Noam begitu. Buat apa sih? Akhirnya cuman sakit hati aja,” lanjut Lara yang berniat benar menjodohkanku dengan Jimmy supaya aku bisa melupakan Noam.

“Ayolah …” bujuk Lara. Coba saja berkencan dengan Jimmy. Selain pintar, menurutku dia cute, charming, dan memiliki sense of humor yang keren.

Meski Lara gencar mempromosinya, aku baru mulai bisa dekat dengan Jimmy mungkin sekitar dua bulan kemudian. Dan Lara benar, sense of humor Jimmy merupakan daya tariknya. Tak dapat dipungkiri kalau ia cerdas, ini juga terefleksi dari joke-joke-nya yang sulit ditangkap kalau pendengarnya kurang luas pengetahuannya. Namun, kadang ia akan menuturkan sebuah joke yang konyol tak bermutu, tetapi karena ia yang menyampaikan, entah kenapa jadi tetap lucu. Aku sering dibuatnya terpingkal-pingkal karena gurauan picisan semacam itu.

Pada saat serius, kami bisa berbincang panjang lebar tentang berbagai topik dari politik hingga seni. Tak heran, pikirku, kalau banyak mahasiswa perempuan menyukainya, seperti yang dikatakan Lara.

Kalau sudah larut malam dan kendaraan mulai sulit, Jimmy akan mengantarku pulang ke apartemenku dengan berjalan kaki. Kami akan berjalan sambil bergandeng tangan dari pub tempat kami berkumpul ke apartemenku. Kami akan berpisah di depan pintu gedung apartemen. Aku akan membiarkan Jimmy mencium pipiku ketika ia mengucapkan good night.

 

Tak sanggup aku berbaring di tempat tidur itu sementara terbayang Noam saat tidur di sampingku.

 

Oh ya, aku sudah pindah apartemen kira-kira dua minggu lalu. Aku tinggal sendiri di sebuah studio apartemen, gajiku lebih besar sekarang. Aku melamar sebuah posisi madya di salah satu cabang perusahaan tempatku bekerja dan diterima. Memang waktu yang tepat untuk pindah dengan datangnya saudara perempuan Lara dari kampung setelah mendapat beasiswa di salah satu universitas London. Tentunya akan sangat nyaman kalau saudaranya bisa tinggal bersama Lara. Apartemen itu pun milik orang tua Lara, aku dan Linh tinggal di situ dengan harga sewa yang miring.

Selain alasan itu, aku juga ingin meninggalkan segala kenangan Noam. Tak sanggup aku berbaring di tempat tidur itu sementara terbayang Noam saat tidur di sampingku. Bagaimana ia mengelus rambutku. Bagaimana matanya terpejam damai sambil memelukku.

***

Memasuki apartemenku setelah diantar Jimmy, aku mendengar ada pesan baru masuk di ponselku. Aku membuka pesannya sambil membuka mantelku. Membaca pesan itu, mantel dan tasku seketika terjatuh ke lantai. Detak jantungku berpacu!

Hi Layla. I’ve just arrived in London this afternoon, can we talk soon?

Begitu bunyi pesan dari Noam … Yah Tuhan, setelah sekian bulan kami tidak pernah berkomunikasi, tiba-tiba dia mengirim pesan seperti itu! Hidupku sudah mulai tenang kok, kenapa dia harus muncul lagi dan berpikir aku pasti akan menyambutnya … terlalu sotoy dia!

Aku langsung saja bergegas tidur, tetapi memang tidurku jadi tak nyenyak … sialan kamu Noam!

***

Pada hari Minggu, aku, Lara, dan Linh nongkrong bersama beberapa kawan di sebuah kedai kopi dekat pusat kota. Aku datang dengan Jimmy yang duduk di sampingku. Saat aku lagi bercakap-cakap dengan Jimmy, aku dengar salah satu kawan berkata, “Eh, si Noam udah balik ya? Sudah selesai S2-nya katanya.” “Masa? Cepat juga ya,” Linh menimbali. Aku pura-pura tidak mendengar percakapan itu dan terus bersenda gurau dengan Jimmy. Sesungguhnya, berasa sesak dadaku.

Kemudian pintu kedai terbuka dan mulai saat itu semuanya terjadi seolah-olah dalam slow motion. Seorang lelaki dengan jaket kulit dan celana jins masuk, ia langsung menengok ke meja kami dan berjalan ke arahku. Ia mendekatiku yang duduk di ujung meja dan mencium pipi kananku seraya berkata, “Hi Layla”. Ia tersenyum padaku (sementara aku tak bisa ingat bagaimana reaksiku) dan melambaikan tangannya kepada yang lain untuk kemudian mencari tempat di meja sebelah yang masih tersedia kursi.

 

Ruangan terasa berputar padahal aku hanya memesan hot chocolate.

 

Ya ampun … Noam! Ruangan terasa berputar padahal aku hanya memesan hot chocolate. Meski ia berada pada meja yang agak berjauhan, aku bisa melihat Noam dari sudut mata kiriku. Dadaku makin sesak. Sepertinya Jimmy merasakan kegelisahanku, ia hanya terdiam dan tampak canggung memutar-mutar garpunya.

Sekitar setengah jam kemudian, Jimmy mengajakku pergi. Setelah berpamitan, kami berjalan mengarah ke pintu keluar, tangan kananku dalam genggaman Jimmy. Tiba-tiba Noam berada di belakangku dan bertanya, “Mau pulang?” Aku menengok ke belakang, tetapi Jimmy menarik tanganku, aku tak sempat menjawab ….

Mendengar suara Noam dan menatap wajahnya membuat segala emosi di dalam diriku berkecamuk … Aku tidak ingin disakitinya lagi. Aku harus bagaimana?

 

Baca Noam Bagian 2
Baca Noam Bagian 1

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.