Permainan Memanggil Arwah

Permainan Memanggil Arwah
Permainan Memanggil Arwah di Nusantara, berasal dari tradisi Ouija yang sudah berlangsung ratusan tahun lalu di Cina (Foto: Freepik)

“Teu tarimaaaaaaaa. Talak aing ku sia ayeuna oge. Talak! Rek sabaraha awewe deui ku sia nu bakal dikawin hah?"1  Teriakan itu mengguncang Desa Sirnarasa—bukan nama sebenarnya—di tengah malam yang dingin, di antara saputan kabut genit yang dikirim angin Gunung Ciremai.2 Di balik gorden rumah demi rumah, muncul mata-mata mengintip, mencari tahu teriakan siapakah itu gerangan pada waktu yang tidak tepat ini. Sumpah mati, lengking soprannya bahkan mampu membangunkan mayat yang sudah ratusan tahun tertidur sekalipun.

Ini bukan fiksi. Ini kisah nyata yang terjadi pada tahun 1989. Nama dan desa sengaja disamarkan untuk menghindari kekacauan bangkit kembali setelah puluhan tahun terlupakan. Satu hal yang wajib Anda lakukan, bila telanjur membaca kisah ini, bacalah sampai huruf terakhir. Kalau tidak, entah kenapa, huruf-huruf mistik ini akan terus membuntuti, sampai Anda menyelesaikan membacanya.

***

Sudah seminggu lamanya Pak Karta, Kuwu3 di Desa Sirnarasa, seakan-akan menghilang tertelan bumi. Tak ada yang tahu ke mana ia pergi. Bahkan Bu Kuwu, istri tua setianya, bungkam seribu bahasa. Bukan niat menutup-nutupi, Bu Kuwu memang juga gelisah karena ia pun tak tahu setan mana yang menyembunyikan suaminya.

Bu Kuwu sudah mencarinya ke istri kedua Pak Kuwu di Desa Sirnagalih. Tak ada. Lalu ke istri ketiganya di Desa Ciredup. Tidak ada jejak juga. Walau ragu, Bu Kuwu terpaksa ngontrog4 istri keempat Pak Kuwu yang masih berusia 19 tahun di Desa Cikiruh. Nihil. Malah istri keempatnya ini menuduh balik Bu Kuwu mengerangkeng sang suami akibat cemburu biar tak bisa mengunjungi istri-istri mudanya.

Seluruh warga desa juga tak tahu di mana Pak Kuwu berada. Tapi mereka tak begitu peduli karena hal ini bukan hanya satu atau dua kali terjadi. Yang sepertinya tahu di mana Pak Kuwu berada adalah perangkat desa anak buahnya. Tapi mereka seakan-akan berusaha menutupinya. Buktinya, pelayanan desa tetap berjalan. Rapat di kecamatan pun aman.

Bukti lain adalah, Pak Ulis—sebutan untuk juru tulis alias sekretaris desa—seperti mendapat arahan dari Pak Kuwu untuk memerintahkan anak-anak muda desa bergiliran menjaga rumahnya, khususnya pada saat malam hingga dini hari. Agak tipis sih, memang, antara istilah menjaga rumah dan memata-matai untuk memastikan bahwa Bu Kuwu baik-baik saja.

Salah satu kelompok pemuda yang  mendapat giliran menjaga rumah Pak Kuwu adalah Gomar (20 tahun), Dede (18 tahun), Agus (23 tahun), dan Mastur (19 tahun). Gomar adalah anak tongkrongan Pasar Maja, yang konon lari dari panti yatim piatu di Yogyakarta. Asal-usulnya tidak jelas, dan tidak jelas juga kenapa dia kemudian tinggal di Desa Sirnarasa. Dede adalah anak Pak Ulis, lulusan SMA cukup ternama di kabupatennya. Dia sedang menunggu hasil UMPTN5--ujian masuk perguruan tinggi negeri—saat itu. Sementara itu Agus dan Mastur adalah kakak-beradik yang kesehariannya “mengawal” Dede ke mana pun dia pergi. Agus dan Mastur ini terkenal sebagai jagoan desa, dan terkhusus Agus, ia dianggap memiliki kesaktian mistis.

Sebenarnya, keempat anak muda ini merasa rikuh menjaga rumah Pak Kuwu. Alasannya, Bu Kuwu ini terkenal sangat galak, berbeda sekali dengan Pak Kuwu yang humoris dan selalu cengengesan. Setiap mereka giliran menjaga rumah, selalu saja Bu Kuwu menginterogasi mereka, di mana keberadaan Pak Kuwu sebenarnya.

Ketika berjaga, mereka juga tak boleh berisik. Padahal karakter keempat anak muda ini ramai sekali. Pernah suatu ketika, saat mereka memainkan lagu Umar Bakri-nya Iwan Fals diiringi petikan gitar Gomar, tiba-tiba Bu Kuwu merebut gitar dan membantingnya sampai patah. Padahal itu satu-satunya gitar yang biasa Gomar pakai untuk mengamen di pasar. Untung, lewat Pak Ulis, Pak Kuwu sigap menggantinya dengan gitar yang malah lebih bagus lagi.

Pada malam Jumat tepat hari ke-13 Pak Kuwu menghilang, keempat anak muda ini kembali kebagian giliran berjaga. Mereka biasa berjaga di teras rumah yang cukup luas. Di situ ada satu set furnitur jati berukir Jepara, yang biasa dipakai Pak Kuwu menerima tamunya kalau sedang bersantai.

Waktu sudah menunjukkan pukul 23.45. Keempat anak muda ini seperti gabut, tak keruan, apa yang mesti mereka lakukan untuk membunuh kebosanan. Mau main gitar, bantingan Bu Kuwu malah bikin gitar patah. Mau main gaple, selop sepatu Bu Kuwu siap melayang. Mau ngobrol, khawatir emosi Bu Kuwu tambah jebol.

Mereka akhirnya mirip seperti 4 patung The Thinker yang beku dilumat ketidakpastian.

Tiba-tiba, Agus memecah kesepian. Suaranya, walaupun berbisik, begitu jelas di telinga teman-temannya.

“Temen-temen, gimana kalo kita bikin permainan…”

“Ssst! Jangankan bikin permainan, ngobrol dikit aja bikin gorila itu kesetanan!” Gomar menyela.

“Ini beda,” kata Agus. “Justru makin sepi, permainan ini makin menjadi-jadi.”

“Permainan apa sih, A?” timpal Mastur.

“Memanggil arwah.”

Sejenak mereka terdiam. Sebab, di dalam rumah, terdengar seperti ada suara pintu digeser. Bunyinya panjang sekali. Mereka saling menengok, takut bisikan mereka membangunkan Bu Kuwu. Terbayang, begitu akan murkanya Bu Kuwu kalau merasa terganggu akibat berisik bisikannya. Dari kejauhan, terdengar suara anjing seperti menangis. Pilu sekali. Mungkin, itu anjingnya si Ucok, yang sering kali terlambat dikasih makanan. Tapi di mata keempat anak muda ini, lengking anjing ini seperti suara hati Bu Kuwu yang miris teriris.

***

Waktu menunjukkan pukul 00.05, masa pergantian dari malam ke pagi. Suasana makin sepi. Keempat anak muda ini sudah berada dalam posisi mengelilingi meja. Lampu teras mereka matikan. Yang ada hanya cahaya lilin di atas meja itu. Di samping lilin, terlihat selembar kertas gambar ukuran A3, yang di sekelililingnya sudah ditulisi 26 abjad dari A hingga Z melingkar mengikuti arah jarum jam. Di lingkaran bagian dalam, ada angka dari 0 sampai 9. Tampak sekeping koin 100 rupiah, berada di pusat lingkaran.

Permainan Memanggil Arwah ini entah kapan hinggap di Sunda dan tatar Nusantara lainnya. Yang jelas, dalam literatur, permainan ini mirip Ouija6 dari tradisi Cina Kuno, yang sudah dikenal ratusan tahun silam. Bedanya, alas Ouija memakai papan, bukan kertas. Dan benda yang berada di pusat lingkaran bukan koin, melainkan sebilah kayu yang bolong di bagian tengahnya.

Agus menginstruksikan ketiga temannya untuk memejamkan mata sejenak. Sebelumnya, Agus meminta ujung jari telunjuk Gomar bagian kanan diletakkan persis di atas koin.

Enam puluh detik setelah mereka memejamkan mata, terdengar suara Agus dengan nada berat, serak dan datar, cukup membuat bulu kuduk berdiri.

“Roh suci, aku mengundangmu. Hadirlah di pesta kecil ini. Hadirlah… Hadirlah… Hadirlah…”

Angin dini hari berdesir menusuk kulit wajah mereka. Agus memicingkan mata, berusaha mengintip reaksi Gomar. Tampak Gomar malah sedang membuka mata, terlihat seperti menahan ketawa. Kurang ajar! Batin Agus.

Agus kembali mengulang mantranya. Tiba-tiba terdengar suara bunyi pintu di dalam rumah, panjang dan jelas sekali. Sepertinya Bu Kuwu keluar kamar, entah untuk mengecek keberadaan mereka atau hanya mau ke toilet. Beberapa saat kemudian mereka hanyut dalam diam dan sunyi semakin menjadi-jadi.

Satu menit berikutnya, Agus kembali membisikkan mantra dengan suara serak, berat, dan datar. “Roh suci, aku mengundangmu. Hadirlah di pesta kecil ini. Hadirlah… Hadirlah… Hadirlah…”

Tiba-tiba terdengar seperti ada suara gesekan di kertas. Agus membuka mata, demikian juga Dede dan Mastur. Mereka melihat jari tangan Gomar di atas koin mulai bergerak-gerak, pelan, seperti berat sekali. Dan mata Gomar tampak tetap terpejam.

Jari dan koin itu bergerak dari huruf ke huruf dengan begitu susah payah. Entah jari menarik koin, atau koin yang menarik jari. Huruf-huruf itu membentuk tulisan: H-A-D-I-R.

“Ayo kamu tanya dia, De,” perintah Agus ke Dede. Wajah Dede agak ragu. Antara percaya dan tidak.

“Siapakah nama kamu, hei Roh Suci?” bisik Dede.

Tiba-tiba, jari Gomar bergerak seperti tadi, pelan dan berat: M-B-A-H…  J-E-M-B-R-O-N-G.

“Mbah, Si Lilis Cikasih sekarang sedang ngapain ya?” Mastur nyeletuk, tanpa diperintah. Lilis adalah gadis paling cantik di Cikasih, desa tetangga Sirnarasa. Keempat pemuda ini saling bersaing untuk menarik perhatiannya. Konon, Lilis juga jadi incaran para pejabat desa.

Koin dan tangan Gomar kembali bergerak: T-I-D-U-R.

Pake celana dalam atau nggak, Mbah?” Mastur penasaran. Tapi jari Gomar berhenti bergerak. Sepertinya mogok. Agus dan Dede menoleh ke arah Mastur dengan ekspresi kesal karena pertanyaannya ngaco. Lalu mereka memandang wajah Gomar yang  tetap terpejam. Mulutnya terkatup.

“Mbah, Si Lilis tidurnya pake celana dalam atau nggak?” Mastur sepertinya masih penasaran.

Perlahan, jari Gomar bergerak lebih cepat. Sepertinya pola geraknya zigzag layaknya jari gemetar yang tak beraturan. Setelah diurut, ternyata formasi hurufnya berbunyi : G-O-B-L-O-G… S-I-A (artinya: goblok lu).

Serentak, Agus, Dede, dan Mastur tak kuasa menahan tawa. Mereka terbahak memecah suasana. Bahkan anjing Ucok yang dari tadi sudah terdiam pun kembali melolong begitu panjang.

Brakkkkkkk! Tiba-tiba suara pintu rumah terbuka kencang. Mendadak bahak tawa mereka berubah menjadi senyap. Di pintu, terlihat satu sosok besar berdiri, membentuk siluet, tersorot lampu temaram dari dalam rumah. Pelan, sosok itu mendekat. Suasana semakin mencekam. Anehnya, Gomar tetap dalam posisi terpejam, dengan jari tangan di atas koin.

Goblog sia. Lagi ngapain ganggu orang tidur, hah?” Ternyata itu suara sopran Bu Kuwu yang sangat khas. Tentu, di mata anak-anak muda ini, suara Bu Kuwu lebih menyeramkan dari suara Jin Ifrit sekalipun.

“Eu.. eu… lagi manggil arwah, Bu Kuwu… Ini si Gomar sedang kerasukan Mbah Jembrong, dan kita tanya-tanyain…” Agus gemetar. Dengan suara terpatah-patah, ia berusaha menjelaskan apa yang sedang mereka lakukan.

“Dasar! Minggir semua!” tiba-tiba Bu Kuwu seperti mau mengambil alih kendali. Semua serentak keluar dari posisi melingkar. Tinggal Gomar yang masih tetap di posisi awal. “Awas ya kalian kalau bohong!” kata Bu Kuwu, sambil duduk di kursi samping  Gomar.

Mulailah sesi interogasi ala Bu Kuwu berjalan. Bedanya, ini interogasi mistis karena narasumbernya adalah Mbah Jembrong, arwah sesepuh di Desa Sirnarasa.

“Mbah, di mana Pak Kuwu selama ini berada, hah? Jawab!”

Serentak, tanpa gerak pelan dan berat seperti semula, koin dan jari Gomar bergeser sat-set dari huruf ke huruf: D-I… D-E-S-A… C-I-K-A-S-I-H.

“Huah? Lagi ngapain dia di Desa Cikasih?” bentak Bu Kuwu. Jari dan koin Gomar diam tak beranjak. “Jawab!” Bu Kuwu sontak membentak lebih keras lagi.

Jari dan koin Gomar langsung bergerak: K-A-W-I-N… S-E-L-A-S-A… K-E-M-A-R-I-N.

“Kurang ajar! Kawin sama siapa, Mbah? Jawab! Ayo jawab!”

L-I-L-I-S.

Mendadak, Bu Kuwu terdiam mematung. Tubuhnya kaku. Beberapa detik kemudian, Agus, Mastur dan Dede memberanikan diri menengok ke arah wajahnya. Tampak mulut Bu Kuwu ternganga. Lidahnya menjulur. Matanya terbelalak. Kedua tangannya freeze, dalam posisi seperti mau mencakar seseorang.

“Wah, Bu Kuwu kesurupan macan!” kata Agus menambah bikin panik suasana.

Tiba-tiba, dari kejauhan, bersama suara lengking anjing, ada seseorang berjalan ke arah teras. Sosok itu kian mendekat, gempal dan membawa aroma harum yang begitu kuat menusuk hidung

“Eh, Agus, lagi ngapain kalian gelap-gelapan?” tanpa menunggu jawaban, sosok itu berjalan ke arah saklar di dinding teras. Ctrekkkkk… suara saklar terdengar, ruang teras pun kembali terang.

“Eh, Pak Kuwu… kok kebetulan malam begini pulang. Ini Bu Kuwu seperti kesurupan, Pak…”

“Subhanallah… Ini Ibu?” Pak Kuwu tampak kaget, baru sadar bahwa orang yang mematung di samping dia adalah istri tuanya. “Tolong ambilin air putih segelas, Gus, cepat!” kata Pak Kuwu tanpa melirik Agus. Agus pun sigap, dan 30 detik kemudian, segelas air sudah berada di tangan Pak Kuwu.

“Bismillah… A‘ûdzu biwajhillâhil karîm, wabikalimâtillâhit-tâmmâtil-latî lâ yujâwizuhunnâ barrun wa fâjirun, min syarri mâ yanzilu minas-samâ’i, wa min syarri ma ya‘ruju fîhâ, wa min syarri mâ dzara’a fil-ardhi, wamin syarri ma yakhruju minhâ, wa min syarri fitanil-laili wan-nahâri, wamin syarri thawâriqil-laili, wamin syarri kulli thârinin illâ thâriqan yathruqu bi khairin, yâ rahmân.7

Setelah membaca doa tersebut, tangan Pak Kuwu lalu menciprati wajah Bu Kuwu, dengan air dari gelas yang dipegangnya.

“Bu, ini bapak, pulang. Sengaja tengah malam begini, kangen banget sama Ibu. Bangun, Bu… Bu…”

Semua mata berfokus ke arah Bu Kuwu yang masih mematung dengan posisi tak berubah. Sesaat kemudian, bola mata Bu Kuwu bergerak, tapi bibirnya masih tetap mangap, dan lidahnya masih menjulur. Tangannya juga masih dalam posisi siap mencakar tapi kaku.

“Bu, ini bapak pulang, kangen Ibu… Cuma ada Ibu dalam hati dan doa bapak…”

Plakkk! Plakkkk! Plakkkk! Tiba-tiba tiga tamparan dilanjut dua cakaran Bu Kuwu mendarat telak di pipi kiri dan kanan Pak Kuwu.

“Teu tarimaaaaaaaa. Talak aing ku sia ayeuna oge. Talak! Rek sabaraha awewe deui ku sia nu bakal dikawin hah?”

Bu Kuwu benar-benar lebih parah dari kesurupan. Jenis suaranya sudah tak jelas lagi, apakah sopran, mezosopran, atau alto. Suara lengking anjing kembali menangis miris, makin membuat suasana malam dini hari yang seharusnya sunyi jadi penuh bunyi.

Pak Kuwu diseret ke dalam rumah. Lalu kini terdengar suara-suara lain menyusul. Gelomprang piring pecah. Gedebuk pot bunga jatuh. Plak-pluk-plak suara telapak tangan yang entah nyasar di pipi atau badan Pak Kuwu, serta jenis suara lainnya yang makin ke sini makin sulit teridentifikasi.

Di teras, Agus, Mastur, dan Dede saling menengok satu sama lainnya. Tiba-tiba, mereka menoleh ke arah Gomar yang sepertinya tangannya kembali bergerak seiring gerak koin. Matanya tetap terpejam. Posisinya tetap duduk. Jarinya tetap di atas koin, yang kini terus bergerak dari satu huruf ke huruf lain.

Agus, Mastur, dan Dede penasaran melihat urutan huruf demi hurufnya: R-A-S-A-I-N… L-U… M-B-A-H… J-E-M-B-R-O-N-G… L-U… T-E-K-A-N…

Angin berdesir. Suara anjing menghilang. Sound effect dari dalam rumah kini sudah berhenti. Hanya suara isak Bu Kuwu yang tersisa begitu mengiris. Lebih miris dari lolong anjing yang liris, bahkan dari iblis sadis yang tengah menangis.

*****

 

1Terjemahannya: “Tak terimaaaa. Ceraikan aku sekarang juga. Ceraikan! Mau berapa perempuan lagi yang akan kaukawini, hah?”

2 Ciremai adalah gunung tertinggi di Jawa Barat dengan tinggi 3.078 meter

3Kuwu adalah sebutan untuk kepala desa di daerah Jawa Barat

4Ngontrog artinya menyatroni

5UMPTN adalah istilah seleksi masuk perguruan tinggi negeri dari masa tahun 1989-2001. Perlu diketahui, ujian masuk perguruan tinggi selalu berbeda nama di setiap masanya

6Ouija awalnya dikenal sebagai ritual pemanggilan arwah di Cina Kuno. Kemudian menjadi permainan dan popular di tahun 1890-an

7Doa pengusir Jin Ifrit yang diajarkan Malaikat Jibril pada Nabi Muhammad SAW saat Isra Mikraj

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.