Takdirnya Ada Di Tanganku

Takdirnya Ada Di Tanganku

Fontainebleau, kota kecil yang menawan, sekitar satu jam dari Paris.

Di sanalah awal takdirku dengannya.

Vita, Ririn, dan aku, yang sedang bertualang keliling Eropa musim panas itu, diajak mas Eky ke kota ini untuk berjalan-jalan. Kebetulan, mas Eky kenal pemuda Prancis yang punya rumah di sana.

 

Jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul empat ketika kami tiba, walaupun cuacanya masih sangat cerah, dan sinar mentari terik menggoreng. Sepoi angin lembut berembus mengantar aroma rerumputan yang baru dipangkas rata. Bunga mawar beraneka warna, altea putih, dan rhododendron ungu muda tersusun rapi menghiasi taman di depan rumah. Kupu-kupu kuning dan biru berkejaran dengan lebah belang berpinggang ramping, sesekali menjumput serbuk sari dahlia di dekat pagar sebelum berlomba terbang ke bunga lain.

 

Christian, teman mas Eky dan pemilik rumah, menyambut kami dengan senyuman lebar. Rumahnya apik, bersuasana nyaman dengan ciri khas Prancis tradisional. Kertas dinding bercorak bebungaan kecil berwarna krem dan kekuningan selaras dengan tema rak, lemari, dan bufet kayu tebal bergaya era Louis XIV dan sofa kulit cokelat tua. Di sudut ruangan, Stéphane sibuk memasukkan kayu bakar di perapian, dan Guy membuka-buka partitur musik di depan piano.  

 

"Bonjour, je suis Mimi, enchantée. Saya Mimi, salam kenal." ujarku malu-malu kepada mereka. Stéphane dan Guy membalas sapaku dengan ramah.  Vita, si gila buku, langsung menghambur ke depan lemari setinggi dinding yang raknya dipenuhi berbagai buku Prancis sambil berdecak kagum. Sementara Ririn, mas Eky, dan Christian asyik mengobrol di dapur sambil menyiapkan minuman.

 

"Kamu bisa main itu?" tanya Guy ketika dia mengamatiku terus menatap piano tua berwarna cokelat kehitaman di pojok ruangan.

"Bisa, tapi kalau disuruh baca partitur, malah nggak bisa," jawabku sambil tertawa kecil. Guy ikut tertawa. Dia memeriksa tumpukan buku di atas piano dan menemukan buku nyanyian lagu-lagu populer. Aku membuka halamannya, dan mulai memainkan melodi dan akor lagu Let It Be. Tak lama, Vita, Ririn, dan Stéphane bergabung mengelilingi piano dan ikut bernyanyi. Tak terasa, sejumlah lagu Stevie Wonder, Billy Joel, Beatles, Bee Gees, hingga Queen lantang melantun diiringi dentingan piano hingga pengantar piza datang.

 

Usai makan malam, kami duduk santai di depan perapian sambil menyeruput susu cokelat hangat. Suara kayu yang terbakar berderak-derak di antara api yang menggeliat berdansa di balik kaca tungku perapian. Christian, pemuda yang luar biasa pintar, tak henti berceloteh tentang sejarah istana Fontainebleau, yang akan kami kunjungi esok hari. Vita dan Ririn manggut-manggut menyimak, walaupun mata Ririn sering tertutup sendiri karena mengantuk.

Stéphane dan mas Eky asyik membahas soal sepak bola, dan Guy, si pendiam, cuma senyum-senyum mendengarkan obrolan teman-temannya. Beberapa kali kupergoki dia melirikku, walau kemudian pandangannya cepat dialihkan ke arah lain. Aku tak terlalu paham saat itu. Pikirku, "Kenapa ya? Emang ada sisa paprika di gigi gue, dan dia nggak berani bilang?" Diam-diam kugerakkan lidahku menyusuri seluruh gigi dan gusi untuk mencari sisa makanan di dalam mulut, tanpa hasil.

 

Keesokan harinya, setelah sepagian mengunjungi istana Fountainbleau yang megah, kami berpiknik di hutan yang apik dan unik. Kecantikan hutan ini terutama terukir oleh adanya sejumlah bebatuan besar yang tersebar di seluruh hutan, menyelingi pepohonan yang berbaris rapi bak prajurit menunggu perintah komandan di area yang luas.

 

Di antara dua batu besar, kami menggelar tikar piknik dan menaruh semua makanan yang ada di ransel. Selada campur berisi tomat, ketimun dan zaitun berbumbu rempah, roti baguette berisi selapis tebal keju emmental, mentega dan olesan paté bebek, walau sederhana, tetapi cukup mengenyangkan. Apalagi ditambah buah plum dan rencengan anggur hijau yang sangat manis untuk sebagai pencuci mulut, sebelum ditutup dengan segelas kopi dan sepotong cokelat Lindt.

 

Usai makan, kami mulai bergerak menyusuri hutan sambil memanjati batu-batu besar. Christian seperti biasa mengoceh panjang lebar tentang sejarah hutan dan betapa tempat itu sering dikunjungi para seniman Prancis saking indahnya. Para pelukis gaya impresionisme, juru foto, para penulis, dan penyair konon sangat menggandrungi hutan ini hingga dijadikan sumber inspirasi dalam karya mereka. Vita paling rajin menyimak dan berjalan mengiringinya, sedangkan Ririn dan aku asyik berlompatan naik-turun bebatuan besar.

 

"Hati-hati ya, batunya licin," ujar Guy tiap kali dia memegang tanganku untuk membantuku turun. Aku mengangguk, tetapi beberapa kali terpeleset juga, hingga Guy sering menggenggam jariku erat-erat, dengan tangannya yang lebar.

Saat itu aku belum tahu, tetapi ternyata di sanalah rencana Tuhan tentang kami berawal. Dari tanganku.

 

******

 

Setahun berlalu.

Aku kembali ke Paris untuk melanjutkan strata dua.

Sudah dua bulan di Paris, tetapi bahasa Prancis-ku masih keteteran, karena selama itu aku hanya bergaul dengan pelajar Indonesia di sana. Pikirku, aku harus bergaul dengan orang Prancis untuk melancarkan bahasa.  Maka kubuka-buka lagi buku alamat kecilku, dan kuberanikan diri menelepon.

"Halo, Christian? C'est Mimi! Comment ça va? Aku sekarang tinggal di Paris, mau ketemuan nggak?"

"Heei, Mimi! Aku senang sekali dengar suaramu! Wah, ada yang kegirangan nih kalau tahu kamu ada di Prancis!" seru Christian riang.

"Siapa?" tanyaku lugu.

Kudengar tawanya, "Ada deeeh! Nanti aku kasih tahu dia. Minggu depan kita ketemu di studioku, yuk! Aku buatin couscous, ya!" ujar Christian sambil memberi tahu alamatnya.

 

"Hai Mimi, ayo masuk!"

 Christian tersenyum lebar saat membukakan pintunya. Di ujung ruangan, aku melihat sosok pemuda lain memakai sweter hijau dan celana jins. Ternyata Guy. Dia menghampiri sambil menyapaku dengan ceria. Aku kaget sekaligus senang bisa bertemu lagi dengan teman-teman Prancis yang ramah itu. Kami pun lalu bertukar rindu dan ngobrol ngalor-ngidul sambil menikmati couscous kalengan hidangan Timur Tengah yang disiapkan Christian.

 

Sejak saat itu, kami sering bertemu bertiga untuk berjalan-jalan ke museum, menonton film, mengunjungi galeri seni, bahkan beberapa kali keluar kota bersama. Kami jadi seakrab trio bebek dan lengket kayak cireng, ke mana-mana bertiga. Hingga suatu saat…

 

"Mimi! Ada telepon! Kotak nomor dua!" suster galak penjaga asrama khusus perempuan tempat kosku memanggil. Aku berlari ke lorong tempat kotak telepon.

"Mimi? Ini Guy." "Hai, Guy, ada apa?"

"Kamu ada waktu nggak malam ini? Kita makan malam, yuk."

"Christian katanya lagi dinas malam ini."

"Nggak sama Christian, kita aja berdua."

"Oh, oke. Sampai nanti ya."

 Tumben, batinku, tetapi pikiranku tak lebih jauh.

 

"Aku cuma pengin ngobrol aja berdua, soalnya Christian bawel sih, dia terus yang ngomong kalau kita ngumpul. Aku pengin lebih tahu cerita kamu, budaya kamu, tentang Indonesia…" ujar Guy santai saat sambil menuang jus persik ke gelasku.

Aku ketawa, memang bener sih, kalau ada Christian, pasti selalu dia yang memonopoli pembicaraan. Aku pun mulai bercerita tentang Indonesia, tentang berbagai agama dan toleransi di Indonesia, keindahan kepulauannya yang beragam. Sebagai orang Indonesia di negeri asing, aku merasa bertanggung jawab untuk mempromosikan negeri sendiri.

 

Makin lama, kami makin sering bertemu tanpa Christian. Berjalan-jalan memeriksa buku-buku loak di sepanjang sungai Seine, berkeliling menikmati taman Tuileries atau melihat lukisan di Montmartre menjadi kegemaran kami. Rasanya asyik bertukar pikiran dengannya, kami merasa saling cocok, punya banyak kesamaan dan minat. Aku bisa membicarakan topik apa saja dengannya. Musik, film, seni, politik, sosial, keluh kesah, gosip teman, urusan hati… Menurutku, pemikirannya selalu cerdas dan masuk akal, tapi nggak bergaya sok pintar dan selalu benar. Apa pun topik yang kami bahas, tak pernah berujung jadi pertengkaran. Kalau beda pendapat, kami malah penasaran dan lebih membahas perbedaan itu. Judulnya, pembicaraan jadi makin panjang dan menarik.

 

 Tanpa kusadari, aku mulai tertarik dengan pemuda berdarah Italia ini. Parasnya lumayan, atletis, tatapannya teduh seperti naungan beringin.  Jika bersama orang lain, dia cenderung pendiam dan serius, tetapi kalau nyeletuk, lucu.  Kepribadiannya kalem, dan sifatnya sabar bukan main. Sumbunya panjang, itu istilah eyangku.

 

Banyak hal dari dirinya yang membuatku kagum. Pandangannya tentang perempuan, misalnya. Dia menganggap istri itu setara dengan suami dalam peranan rumah tangga. Baginya, dia tak mau punya istri yang penurut. "Kawin aja sama pudel, kalau mau yang nurut," begitu candanya. Dia ingin istrinya punya pendapat sendiri, dan bisa saling mengingatkan jika pasangannya salah, tapi tetap saling menghormati, tanpa saling menguasai.

Selama ini, seringnya aku bertemu pria yang mengutamakan kejantanan dan mendahulukan gengsi, bahkan merasa derajat pria jauh lebih tinggi daripada perempuan. Perbedaan pandangan seperti ini membuat hubungan cintaku sebelumnya kandas beberapa kali.

 

Sedangkan Guy berprinsip, suami dan istri itu posisinya sejajar dalam membangun keluarga. Istri tak perlu minta izin kalau mau pergi, cukup memberi tahu saja.

 "Kok gitu? Kenapa?" Aku penasaran, karena agamaku mengajarkan, istri harus minta izin kepada suaminya.

"Ya, emangnya dia anak di bawah umur? Kan dia udah dewasa, bisa tanggung jawab sendiri. Tapi ya mesti kasih tahu dia pergi ke mana, dan nggak ada rahasia-rahasiaan. Kalau aku nggak suka dia pergi, ya aku bilang. Yang penting saling menghormati. Kalau ada rasa hormat, pastinya dia akan pertimbangkan kalau aku keberatan." jelasnya.

 Pandangan seperti ini sangat membuka mataku, ibarat minum air sejuk ketika sedang kehausan melintasi padang tandus yang terik.

 

********

"Aku suka sama kamu…"

Dhuaarr!! Kalimat itu lembut diucapkan Guy, tetapi hatiku terasa meledak-ledak mendengarnya. Aku cuma menunduk, tak menjawab.

"Aku tahu kamu baru putus, makanya mungkin kamu masih ragu. Tapi sebenernya aku udah lama seneng sama kamu."

"Oh ya? Sejak kapan?"

"Sejak kita ketemu di Fontainebleau tahun lalu."

"Jatuh cinta pada pandangan pertama nih, ceritanya?" Aku tertawa kecil.

"Nggak sih, pada pandangan kedua. Tepatnya, pada pegangan kedua, "katanya bercanda.

"Waktu aku pegang tangan kamu di hutan, aku langsung ngerasa deg… gimana gitu.  Jari-jari kamu kecil mungil, waktu kupegang, rasanya duuuuh, takut patah…"

 

Kulirik jarinya yang selebar jahe dan kubandingkan dengan jariku sambil nyengir.

"Hihihi iya ya, kelingkingku cuma seperlima jempolmu."

"Tapi aku kagum, jari-jarimu biar kecil tapi lincah main piano... nggak pake buku, lagi! Aku kalau main musik malah nggak bisa kalau nggak pakai buku."

Pujiannya yang beruntun membuat pipiku memerah.

"Kayaknya susah deh kalau kita pacaran." "Emang kenapa?"

"Kamu bule Katolik, aku muslim. Budaya kita beda, nanti pasti kamu males sama aku."

 

"Kok ngomong gitu, padahal belum dicoba?"

"Keperawanan untukku itu penting, karena ngejaganya susaaah setengah mati, apalagi aku sekarang tinggal di luar negeri gini. Godaannya banyak. Makanya buat aku, keperawanan itu hadiah perkawinanku untuk suamiku nanti.

Tapi kamu kan orang bule, buat kamu keperawanan itu nggak penting." ujarku menjelaskan.

 

Guy menatapku tajam sambil memegang tanganku.

"Buat aku keperawanan memang nggak penting. Tapi kalau buat kamu itu penting, ya aku menghormati pilihan kamu. Itu nggak jadi masalah buat aku."

"Ya, tapi kalau kamu nggak bisa tidur sama aku, kamu bakal cari yang lain," kilahku.

Dia tertawa, "Aku sayang sama kamu karena kamu, seluruh dirimu, bukan cuma karena fisik, atau ini, atau itu... Aku sayang kamu, seutuhnya."

Terhenyak aku mendengar jawabannya. Ternyata dia memang tulus menyukaiku. Bule Katolik yang tinggal seumur hidup di Prancis mau menghormati pilihanku untuk menunggu berhubungan badan hingga menikah resmi? Wah... baru kali ini ketemu yang seperti ini.

 

"Kalau kamu masih belum bisa jawab, ya nggak apa-apa. Kita terus belajar saling kenal aja, ya? Asal aku tetap boleh menyayangi kamu," ujarnya berharap.

Kupandang dia tanpa berkata apa-apa. Namun hatiku yang beku karena berkali-kali gagal cinta dan kecewa, setetes demi setetes mulai meleleh.

Akhirnya aku mengangguk perlahan, dan dia tersenyum lebar seraya mencium ujung jariku.

"Terima kasih ya," ucapnya.

"Aku akan nunjukin kalau aku serius, nggak main-main sama kamu," sambungnya.

"Halah, gombal." celetukku dalam bahasa Indonesia.

"C'est quoi, gombal? Apa itu?" tanyanya bingung.

Aku cuma cekikikan sendiri karena bingung menjelaskannya dalam bahasa Prancis.

 

********

 

Pada suatu akhir pekan, Guy mengajakku ke daerah Savoie, dekat pegunungan Alpen. Salah satu kakaknya punya rumah liburan di Beaufort, kota kecil dataran tinggi di Alpen Prancis yang terkenal dengan pabrik keju dan stasiun skinya. Orang tua dan sebagian besar kakaknya memang tinggal di daerah yang indah luar biasa ini. Akhir pekan itu, Laurent, kakaknya, mengadakan acara kumpul-kumpul keluarga di rumah liburannya. Perjalanan dari Paris memakan waktu 4 jam, tetapi sumpah, tak terasa, karena pemandangannya sungguh membuat mataku terbelalak terus-terusan. Indahnya nggak ketulungan.

Makin kami memasuki dataran tinggi, pemandangannya makin memikat. Di tengah padang rumput yang luas, tampak sapi-sapi cokelat berpantat putih yang kalem mengunyah rumput. Sesekali ada juga yang duduk berjemur dengan lonceng besar di lehernya. Persis seperti iklan cokelat Milka. Pondok-pondok chalet dengan model kayunya yang khas bertebaran dengan jarak yang jarang-jarang, tak sesak. Puncak gunung Mont Blanc tampak masih putih bersalju, gagah menjulang di depan langit yang biru tanpa cela.

 

Setibanya, beberapa anak kecil keponakan Guy berhamburan ke arah mobil kami. Guy langsung menciumi mereka satu per satu dan mengenalkanku. Anak-anak itu langsung menggandeng tanganku masuk ke rumah untuk bertemu ibu, bapak, dan kakak-kakaknya yang lain.

 

Pertemuanku dengan keluarga Guy menambah kekagumanku kepada pemuda ini. Tindak-tanduknya kepada ibu bapaknya penuh sayang dan hormat, kadang melebihi orang Jawa. Nada suaranya tak pernah lebih tinggi daripada orang tuanya. Walaupun mereka lahir dan tinggal di Prancis, budaya Italia la mamma, "ibu adalah ratu keluarga" masih melekat dalam keluarga mereka. Semua kakaknya pun di sana sangat ramah menyambutku. Cara mereka berinteraksi satu sama lain menunjukkan keeratan hubungan mereka yang kuat. Saling suka bercanda, akrab, tetapi tanpa nada negatif kalau ngomongin keluarga yang tak datang. Rasanya nyaman bersama mereka, ibarat seperti keluargaku sendiri. Hatiku makin mencair.

 

******

Musim panas itu, Papa, Mama, dan Dinda sepupuku menengokku ke Prancis.

"Hello, I am Guy," kata Guy terbata-bata di depan Papa yang memandangnya tajam dari atas ke bawah. Asap knalpot Fiat Panda butut milik Guy meletup-letup di pinggir jalan Champs Elysées tempat kami janjian ketemu. Mama dan Dinda senyam-senyum sambil melirikku. Rencananya hari itu Guy mau mengantar kami berjalan-jalan melihat kota Paris, sesudah makan siang di Hippopotamus. Selama makan siang, Mama asyik mengobrol dengan Guy, tampak senang, tetapi Papa masih memasang wajah kerengnya. Dia sesekali melirik mobil Fiat butut itu sambil mendesah.

 

"Aduh!" Papa memekik, tangannya kejepit pintu mobil saat Guy menutup pintunya, usai makan siang. Dinda makin cekikikan melihatku.

"Jiaah, skornya makin turun lu, Mbak!" katanya meledek, sementara Guy lari-lari ke apotek untuk membelikan salep. Aku memandang Mama dengan pasrah. Kesan pertama Guy dengan orang tuaku tak terlalu meyakinkan...

 

Papa dan Mama cuma beberapa hari di Paris, tetapi Dinda lanjut berlibur di Prancis sampai sepuluh hari. Kesempatan ini digunakan oleh Guy untuk ambil cuti dan berlibur keliling Prancis bersama kami.

Kami bertiga menggagahi jalanan mulai dari Honfleur, Deauville, lalu berlanjut ke Chambery, menengok orang tuanya, Annecy, kota cantik tiada tara yang dikepit pegunungan Alpen dan danau, lalu terus melaju ke selatan hingga pulau Poquerolles. Dinda mulai akrab dengan Guy yang terus menggodanya karena selalu makan camilan belakang mobil.

 

"Makan melulu," olok Guy dalam bahasa Indonesia dengan logat Prancis yang lucu sambil melirik dari kaca spion.

"Haha, kenyang! Gara-gara lu kasih gue makanan pembuka melon bulet satu! Aje gile emang orang Prancis yak. Masa makanan pembukanya satu melon? Belum makanan intinya, terus keju, terus dessert..." sahut Dinda sambil ngakak di jok belakang.

"Lah, itu kok makan biskuit lagi?" godaku.

"Iya, enak ini soalnya..." gumam Dinda sambil asyik menyumpal biskuitnya.

Guy terbahak sambil menyetir.

 

Dinda yang sangat menikmati liburannya dengan kami, akhirnya mengaku.

"Mbak, kan sebenernya gue dibayarin Pakde liburan ke sini buat mata-matain elu."

"Hah?" Aku tercengang.

"Mata-matain gimana?"

"Iyaa, dia kan sebenernya nggak mau lu punya pacar orang bule. 'Ngapain sih, suami aja impor? Emang di Indonesia nggak bisa dapet suami?' gitu kata Pakde," jelas Dinda.

"Dia pengin gue ngorek-ngorek kejelekan Guy supaya bisa ngebujukin lu, jangan ama dia."

"Trus? Menurut lu, Guy gimana?"

"Idih! Asik bangett orangnya! Baru kali ini gue liat bule seasyik dia! Gue demen banget, cocok dah ama elu. Gue mah ngebayangin bapak lu bakalan kecewa ama laporan gue, hahaha!" Dinda malah memelukku sambil terbahak.

 

*******

 

Makin lama, hubungan kami makin serius, tetapi kendalanya masih satu yang besar. Agama.

"Aku memang merasa paling cocok dengan kamu, dibanding semua mantanku. Tapi kalau kamu nggak pindah agama, kita nggak bisa nikah dan hidup bersama," jelasku.

"Kenapa?"

"Karena aku yakin Tuhan sudah menentukan jodohku. Mungkin kamu, mungkin orang lain. Kalau kamu nggak mau pindah agama, ya berarti kamu bukan jodohku."

 

"Kenapa aku harus pindah agama?" desaknya.

"Karena perempuan muslim nggak boleh nikah sama pria non-muslim. Dan aku nggak berani melawan perintah-Nya. Kalau aku nekat, aku juga bisa kehilangan hubungan dengan keluargaku di Indonesia."

"Dalam rumah tangga kita nanti, aku maunya kita sejalan, satu arah untuk mendidik anak-anak. Agama itu penting untukku, jadi aku juga mau kita juga kompak untuk mengajarkan itu. Kalau kita nikah, aku akan ninggalin semuanya untuk hidup sama kamu: keluargaku, negaraku, budayaku, yang aku bawa cuma satu, agamaku. Itu pun nggak boleh?"

 

Guy cuma merenung, tak menjawab. Dia sebenarnya bukan Katolik yang kuat, tak pernah ke gereja lagi. Percaya kepada Tuhan, tetapi tak yakin dengan agamanya. Namun orang tuanya penganut Nasrani yang sangat taat dan selalu ke gereja. Anak baik seperti Guy tentu tak mau mengecewakan hati orang tuanya. Aku sama sekali tak memaksa dan membiarkan dia mempertimbangkan baik-baik.

 

 Setelah liburan musim panas berakhir, Guy ditugaskan untuk menggarap proyek di Korea selama beberapa bulan. Sebelum berangkat, aku membelikan buku-buku Islam berbahasa Prancis untuk dibawanya ke sana. Kami berpisah dengan berat hati, terutama aku, karena kepastian hubungan kami masih terombang-ambing, sementara hatiku semakin kencang mencintainya.

 

"Heeei, apa kabar, Mi?"

Kubuka pintu studio yang baru kutinggali setelah tak bisa lebih lama menetap di asrama. Di depan pintu, empat pamanku berdiri di sana. Delphine, tetangga sebelah menatapku sambil melotot.

"Qui est-ce ? Siapa?" katanya dengan nada khawatir. Aku tersenyum.

"Nggak apa-apa, kok, Delphine. Ce sont mes oncles, ini pamanku dari Berlin." "Oh, oke!" sahut Delphine lega. Aku bersyukur, tetanggaku cukup peduli, karena aku perempuan sendirian yang tinggal di studio itu.

 

Salah satu pamanku diplomat yang sedang bertugas di Berlin. Tiga pamanku yang lain berkunjung ke tempatnya, lalu mampir ke Paris menengokku. Tapi sebenarnya mereka juga membawa misi dari Papa: membujukku supaya melepaskan Guy.

"Om banyak kenal orang bule, Mi! Mereka tuh bebas soal seks! Tidur sama siapa aja, gonta-ganti pasangan, pesta seks. Kamu masih muda, belum tahu asam garamnya kehidupan. Sekarang masih manis-manisnya, tapi nanti kalau udah kawin, kamu diselingkuhin karena dia orang bule yang bebas gitu, gimana? Budaya mereka beda, Mi!"

Keempat omku terus mencecarku selama tiga hari di studio seluas 30 meter persegi itu, mencoba mengubah pendirianku soal Guy.

 

Tanpa menghilangkan rasa hormat, aku terus menjelaskan kepada mereka.

"Om... Om udah kenal belum sama Guy? Udah lihat orangnya kayak apa? Belum kan? Nah... Mimi yang kenal dia, Mimi yang tahu sifatnya, dan orangnya nggak seperti yang Om bayangkan. Mimi emang nggak tahu nanti masa depan kayak apa, tapi sampai saat ini Mimi yakin, kalau memang dia jodoh Mimi, dia nggak akan ngecewain Mimi. Dan Mimi berani ambil risiko dengan dia."

aku menyahut dengan tegas.

"Kalaupun nantinya Mimi salah tentang dia, biar Mimi yang tanggung, karena ini hidup Mimi. Mimi nggak akan nangis-nangis ke rumah Om. Beneran deh." Begitu yakinnya aku tentang Guy, hingga keteguhanku tak tergoyahkan, padahal hatiku galau tak karuan karena Guy masih belum mengatakan apa-apa soal pindah agama.

 

Selama beberapa bulan Guy di Korea, kami tetap bertelepon, padahal zaman itu telepon keluar negeri mahalnya luar biasa. Aku sering bela-belain mengikis uang makan demi beli kartu telepon. Guy pun rela mengorbankan tidurnya beberapa hari per minggu agar kami bisa mengobrol dalam zona waktu yang berbeda. Aku sama sekali tak mengungkit soal agama atau arah hubungan kami, hanya membicarakan kesibukan sehari-hari dan bertukar rindu. Hingga akhirnya...

 

"Oke, aku mau masuk Islam." Guy berkata tegas di telepon.

Hatiku rasanya seperti diguyur air hangat di tengah bekunya musim dingin saat itu. Tuhan akhirnya menunjukkan jalan-Nya untuk meraih jodohku.

"Setelah aku pulang ke Prancis, bulan depan kita ke Indonesia untuk melamar kepada orang tuamu," jelasnya.

Aku tak menjawab apa-apa, tetapi buliran air mataku entah kenapa tak mau berhenti mengalir. Doaku terjawab, Allah sungguh Mahakuasa.

 

*****

Setibanya di Indonesia, di rumah orang tuaku sudah berkumpul Bu Eyang, salah satu abangku dan keluarganya, Dinda dan beberapa sepupu lain, juga para tante dan omku. Semua penasaran mau ketemu bule Prancis pacar si Mimi ini.

Selama Guy berkenalan dan mengobrol dengan anggota keluargaku yang lain, Bu Eyang terus mengamatinya sambil tersenyum-senyum.

"Mi, kelihatannya dia baik banget, ya... Mesraa banget sama kamu. Romantis ya, kalau orang Prancis? Bu Eyang jadi ngiri nih..." kata eyangku sambil tertawa. Mama, abangku, Dinda, tante dan omku bersenda gurau dan menyediakan kue-kue pasar yang ternyata digemari Guy.

"Bule banget, ya, Mi, tapi mauan orangnya..." kata abangku mengamati. Aku cuma tertawa, sekaligus lega karena tampaknya semua keluargaku menyukainya. Kecuali Papa.

Ketika malam-malam aku keluar cari minum, lampu kamar orang tuaku masih menyala. Kudengar Papa mengomel dengan Mama.

 

"Saya tetep nggak setuju. Orang Indonesia kan buanyak. Kenapa sih cari suami orang bule? Nggak ketauan bibit, bebet, bobotnya, keluarganya gimana, asalnya dari mana..." Papa ngerepet panjang-pendek.

"Lah, kenapa Mimi disuruh belajar ke Prancis? Ya risikonya dapet orang Prancis! Kalau mau dapat mantu orang Jawa, jangan dikirim ke Paris, suruh ke Surabaya aja..." jawab Mama tak mau kalah.

"Maksud saya, dia memperkuat bahasa Prancis-nya supaya terus dapat kerjaan yang bagus di Indonesia, bukan malah cari suami di sana." keluh Papa.

"Lah kalo jodohnya ternyata di sana, gimana?" Mama tetap membelaku.

Papa terus ngedumel nggak jelas ketika aku kembali masuk ke kamarku.

 

"Om, saya mau melamar Mimi," kata Guy tanpa menunggu lama. Papaku terdiam, raut mukanya mengeras.

"Syarat saya tiga," kata Papa dengan nada dingin.

"Satu, kamu harus masuk Islam. Dua, kamu harus bekerja di Indonesia, dan tiga, kamu harus jadi warga negara Indonesia."

 

Guy menghela napas.

"Kalau masuk Islam, saya bisa sekarang. Besok Om panggil ustad ke sini, saya akan masuk Islam. Tapi kalau bekerja di Indonesia, saya harus cari perusahaan yang mau menerima saya, atau perusahaan Prancis yang mau menugaskan saya ke Indonesia. Kalau jadi warga negara Indonesia, saya harus tinggal di sini setidaknya lima tahun, bahkan sepuluh tahun sebelum bisa ajukan kewarganegaraan. Usia kami nggak semakin muda. Kapan kami bisa menikah?"

Guy coba menjelaskan kepada Papa, tetapi Papa tetap kekeuh dan tak mau menjawab lagi, dia melengos.

 

Guy masuk ke kamar depan, dan aku mendengar isakannya.

Kubuka pintu kamar, dan Guy telungkup di ranjang sambil menangis.

Huuuuuu.... hatiku hancur luluh melihatnya. Kepalanya kubelai dan tangannya kugenggam.

"Aku nggak mau melepaskan tangan ini lagi...

Aku nggak mau kehilangan kamu, aku takut, papamu masih nggak setuju," isaknya.

"Kalau nanti kamu pulang ke Indonesia, dan kamu dilarang nikah sama aku gimana?" keluhnya cemas.

"Aku juga nggak mau kehilangan kamu, dan kamu nggak akan begitu," hiburku.

"Kalau kamu sudah masuk Islam, papaku nggak berhak lagi ngelarang aku nikah sama kamu. Karena secara agama, kamu sudah memenuhi kriteria sebagai suami. Kamu muslim, punya pekerjaan dan bisa menafkahi keluarga." aku terus menghiburnya sambil ikut menangis.

"Jadi?"

"Jadi, setelah kita pulang ke Prancis, kita nikah secara sipil sebelum visa pelajarku habis. Kalau Papa masih coba melarang, aku bisa kembali lagi ke Prancis karena aku sudah jadi istrimu secara hukum. Kita bisa nikah di mesjid secara agama setelah itu." kututurkan pemikiranku dengan terperinci.

 

"Kamu bisa nikah tanpa diwalikan papamu?" tanyanya.

"Bisa, kalau papaku nggak punya alasan yang jelas untuk melarangku menikah," tekadku sudah bulat. Aku menatap matanya.

"Kamu jodohku, aku yakin sekarang. Kamu merelakan agamamu demi aku, jadi aku pun bisa mengorbankan apa saja demi kamu."

Kami pun lalu berpelukan sambil menangis.

 

Esok harinya, di depan ustad, pengurus mesjid, dua saksi, dan keluargaku, Guy resmi menjadi mualaf, tetapi Guy memilih untuk dikhitan di Prancis, karena dia merasa lebih aman, dan gratis karena biaya kesehatan ditanggung negara. Papa mulai agak ramah dan mencoba mengobrol, tapi Guy masih merasa kikuk dan canggung.

 

Sore-sore saat Guy mandi, aku mendengar Eyang ngomeli Papa.

"Kamu, ya! Kenapa sih kenceng betul sifatmu? Anak itu sudah jauh-jauh datang dari Prancis, ngelamar, masuk Islam. Orangnya baik, pinter, halus, dan sayang sama Mimi. Kurang apa lagi sih? Mau cari mantu orang Indonesia, belum tentu bener juga. Coba lihat pacar-pacar Mimi yang dulu, ada yang kamu suka? Nggak ada kan?" Eyang bicara dengan suara perlahan, tapi tegas.

Papaku tak menjawab, mukanya cemberut.

 

"Iya Pa," abangku menambahkan.

"Kalau Papa ngelarang Mimi sekarang, mungkin dia nurut, nggak kawin sama Guy. Tapi kalau terus nggak mau kawin-kawin selamanya, gimana? Papa mau tanggung jawab punya anak perawan tua?"

Seluruh keluargaku mencecar Papa sore itu. Papaku yang bersifat sangat otoriter dan feodal akhirnya memilih untuk masuk kamar lebih cepat dari biasanya. Mama seperti biasa memelukku dengan hangat. Dia tak berkata apa-apa, tapi aku tahu betul, Mama selalu mendukungku, apa pun keputusanku.

 

*****

Perjuangan kami masih jauh dari selesai. Beberapa hari setelah tiba di Paris, kami langsung menuju Chambery untuk bertemu calon mertuaku.

"Papa, je me suis converti, maintenant je suis musulman," itu ucapan pertama Guy di depan orang tuanya. Aku sudah pindah agama, dan menjadi muslim.

Papa Guy menggebrak meja, marah besar.

"Apa-apaan ini? Saya tidak setuju! Kenapa kamu mesti ganti agama? Kalau mau kawin, kawin aja! Kamu kan sudah dibaptis Katolik!"

Ibunya cuma bisa menangis melihat kemarahan suaminya.

"Kami nggak akan bisa berkeluarga kalau aku nggak jadi muslim. Lagi pula, aku nggak akan berubah. Aku akan tetap jadi Guy, anak Papa dan Mama," ujar Guy lirih.

Papa Guy yang berketurunan Sicilia ternyata sama kencengnya dengan papaku yang berasal dari Madura. Aku tak berkata-kata lagi, percuma.

"Kami rencana menikah bulan Juli di catatan sipil di Paris," ujar Guy lirih.

"Saya nggak mau datang! Kalau mamamu mau datang, biar dia datang sama anak-anak lain. Saya nggak akan datang!" bentak papanya.

Ibunya memelukku.

"Kalau suamiku nggak mau datang, saya nggak bisa datang juga, walaupun saya ingin sekali hadir," ujar calon ibu mertuaku sambil mengusap air mataku.

Aku menunduk sedih, tetapi hatiku lebih pilu melihat Guy yang harus menentang orang tuanya demi aku.

 

Akhir pekan itu, kami sekalian berkeliling menemui kakak-kakaknya untuk memberi tahu keadaan kami. Semua kakaknya mendukung keputusan kami untuk menikah dan bersedia datang ke pernikahan nanti. Namun mereka juga menyesali sikap Papa Guy yang keras kepala.

"Maaf ya Mi, soal papaku," kata Laurent, kakak Guy.

"Kenapa minta maaf? Aku ngerti banget kok perasaan mereka. Aku tahu betul, mereka bersikap begitu karena mereka sayang sama Guy. Ini nggak akan membuat rasa hormatku kepada mereka berkurang," jawabku dengan sungguh-sungguh.

Laurent menatapku, tersenyum.

"Kamu memang baik banget, ya. Adikku beruntung bisa dapet pasangan seperti kamu."

Guy memelukku erat-erat, raut wajahnya tampak bangga.

 

"Mama dateng, nggak, Mi?" tanya Mama awalnya ketika aku memberi tahu soal pernikahan sipil.

"Ya dateng dong, Ma, nanti keluarga Guy nggak mau dateng ke Indonesia kalau pas kawinan di Jakarta," bujukku.

"Papa gimana? Akhirnya setuju nggak?"

"Papa kayaknya mulai setuju, abis dimarahin Eyang terus. Tapi kalau disuruh dateng ke kawinan sipil di Prancis, Papa pasti nggak mau," kata Mama cemas.

"Nggak apa-apa lah kalau Papa sibuk, yang penting Mama dateng,"

 

Dengan waktu hanya dua bulan, kami berdua mengurus semua persiapan pernikahan tanpa dibantu siapa pun: urus surat-surat, cari gedung, katering, dekorasi...

Undangan kami tak banyak, cuma 65 orang, karena tak ada keluarga besar Guy yang hadir, hanya kakak-kakaknya, Mama, tanteku, kedua kakakku dan keluarga mereka, serta beberapa teman dari kantor dan KBRI.

 

Karena jumlah tamunya sedikit, kami berhasil memesan salah satu ruangan di Chatêau de Thoiry, kastel indah dengan taman yang luas sekaligus kebun binatang agar para tamu bisa menikmati kecantikan istana sambil bercengkerama dengan satwa di sana.

Biaya pernikahan sepenuhnya dari tabungan Guy, karena orang tuanya sama sekali tak ikut campur. Untuk menghemat, aku membeli bahan dan brokat di Lyon, dan minta tolong temanku seorang mahasiswi sekolah mode untuk menjahitkan gaun pengantin.

 

Pada awal Juli, akhirnya kami menikah secara sipil. Walaupun undangan tak banyak, pesta kami cukup meriah dan para tamu sangat menikmati malam itu.

Selagi para tamu berdansa ria hingga penghujung malam, Guy menggenggam tanganku keluar ruangan, dan mengajakku berjalan-jalan di taman.

"Tangan ini, aku nggak akan ngelepas lagi," janjinya kepadaku.

Begitu erat tanganku diremas, lalu ditaruh di dadanya.

Aku menatapnya dengan penuh haru. Dengan dia, rasanya aku siap menyongsong takdirku.

Kutatap lagi ruang pesta dari taman tempat kami berdiri.

Dua tempat duduk di sebelah kursi kami tetap kosong: tempat yang kami pesankan untuk Papa dan Mama Guy. Hari itu aku sangat bahagia, tetapi belum sepenuhnya karena aku merasa Guy masih belum plong hatinya.

 

*****

Akhir Agustus, aku pulang kembali ke Indonesia untuk mengurus pernikahan di Indonesia bulan Desember, dan Guy berangkat ke Korea untuk melanjutkan proyek kerjanya. Rencananya dari Korea, dia cuti lima hari untuk menikah di Jakarta, lalu langsung memboyongku ke Korea sampai proyek selesai dan pulang ke Prancis.

Di Jakarta, ternyata Papaku sudah setuju 100% dan sibuk mengurus pesta pernikahan putri bungsu satu-satunya. Begitu terperinci persiapan pesta ini, sampai-sampai dia menyewa rumah kosong di jalanan yang sama dengan rumah orang tuaku, untuk menampung rombongan keluarga Prancis, agar mereka lebih mudah dibantu dan dilayani.

 

Kedua kakak Guy yang hadir sekeluarga dalam pernikahan tradisional Madura dan didandani kebaya, sarung, dan blangkon, serta disambut dengan keramahan Indonesia, sangat terharu dan berkali-kali menangis. Mereka tak menyangka disambut bagai raja, kata mereka.

Dari mulai midodareni, akad nikah, hingga resepsi, mereka kagum luar biasa atas kayanya tradisi kita. Usai pernikahan, mereka melanjutkan wisata ke Yogyakarta dan Bali, ditemani Dinda dan Mbak Santi yang bisa berbahasa Prancis. Orang Prancis yang terbiasa untuk melakukan apa-apa sendiri, sangat tersentuh akan pelayanan orang Indonesia yang tak segan membantu dan ramah luar biasa. Mereka kembali ke negerinya membawa sebongkah besar kenangan yang benar-benar tak terlupakan seumur hidup.

 

Sepulangnya kami ke Prancis, sikap Papa Guy mulai drastis berubah. Ternyata setelah pulang dari Indonesia, kakak-kakak Guy heboh menceritakan pengalaman mereka saat pernikahan. Betapa kagumnya mereka melihat keramahan dan sambutan yang hebat dari keluargaku, dan meriahnya pesta pernikahan yang diadakan orang tuaku di sana.

 

"Aku cuma takut Guy ditipu. Pura-pura dirayu, disuruh masuk Islam, lalu setelah uangnya diporoti, dia ditinggal oleh istrinya..." ujar bapak mertuaku kepada Anne dan Laurent, kakak-kakak Guy.

"Nah, ternyata ketakutanmu nggak beralasan, kan? Lihat saja, mereka memang menikah karena cinta, bukan karena uang," kata ibu mertuaku kesal. "Aku sebenarnya kepingin sekali datang ke pesta pernikahan, tapi karena kamu, aku jadi nggak bisa hadiri pernikahan anak bungsuku."

Bapak mertuaku diam saja, menyesal.

 

"Yang berlalu ya sudah berlalu. Yang penting sikap Mimi dan Guy nggak berubah dengan Papa dan Mama, mereka tetap sayang, kok." ujar Anne, kakak Guy, sambil tersenyum dan memeluk kedua orang tuanya.

 

*****

Dua puluh lima tahun berlalu, dan aku jadi menantu kesayangan mertua. Perbedaan keyakinan sama sekali tak mempengaruhi keakraban kami.

Guy pun tetap sama. Cintanya, mesranya sama sekali tak bekurang. Dia tak pernah meremehkan tindakanku untuknya, sekecil apa pun itu. Semua masalah yang timbul, kami hadapi berdua, bersama-sama, dan tak satu pun masalah itu berasal dari hubungan kami.

 

Walau budaya dan asal-usul kami jauh jaraknya, kami tak pernah merasakan perbedaannya, dan selalu sepakat dalam cara mendidik kedua putra kami. Perbedaan tak pernah kami masalahkan, karena kami selalu mencari persamaan.

 

Setiap malam, Guy selalu menggenggam tanganku agar tidurnya nyenyak, sejak menikah sampai sekarang.

"Kenapa sih kamu masih cinta ama aku? Emang nggak bosen udah dua puluh lima tahun itu-itu aja? Padahal aku kan udah tambah tua, tambah kendor, tambah gendut..."

Seperti biasa, pertanyaan istri yang nggak pede kuajukan kepadanya.

 

"Buat aku, kamu tetap sama, kok, karena tanganmu tetap sama..." jawabnya enteng.

"Lho, jadi kamu sayang sama aku karena tanganku? Kalau tanganku dipotong, nggak sayang lagi, gitu?" aku mulai ngambek.

"Bukan gitu," sahutnya dengan sabar.

 

"Karena tanganmu itu perpanjangan dari hatimu. Apa pun yang dilakukan tanganmu, saat masak untuk aku dan anak-anak, saat membelai kepala anak, saat main piano bikinin lagu untukku, saat meluk, ngebuatin teh saat aku kerja lembur, semua digerakkan oleh hatimu. Semua kebaikan hatimu diterjemahkan oleh tanganmu. Dari tanganmu, aku bisa merasakan cintamu, walaupun kamu nggak ucapkan..." kata Guy perlahan.

 

Jawabannya yang lembut membuat hatiku lumer berderai-derai. Setelah dua puluh lima tahun, dia tetap menaati janjinya untuk tak melepaskan tangan ini.

Tangan yang kecil ini, ternyata menentukan takdir kami.

Dari belahan dunia yang berbeda, tangan ini menyatukan dua hati.

Dua budaya, dua jiwa, menjadi satu sanubari.

Semoga tangan ini tetap bisa menggenggam tangannya hingga ajal menanti.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.