Sinyal Jelek!

Jadi, bagaimana memastikan tidak ada gangguan berupa sinyal jelek di Indonesia, terutama wilayah Indonesia Timur, dalam komunikasi di era digital ini?

Sinyal Jelek!
Gambar dibuat dengan aplikasi Canva

Paitua dalam perjalanan ke kampungnya yang terletak di tengah Pulau Flores. Ayahnya meninggal hari Senin sore, dan akan dimakamkan Rabu. Penerbangan paling cepat dari kota tempat tinggalnya di Jawa Tengah adalah rute Solo ke Kupang lalu ganti Kupang ke Soa. Dari Soa, perlu perjalanan darat sekitar satu jam untuk sampai di kampung.

Hanya dia yang pulang untuk pemakaman. Tiket sudah ada di tangan, termasuk dokumen pelengkap di masa pandemi ini. Istri dan anaknya tidak ikut pulang ke kampung. Subuh Paitua berangkat. Sekitar pukul satu siang, Paitua mengirim tiga pesan WA kepada isterinya.


"Sayang sedih aku..... aku ketinggalan peswat dr kupang ke soa...."
'Aku bingung....."
"Tdak.ada.penerbangan.lagi.ke.flores.sayang...."


Jantung Maitua, isterinya, seakan copot! Meskipun ketikan pesan suaminya seperti biasa tidak ikut PUEBI, tapi isi pesan jelas. Bagaimana ini? Suaminya sudah mencoba mencari tiket di agen di sana, tidak berhasil. Ia berpikir keras. Siapa yang punya koneksi di sana untuk urusan tiket? Beberapa jam berikutnya ia gelisah sambil mencoba menghubungi orang-orang yang mungkin bisa membantu. Beruntung kakaknya memberi sebuah nomor kenalan di Kupang, yang akan menolong mencarikan tiket. Menurut Om Norman, si penolong itu, ada satu tiket tersedia untuk Rabu. Syukurlah. Segera Maitua menghubungi suaminya.


Ketika menelpon dengan fasilitas telpon dari WA tidak berhasil, Maitua memakai telpon langsung ke ponsel suaminya. Tidak berhasil! Maitua mengirim pesan. Sudah terkirim. Tetapi kok, tidak ada tanda-tanda dibaca? Coba telpon lagi, tidak berhasil. Coba telpon adik ipar yang di Kupang, sama saja, tidak berhasil. Kirim pesan lagi ke suaminya. Pesan dikirim. Tidak ada tanda-tanda pesan dibaca. Aduuuh... Tadi Maitua bisa berkomunikasi dengan Paitua memakai chat WA dengan lancar. Itu beberapa jam sebelumnya. Kenapa jadi tidak bisa?

Perasaan Maitua campur aduk. Semua info dan pesan sudah dia kirim. Di ponselnya, semuanya tertulis dengan jelas dan sudah dikirim. Masalahnya, kok tidak ada respon? Apakah pesan tidak sampai?


"Sinyal jelek!" begitu sebuah pesan akhirnya datang dari adik ipar. Sempat dia menelpon Maitua, namun di tengah-tengah percakapan suara tiba-tiba hilang, koneksi putus, tidak bisa nyambung lagi. Setidaknya pesan untuk mendapatkan tiket akhirnya tersampaikan.

 

"Bu, tiket yang tinggal satu tadi ternyata sudah dibeli orang," Om Norman menelpon Maitua.


Jantung Maitua seakan berhenti berdetak mendengar berita itu. Aduuuh, harus bagaimana ini??? begitu pikir Maitua. Apa lagi yang harus dilakukan? Hatinya pedih sedih terkoyak-koyak, mendengar satu tiket yang tersisa itu tidak bisa didapatkan suaminya.


Rasanya pakar komunikasi pun puyeng dengan situasi ini. Langkah pertama dari proses komunikasi sudah Maitua lakukan. Sudah dia tulis dengan jelas pesannya. Sudah dia kirim ke suaminya, bahkan pesan yang sama dia kirim ke adik ipar. Harapannya, operator seluler bekerja profesional dalam menyampaikan pesan. Rupanya tidak! Terutama di luar Jawa, mendapatkan sinyal seluler yang baik sepertinya dianggap bukan hak masyarakat di sana. Sedih.


Maitua mengalami kesedihan yang berlipat-lipat. Pertama karena bapak mertua meninggal. Kedua, melihat suaminya tidak sempat bertemu ayahnya sebelum ayahnya meninggal. Ketiga, dia dan anaknya tidak bisa ikut pulang dengan pertimbangan situasi pandemi. Keempat, suaminya ketinggalan pesawat. Kelima, ada satu tiket yang sebenarnya tersedia untuk Rabu, tetapi keburu dibeli orang hanya karena suaminya terlambat menerima pesan akibat sinyal jelek. Keenam, kenapa pembedaan pembangunan antarwilayah yang dilakukan sejak berpuluh-puluh tahun lalu, masih terasa imbasnya hingga detik ini. Padahal negeri ini sudah berapa puluh tahun merdeka dari kolonialisme? Bertumpuk-tumpuk kesedihan dirasakan Maitua. Kesedihan yang menggunung pasti dirasakan Paitua. 

Semua masalah dapat diselesaikan dengan komunikasi, begitu kata orang. Masalah yang dialami Paitua dan Maitua ini juga. Masalah yang dialami keduanya adalah adanya gangguan dalam proses komunikasi mereka. Coba sinyal baik, pastilah pesan dapat terkirim dan diterima dalam hitungan detik seperti di Jawa. Tiket yang tinggal satu itu segera berada dalam genggaman tangan. Jantung tidak dipaksa ngebut berdetak-detak bagai akan meloncat keluar.


Sebuah proses komunikasi memang diawali dengan pesan yang dikirim oleh sumber pesan, yang biasa disebut juga sebagai komunikator. Pesan tersebut ditujukan kepada si penerima, atau komunikan. Proses komunikasi dinilai lancar jika pesan diterima dan dipahami oleh si penerima, sesuai yang ingin disampaikan oleh pengirim.


Sayangnya, ada yang namanya noise atau gangguan yang menghambat komunikasi, seperti dalam masalah Paitua dan Maitua ini. Dalam buku panduan komunikasi, tidak (atau belum) dicantumkan gangguan sinyal jelek sebagai bagian dari noise. Jika diperhatikan, sinyal jelek ini termasuk gangguan fisik, yaitu gangguan dari luar si pengirim dan penerima pesan.


Jika si pemberi dan penerima pesan tidak berada di satu tempat untuk langsung berinteraksi, alat dan jasa komunikasi wajib hadir sebagai pengantar pesan. Pengantar pesan yang sangat penting di zaman digital ini namanya operator seluler. Sebagai penyedia layanan seluler, perannya tidak hanya sekadar menyediakan paket-paket internet dengan segambreng varian. Yang sangat penting adalah memastikan jaringan telekomunikasi yang baik tersedia di seluruh pelosok negeri!


Ketika googling berita-berita tentang jasa telekomunikasi, terutama di Indonesia bagian timur, ternyata didapatkan informasi bahwa ada 645 blank spot di Nusa Tenggara Timur. Jika ada peta yang menggambarkan blank spot itu, kemungkinan besar wilayah tempat tinggal adik ipar Maitua termasuk. Akan tetapi, Bandara El Tari Kupang bukan blank spot, karena komunikasi suami isteri itu tidak terganggu saat Paitua masih berada di area bandara, belum berada di rumah adiknya.


Jadi, bagaimana memastikan tidak ada gangguan berupa sinyal jelek di Indonesia, terutama wilayah Indonesia Timur, dalam komunikasi di era digital ini?


Setiap menyaksikan pembedaan pembangunan antarwilayah di Indonesia, rasanya miris. Memang, Pemerintah Indonesia dua periode terakhir ini berbeda dengan periode-periode sebelumnya. Pemerintah melakukan pembangunan besar-besaran di wilayah-wilayah yang sebelumnya 'tak tersentuh', yang membuat masyarakat di sana merasakan hak sebagai warga dipenuhi negara. Hanya saja, PR masih banyak, termasuk urusan sinyal jelek ini.


Jika komunikasi disodorkan sebagai penyelesaian semua masalah, apa yang menghalangi penyediaan sinyal lancar dan kuat di Nusa Tenggara Timur? Sepertinya kita tidak boleh su'udzon bahwa tidak ada penyampaian pesan tentang sinyal jelek ini untuk dicari solusinya. Juga tidak boleh berburuk sangka bahwa pemerintah daerah dan wakil rakyat tidak berfungsi semestinya. Perusahaan-perusahaan penyedia layanan seluler di Indonesia pasti juga profesional dalam menjalankan bisnisnya. Masak perusahaan telekomunikasi bermasalah dengan komunikasi? Lucu, kan? Jadi, bagaimana?


Tulisan ini adalah sebuah pesan kepada semua warga negara ini. Baik yang duduk di jajaran pemerintah, petinggi di perusahaan penyedia jasa seluler, wakil-wakil rakyat, serta warga negara dengan berbagai profesi dan pekerjaannya. Pastikan ada keadilan dalam penyediaan sinyal lancar, kuat dan baik untuk semua warga negeri ini. Semoga komunikasi benar-benar menyelesaikan semua masalah. (rase)

 

Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Menulis The Writers dengan tema: "Semua Masalah Dapat Diselesaikan dengan Komunikasi"

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.