[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #17

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #17

 

Tujuh Belas

Belahan Jiwa,

Belahan Raga

 

 

Alma berbaring diam di ranjangnya. Semua kejadian dan pembicaraan di antara ia, Wilujeng, dan Kresna menjelang siang tadi, berputar dan berputar terus dalam benaknya. Ada pertanyaan yang terjawab, tapi ada lebih banyak lagi pertanyaan baru yang muncul ke permukaan. Dihelanya napas panjang.

 

 

 

“Barangkali benar kita sudah pernah bertemu sebelum ini,” ucap Wilujeng, setengah menerawang. “Tapi entah di mana, dan bagaimana caranya. Ibu hanya...,” tatapan Wilujeng beralih pada Alma, “... merasa dekat sekali denganmu.”

 

Alma tercenung. Sungguh, ia pun merasakan hal yang sama. Perasaan dekat, perasaan hangat, dan bersit-bersit rasa sayang. Hanya saja. Ia tak tahu bagaimana perasaan itu bisa muncul dalam hatinya.

 

“Mm... Kalau boleh tahu,” gumam Kresna, menatap Alma, “bagaimana kamu tahu nama Ibu?”

 

Seketika Alma menggeleng. “Aku tak tahu caranya, Mas. Hanya ‘tahu’ begitu saja.”

 

Kresna mengangguk samar. Paham seutuhnya akan perasaan itu.

 

“Dan, Pinasti...,” ucap Alma kemudian, ragu-ragu. “Entah kenapa rasanya akrab sekali di telinga.”

 

Wilujeng dan Kresna saling menatap, sebelum Wilujeng kembali mengarahkan matanya pada Alma.

 

“Dulu, waktu Ibu diketahui hamil Pinpin, entah bagaimana Kresna dan Ibu menginginkan dan mengucapkan nama itu, Pinasti, bersamaan.”

 

“Oh....” Alma mengangguk samar. “Dan, lukisan-lukisan di sini....” Alma menatap berkeliling. Selain lukisan padang bunga di seberangnya, ada juga lukisan padang rumput dan hutan bambu kuning di bagian lain dinding ruangan itu. “Siapa yang melukisnya?”

 

“Aku, Al,” jawab Kresna. “Mencoba menuangkan pemandangan yang kerap kali muncul dalam mimpiku ke dalam kanvas. Ada satu lagi lukisan danau dan ikan. Ada di apartemenku. Juga lukisan rembulan dan seekor anjing hutan cokelat kemerahan. Ada di kamar Pinpin. Dia suka sekali lukisan itu.”

 

Alma kian tercekat. Semua gambaran yang dituturkan Kresna, seolah muncul bagai kilasan film-film pendek yang berputar dalam benaknya.

 

“Kenapa, Nduk?” tanya Wilujeng halus.

 

Alma menghela napas panjang. Balas menatap Wilujeng.

 

“Semuanya... juga terasa akrab... bagi saya, Bu,” bisiknya.

 

Seketika tangan Wilujeng terulur. Menjangkau bahu Alma.

 

“Sama.” Wilujeng mengangguk. “Ibu pun merasakan hal yang sama.”

 

Alma menatap Kresna.

 

‘Apakah suatu kebetulan bila peristiwa Ibu menghilang, Mas Kresna juga, dan aku koma ada pada suatu titik yang bersinggungan?’

 

Kresna terlihat sedikit tersentak ketika Alma mengirimkan kalimat panjang itu ke dalam benaknya. Dengan kening berkerut, ia balas menatap Alma.

 

‘Kamu betul juga.’ Kresna mengangguk samar. Ia kemudian beralih menatap Wilujeng.

 

“Bu, Alma merasa bahwa kita bertiga pernah berada pada suatu waktu dan tempat yang sama. Entah kapan. Entah di mana.”

 

Wilujeng tersentak mendengar ucapan putranya.

 

“Nyai Sentini...,” gumamnya kemudian.

 

“Pak Saijan juga,” timpal Kresna. “Bu, kupikir kita harus mendapatkan penjelasan darinya. Aku yakin, dia tahu sesuatu.”

 

Wilujeng mengangguk.

 

Dan, Alma tak akan pernah bisa melupakan bagaimana ekspresi Mahesa, Seta, dan Erika ketika Wilujeng dan Kresna secara saling melengkapi mengungkapkan dugaan mereka bertiga atas apa yang mungkin pernah terjadi. Yang tak pernah diduga....

 

“Saijan?” celetuk Erika tiba-tiba. “Yang punya toko bahan obat herbal di Sembilangan, Saruji?”

 

“Ya!” jawab Kresna seketika. “Kamu tahu?”

 

Erika mengangguk. “Ya. Dia pamanku. Satu-satunya adik Ibu. Konon, dia dulu pernah hilang juga di sekitar Gunung Nawonggo. Hampir satu tahun lamanya. Setelah kembali, dia jadi ahli obat herbal. Kalau ditanya dia dapat ilmu dari mana, dia mengaku tidak tahu. Jadi, dia hanya ‘tahu’ begitu saja.”

 

Terdengar beberapa desah napas panjang terhela. Wilujeng menatap Mahesa.

 

“Bagaimana ini, Yah?”

 

Mahesa tampak tercenung sejenak sebelum berucap dengan nada rendah, “Kalau memang penting sekali bagi kalian dan kita semua untuk mencari tahu, kenapa tidak? Menurutku, ini semua sangat aneh. Ajaib. Kalau aku tak mengalami sendiri, barangkali aku juga tak akan percaya.”

 

“Jadi?” Kresna memastikan.

 

“Bagaimana kalau besok kita ke sana? Menemui Pak Saijan itu, dan mencari tahu.”

 

Alma pun menurut ketika mereka memutuskan untuk sepagi mungkin berangkat ke Sembilangan, Saruji, besok. Toh, masih ada libur satu hari lagi.

 

 

 

Tanpa bisa ditahan, Alma menguap. Diliriknya sekilas jam dinding besar yang tergantung di tembok seberang ranjangnya. Hampir pukul sepuluh malam. Ia harus bangun pagi-pagi besok. Keluarga Mahesa akan menjemputnya pukul lima pagi agar mereka bisa sesegera mungkin tiba di Sembilangan, Saruji.

 

* * *

 

‘Al, kamu sudah siap? Kami sudah dekat indekosmu.’

 

Menjelang pukul lima, Alma buru-buru menyambar ransel kecilnya yang berisi seperangkat pakaian ganti, dompet, ponsel, dan sebotol air minum. Di luar, ia berpapasan dengan penjaga rumah indekos yang baru saja selesai menyapu halaman. Pada perempuan berusia empat puluhan itu, Alma berpamitan hendak pergi bersama familinya dan akan kembali menjelang malam nanti. Perempuan itu mengangguk seraya membukakan pintu pagar yang masih tergembok rapi.

 

Begitu keluar dari halaman, sebuah SUV berwarna gelap meluncur pelan ke arahnya. Pintu tengah terbuka. Mahesa turun. Kresna dilihatnya duduk di jok belakang. Pemuda itu menggapaikan tangannya, menyuruhnya masuk dan duduk di belakang bersamanya. Buru-buru ia meloncat masuk sambil menggumamkan ucapan terima kasih.

 

“Selamat pagi, Pak, Bu, Mas, Mbak, Pinpin,” sapanya sembari duduk di sebelah Kresna.

 

Balasan sapaan yang hangat pun menyambutnya. SUV yang dikemudikan Seta itu kembali meluncur membelah pagi yang masih temaram.

 

“Al, sudah sarapan?” tanya Wilujeng, memutar badannya sedikit ke arah belakang.

 

Gadis itu meringis malu. “Euh.... Belum, Bu. Nggak sempat.”

 

Wilujeng tertawa kecil. Ia kemudian mengulurkan sebuah kotak pada Alma.

 

“Ini, sudah Ibu bawakan sarapan. Kamu makan dulu.”

 

Alma pun menerima kotak itu sembari mengucapkan terima kasih. Ia kemudian diam-diam menikmati sarapannya. Sesekali ia tersenyum mendengar celoteh Pinpin yang duduk diapit Mahesa dan Wilujeng di jok tengah. Gadis kecil itu seolah punya energi ekstra untuk mengolah apa yang dilihat dan ada di sekitarnya jadi pembicaraan menarik.

 

‘Tidur nyenyak semalam?’

 

Sekilas Alma menoleh ke arah Kresna. Menggeleng samar.

 

‘Aku deg-degan melulu. Entahlah, Mas.’

 

‘Sama. Mm... Ini, untukmu.’

 

Seketika Alma berhenti mengunyah ketika sesuatu terulur tepat di depannya. Sebuah mahkota bunga warna-warni. Semburat hangat seketika terasa pada kedua belah pipinya. Sebelum ia menerima mahkota itu, Kresna sudah meletakkan mahkota itu di puncak kepalanya. Alma makin tersipu. Apalagi ketika tiba-tiba saja kepala Pinasti menyembul dari balik sandaran jok di depan mereka. Menatapnya dengan senyum menggemaskan mewarnai wajah imutnya.

 

“Bu, Yah, lihat, tuh! Kak Alma pakai mahkota yang sama kayak punyaku,” celetuknya lucu. “Cantiiik banget!”

 

Mahesa dan Wilujeng sama-sama menoleh ke belakang dan menanggapi ocehan Pinasti. Sekilas, Seta pun menatap ‘keributan’ dari arah belakang itu melalui spion tengah. Ia tersenyum lebar.

 

“Hmm... Senangnya yang dapat mahkota bunga.” Gumaman itu terdengar lirih dari arah samping kiri Seta.

 

“Mau?” balas Seta.

 

Erika terkikik geli. Tapi tak ada penolakan dalam suara tawa Erika.

 

“Nanti aku belajar dulu cara buatnya sama Kresna, ya?”

 

Erika kembali tertawa tertahan. Tanggapan serius Seta seketika membuat hatinya berbunga-bunga.

 

* * *

 

Lewat sedikit dari pukul delapan pagi, Erika menunjuk ke satu arah di sebelah kanan. Seta melambatkan mobilnya. Mereka sudah beberapa menit lamanya masuk ke wilayah Sembilangan.

 

“Itu tokonya, Mas,” ucap Erika. “Kelihatannya baru buka.”

 

Jalan raya yang cukup lengang di depan toko itu merupakan jalan dua lajur yang dipisahkan oleh jajaran pembatas terbuat dari beton. Seta melihat ada rambu untuk putar arah kira-kira lima puluh meter di depan. Setelah mengamati spion baik-baik, ia pun mengarahkan mobilnya ke kanan dengan sedikit memotong jalur. Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai di toko bahan obat herbal milik Saijan.

 

Yang pertama turun adalah Erika dan Seta. Mencari apakah Saijan ada di toko. Ternyata laki-laki itu sendiri yang menyambut kedatangan keduanya. Ketika menjabat tangan Seta, Saijan menatapnya lekat-lekat. Seperti ada sorot mengenali, tapi Saijan segera menutupinya dengan bersikap ramah seperti biasa. Ia benar-benar mengira bahwa Seta adalah Kresna.

 

“Begini, Paman,” ujar Erika kemudian. “Aku mengantar keluarga Mas Seta ini ke sini, karena ada perlu dengan Paman. Soal itu, biar mereka sendiri yang mengungkapkannya pada Paman. Paman ada waktu?”

 

Seta? Oh, jadi dia bukan Kresna yang permah kutolong dulu.

 

“Mm.... Bisa, bisa! Boleh.” Saijan mengangguk. “Ajak saja ke rumah, Er. Mobilnya masukkan saja.”

 

Erika dan Seta kemudian keluar dari toko itu. Saijan pun menyerahkan pelayanan toko pada para asistennya. Setelah itu, ia keluar melalui pintu belakang toko. Pulang ke rumahnya yang ada tepat di belakang toko.

 

“Rumah Paman masuk lewat jalan kecil itu.” Erika menunjuk ke arah sebuah jalan kecil tepat di sebelah toko, setelah mereka kembali ke mobil.

 

Seta pun pelan-pelan melajukan mobilnya, masuk ke jalan kecil yang ditunjuk Erika. Jalan kecil dengan pintu gerbang terbuka di bagian depan itu ternyata adalah jalur khusus untuk memasuki kediaman Saijan. Setelah menyusuri sisi luar bangunan toko sepanjang kurang lebih tiga puluh meter, mereka sampai di sebuah halaman luas yang penuh dengan aneka pohon buah. Di tengah kebun itu ada sebuah pondok mungil dari bambu yang terlihat cukup kokoh, asri, sekaligus sangat artistik.

 

“Paman Saijan memang agak antik orangnya.” Erika terkekeh sedikit. “Tapi dia baik, kok. Kalau ada orang yang tak mampu beli bahan obatnya tapi sangat membutuhkan, pasti dia kasih secara gratis.”

 

Seta menghentikan mobilnya tepat di depan pondok itu. Saijan keluar dari dalam pondok. Disambutnya rombongan itu dengan ramah. Sejatinya, ia sudah ‘diberi tahu’ bahwa ia akan menerima tamu pagi ini. Jadi, ia sudah bersiap diri.

 

* * *

 

Di Bawono Kinayung, mereka bertujuh sudah siap di pondok kecil Sentini. Ketika waktunya tiba, kedua tangan Sentini bergerak membentuk satu lingkaran besar di udara. Sekejap kemudian, kabut putih tebal menyelimuti bagian dalam pondok itu. Selama beberapa saat, kabut itu mengambang di udara, sebelum akhirnya menghilang sepenuhnya. Dan, pondok itu pun kini kosong.

 

Bersamaan dengan itu, gulungan kabut muncul di tengah sebidang kebun berisi aneka tanaman buah. Ketika kabut itu menghilang, terlihatlah Sentini, Paitun, Kriswo, Randu, Tirto, Janggo, dan Pinasti di sana, di bagian belakang pondok Saijan. Tanpa suara, mereka pun duduk menunggu di beranda belakang pondok Saijan. Dalam hening, ikut mendengarkan pembicaraan yang terjadi di dalam.

 

* * *

 

“... Jadi begitu kisahnya, Pak.” Dengan suara tegas, Wilujeng menutup penuturan panjangnya tentang apa yang ia, Kresna, dan Alma alami. Termasuk pertemuan Wilujeng dan Mahesa dengan Suwari, Kepala Desa Ngentas Timur, yang menyebut nama Saijan.

 

Sejak awal, laki-laki itu memang tak mengelak bahwa ia dan Kresna pernah bertemu. Bahwa ia menolong Kresna dengan mengantarnya ke kantor polisi terdekat. Tapi selebihnya, ia tak bicara apa-apa. Hanya meminta agar mereka mengungkapkan apa yang mereka inginkan.

 

Saijan menghela napas panjang. Pada saat itu, telinganya menangkap ada suara gemersik yang sangat samar di bagian belakang pondoknya. Ia pun meminta waktu untuk ke belakang sebentar.

 

Benar saja, rombongan dari Bawono Kinayung sudah berada di beranda belakang. Melihat kehadirannya, Sentini menjentikkan jari tengah dan ibu jarinya. Seketika, waktu pun membeku.

 

“Jadi, bagaimana ini?” tanya Saijan dengan wajah risau.

 

Sentini dan Paitun bertatapan sejenak. Sentini kemudian mengalihkan tatapan pada Saijan.

 

“Kalau memang kami harus bertemu lagi, tak apa-apa,” ucap Sentini lembut. “Gusti sudah memberi restu. Tapi hanya Wilujeng, Kresna, dan Alma. Dan, nanti si kecil Pinpin.”

 

“Saya suruh mereka ke sini?” tanya Saijan.

 

“Ya,” angguk Paitun. “Tepuk bahu mereka masing-masing tiga kali.”

 

Saijan pun mengangguk dan bergegas kembali ke ruang tamu pondoknya. Bersamaan dengan itu, tangan kanan Paitun membuat sebuah lingkaran besar di udara. Membuat sebagian waktu mencair kembali bagi orang-orang tertentu. Juga sepenggal ingatan yang ikatannya kembali terurai.

 

“Emak?”

 

“Nini?”

 

“Nini?”

 

Wilujeng, Kresna, dan Alma berdiri di ambang pintu beranda dengan mata terbelalak. Bibir mereka mendesahkan sebutan bagi orang-orang yang telah mereka kenal sebelumnya. Entah siapa yang memulai, mereka sudah berpelukan erat.

 

Alma sendiri memeluk erat Janggo. Ajak raksasa itu mendengking kegirangan. Alma ‘Pinasti’ ternyata masih sangat mengenalinya.

 

‘Kamu tidak kesepian, kan, selama kutinggalkan?’ tanya Alma, sembari membelai rambut cokelat kemerahan di tengkuk Janggo.

 

‘Tentu saja tidak,’ jawab Janggo. ‘Nini mengubah tubuhmu yang tertinggal dan secuil jiwamu jadi dia.’

 

Janggo menoleh sedikit ke kanan. Seekor ajak berwarna putih bersih yang sedari tadi duduk diam di sudut beranda melangkah pelan mendekati mereka. Alma pun mengulurkan tangan.

 

‘Ah! Senang sekali mengetahui bahwa kamu adalah sebagian dari diriku.’ Alma ganti memeluk erat ajak putih itu.

 

“Sekarang sudah jelas sekali kenapa kita begitu akrab dengan nama ‘Pinasti’ itu,” gumam Wilujeng, sembari mengusap air mata haru bercampur bahagia yang menetes di pipi.

 

“Masih ada lagi kejutannya.” Sentini menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. “Gusti sudah berkenan memberikan hadiah untuk kalian. Sudah beberapa tahun yang lalu.”

 

Perempuan sepuh itu menatap Wilujeng dengan mata berbinar. “Gusti mencuil sedikit jiwa Pinasti ajak untuk ditiupkan dalam rahimmu. Jadi, kamu tetap memiliki Pinasti-mu.”

 

Wilujeng hanya bisa ternganga dan terbelalak. Jadi.... Pinpin benar-benar Pinasti-ku???

 

Sentini mengalihkan tatapannya pada Alma. “Dan kamu, Nduk, kamu tak lagi sendirian, kan? Itu karena Gusti pun mencuil sedikit jiwa Janggo, untuk dibentuk menjadi jiwa baru yang pernah menghuni rahim ibumu selama hampir empat puluh minggu lamanya. Dialah adikmu.”

 

Alma pun memberikan reaksi yang sama seperti Wilujeng. ‘Alto??? Aaah.... Pantas sekali aku sayang banget padanya!’

 

“Dan....” senyum Paitun mengembang lebar. “Kalau di Bawono Kinayung, Janggo dan Pinasti adalah belahan jiwa, maka demikian juga Alto dan Pinpin. Kelak, pada suatu saat yang tepat. Seperti Alma dengan Kresna.”

 

Serasa tak ada lagi yang bisa dikatakan. Pertemuan itu, kejadian yang pernah mereka alami, kisah di baliknya.... Semua terlalu ajaib untuk diingat. Terlalu indah untuk dilupakan begitu saja, walau secara paksa oleh kekuatan apa pun.

 

“Kalian adalah orang-orang yang istimewa,” ucap Sentini lirih. “Kalian masih bisa menyimpan serpihan-serpihan rasa dan ingatan itu walaupun beterbangan secara acak dalam kehidupan kalian. Itu karena kalian memiliki kasih yang sangat besar.”

 

Lalu hening. Kemudian Kresna memecahkan kesunyian itu dengan suara lirihnya.

 

“Apakah... dengan begini... mereka di depan sana harus tahu... kisah ini?”

 

Sentini dan Paitun menggeleng bersamaan.

 

“Tetap ada batas yang tidak boleh dilanggar, Kresna,” jawab Sentini dengan suara lembutnya. “Tapi percayalah, dengan ketulusan hati kalian, kami semua akan tetap berada dalam hati dan ingatan kalian. Tentu saja tidak secara penuh, karena kami terpaksa harus menghapus kembali sebagian dari ingatan kalian. Itu karena Bawono Kinayung harus tetap abadi dan tersembunyi.”

 

Kresna, Wilujeng, dan Alma mengangguk tanda memahami. Semua jalinan itu kini sudah mereka mengerti. Bahwa benar mereka pernah terhubung dan bertemu pada satu titik waktu. Pertemuan yang membawa mereka pada kehidupan kini yang harus dijalani dengan baik.

 

“Lalu, bagaimana keluarga Mas Kresna di depan sana harus memahami semua ini?” celetuk Alma tiba-tiba.

 

Sentini dan Paitun bertatapan sejenak sebelum tersenyum dan menjawab serempak, “Serahkan saja pada kami.”

 

Baik Wilujeng, Kresna, maupun Alma, saling bertatapan sejenak.

 

“Nah, kita sudah bertemu,” ujar Paitun. “Kalian sudah memperoleh penjelasan, dan kita semua sudah saling melepas rindu. Waktu akan segera mencair dan kehidupan kalian akan kembali seperti biasa. Sampai bertemu lagi.”

 

Mereka kemudian saling berpelukan lagi. Kedua lengan Alma erat memeluk Janggo dan secuil dirinya dalam bentuk Pinasti, seekor ajak putih.

 

‘Kalau rindu padaku, ajaklah Alto bermain,’ bisik Janggo.

 

Alma mengangguk-angguk dengan mata terasa hangat. Ia kemudian berpindah pada Paitun. Dipeluknya manusia abadi itu.

 

“Terima kasih atas semuanya, Nini,” bisiknya penuh rasa haru.

 

“Berterima kasihlah pada Gusti melalui cara yang diajarkan oleh orang tuamu,” Paitun balas berbisik.

 

Alma pun mengangguk. Ia memeluk pula Sentini, Tirto, Kriswo, dan Randu.

 

“Aku bawakan juga koleksi buku-bukumu,” bisik Kriswo. “Nanti aku titipkan pada Saijan.”

 

Dan, setelah semuanya harus usai, Wilujeng, Kresna, dan Alma kembali ke depan. Begitu mereka duduk di tempat semula, waktu pun kembali mencair. Ada sebagian ingatan yang terhapus. Tapi ada sedikit yang masih tersisa. Sekilas Wilujeng, Kresna, dan Alma bertatapan. Mereka sudah menemukan jawaban. Tinggal bagaimana kekuatan dari Bawono Kinayung akan menjawab keingintahuan anggota keluarga yang lain.

 

Dengan langkah tenang, Saijan kembali ke ruang tamu pondoknya. Ditatapnya para tamunya satu demi satu.

 

“Ya, saya kenal Nyai Sentini dan Tirto,” ujarnya kemudian. “Mereka muncul dan pergi sesuka hati. Tapi satu hal yang saya tahu.... Ah, sebaiknya Anda semua saya antar saja ke suatu tempat. Supaya bisa memahaminya sendiri.”

 

Para tamu itu saling menatap sebelum menyetujui perkataan Saijan.

 

“Mari,” ucap Saijan kemudian.

 

Mereka pun beranjak, menuruti ajakan Saijan.

 

* * *

 

Sesuai dengan petunjuk Saijan, Seta mengarahkan mobil yang dikemudikannya masuk ke sebuah jalan tanah yang agak menanjak, mengarah ke kaki Gunung Nawonggo dari sebelah timur. Tak jauh dari awal mereka masuk, ada pertigaan dengan sebuah papan penanda yang tulisannya sudah mulai pudar. Yang kiri mengarah ke Bukit Trucuh, yang kanan adalah jalan alternatif menuju Jalur Sembrani. Saijan menunjuk arah kiri. Ke sanalah Seta membelokkan kemudi mobil.

 

Jalan tanah yang hanya cukup untuk satu mobil itu kembali menanjak, dan berakhir sedikit di bawah puncak bukit, pada sebidang tanah datar kosong seluas kurang lebih seperempat lapangan sepak bola. Belum sempat Seta mematikan mesin mobil, dari segala penjuru, muncullah segerombolan ajak yang akhirnya berdiri mengepung mobil, sekira lima meter jaraknya. Seekor yang paling besar adalah ajak berwarna cokelat kemerahan, berdiri tegak tepat di depan mobil, didampingi seekor ajak yang lebih kecil, berwarna putih bersih.

 

Seta menahan napas karenanya. Demikian pula Mahesa dan Erika. Sementara itu Wilujeng, Kresna, dan Alma berdiam diri walaupun tahu ‘siapa’ sebenarnya pemimpin gerombolan ajak itu. Perlahan Saijan keluar dari dalam mobil. Tampak berdiam diri sejenak di depan pintu.

 

“Ah! Serigalaku!” Seruan Pinasti kecil memecahkan ketegangan yang mendadak hadir akibat mobil yang mereka tumpangi dikelilingi segerombolan ajak. Telunjuk mungilnya mengarah pada ajak raksasa di depan mobil.

 

“Aduh, Pin...,” gerutu Mahesa. “Kamu ini....”

 

“Tapi itu serigalaku, Ayah!” Pinasti kecil keras kepala.

 

“Iya, iya.” Mahesa akhirnya mengalah. “Itu serigalamu yang dilukis Mas Kresna, ya?”

 

“He eh.” Pinasti mengangguk mantap.

 

Tak lama kemudian Saijan berbalik dan membuka pintu mobil. Laki-laki itu melongokkan kepalanya.

 

“Tidak apa-apa,” ujarnya. “Mereka akan menjaga mobil ini di sini.”

 

“Benar tak apa-apa?” Tatapan Mahesa masih terlihat khawatir.

 

“Tak apa-apa, Pak,” tegas Saijan. “Saya jamin. Toh, keponakan saya sendiri juga ada di sini bersama kita.”

 

Barulah Mahesa menghela napas lega. Mereka pun satu demi satu keluar dari dalam mobil. Tanpa bisa dicegah, Pinasti kecil berlari ke arah depan mobil. Hati Mahesa seolah hilang melihatnya.

 

“Pinpin!” serunya panik. “Jangan, Nduk!”

 

Tapi Saijan menahan lengan Mahesa yang sudah hendak mengejar putri bungsu kesayangannya.

 

“Tak apa-apa, Pak Mahesa,” ujarnya, menenangkan. “Sungguh! Bapak tak perlu khawatir. Mereka penjaga daerah sini. Kita datang dengan maksud baik. Mereka tahu itu.”

 

Maka, Mahesa terpaksa menatap putrinya yang sudah ada di depan pasangan ajak cokelat kemerahan dan putih itu dengan sorot mata tak berdaya. Pinasti kecil melepaskan mahkota bunga yang ada di kepalanya, kemudian mengulurkan mahkota itu, dan memasangnya di puncak kepala ajak berwarna putih. Ajak putih itu menggoyangkan ekornya beberapa kali, kemudian membungkukkan badannya sedikit di depan Pinasti. Kejadian itu memuat ternganga siapa pun yang melihat.

 

‘Mas, Pinpin mengenalinya!’ seru Alma.

 

Kresna mengangguk samar. ‘Ya.’

 

Pinasti kecil kemudian kembali ke rombongan dengan wajah cerianya yang tampak begitu murni dan bersinar. Mahesa segera mendekap dan menggendong putri kecilnya.

 

“Pin, janji, jangan lakukan itu lagi,” bisik Mahesa.

 

“Tapi, Yah....” Si kecil masih berusaha membela diri.

 

“Pinpin....”

 

“Mm... Baiklah.” Kali ini si kecil mengalah.

 

Mereka kemudian mulai berjalan meninggalkan tempat itu, mengikuti langkah Saijan. Menyusuri sebuah jalan setapak yang tampaknya menuju ke puncak bukit. Kresna mengambil alih Pinasti dari gendongan ayahnya. Alma yang berjalan di sebelah Kresna meraba mahkota bunga yang ada di kepalanya, kemudian melepasnya dan meletakkannya di puncak kepala Pinasti. Agak terlalu besar, tapi tetap terlihat cantik. Dengan senyum lebarnya yang manis, Pinasti pun mengucapkan terima kasih.

 

“Nanti Mas bikinkan yang baru,” bisik Kresna sembari mencium pipi bulat Pinasti.

 

Mereka kini sudah sampai di puncak bukit. Di bawah naungan sebatang pohon kamboja yang berbunga lebat dan bercabang banyak, ada dua buah makam yang terlihat sudah kuno walaupun tampak masih terawat. Mahesa dan Wilujeng saling menatap.

 

“Ini...,” ucap Saijan dengan suara terdengar berat dan khidmat, “... adalah makam Nyai Sentini dan Tirto.”

 

Mereka semua menatap dua makam dengan nisan masing-masing. Bertuliskan ‘Nyai Sentini’ dan ‘Tirto’ dalam aksara Jawa. Mahesa masih bisa membacanya dengan baik.

 

“Saya sendiri tidak tahu sejak kapan makam kuno ini ada,” lanjut Saijan. “Yang pasti, semua penjelasan saya tentang Nyai Sentini dan Tirto hanya bisa berawal sekaligus berujung di sini.”

 

Semua tercenung menatap makam itu. Sejenak kemudian, Erika berinisiatif mengumpulkan guguran bunga kamboja yang masih segar, yang terserak di atas tanah, untuk ditaburkan pada kedua makam itu. Seta membantunya dalam hening.

 

Setelah semuanya dirasa selesai, mereka pun kembali ke mobil. Kawanan ajak itu masih ada. Masih dalam posisi yang sama seperti saat mereka meninggalkan dataran itu. Ketika mereka makin dekat, kawanan ajak itu pun menyingkir. Dalam diam, mereka kemudian masuk ke dalam mobil, dan mulai meninggalkan tempat itu. Pinasti kecil menyempatkan diri melambaikan tangan pada kawanan itu, yang dibalas dengan lolongan-lolongan panjang bersahutan yang sungguh menggetarkan hati siapa pun yang mendengarnya.

 

Pelan-pelan, Seta membelokkan mobilnya ke kanan ketika sampai di pertigaan. Mereka pun makin jauh. Suara lolongan itu pun memudar ditelan keheningan hutan yang menaungi jalur itu.

 

Saijan sempat menatap ke arah belakang melalui spion. Terlihat olehnya jalur pertigaan yang baru saja mereka lalui kini sudah kembali tertutup rapatnya pepohonan. Tak ada bekas jalan tanah yang berbelok ke arah bukit. Yang ada hanya jalan yang mengarah ke jalur Sembrani. Sebuah belokan tunggal. Bukan pertigaan. Dan, jejak kabut tipis yang masih tertinggal sejenak sebelum benar-benar menghilang.

 

Samar, Saijan mengulum senyum lega. Bawono Kinayung akan tetap aman.

 

* * *

 

Sudah menjelang sore ketika mereka tiba kembali ke Palaguna. Karena terseret oleh rangkaian peristiwa yang mereka alami baru saja, mereka melewatkan waktu makan siang. Baru terasa lapar ketika sudah memasuki gerbang kota Palaguna.

 

“Mampir makan dulu saja, Kres,” ujar Mahesa pada Kresna yang menggantikan Seta mengemudi setelah mereka mengantarkan Saijan pulang.

 

Kresna pun membelokkan mobil mereka ke sebuah rumah makan bernuansa alam yang terletak di tepi sebuah danau buatan. Setelah memarkir mobil, mereka pun mencari saung yang masih kosong. Ada satu untuk ukuran keluarga, berada tepat menghadap ke danau.

 

Dengan sedikit letih, mereka menghempaskan diri di saung itu. Perlu mengatur napas sejenak sebelum mereka mulai meneliti buku menu. Setelah urusan memesan makanan dan minuman selesai, barulah mereka menemukan kembali atmosfer hangat mereka.

 

“Jadi, bagaimana?” tanya Mahesa. “Kalian sudah puas?” Ditatapnya Wilujeng, Kresna, dan Alma.

 

Ketiga orang itu saling menatap sebelum sama-sama mengangguk.

 

“Barangkali memang benar ada banyak hal yang tak bisa dijelaskan oleh logika,” ujar Wilujeng.

 

“Yang jelas, Ibu memang benar diselamatkan oleh Nyai Sentini,” sambung Kresna. “Dan aku, oleh Pak Saijan. Di luar itu, tak ada lagi penjelasan yang bisa dikejar. Mengenai Alma....” Kresna menatap gadis itu. “Katakanlah memang terhubung melalui mimpi denganku. Aku berharap, kami seperti Ayah dan Ibu, merupakan belahan jiwa. Walaupun masih harus menunggu lagi sampai statusku tidak lagi jadi dosennya.” Kresna mengulas senyum.

 

Alma terlihat tersipu. Apalagi ketika semua yang ada di sekeliling meja besar itu menanggapi dengan sangat positif.

 

“Jadi,” suara Kresna sedikit ditambah volumenya agar bisa mengatasi dengung-dengung itu, “kalau Seta dan Erika mau duluan, silakan.”

 

Suasana kembali meriah dengan tawa ceria mereka. Pada satu titik, Alma mencoba sesuatu. Sambil berusaha tetap mengikuti pembicaraan hangat itu, ia berusaha mencari-cari sesuatu. Jalur frekuensi yang sama. Seulas senyum samar kemudian terulas. Lalu....

 

‘Bu, aku sayang Ibu.’

 

Wilujeng yang tengah meneguk minumannya seketika tersedak dan batuk-batuk sedikit. Mahesa buru-buru mengelus-elus punggung Wilujeng.

 

Mbok, ya, pelan-pelan kalau minum, Bu,” tegurnya lembut.

 

Wilujeng masih sedikit terengah. Tapi....

 

‘Oh, Alma... jadi sekarang kita bisa berkomunikasi dengan cara seperti ini?’

 

‘Iya, Bu. Aku coba, dan bisa.’

 

Wilujeng tak sanggup lagi berkata-kata. Wajahnya terlihat makin cerah dan bercahaya.

 

Apa yang lebih indah di dunia ini daripada cinta Mas Mahesa, dan menemukan serta menyatukan anak-anakku kembali dalam pelukanku?

 

Selintas pikiran menyelinap masuk ke dalam benaknya. Ia tersenyum tertahan.

 

‘Hm.... Jadi kapan Ibu punya waktu khusus untuk ngobrol banyak dengan gadis cantik Ibu yang satu ini?’

 

Ditatapnya Alma. Gadis berambut keriting kriwil itu sekilas menatapnya dan mengulas senyum.

 

‘Kalau Sabtu depan, bagaimana, Bu?’

 

Wilujeng hampir saja meloncat kegirangan.

 

* * *

 

(Bersambung)

 

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.