Suara Senyap Di Meja Makan

Cerpenting tentang pergulatan hidup Dini yang menjadi tulang punggung keluarga pada masa pandemi corona

Suara Senyap Di Meja Makan

Suara Senyap Di Meja Makan

Tiba-tiba Dini berhenti menyantap nasi goreng di hadapannya. Ia meraih gelas air minum didekatnya. Perlahan diteguknya air itu dengan penuh perasaan . Mata Dini terpejam merasakan air sejuk itu membahasi kerongkongannya. Seolah ia baru menemukan sumber air tengah padang sahara.

Rasanya enggan melanjutkan makan malamnya. Pikirannya mengingat kejadian tadi siang di meja makan ini.

“Bu, uang sekolahku belum dibayar, aku dapat peringatan ini”, Rio, anaknya yang sulung menyodorkan HPnya. Sejak wabah Covid-19, anak-anak terbiasa mendapat informasi sekolah lewat HP.

Dini melihat putranya sekilas. Ia mencoba tersenyum ringan seringan-ringannya agar Rio tidak tahu apa yang ada di hatinya.

Uang sekolah itu sudah lima bulan belum dibayar.

“Oh, oke, Sayang nanti Ibu bayar ya”.

Dini menunduk saat menjawab Rio. Berharap anaknya yang berumur 17 tahun itu tidak bertanya lebih lanjut.

Sementara itu Hpnya beberapa kali bergetar, tanda beberapa pesan masuk. Dini tahu, itu pasti pesan dari kartu kredit dan pinjaman-pinjaman online yang mengirim tagihan untuknya. Semuanya harus dibayar sebelaum tanggal limabelas bulan ini.

Dini ingat, di dompetnya masih ada catatan keperluan wajib yang harus dibayar: listrik, TV, internet,air dan gallon untuk dapur. Untuk ini total semuanya duajuta empat ratus rupiah.

Dini menghela napas panjang.

Ditatapnya suaminya yang lumpuh duduk di kursi roda di dekat meja makan tempat mereka mengobrol. Ingin sekali Dini menjerit sekuat-kuatnya dan bilang Mas , tahukah kamu penderitaanku ini? Sejak kamu lumpuh tak bisa apa-apa, akulah tulang punggung keluarga ini.

Tetapi tentu saja Dini tidak akan melakukannya. Ia mencintai suaminya, apapun keadaannya. Ia suami yang bertanggungjawab bagi Dini dan kelima anak mereka. Stroke dan darah tinggi telah membuat suaminya mengalami kelumpuhan sehingga tidak bisa bekerja lagi.

Dini meneguk air sekali lagi. Terlalu banyak cerita mengalir di meja makan ini.

Sebenarnya ruang makan ini adalah ruangan favorit Dini di rumah. Meski rumahnya tak terlalu besar tapi ia menata ruang makan ini dengan apik sehingga ruang makan ini bisa berubah fungsi menjadi ruang keluarga, ruang belajar dan ruang doa.

Doa?

Hm, sudah berapa lama ia tidak berdoa?

Hidupnya yang sibuk dari pagi sampai malam tak menyisakan sedikitpun waktu untuk bersimpuh dan berdoa. Sebagai seorang pemandu tur, ia banyak menghabiskan waktu di luar rumah, melayani klien, merancang tur dan mengantar grup tur ke beberapa tempat.

Itu tahun lalu, sebelum wabah virus corona ini datang.

Sekarang, ia cuma bisa sibuk sebagai ibu rumah tangga di rumah, karena bisnisnya hancur total. Semua klien meminta refund dan program tur yang direncanakan batal semua.

Tuhan….teganya Engkau…membiarkan aku seperti ini, tiba-tiba Dini merasa perlu bercakap-cakap dengan Tuhan. Dia ingin Tuhan menjawab semua kegundahan batin yang tiba-tiba menyesakkan dadanya.

Kenapa harus aku yang mengalami hidup seperti ini? Darimana aku bisa bayar semua tagihan dan uang sekolah dan uang belanja keluargaku semnatara aku tidak punya pekerjaan lagi? Malahan tabunganku ludes karena aku harus mengembalikan dana tur yang hangus.

Air di gelasnya sudah habis.

Dini masih bicara, minta Tuhan terus mendengarkannya. Tidak ada jawaban.

Bagaimana minggu depan dan bulan-bulan ke depan, Tuhan?

Butiran airmata itu menetes di pipinya yang halus. Butir-butir kelelahan sekaligus kecemasan memandang hari depannya esok.

“Percayalah kepadaKU”, sebuah suara terdengar jauh di lubuk hatinya. Suara halus itu malah semakin lamat-lamat. Akhirnya hilang…tak terdengar apapun.

Makin Dini menajamkan telinganya makin hilanglah suara itu.

Rasa batinnya makin pedih. Wanita berambut sebahu itu hanya diam dalam senyap. Anehnya saat Dini berdiam dan tidak memikirkan apapun, suara itu selalu muncul berulang-ulang di relung terdalam hatinya.., Percayalah kepadaKu..Percayalah kepadaKu

Dini tersadar, itu suara Tuhan yang ia cari-cari. SuaraNya memberi penguatan, peneguhan, serta keberanian untuk menatap masa depan yang tak pasti ini. Suara itu ia kenal karena Suara itu selalu datang pada saat hidupnya berada dalam kegelapan dan ketidakpastian.

Bahunya terguncang pelan, menangisi diri yang lemah dan kurang iman.

Tuhan, ampunilah hambamu yang kurang percaya ini.

 

Tangerang, 3 Mei 2020/after join the 3rd class

 


Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.