Berharap Bertemu Melkisedek

Ini cerita tentang buku yang saya baca: Sang Alkemis.

Berharap Bertemu Melkisedek
Image: Gramedia Digital

Saya pernah tinggal di sebuah desa modern. Saat itu, hidup rasanya sangat luar biasa! Uang di rekening bank bertambah tiap bulan tanpa bekerja. Saya cukup mengayuh sepeda tiap pagi, duduk di kelas-kelas, mendengarkan penjelasan-penjelasan orang-orang tua, secara rutin melakukan ekskursi bersama teman-teman, serta menjawab soal-soal ujian di waktu-waktu tertentu. Bagian paling menyenangkan adalah akhir pekan yang memungkinkan saya ngacir mengunjungi berbagai tempat indah dan menakjubkan. Itu sekitar duapuluh tahun lalu!

Kini, saya tinggal di sebuah desa, tidak semodern itu, tetapi cukup nyaman buat saya. Sayangnya, saya harus banting tulang untuk mendapatkan upah bulanan. Kadang saya mengayuh sepeda ke pasar ketika motor berhalangan alias nginep di bengkel. Tidak ada kelas yang harus diikuti, namun pagi saya harus juggling dulu saat jadwal shift kerja mulai pukul 7. Giliran shift sore, pulang kerja saya harus ngebut melalui jalanan nan gelap sepi, di hampir tengah malam! Meskipun seminggu sekali libur, namun biasanya waktu habis untuk mencuci, setrika, dkk. Capek? Bangeeet!!! … tapi saya terus melakukan. I believe this will lead to something else, something bigger or at least better!

Ketika suntuk dengan ritme hidup seperti inilah, saya menemukan dan membaca lagi Sang Alkemis. Saya lalu membayangkan diri sebagai Santiago, tokoh utama novel karya Paulo Coelho tersebut. Santiago bermimpi (dua kali) menemukan harta karun, dan memutuskan untuk mencarinya. Membaca cerita perjalanan Santiago menguatkan dan menenangkan saya. 

Sebenarnya saya pertama kali membaca novel ini sekitar sepuluh tahun lalu. Terus terang saya tidak ingat apa-apa tentangnya sebelum saat ini membaca untuk kedua kali. Saat itu, saya membaca apapun seperti layaknya makan, minum dan bernapas. Sesuatu  yang saya butuhkan untuk tetap hidup (dan waras) tetapi saya tidak ingat detailnya. Kini, saya mulai membaca ulang buku-buku menarik, termasuk Sang Alkemis.

Santiago, seorang gembala domba, bertemu dengan Melkisedek, si Raja Salem, yang berjanji akan memberitahunya cara menemukan harta karun dalam mimpinya asalkan dibayar sepuluh persen dari jumlah domba yang dimiliki Santiago. Karena nama Melkisedek terasa familier, tanpa menunggu lama, saya mengambil Alkitab, berencana mencari di bagian cerita tentang Abraham. Eh, ternyata ada secarik kertas pas di Kitab Kejadian 14, bagian Pertemuan Abram dan Melkisedek. Wahahaha. Katanya tidak ada yang namanya kebetulan?

Dalam Alkitab, Melkisedek adalah imam yang membawakan roti dan anggur untuk Abraham usai Abraham menang perang mengalahkan musuh-musuhnya. Setelah Melkisedek memberkatinya, Abraham memberikan sepersepuluh dari harta rampasan musuh. Dalam novel, dikisahkan setelah berpisah dengan Santiago, Melkisedek duduk di atas tembok benteng di Tarifa, dan tertulis: Dia tidak akan pernah lagi bertemu anak laki-laki itu, seperti halnya dia tak pernah lagi bertemu Abraham setelah menerima bayarannya yang sepersepuluh bagian itu. (hal 44) Jadi, apakah si raja Salem ini seorang tokoh yang sama di dua cerita?

Rasanya saya juga ingin bertemu si Raja Salem itu. Tetapi apa, ya, yang bisa saya berikan untuk bayaran atas nasihat dan petunjuk yang dia berikan? Oh, ya, saya bisa bikinkan beliau sirup buah atau yoghurt. Atau jika beliaunya berkenan, saya bisa juga bikinkan tempe atau mie. Kesemuanya homemade. Saya bisa bikin sepuluh botol sirup, dan berikan sebotol untuk Melkisedek dan sembilan lainnya saya jual. Bisa lebih banyak botol jika beliau mau menunggu lebih lama. Hehehe.

Jika Anda sedang merasa stuck atau kelelahan dalam kehidupan, atau bahkan merasakan hidup tak berarti, novel ini sangat cocok Anda baca. Pikiran dan perasaan akan (semoga) menjadi tenang dan fresh ketika Anda mengingat kembali impian Anda, termasuk akan terinpirasi dari perjalanan hidup Santiago mencari harta karun. Setidaknya saya merasakannya. Rasanya quotes-quotes dalam novel ini ditujukan kepada saya secara personal.

“Supaya menemukan harta karun itu, kau harus mengikuti pertanda-pertanda yang diberikan. Tuhan telah menyiapkan jalan yang mesti dilalui masing-masing orang. Kau tinggal membaca pertanda-pertanda yang ditinggalkan-Nya untukmu.” Begitu kata Melkisedek kepada Santiago (hal 39-40)

Urusan mengikuti pertanda-pertanda seperti itu, sudah saya kerjakan dari dulu. Saya merasa paling cerdas urusan mengenali pola-pola dalam hidup, jadi secara naluri saya kerjakan. Hanya saja, tidak selalu mudah mengenali mana yang benar-benar tanda yang harus diikuti. Sering kali saya terjebak berandai-andai dengan hal-hal yang saya kira adalah kelanjutan sebuah pertanda.

Dalam novel ini, Paulo Coelho melimpahi Santiago dengan tanda-tanda yang kemudian dibaca dan diikutinya. Tidak hanya pertanda berupa mimpi yang dialami Santiago, tetapi berlanjut dengan tanda-tanda berikutnya. Tanda pun tidak selalu positif seperti misalnya pertemuan Santiago dengan Melkisedek, tetapi juga pengalaman buruk, yaitu ketika Santiago beberapa kali kehilangan uang dan emasnya, bahkan terancam nyawanya.

Paulo Coelho diakui dunia sebagai penulis luar biasa dari Brasil, terutama sejak Sang Alkemis ini. Novel yang diterbitkan tahun 1988 menjadi best seller dan diterjemahkan ke dalam sekian puluh bahasa.

Paulo Coelho sangat bermurah hati memberi buanyaak quotes di buku ini. Entah dia memang memiliki ribuan koleksi quotes, atau dia memulung somewhere. Tentu saja, sebagai seorang pencerita ulung, Paulo Coelho memastikan quotes-quotes tersebut keluar dari mulut tokoh-tokoh sesuai alur ceritanya. Simak beberapa quotes yang saya tuliskan kembali di sini. Anda pernah membaca atau mendengarnya? Atau belum?

“Rahasia kebahagiaan adalah dengan menikmati segala hal menakjubkan di dunia ini, tanpa pernah melupakan tetes-tetes minyak di sendokmu.” (hal 43)

 “Kita takut kehilangan apa yang kita miliki, … Tapi rasa ini menguap begitu kita memahami bahwa kisah-kisah hidup kita  dan sejarah dunia ini ditulis oleh tangan yang sama.” (hal 99)

Saat membaca cerita ini, saya bertanya-tanya, kapan, sih, setting waktu cerita si Santiago? Tidak ada penanda yang jelas, tetapi dalam sebuah baris tersirat bahwa waktunya adalah: 2000 tahun setelah zaman Yusuf si pemimpi. Ya, dengan masa kecilnya belajar di sekolah Jesuit, Paulo Coelho dengan mudah memasukkan cerita-cerita dari Alkitab ke ramuan ceritanya. Tidak hanya Melkisedek, batu urim tumim, dan cerita Yusuf, tetapi juga urusan raja dengan domba, serta sitiran soal yang najis yang keluar dari mulut manusia.

Dengan setting tempat di daerah Spanyol yang pernah dijajah penguasa muslim serta di daerah Arab, Paulo Coelho melengkapi novelnya dengan deskripsi masyarakat Arab yang sangat mencintai Nabi, ketaatan dalam menjalankan salat, serta tradisi dan budayanya.

Seakan tidak cukup dengan memakai potongan cerita dari Alkitab serta deskripsi setting tempat di wilayah muslim, Paulo Coelho ‘tiba-tiba’ memasukkan nuansa New Age. Ini terasa pada bagian terkait bahasa dunia (language of the world), bahasa alam (language of the universe), serta jiwa dunia (soul of the world).

Yang juga saya sukai dari buku ini adalah bagian Paulo Coelho memasukkan urusan bahasa dunia itu. Bahwa manusia, hewan dan seisi alam semesta terhubung satu sama lain, bahkan mereka sebenarnya saling berkomunikasi, termasuk gurun pasir, angin, dan matahari. Ketika berhasil menyelami dan menembus jiwa dunia, orang akan mampu melakukan hal-hal yang mustahil secara nalar: Berubah menjadi angin, bahkan mengubah logam menjadi emas!

Dalam perjalanan hidupnya, orang sering melupakan impiannya. Sama seperti beberapa tokoh dalam novel ini, yang memiliki sekian excuses alias alasan pembenar untuk tidak lagi mengejar mimpinya. Santiago nyaris terjebak juga dalam zona nyamannya.

Yang saya perhatikan, sering orang terjebak dalam zona nyaman, yang level kenyamanannya diragukan, tetapi menjebak. Banyak juga yang justru dzolim pada dirinya sendiri alias tidak menggunakan talenta dan kemampuan dirinya sebaik-baiknya. Hal ini disadari oleh si pedagang tua pemilik toko kristal, yang kemudian berucap bahwa “… setiap berkah yang tidak kita hiraukan, berubah menjadi kutukan.”

Di awal saya tulis novel ini cocok Anda baca ketika sedang down. Anda bisa ikut merasakan ketika Santiago mengalami hal-hal buruk dalam hidupnya. Sebagaimana Santiago berjuang dalam keterpurukannya, bahkan tertatih-tatih keluar dari zona nyamannya, Anda bakal bisa melakukannya. Santiago bisa Anda jadikan teman senasib sepenanggungan, bahkan seorang panutan.

Untungnya Santiago selalu saja ingat dengan nasihat dari Melkisedek.

“Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membuatmu meraihnya,” kata Melkisedek (hal 31).

Terkait dengan hal tersebut, Paulo Coelho menuliskan tentang keberuntungan pemula dan ujian. Tepatnya dia memakai si Alkemis untuk berbicara tentang ini. “Setiap pencarian dimulai dengan keberuntungan bagi si pemula (beginner’s luck). Dan setiap pencarian diakhiri dengan ujian berat bagi si pemenang.” Begitu kata si Alkemis (hal 170). Jadi, jika Anda merasa hidup Anda sedang berada di kesulitan tingkat dewa, Anda sebaiknya pede saja bahwa itu adalah ujian  bagi Anda karena sebentar lagi Anda akan meraih sukses atau jadi pemenang.

Novel setebal 200-an halaman ini (versi bahasa Indonesia) menurut saya sangat asik. Sayangnya saat Santiago berada di daerah oasis, ada beberapa bagian cerita yang kurang menarik. Entah karena Paulo Coelho kehilangan pena ajaibnya, atau saya yang kelelahan membaca.

Paulo Coelho memakai si Alkemis sebagai judul. Memang sosoknya terkesan misterius sebelum kemunculannya. Sayangnya, setelah dia muncul, menurut saya sih si Alkemis biasa saja. Dia menunjukkan keahlian terhebatnya mengubah logam menjadi emas, tapi … kayak cuman pamer doang, tanpa ngasi resep pembuatannya. Hahaha.

Satu lagi kekurangan novel ini, Paulo Coelho tidak memberitahu bagaimana saya bisa bertemu dengan Melkisedek. Padahal kan, saya juga mau dapat nasihat langsung dari beliaunya. Iya, saya justru pengen ketemu Raja Melkisedek. Mungkin karena saya lagi pengen dapat nasihat. Untungnya, Melkisedek memberikan clue soal keberadaannya.

“Kadang-kadang kemunculanku berupa solusi, atau gagasan yang bagus. Kadang-kadang pada saat genting, aku membuat segalanya menjadi mudah. Melkisedek (hal 32).

Hehe.

Jadi, bagaimana? Anda tertarik baca Sang Alkemis? Atau sudah baca? Mau baca ulang?

Ada satu nasihat yang makjleb dari buku ini: Hanya satu hal yang membuat orang tak bisa meraih impiannya: Takut gagal.

Maktub. (rase)

 

Catatan: biasanya resensi buku ditulis up to date sebelum ultah pertama si buku, oleh karenanya tulisan ini saya sebut sebagai cerita tentang buku. Saya ingin lebih sering menulis cerita tentang buku. Nantikan, ya. 

 

---

Judul buku: Sang Alkemis

Penulis: Paulo Coelho

Jumlah halaman: 216 hlm; 20 cm

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun: 2011

ISBN: 978-979-22-9840-6

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.