Au Revoir

Au Revoir
Sumber : Pixabay.com

    Bagiku hujan identik dengan kesedihan. Tetes-tetes hujan serupa air mata kesedihan. Mendung menebarkan suasana muram yang mampu bertahan  seharian. Aku terkungkung dalam kemuraman yang sama sepanjang hari. Hanya bisa memandangi jalanan yang basah, air yang tak henti tumpah ke bumi dan langit putih yang sesekali menyuarakan gelegar petir.

     Tiba-tiba wajahmu terlihat begitu dekat. Bola matamu benar-benar bulat  berwarna hazel. Aku terbius oleh kedamaian yang tersembunyi jauh di dalamnya. Ingin berdiam selamanya di sana namun kemungkinan itu tak bisa kudapatkan. Tidak terbuka peluang untuk memilikimu.

      “Lionel,” suaramu terdengar ketika tanganmu kamu ulurkan kepadaku. Kusambut tanganmu lalu tatapanku tak bisa lepas dari wajahmu.

      Kamu adalah makhluk ciptaan Tuhan yang begitu artistik. Rahangmu tak begitu kuat  tapi  keseluruhan struktur wajahmu sangat sempurna. Alis matamu tergores tebal dengan bulu-bulu kecoklatan yang menumpuk pada pangkalnya lalu melengkung tegas pada ujung luarnya. Di bawahnya bernaung sepasang mata hazel  yang tenang laksana danau di lereng pegunungan.

     Satu setengah jam bersamamu di kelas rasanya tak cukup untuk mengagumi keindahan yang terpahat di wajahmu. Bibirmu yang tipis kemerahan sangat memukau saat mengeluarkan nada sengau dalam kalimat-kalimat berbahasa Inggris. Mendengarmu berbicara tak mampu menyembunyikan asalmu sebagai orang Perancis.  

       Aku tak peduli dengan pendapat Sinta yang menyebut kekaguman fisik hanyalah kekaguman tingkat rendah. Bagaimana mungkin aku mengabaikan keindahan yang hadir di hadapanku? Setelah terpuaskan penglihatanku barulah beranjak menguak kedalaman akal pikiran seseorang. Ternyata aku memang tidak salah menilaimu. Percakapan kita sebelum kelas dimulai menyiratkan luasnya pengetahuanmu.  

     Barangkali kamu tak pernah tahu aku selalu tak sabar menunggu untuk bisa bertemu denganmu di kelas. Mengajarimu bahasa Indonesia sambil mengagumi karya artistik Sang Pencipta yang terwujud dalam ragamu.

    “Kalau kamu jatuh cinta padanya jangan hanya membisu,” ucapan Sinta mengusik  damainya hari-hariku.

       “Apa yang harus kulakukan?” desakku tak sabar. 

     Sinta tersenyum sekilas seolah memahami keluguanku. Usiaku sudah tiga puluh lima tapi kurang pengalaman dalam hal asmara. Aku tak tahu cara mengungkapkan cinta. Sejak SMA aku terbiasa memendam perasaanku. Tak kubiarkan ada yang tahu jika aku sedang jatuh cinta hingga satu per satu lelaki yang diam-diam kucintai menemukan pasangannya sendiri. Aku terluka dalam sepi sementara mereka tak pernah menyadari. Sampai kapan aku harus sendiri memainkan kisah cinta berujung lara?

      “Kamu harus memberikan isyarat kalau kamu tertarik kepadanya. Tunjukkan lewat perhatian. Itu akan terkesan lebih natural dari pada harus mengungkapkan secara langsung,” Sinta memberikan nasehatnya.

     Kamu berhak tahu apa yang kurasakan Rasa ini jangan cuma aku sendiri yang menikmatinya. Tapi bagaimana cara memberikan perhatian kepadamu? Kuingat-ingat apa saja kesukaanmu. Ketika pelajaran  “Makan” kamu bilang suka tempe dan krupuk. Pada pertemuan berikutnya aku membawakan sebungkus krupuk udang.  Kamu kelihatan senang ketika menerimanya.  Mata hazelmu mengerjap sesaat lalu aku merasa seperti tersedot ke dalamnya. Demi sensasi itu aku kembali membawakan hadiah untukmu. Sebuah tempat pensil keramik berwarna biru  yang biasa ditaruh di atas meja tulis. Berbentuk kepala perempuan dengan bibir dower  dan mata lebar. Aku ingin kembali menangkap kilatan indah di matamu namun tak lagi kudapatkan. 

       Sorot matamu meredup saat berucap dengan suara meninggi, “Again ?” 

Wajahku memerah seketika. Aku ingin terbenam saja ke dasar bumi meski kemudian aku bisa melihat samar senyumanmu.

       “Jangan terlalu sering begitu,” Sinta menanggapi ceritaku dengan ringan.

“Pikirkan cara lain yang lebih elegan dan lebih intelek. Jangan seperti Sinterklas.  Dia bukan anak kecil yang selalu mengharapkan hadiah.”

     Berhari-hari aku memikirkan cara yang lebih intelek itu sampai akhirnya aku berhasil membuat janji untuk bertemu denganmu di Lembaga Indonesia Perancis, tempatmu bekerja. Aku mengutarakan niatku untuk mempelajari kebudayaan Perancis. Kukatakan kepadamu kalau aku memerlukan referensi untuk menulis artikel budaya. Itulan alasan yang kubuat agar bisa bersamamu lebih lama. Tidak hanya tiga jam seminggu di kelas bahasa Indonesia yang  kurasakan  tak lagi mampu menuntaskan  rinduku padamu.

      Kita duduk berdekatan di ruang kerjamu. Dekat sekali hingga bisa kurasakan getar napasmu menjalar ke telingaku. Aroma tubuhmu menebarkan wewangian woody aromatic yang memberikan rasa nyaman. Tanpa terasa kita menghabiskan lebih dari satu jam untuk membahas setengah isi bukumu yang bertutur tentang gaya hidup dan sikap orang  Perancis.

       “Saya punya janji jam tujuh,” Kamu mengakhiri penjelasanmu. Aku menatap arloji di tanganku sudah jam setengah delapan. “Hari Senin kita bicara lagi,” janjimu menghapus kekecewaan di mataku.

    Janji dengan siapa?  Aku  ingin sekali mengetahuinya tapi tak berani menanyakan kepadamu. Aku mulai khawatir jangan-jangan kamu sudah punya pacar. Tapi kamu tak pernah bercerita tentang pacarmu. Biasanya murid-muridku sangat terbuka bercerita apa saja. Kamu sering pergi dengan teman laki-laki dan itu tak membuatku cemburu. Harapan akan cintamu masih terus bersemi. Tak akan pernah  kubiarkan mati.

      Setelah belajar kebudayaan Perancis, aku makin larut dalam rencana-rencana pendekatan baru. Setiap Rabu aku menonton film Perancis denganmu meskipun aku tak paham ceritanya. Bukan filmnya yang penting  buatku tapi seberapa lama aku bisa bersamamu. Aku tak peduli dengan Un pont entre deux rives, La fille Sur le pont  atau Place Vendome. Semua itu film yang rumit  dengan ending  yang  mengambang.

       Dua puluh tujuh April  meski kamu tidak merayakan ulangtahunmu, aku datang ke rumahmu sekitar jam tujuh. Kuberikan hadiah untukmu dalam bungkusan kertas kado bergambar balon warna-warni. Kamu segera membukanya setalah mengucapkan terima kasih. Selembar baju batik bermotif abstrak warna biru berada di tanganmu.

    “Boleh pakai sekarang ?” tanyamu padaku yang kubalas dengan anggukan. Kulihat  kamu melepas baju krem kotak-kotak yang membungkus tubuhmu lalu menggantinya dengan  baju batik pemberianku.  “Ini pas di badanku, Lisa. Bagaimana  kamu bisa tahu ukuranku?”

       Sesaat aku tersipu tapi kamu segera meraih tanganku membawaku menuju meja makan. Pembantumu sudah  menyiapkan makan malam kita. Ada ayam goreng crispy dan ca brokoli bercampur udang. Tempe goreng diletakkan di piring ceper dekat toples berisi krupuk udang. Kita duduk berhadapan untuk mulai makan ketika mendadak hujan deras turun. Kerasnya suara air bagai derap kaki ribuan kuda di arena pacuan. Disusul kemudian dengan padamnya lampu . Kamu segera berlari ke dapur  untuk menyalakan lilin.

         “Kenapa listrik mati?” keluhku setelah kita kembali duduk berhadapan.

         “Karena sudah tua,” jawabmu  dengan wajah pura-pura serius yang segera saja membuatku tertawa.

            “Candle light dinner,” gumamku.

      “Ya, ini bagus sekali,” kamu menimpali dalam temaram cahaya lilin.yang membuat wajahmu merona. Kulitmu yang putih tertimpa nyala lilin.

       Intensitas hujan tak berkurang setelah makan malam selesai. Kita masih duduk di ruang makan sambil ngobrol ke sana ke mari. Sesekali aku harus membetulkan struktur kalimat dan pilihan kata yang kamu gunakan. Kamu senang mendapat koreksi dariku.

“Kamu selalu menjadi guru untukku,” pujimu diiringi senyum tipis.

Tahukah, kamu jika yang kuinginkan adalah menjadi kekasihmu? Kutatap lekat matamu tapi aku tak menemukan tempatku di sana.  Aku ingat pesan Sinta agar tak buru-buru menyerah. Berharap waktu bisa mengubahmu.

Hujan tak kunjung reda. Aku mulai gelisah menyadari waktu bergerak menuju malam. Kamu seperti tak rela melepasku menembus hujan. Tapi sudah jam sembilan. Jalanan di sekitar rumahmu gelap dan sepi. Aku tak mau menunda kepulanganku karena takut kemalaman.

 

 

     Tiga bulan telah berlalu tapi kamu tetap membeku. Tak pernah sedikit pun merespon pendekatan dan perhatianku. Aku mulai putus asa tapi lagi-lagi Sinta membangkitkan harapanku. Dia meyakinkan aku kalau tak tabu lagi bagi perempuan untuk menyatakan cinta lebih dulu. Meski  begitu  hal itu sangat sulit kulakukan.

       “Kalau begitu , serahkan saja padaku. Kamu tunggu saja hasilnya!” janji Sinta berusaha mengusir  kegelisahanku.

    Sayangnya pertemuanku dengan Erlin memadamkan harapanku. Aku pun terpaksa harus menghentikan langkah yang akan ditempuh Sinta. Bagai mendengar dentuman meriam saat Erlin berkisah tentangmu.

       “Sayang ya Lis, Lionel cakep-cakep begitu ternyata gay .”

       “Dari mana kamu tahu?” kejarku masih tak ingin mempercayainya.

      “Santi yang cerita. Dia kenal Lionel . Katanya Lionel juga ngajar di kampusnya. Iseng-iseng aku titip salam buat Lionel. Eh, Santi malah ketawa. Dia bilang Lionel nggak tertarik sama perempuan. Lionel itu gay.”

      Aku tak tahan mendengar semua itu. Kelebat bayang wajahmu yang artistik membuat mataku terasa perih. Kusembunyikan perasaanku dari Erlin dengan buru-buru pulang setelah mengisi laporan kegiatan mengajar hari itu. Sesampainya di rumah aku hanya terduduk lesu di sisi tempat  tidur. Kususut air mataku yang sulit kubendung. Betapa sakitnya menerima kenyataan ini. Haruskah aku  membunuh segala rasa yang telah lama tumbuh dan bersemi di hatiku? Rasa kasih yang  telah sekian lama menghangatkan jiwa.

   Sinta memandangku iba  ketika aku menceritakan semuanya kepadanya. Dipeluknya aku erat-erat  tanpa mengucap sepatah kata pun. Barangkali dia tak ingin menambah luka di hatiku. Dibiarkannya aku menumpahkan air mata hingga terasa lega dadaku.

       “Barangkali memang  cinta selalu lebih indah bila tetap tersimpan dalam angan-angan,” tuturku lirih dengan sisa-sisa air mata yang masih membasahi pipi. “Untuk apa harus mengungkapkan cinta kalau yang kudapati cuma kecewa?”

    “Itu tidak benar Lisa. Kamu harus mengungkapkan cintamu agar mendapat jawaban. Meskipun kadang jawabannya membuatmu kecewa.”

     Aku memang kecewa dan terluka karena cintaku yang sia-sia tapi aku tak bisa jauh darimu. Rupanya Tuhan selalu menjaga rasa kasih itu agar tetap ada di hatiku. Mengubah  eros yang menggelora menjadi cinta agape yang  diwarnai tulusnya persahabatan.

      Kamu memintaku mengajar bahasa Indonesia secara privat di rumahmu agar kita bisa  lebih mudah mengatur  jadwal belajar. Kamu masih terus belajar denganku sampai masa kerjamu berakhir dan harus kembali ke Perancis. Pada saat itulah kamu membuat farewell party  dengan megundang banyak  orang. Teman-temanmu dan juga murid-muridmu di Lembaga Indonesia Perancis. Aku pun menjadi salah satu bagian dari tamu di pesta itu. Aku mengajak Sinta dan Erlin juga setelah mendapat ijin darimu.

        Pesta itu seperti tak akan pernah berakhir. Tamu-tamu masih nampak enggan meninggalkan rumahmu. Mereka makan dan minum sambil ngobrol dan tertawa-tawa. Aku tak bisa terlalu lama tinggal di sana. Setelah jam sepuluh aku pamit pulang.

     Sebelum aku pulang, kita bertukar hadiah. Aku memberikan bungkusan berisi miniatur  tugu Yogya agar kamu bisa selalu ingat padaku. Sementara kamu memberikan kalung perak dengan liontin menara Eifell yang langsung kamu pakaikan sendiri ke leherku. Kita berpandangan lama seakan tak ingin berpisah.  Di luar dugaan, kamu mengecup lembut keningku lalu mendekapku erat. Sinta dan Erlin menatap tak percaya pada apa yang dilihatnya.

     "Aku sayang kamu Lisa, “ kalimatmu terdengar samar di telingaku, kemudian setengah berbisik kamu berkata lagi, “Meskipun aku gay.”

       Saat kamu melepaskan dekapanmu  tak kusadari setitik kristal bening meluncur di kedua belah pipiku. Tiba-tiba tanganmu menghapusnya dengan sentuhan lembut yang menggetarkan dadaku sesaat.

            “Au revoir,”  suaraku pun bergetar ketika berlalu meninggalkanmu.

            “Sampai jumpa,” balasmu pelan.

            Hujan kali ini  kembali membawa ingatanku padamu meski sudah sepuluh tahun berlalu sejak pertemuan kita di kelas bahasa Indonesia. Aku

masih sendiri hingga kini. Entah apa yang sebenarnya kutunggu. 

 

 

 

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.