Tiga Tingkat

Tiga Tingkat

Tiga  Tingkat


Oleh Budi Saputra


Ketemu akun Om Bud saat saya sedang semangat mencari tahu cara jualan yang bercerita. Kisah yang disusupi iklan halus. Seperti di film, saat tokoh menyebutkan sebuah merk. 

Di sela kegiatan saya menunggu anak di sekolahan, membaca jadi kegiatan yang utama. Karena untuk membawa buku terbatas ruang tasnya, juga berat kalau banyak-banyak. Jadi seringkali jelajah akun-akun, terutama di Facebook, yang isinya tulisan menarik. Ketemu, saya jelajah sehabisnya tulisan-tulisan akun tersebut. 

Budiman Hakim.... Kayak pernah dengar, batin saya. Sedikit penelusuran, oh ternyata orang periklanan. Pantas, karena dunia iklan mesti dibahas di jurusan DKV. Saya kenali dari buku "Ngomongin Iklan Yuk".

Buku yang pernah saya temui di kala masih menjadi mahasiswa nya pak Sumbo Tinarbuko di kampus ISI Yogyakarta. Dosen yang juga penulis. Yang memberikan tantangan kala itu, siapa yang bisa tulisannya dimuat di koran, boleh untuk tidak masuk kelas satu semester dengan nilai nya dijamin A.

Saya yang merasa sebagai mulai jadi penulis saat itu, wah senang donk. Tantangan yang menggiurkan. Belum tahu berapa beratnya untuk tembus media massa cetak. 

Hingga akhir semester dan ujian, saya tetap ikut kelas beliau. Pembelaannya, rugilah kalau gak masuk kelas, walau kuliah di kampus negeri, tetap kan mesti baya spp. Dan lagi rugi ilmunya, beliau kandidat doktor saat itu. 

***

Disaat pelajaran banyak menulis, saya senang menggambar. Di masa sekolah dasar hingga menengah atas. Biasanya seangkatan, cuma 1-2 orang yang bisa menggambar, bahkan satu sekolahan perbandingan nya. 

Disaat pelajarannya banyak menggambar, saya malah menulis. Hari-hari kuliah yang menghabiskan banyak waktu untuk melatih tangan. 

Jangan jangan saya saat itu sedang melakukan latihan yang menjadi tema hari kedua kelas penulisan oleh Om Bud, Copy menggambar, Visual bercerita.

Pepatah lama mengatakan, rumput tetangga terlihat lebih hijau.

Saat SMA, saya mengulik latiha illustrasi.

Saat kuliah, jurusan DKV, dan di ISI pula, yang notabene jago jago menggambar manual, saya menemukan dunia kepenulisan di balairung UGM. Yup, saya lolos sebagai anggota FLP Jogja. Selasa group non-fiksi, kamis kelas fiksi. 

***

Hilman, Cak Nun, dan legacy Om Bud. 

Balik ke penelusuran tulisan dari akun yang menarik. Saya baca hampir semua tulisan yang bisa di searching di akun Om Bud. 

Ketemu beberapa tokoh yang ada lintasan kehidupannya dengan Om Bud, salah satunya Pak SDD, Sapardi Djoko Damono. Disaat yang baca puisi tidak merasakan ada metafora di puisi tersebut, itulah keberhasilan penyair, demikian salah satu kutipan isi tulisannya.

Dulu, Saya pernah mengunjungi teman ke UI. Hanya saja dunia kepenulisan yang saya geluti saat lebih ke pemikiran, walau bacaan sastra yang menyelimuti nya. Yang senang baca, mestilah tahu puisi Aku Ingin nya Pak Sapardi. Puisi yang ditulis sekali jadi, dalam masa 15 menit kurang lebih itulah yang menjadi kenangan terbanyak bagi banyak orang. 

Kawan yang saya kunjungi itu anak teknik, jadi saya tidak bisa komplain kalau dia gak kepikiran buat ngajakin main ke rumah Pak Sapardi. Walau dia tahu saya suka baca. 

Pas telusur akun Om Bud ini, pas pula ada kawan di WAG yang bertanya tentang pembicara yang bisa membahas story telling.

Saya coba tawarin referensi saya, dengan clue, seorang penulis, orang Minang, dan desainer. Cluenya malah ngarah ke saya sih, hahaha... Buktinya, teman saya itu nunjukin reaksi, ah promosiin diri sendiri nih orang. Hehehe... Tapi ya gak lah. Beda kelasnya. Untuk mengisi sebuah acara perusahaan yang berlokasi di Jakarta, kelasnya udah berat. 

Cuman ya, selama ini kalau ketemu manusia yang namanya ada unsur "budi" nya, ya sebatas nama, dan mungkin daerah.

Baru kali ini ketemu budi yang kesamaannya sampai tingkat tiga itu. Penulis, Minang, dan di area periklanan.

***

Hari, lebih tepatnya malam ketiga sharing kepenulisan yang diisi Om Bud, materinya tentang cerpenting.

Tulislah, jadikan ide tulisan, hal hal yang membuat emosi kita berubah. Itu yang jadi catatan saya selama penyampaian materinya.

Disini saya menemukan apa yang bisa dijadikan nama untuk kegiatan yang melahirkan kepopuleran kisah Lupus karya Hilman, dan tulisan Cak Nun.

Hilman dengan Lupusnya mampu menggambarkan  kejadian ringan di zaman anak SMA. Mengalir lincah lucu.

Katanya, Hilman ini sering menulis hal-hal lucu yang terjadi selama dia bersekolah. Dan aslinya Hilman ini orangnya pendiam, dari pengakuan salah seorang staf majalah Hai, saat Hilman mengambil mesin tik hadiahnya juara cerpen.

Jago ngocol, julukan Hilman, adalah hasil tulisannya. Orangnya kalem.

Yang lucu malah Boim pembawaannya, saat saya pernah menemani beliau mengisi di FLP Jogja.


Cak nun pun demikian. Rajin menulis hal hal yang ditemuinya. Maka, ketika kita membaca tulisan Cak Nun, seperti kisah keseharian yang dimaknai lebih dalam.

Pemungut mutiara mutiara pemikiran cak nun, Ebiet G Ade, sampai melahirkan lirik lirik yang melegenda. 

Untuk kasus Ebiet, di bagian Creative Attitude. 
Om Bud membahas bagaimana kita tetap bisa kreatif, tanpa harus dipaksa keadaan. Saat sulit, limpahan emosional kita menggerakkan hasil yang luar biasa. Kondisi mapan jangan sampai menyapu bersih kreatifitas itu. 

Balik ke catatan kecil, Di tangan Om Bud, catatan catatan kecil itu diberi nama "cerpenting", singkatan dari cerita pendek tidak penting.

Cerita yang berfungsi menyimpan benih benih ide.

Dari kejadian kejadian biasa, namun memainkan emosi kita saat hal itu terjadi.

Itu pemahaman saya,  yang saya pahami dari materi itu. 

Om Bud memberikan materinya di kelas penulisan The Writers, dan saya masuk di batch 25.

Pada suatu cerpenting, Om Bud menyebut sebuah angka yang besar saat dirinya mengisi acara sebuah perusahaan.

Jadi, dengan status yang belum mahasiswa S2 ini, saya belum ketemu peluang untuk bisa ikut acaranya secara murah meriah, seperti dulu sebagai mahasiswa di jogja.

Itu kendala pertama.

Solusinya dengan kelas online.

Ini juga hal baru bagi saya. Kelas menulis online, yang profesional, mendaftar di websitenya, dan sebagai, tetap ada harganya kan. Kalau sudah angka2, untuk saat ini mode senyap aja lah melewatinya.

Kendala kedua.

Solusinya, kelas penulisan ini via WA.

Wah, biasanya via zoom. Sebuah aplikasi yang tidak pernah saya gunakan.

Kendala ketiga.

Alhamdulillah nya ketiga kendala itu dijawab secara tidak langsung di pengumuman pendaftaran nya. Yang diposting di akun Om Bud.

Kelasnya online, via WA. 
Jadi saya yang memang biasanya pakai WA untuk jualan, tidak perlu adaptasi dengan zoom yang lebih berasa untuk kerja.

Bayar seikhlasnya. 
Ini dia, tidak gratis tapi lebih meringankan bahkan menghilangkan beban untuk mendaftar kelasnya.

Kurang lebih semingguan dari saya berani daftar ke adminnya.
Saya coba targetkan sekian sekian transfer buat biayanya.
Walau saya tahu, yang saya kirim itu ibaratnya bakalan habis sekali makan siang di jakarta.
Pada hari Hehe nya, tetap gak kepegang duitnya. Habis harian buat kebutuhan hidup.
Di ATM tinggal dana kiriman dari seorang kawan sesama pejuang freelancer. Yang sebisa-bisanya gak kepakai sejak itu ditransfer.
Akhirnya sekitar setengah jam sebelum kelas di WA di mulai. Saya ke ATM, menggunakan sedikit dana yang ada.
Kirim bukti ke admin.
Alhamdulillah nomor saya dimasukin ke WAG kelas penulisannya.

Dan kejutannya, bagi saya pribadi lho ya, kelasnya dilakukan seperti saya menghasilkan tulisan ini.

Yup, materinya disampaikan dengan cara diketik via chat.

Diselesaikan tulisan dasar ini di WAG Ghosskull. 

Budi Saputra
Senin, 30 Okt 2023.
Gazebo sekolahan.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.