SAYANG DIMANA? NGAPAIN?

SAYANG DIMANA?  NGAPAIN?

SAYANG DIMANA?  NGAPAIN?  

Allahuakbar ... Allaaaahuakbar ....

Suara adzan subuh berkumandang. Hari Senin adalah hari yang sebagian umat sepakat, hari paling berat. Setelah hari Sabtu dan Minggu merebahkan badan sejenak. Maka, setiap detik menuju hari Senin, rasa hati pasti meluap-luap. Entah kenapa, secara tiba-tiba ada banyak sekali muatan di pundak. 

"Bang, bangun Bang, sudah subuh, cepet mandi, salat, dan sarapan sana! Sudah siap sarapan dan bekalnya."

Aku membangunkan suamiku yang masih lemas setelah malam panjang berjungkir balik yang menghempas-hempas.

"Iya Dek, sun dulu! Kalau gak disayang masih lemas ini, tenaganya sudah terkuras,” jawab Suamiku. 

Kata-kata yang keluar dari mulut pemilik mata yang sedang menatapku di balik gelapnya kamar, membuat hati ini kembali bergetar. Aku tahu, mata itu sedang mengerling manja menggoda. Siluet cahaya yang masuk ke dalam kamar bisa menunjukkan padanya bahwa pipiku mungkin tengah merona.

"Iiih ... Abang." Spontan kucubit pinggang yang penuh lemak itu, meski malu-malu tetap saja kusodorkan bibir ini padanya.  

********* 


Sebelum berangkat, seperti biasa, Bang Andi mengecup satu persatu keempat anaknya di kamar mereka.  Sambil mengecup, masing-masing diberi sugesti positif berupa bisikan nasehat agar jadi anak pintar, soleh dan solehah. Setelah mengecup anak-anaknya, Bang Andi kembali mengecupku dengan mesra. Salim tangan dan salam tak pernah lupa.  

"Hati-hati di rumah ya Dek, nanti sore Abang pulang.” Bang Andi memberi pesan diiringi senyum yang menunjukkan sederet gigi putih bersinar miliknya. Manis sekali. Mempesonaku di pagi hari. 


"Iya Abang, jaga hatiku dan ingat anak-anak selalu ya." Sambil kupeluk dia sebagai tanda perpisahan kami akan beberapa jam ke depan. 
 
Sebelum kaca mobil ditutup, kami saling memberi cium jauh. Mmuaaah ... Daaa ....

Setelah Bang Andi pergi, aku memulai rutinitas seperti biasa. Siapa yang bilang ibu rumah tangga adalah pengangguran? Ibu rumah tangga juga bekerja. Kerjaannya lebih banyak dari pegawai kantoran. Gajinya langsung dari Tuhan. Berapa? Memangnya semua harus diukur dengan uang? Anak sehat itu rejeki, suami setia juga rejeki, punya rumah meski sepetak juga rejeki, dalam sehari bisa makan tiga kali dan bisa mandi sesuka hati, itu juga rejeki. Sebagai istri karyawan biasa, yang penting cukup itu sudah jadi berkah yang alhamdulillah wasyukurillah.  

Jam 7 teng.  

[Sayang, dimana? Ngapain? Sudah sampai kantor?] 

Aku mengirim pesan lewat aplikasi hijau kepada suamiku.  

Klunting.

[Di hatimu Sayang, iya sudah sampai kantor, lagi mikirin kamu, ini persiapan apel pagi] 

Aku tersenyum membaca pesan balasannya pada layar ponsel. Selepas suami pergi kerja, aku bersantap pagi dengan anak-anak, setelah itu memandikan mereka. Menyuci baju, membersihkan rumah lanjut menemani anak-anak belajar. Ya, aku tak punya asisten rumah tangga, jadi semua serba mandiri. Si bungsu yang masih menyusu dan si kakak yang mulai aktif membuat hari-hari ini terasa bewarna. Untungnya anak-anak pengertian, jadi semua terasa mudah. Pesan Bang Andi yang selalu dibalas cepat tanpa membuatku menunggu membuat hati terasa tentram. 

Jam 9 teng.

[Sayang dimana?  Ngapain?]

Kukirim pesan kembali pada suamiku.

[Di hatinya istriku, ini lagi bikin laporan yang diminta Pak Erwan, ada komplain dari nasabah] 

Setelah membaca pesan suamiku, aku melanjutkan aktifitas yang belum terlaksana.  

Jam 12 teng.  

[Sayang dimana? Ngapain?]

Pesan yang kukirim centang dua dan langsung dibaca. 

[Di kantor sayang, lagi mikirin kamu dan anak-anak, ini mau istirahat siang makan bekal adek bojo-ku tercinta]

Bibirku tersenyum miring malu-malu membaca balasan darinya. Segera kuberlalu pada anak-anak karena waktunya untuk mereka makan siang juga. 

Jam 1 teng.  

[Sayang dimana?  Ngapain?]

Menanyakan kabar padanya di siang yang panas dan langsung dibaca olehnya membuat hawa terasa sejuk dan menyegarkan.


[Di hatimu istriku, humairahku, ini abang baru selesai isoma-nya, mau balik lagi ke ruangan] 

Balasan pesan Bang Andi, menyuntikkan semangat baru untuk melanjutkan kegiatan menyetrika baju yang bertumpuk seperti gunung Krakatau yang akan meledak. Setelah sebelumnya, menemani anak-anak tidur siang. 

Jam 3 teng. 

[Sayang dimana? Ngapain?]

Kembali kukirim pesan padanya. 

[Di hatinya sayangku, abang ada meeting sore. Jadi nanti pulang Malam, ya] 

Kubaca pesan balasan darinya, dengan sedikit mengernyitkan dahi, kuketik pesan lagi padanya. 


[Ooh ... Meeting dimana?  Sama siapa aja?]

Muncul tulisan “sedang mengetik” dari akunnya membuat hati ini cukup kebat-kebit, karena cukup lama menunggu pesan darinya.  

[Di kantor aja, di lantai dua di ruangan pak Erwan sama Beni, Riska, Topan dan anak-anak divisi lain] 

Penjelasan darinya cukup membuat hati ini tenang, karena tahu dia pulang terlambat urusan kerja. 

 

[Hati-hati ya abang sayang, nanti pulangnya dikabarin] 

Emotikon kiss balasan dari Bang Andi. 

Suara azan Magrib berkumandang. Namun, suara deru mobil Bang Andi belum terdengar. Anak-anak menghabiskan istirahat sore dengan menonton acara kesukaan sementara si emak was-was.  

[Abang dimana? Ngapain?]

Balasan tak kunjung datang. Bunyi detik jam dinding menggema di seluruh ruangan.
.
.
.
.
.

"Assalamualaikum." Suara suamiku terdengar membuka pintu di ruang tamu. 

"Ayaaaaah ... " Anak-anak berhamburan, berlomba memeluk sang bapak.  

Aku yang selesai salat di kamar, langsung keluar.  

"Waalaikumsalam. Abang tadi dimana? Ngapain? Kok gak balas pesan adek.” Sedikit menahan emosi, kucium tangan imamku. Kuambil jaket yang tersampir di meja dan kubawa tas yang masih ditentengnya. 

"Oh, iya kah?  Mungkin tadi masih di jalan, abang mandi dulu ya." Sambil mengecup dahiku sebentar lalu hilang ke arah belakang.

Saat sedang asyik-asyiknya selonjoran menonton televisi ditemani anak-anak dan suami yang sudah di sisi. Ponselku kembali berdenting. Kulihat sekilas, ternyata pesan masuk dari suamiku. 

[Ini di sampingmu sayangku, aku sedang nonton televisi dengan bidadari surgaku dan anak soleh solehahku]

Kusunggingkan bibir, kutatap mata teduh yang menatapku. Kami memang bukan pengantin baru. Sudah hampir satu dasa janji akad mengikat. Namun, romantisme pengantin baru tak pernah terlewat. Buah cinta kami sudah empat. Dua putra dan dua putri. Kembar sepasang. Komunikasi yang kami bangun tidak hanya melalui verbal tapi juga tindakan. 

Kami sepakat, komunikasi yang lancar tanpa hambatan akan membuat rumah tangga aman, sejahtera dan sentosa. Jika muncul sinyal-sinyal yang tak seperti biasanya, hati akan langsung peka. Jadi, awas saja jika ada orang kedua, ketiga dan seterusnya yang berani mendekat. Karena pasti, bisikan setan akan langsung lewat. Sebab, sebelum hal buruk terjadi, radar dalam otak akan langsung menangkap yang tidak sesuai tempat.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.