DI TEPI WAKTU

DI TEPI WAKTU
Nenek bersama sahabat-sahabatnya.

“Waktu masih bujangan, kamu ngapelin pacar. Setelah kawin, kamu ngapelin Mama.”

Kalimat di atas selalu diucapkan oleh ibu kami setiap anaknya menikah dan pindah menempati rumah baru. Dan kali ini kalimat di atas disampaikannya ke saya yang baru saja pindah rumah ke bilangan Cibubur. Saya memahami, dia pasti merasa kehilangan melihat anaknya satu-persatu pergi meninggalkannya. Apalagi dia sudah tua sekali. Usianya hampir mencapai 80 tahun dan kesehatannya sudah menurun.

Buat saya, ucapan Ibu fair enough. Itu sebabnya, setiap malam minggu kami usahakan sebisa mungkin untuk selalu ngapelin ibu kami di Bendungan Hilir. Meskipun jarak dari Cibubur lumayan jauh dan macet di mana-mana. Tapi tidak mengapa. Momen itu kami manfaatkan sekaligus sebagai sarana jalan-jalan buat anak kami yang baru berusia 2 tahun. Namanya Leon. Dia adalah cucu ibu kami yang ke 16.

“Yeay, kita ke rumah Nenek. Kita ke rumah Nenek!” pekik anak itu.

Leon suka sekali jalan-jalan. Sepanjang perjalanan, dia berteriak mengungkapkan kegembiraannya sambil bertepuk-tepuk tangan. Tingkah lakunya sungguh menggemaskan sehingga membuat macet tidak begitu terasa.

Ayah dan Ibu kami mendidik anak-anaknya dengan keras. Dari awal mereka sudah mewanti-wanti bahwa mereka akan membiayai pendidikan kami hanya sampai tingkat SMA. Setelah lulus, pilihan sepenuhnya ada pada masing-masing individu. Mau cari kerja, silakan. Mau melanjutkan ke perguruan tinggi, silakan tapi harus membiayai sendiri. Dan satu lagi, buat yang sudah bekerja, wajib membayar SRT atau Sumbangan Rumah Tangga. Jumlahnya tidak ditentukan, yang penting ikhlas, begitu selalu kata Ibu.

Setiap bulan, saya selalu menyisihkan Rp 1 juta untuk Ibu kami. Sebetulnya peraturan ngasih SRT itu hanya berlaku ketika kami masih tinggal bersama Ibu. Setelah hidup sendiri, kewajiban itu tidak berlaku lagi. Meskipun demikian, kami semua tetap memberi SRT pada Ibu. Jumlahnya berbeda-beda, tergantung dari kemampuan masing-masing.

Ibu menderita penyakit brochitis kronis. Bronchitis adalah kondisi peradangan pada saluran paru-paru. Saluran itu yang membawa udara masuk dan keluar dari paru-paru. Ketika terjadi peradangan, saluran tersebut menghasilkan lendir yang berlebihan, menyebabkan batuk, sesak napas, dan produksi dahak yang berlebihan.

Di samping itu dia juga suka kejang-kejang sampai tak sadarkan diri. Menurut dokter yang merawatnya, beliau punya penyakit epilepsi. Akibat dari banyak penyakit di tubuhnya, beliau harus mengonsumsi belasan obat setiap harinya. Belakangan di usia tuanya, dia kembali diserang penyakit baru, yaitu osteoporosis. Jumlah obat yang harus diminum pun otomatis bertambah.

Begitu sampai di Bendungan Hilir, Ibu kami sedang mengisi teka-teki silang. Melihat kedatangan kami, dia langsung bertanya, “Nah, pas banget ada kamu, Bud.  Kantor berita Iran apa, ya? Huruf pertama I dan huruf ketiga N.”

“IRNA,” sahut saya tanpa berpikir. Bukan karena saya pintar tapi memang saya sudah menghafal banyak sekali kantor berita di dunia untuk membantunya mengisi teka-teki silang.

“I..R..N..A.." Ibu menuliskan jawaban itu lalu berkata lagi, "Okay! Udah lengkap sekarang jawabannya. Sekarang bantuin teka-teki yang lain, ya. Yang kemaren masih banyak yang belum terjawab,” kata Ibu sambil meraih buku teka-teki silang lainnya.

“OK, siap!” sahut saya.

Hobi mengisi teka-teki silang adalah kegiatan baru yang dilakukannya sejak dia sulit untuk berdiri. Menurut dokter, mengisi teka-teki silang sangat baik untuk melawan pikun. Dan saya setuju. Ibu kami memang ingatannya masih sangat bagus. Dan saya juga selalu semangat untuk membantunya mengisi teka-teki silang itu untuk menjaga ingatannya tetap tajam.

Sambil mengisi teka-teki silang, Ibu saya sempat bertanya, “Kok kamu nggak pernah ngajak Mama ke rumah kamu, sih?”

“Cibubur jauh, loh. Emangnya Mama kuat?”

Saya bertanya begitu karena dia badannya sudah sangat lemah. Dia bahkan memiliki perawat sendiri yang selalu membantunya. Kalau pergi ke mana-mana pun dia lebih sering menggunakan kursi roda daripada berjalan sendiri.

“Ya, dikuat-kuatin, dong. Masak rumah anak sendiri, ibunya gak pernah ngunjungin. Yuk, kapan?" kata Ibu bersemangat.

Dari lubuk hati yang paling dalam, sebetulnya saya ingin sekali Ibu tinggal di rumah kami. Tapi saya gak berani menyampaikan keinginan itu. Soalnya abang-abang saya sudah sering mengajaknya tinggal di rumah mereka namun ibu saya selalu menolak. Alasannya dia lebih suka tinggal di rumah sendiri. Teman-temannya semua ada di Bendungan Hilir.

“Sekalian nginep, ya?” usul Vina, istri saya.

“Pertama pulang hari dulu. Kedatangan selanjutnya, baru, deh, nginep,” sahut Mama tersenyum.

Di hari Minggu pagi, kami jadi mengajak Ibu ke rumah. Perjalanan dari Bendungan Hilir memakan waktu sekitar satu setengah jam. Herannya Mama nggak pernah mengeluh. Dia terlihat antusias dan menikmati perjalanan itu. Matanya melongok ke luar jendela, mengomentari semua yang dia lihat dari balik jendela.

“Itu gedung apa, ya? Bentuknya unik. Itu mobil suara knalpotnya kenceng amat? Aduh, itu motor kok dinaikin berempat...kan bahaya.”

Dia juga membaca semua papan nama yang kami lewati. “Rumah makan Sederhana. McDonalds. Rumah makan Kabayan, Puri Sriwedari, Warung Sop Buntut...” Istri saya tersenyum sendiri melihat kelakuan mertuanya.

Sesampainya di rumah, Ibu saya sepertinya takjub bukan main. Dia memandang ke sekeliling.

“Wah, jalanannya gede banget. Suasananya sepi pula. Enak banget, nih, jalan-jalan di sini pake kursi roda!” katanya sambil senyum-senyum sendiri.

Sebetulnya jalan di rumah komplek kami ukurannya biasa-biasa saja. Namun dibandingkan dengan jalan di depan rumah Bendungan Hilir yang sangat sempit memang jalan itu jadi terlihat besar sekali. 

“Kalo suatu hari Mama nginep. Nanti Vina ajak jalan-jalan,” kata Vina.

Kami menempatkan Ibu di kamar tidur, di lantai bawah. Alhamdulillah dia terlihat cukup menyukai kamar itu. Belum sempat kami mengajaknya makan siang, dia mengambil HP-nya dan menelpon seseorang. Kami pun keluar kamar dan membiarkannya beristirahat.

“Bud!” teriak Ibu sehabis menelpon.

“Ya, Ma?”

“Supir kamu bisa nggak disuruh balik ke Bendungan Hilir. Ambil pakean Mama di sana. Susi udah nyiapin dalam koper kecil,” katanya. Susi adalah Kakak ipar saya yang biasa mengurus Mama.

“Eh, Mama mau nginep?” tanya saya surprise sekali.

“Iya, Mama gak sabar pengen jalan-jalan di sekitar komplek,” suaranya excited banget.

Yeay...Nenek nginep!” Sekonyong-konyong anak kami berteriak sambil bertepuk-tepuk tangan.

“Iya Nenek nginep tapi cuma beberapa hari ya, Le,” kata Nenek tersenyum sambil menjawil dagu cucunya.

Anak kami, Leon, baru berusia 2 tahun. Responsnya terhadap niat Neneknya untuk menginap adalah pertanda baik buat kami. Dengan segera saya perintahkan Sang Supir untuk kembali ke rumah Bendhill untuk mengambil baju-baju Neneknya Leon.

Begitu supir sampai di rumah, Leon membantu Nenek membuka koper. Mungkin lebih tepatnya mengganggu daripada membantu. Tapi apa pun itu, keduanya tampak kompak seperti sahabat dekat. Mereka terlihat ngobrol dan tertawa-tawa bersama. Melihat kedekatan mereka, sejak itu kami juga sering memanggil Mama dengan sebutan Nenek. Walaupun Si Nenek tetap membahasakan dirinya dengan istilah ‘Mama’.

Dan betul, loh. Sorenya Ibu kami sudah berdandan rapi dan berteriak, “Vina! Mama udah siap, nih. Katanya kita mau jalan-jalan.”

Dengan tergopoh-gopoh karena masih sibuk menemani anaknya, Vina berlari ke lantai bawah, “Wuih, Mama udah cantik banget. Bentar, Ma. Vina juga mau dandan dulu. Nggak mau kalah sama Mama.”

Di acara jalan-jalan tersebut, Vina juga mengajak Leon. Jadilah tiga generasi itu berjalan menyusuri jalan-jalan komplek. Kami bertiga jalan kaki. Sementara Nenek menunggangi kursi roda listriknya. Kursi roda itu dibelikan oleh kakak saya, Chappy Hakim, untuk memudahkan Nenek sehingga tidak perlu mendayung.

“Nek, gantian, dong. Leon juga mau naik kursi roda.” Leon yang mengira kursi roda itu mainan, langsung berusaha meminjamnya.

“Hus! Kursi roda itu buat orang tua. Leon jalan kaki aja, “potong Vina.

Di sepanjang jalan, Nenek menyapa semua orang yang berpapasan dengan kami. Dari ibu-ibu rumah tangga, pedagang yang lewat, sampai satpam komplek pun dia ajak ngomong. Nenek senang sekali berjalan-jalan di sana. Dia hanya berhenti jika melihat ada pohon atau bunga-bunga yang menarik perhatiannya.

Ketika melihat bunga anggrek di rumah tetangga, Nenek kembali berhenti. Sang Ibu Pemilik Rumah keluar karena merasa curiga melihat ada orang di depan rumahnya. Nenek tidak ambil pusing dengan mata curiga itu, dia langsung nyerocos, “Anggreknya cantik sekali. Saya juga punya anggrek tapi nggak sebesar ini.”

Mendengar ucapan Nenek, Si Ibu pemilik rumah tersenyum. Rupanya dia senang bertemu sesama penggemar anggrek dan menimpali ucapan Nenek, “Oh ya? Ibu tinggal di mana?”

“Saya tinggal di Bendungan Hilir. Sekarang lagi nginep di rumah anak saya,” sahut Nenek sambil menunjuk ke arah Vina.

“Anggrek ini sudah beranak. Kalo mau, Ibu boleh ambil satu.”

“Mau! Anak anggreknya sudah dipindah di pakis baru?” tanya Nenek.

“Sudah. Saya gantung di teras, Yuk, masuk dulu.”

Dan jadilah kami mampir ke tetangga yang sebelumnya tidak kami kenal. Maklum kehidupan dalam komplek tidak ada kebiasaan untuk saling mampir. Kami terbiasa hidup sendiri-sendiri dan hanya saling menganggukkan kepala kalau kebetulan berpapasan. Berkat Nenek, kami mulai bersilaturahmi dengan tetangga. Alhamdulillah.

Sesampainya di rumah, Nenek berbaring di tempat tidur dan kembali menelpon. Entah menelpon siapa. Saya masih sempat mendengar dia berkata, “Iya, saya di Cibubur di rumah Budiman. Suasananya enak banget. Jalan di depan rumahnya gede. Jij tau gak? Biar ada mobil parkir di kiri dan kanan, kursi roda ik masih bisa lewat. Udah gitu di sana nggak ada polisi tidur. Ik bisa ngebut tanpa perlu tergoncang-goncang...”

Sehabis makan malam, Saya dan istri masuk ke dalam kamar. Saya mengambil HP dan istri mengambil novel yang baru dibelinya di toko Gramedia.

“Nenek seneng banget diajak jalan-jalan, ya. Gue belum pernah ngeliat dia seceria itu belakangan ini,” kata saya ke Vina.

“Orang tua memang harus dikasih aktivitas meskipun dia sedang sakit. Kalo dibiarin berbaring d ranjang terus-terusan, dia bisa stres,” kata istri saya di sela-sela membaca buku.

“Betul. Aktivitas dan berinteraksi dengan banyak orang itulah yang membangkitkan motivasi hidupnya. Makanya tadi dia menyapa semua orang,” sahut saya lagi.

Nenek yang tadinya hendak menginap beberapa hari ternyata molor terus. Sudah seminggu dia di rumah kami dan tidak pernah minta pulang. Kami senang-senang saja melihat dia begitu menikmati hidup di sini. Hati yang gembira adalah obat yang paling manjur bagi kesehatan.

Sampai suatu hari, Nenek memutuskan pulang ke rumahnya. Rumah sudah terlalu lama ditinggal, begitu alasannya. Dan kami merasa kehilangan.

“Nenek mau pulang? Kursi rodanya buat Leon ya, Nek?” celetuk Leon

“Hahahahaha...” Rupanya Leon masih bernafsu untuk memiliki kursi roda itu. Maklum anak saya ini entah kenapa tergila-gila betul sama mobil. Dia mengira kursi roda Nenek adalah salah satu jenis kendaraan.

Belakangan kami mendengar kabar bahwa Nenek tambah menurun kesehatannya. Epilepsinya semakin parah, ditandai dengan frekuensi kejang-kejangnya yang semakin sering. Saya cuma bisa menghela napas panjang. Rasanya tidak mungkin lagi berharap Nenek datang dan menginap di rumah kami.

Ternyata perkiraan saya salah. Suatu hari, Nenek menelpon dan minta dijemput ke Cibubur. Tentu saja kami memenuhi permintaannya dengan senang hati. Esoknya kami menjemput Nenek dan membawanya kembali ke Cibubur. Kali ini Nenek membawa koper yang lebih besar dari sebelumnya. 

“Mama mau nginep sebulan di Cibubur. Kalian nggak keberatan, kan?” tanyanya.

“Jangankan sebulan. Mau tinggal selamanya juga kami nggak keberatan,” sahut Vina dengan tangkas.

Sekali lagi Nenek hidup bersama kami. Kondisinya semakin memprihatinkan.  Vina berusaha menciptakan kegiatan untuk membuat Nenek sibuk.

"Nek, setiap hari Rabu, Vina selalu belanja ke Hero. Nenek mau ikut, nggak?"

"Mauuuu...! Udah lama benget Mama nggak ke Hero!" Seperti anak kecil ditawarin ke Dufan, Nenek memekik kegirangan.

Setiap hari Rabu, pergi ke Hero menjadi ritual baru buat keluarga  kami bersama Nenek. Supermarket itu cukup besar. Letaknya ada di komplek Citra Gran. Bukan main senangnya Nenek. Sebelum berangkat dia berdandan dan terlihat cantik sekali.

Setiap kali pergi ke Hero, Vina menyisipkan uang beberapa ratus ribu buat Nenek. Dengan kursi rodanya Nenek berjalan menyusuri lorong demi lorong. Sesekali dia berhenti setiap ada barang yang menarik perhatiannya. Namun, begitu melihat harga yang tertera di benda yang dipegangnya, dia langsung mengomel, “Ya, Allah. Mahal banget!"

Dan adegan yang sama terus berulang. Melihat harga barang lainnya, Nenek ngomel lagi, "Astaghfirullah, mahal banget!"

“Bukan mahal tapi Nenek emang udah lama gak belanja. Makanya rasanya jadi mahal.” Vina mencoba menjelaskan.

“Mahal, ah! Uang Rp 100 ribu udah nggak ada artinya di tempat ini.” Nenek masih mengomel panjang pendek.

Sampai di meja kasir, kami melihat Nenek membeli beberapa tatakan gelas berwarna-warni. Sepertinya itu tatakan gelas untuk anak-anak karena gambarnya berbentuk binatang-binatang lucu.

“Buat apa beli tatakan gelas itu, Nek?” tanya Vina keheranan.

“Mama nggak mau beli sebenernya tapi cuma tatakan gelas itu yang paling murah,” kata Nenek dengan suara nggak rela.

Benar kata Nenek, tatakan gelas itu memang yang paling murah. Setiap ke Hero, Nenek selalu membeli tatakan gelas berwarna-warni itu. Entah sudah berapa tatakan gelas yang dibelinya. Kami suka geli sendiri melihat hal itu. Tapi nggak papalah. Yang penting Nenek senang hatinya dan bagi kami sudah cukup.

Suatu hari, Nenek memanggil saya ke kamarnya. Begitu sampai di kamar, Nenek memerintahkan untuk menutup pintu. Saya langsung deg-degan. Waduh, ada apa apa, nih?

“Bud, Mama mau ngomong sama kamu. Ini serius dan kamu harus jawab jujur.” Nenek mulai dengan mukadimah.

“Okay. Gimana-gimana?” tanya saya sambil meletakkan pantat di kursi yang terdapat di sana.

“Jadi begini. Mama suka tinggal di sini. Dan Mama mau tanya..." Kalimat Nenek terhalang keraguan.

Saya juga terdiam menunggu lanjutan kalimatnya.

"Boleh nggak Mama tinggal di sini seterusnya?” kata Nenek lagi. Sepertinya dia lega sekali bisa menyelesaikan kalimat itu.

“Ya, boleh dong, Ma. Masak nggak boleh.”

“Kamu jangan boleh-boleh aja. Kamu itu udah menikah. Keputusan nggak bisa kamu ambil sendiri. Vina juga berhak ngasih pendapat!” kata Nenek separuh judes.

“Vina juga pasti mengizinkan...”

“Kamu yakin?”

“Kalo nggak percaya, Mama tanya aja sendiri,” sahut saya sambil bangkit, membuka pintu tersebut dan langsung berteriak, “Vin, sini bentar. Nenek mau ngomong, nih.”

“Eh, tunggu, tunggu...” Nenek terlihat agak panik melihat kelakuan saya tapi terlambat. Vina sudah masuk ke dalam kamar.

“Ada apa, Nek? Keliatannya serius banget sampe tutupan pintu segala,” tanya Sang Menantu seraya melemparkan senyum.

Nenek terlihat rada rikuh tapi dalam beberapa detik dia mampu menguasai diri meskipun mukanya masih terlihat rada kikuk.

“Vin, Mama udah seneng tinggal di sini. Boleh nggak seandainya Mama tinggal di sini seterusnya?” Akhirnya kalimat itu terlontarkan.

“Boleh, dong. Masak Ibu sendiri nggak boleh?” jawab Vina tanpa berpikir.

Di luar dugaan, Nenek mengatakan sesuatu yang tidak disangka-sangka. Dengan nada setengah membentak dia berucap lagi, “Kamu jangan boleh-boleh aja. Kamu bukan anak Mama. Kamu cuma menantu!”

Rasanya seperti disambar petir mendengar kalimat itu. Jantung saya berdetak kencang sekali. Kalimat ‘kamu cuma menantu’ begitu nyelekit di telinga. Menantu mana yang nggak tersinggung mendengar kalimat sepedas itu? Apalagi Vina juga tipe orang yang emosional. Saya akan sangat mengerti kalau dia tersinggung atau marah. Suasana sejenak menjadi agak tegang.

Untungnya, ketakutan saya tidak terjadi. Vina malahan tertawa manis mendengar ucapan Mama. Dia langsung memeluk mertuanya dan berkata dengan nada riang, “Buat Mama, Vina mungkin cuma menantu. Buat Vina, Mama itu nggak ada bedanya dengan ibu sendiri.”

Fuiiih....leganya! Dan suasana pun langsung cair secair-cairnya. Sejak hari itu resmi sudah Nenek menjadi anggota keluarga kami. Begitu Vina keluar kamar, Mama menengok ke arah saya dan berbisik, “Kamu nggak salah pilih istri. Vina bukan cuma cantik wajahnya tapi juga cantik hatinya.”

Sejak Nenek tinggal di Cibubur, setiap malam minggu rumah kami selalu ramai. Jadwal ngapelin Mama sudah berpindah dari Bendungan Hilir ke Cibubur. Mama mempunyai anak 7 orang. Semuanya sudah menikah dan semuanya sudah punya anak. Akibatnya rumah kami penuh seperti orang sedang kendurian.

Seperti Nenek, semua suka suasana di komplek kami. Bahkan beberapa kakak saya sampai membeli rumah dan ikut pindah menjadi tetangga kami. Alasannya supaya gampang mengunjungi ibunya. Luar biasa! Ibu adalah pemersatu keluarga dan pilihannya untuk tinggal bersama kami adalah berkah yang tidak terkira.      

Ritual jalan-jalan ke Hero masih berlangsung. Kegiatan itu betul-betul kegiatan yang sangat dinantikan oleh Nenek. Beberapa kali saat sedang di meja makan, saya suka nguping percakapan Nenek dengan istri, “Hari ini hari apa, Vin?”

“Hari ini hari Senin. Emang kenapa, Nek?”

“Aduh! Waktu, kok, jalannya lambat banget. Masih dua hari lagi jadwal kita ke Hero,” ucapan Nenek membuat Vina nyengir kuda.

“Nenek kalo belanja, jangan beli tatakan gelas terus. Beli, dong, yang lain,” kata Vina.

“Aduh, belanja apa? Semua mahal-mahal di sana.”

“Budiman, kan, tiap bulan ngasih uang sejuta. Sekarang pasti jumlahnya udah banyak. Pakai aja uang itu.”

“Eh, Mama nggak akan pernah nyentuh uang yang dari Budiman.”

“Kenapa? Uang, kan, memang untuk dibelanjain?”

“Nggak. Mama mau simpen uang itu sampe banyak,” jawab Nenek dengan senyum manisnya.

“Emang kalo udah banyak buat apa?” tanya Vina lagi.

“Buat warisan.”

“Heh? Warisan buat siapa?” tanya Vina penasaran.

“Ya, buat Budiman. Abis buat siapa lagi?” kata Nenek dengan suara mantap,

Hahahahaha... Saya terharu sekali mendengar ucapan Nenek. Baru tau kalau selama ini uang SRT itu tidak pernah dia gunakan. Bahkan Nenek punya rencana untuk mewariskan uang itu untuk saya, Si Pemberi uang. Hahahaha...Aduh! Saya mau ketawa dan menangis sekaligus mendengarnya.

Waktu terus berjalan. Kegiatan pergi ke Hero lama-kelamaan membuat Nenek bosen juga. Ya, iyalah pasti bosen kalau setiap ke sana cuma beli tatakan gelas bergambar. Nenek mulai suka mengurung diri di rumah. Kesehatannya mulai menurun lagi.

Yang membuat hati saya suka teriris-iris adalah ketika dia mulai mengalami kejang-kejang lagi. Situasi itu sangat mengerikan buat yang melihatnya. Bayangkan ada Nenek-nenek kejang dengan tubuh bergetar hebat, mata mendelik dan air liurnya muncrat ke mana-mana. Ya, Allah, sembuhkanlah Nenek.

“Bud, sahabat-sahabatnya Nyokap di Bendhill siapa aja?” tanya Vina suatu hari.

“Emang kenapa?” tanya saya keheranan. Tumben dia menanyakan temen-temennya Nenek.

“Gue mau bawa mereka ke rumah untuk ngobrol-ngobrol sama Nenek. Siapa tau dengan cara itu Nenek bisa kembali semangat hidupnya,” kata Vina dengan suara mantap.

“Masya Allah. Ide lo keren banget, Vin.” Saya memeluk Vina dengan sepenuh erat. Ucapannya bahwa dia menganggap mertua sebagai ibu sendiri ternyata bukan bualan kosong belaka. Saya kagum dia sampai kepikiran dengan ide itu. Saya aja, anak kandungnya, nggak terpikirkan sama sekali.

“Temennya Nyokap ada Tante Agus, Tante Syahrowardi, Tante Ismu, Tante Bahar Adam, Tante Agusman, Tante Kholil, Ibu Hindun...Hmm, siapa lagi ya?”

“Okay, lo punya nomor teleponnya?”

“Boro-boro punya. Apakah mereka semua masih hidup aja gue nggak tau,” jawab saya polos.

Ide Vina ternyata berjalan dengan baik. Ada dua orang sahabat Nenek yang bisa kami datangkan ke rumah. Yang pertama adalah Tante Agus dan satunya lagi Tante Agusman. Supaya mau datang, Vina menawarkan jasa antar jemput pada mereka. Jadi saya mengirimkan supir untuk mereka. Alhamdulillah mereka semua setuju dan bersedia datang untuk menyemangati Nenek.

Di suatu hari Minggu kami menyambut kedatangan Tante Agus dengan suka cita. Keluarga kami sangat dekat dengannya bahkan saya juga berteman dengan anak-anaknya. Begitu juga dengan abang-abang saya.

Suasana pertemuan Nenek dengan Tante Agus berlangsung dramatis seperti drama-drama Korea. Keduanya bercakap-cakap dalam bahasa Belanda. Pembicaraan sahabat lama itu berlangsung sangat seru. Keduanya saling menceritakan kisah-kisah lama yang mereka alami bersama. Kadang terdengar suara tawa mereka menandakan kegembiraan Nenek mulai bangkit.

Setelah kehabisan bahan pembicaraan, keduanya saling menggenggam tangan tanpa sepatah kata. Mata mereka saling memandang. Bibir keduanya saling melemparkan senyum. Lalu apa yang terjadi? Tiba-tiba keduanya menangis bersama. Genggaman tangan keduanya semakin erat dan bergetar akibat isak tangis keduanya yang semakin hebat.

Saya melihat Vina ikut menangis melihat adegan itu. Saya juga terharu. Mata saya berkaca-kaca. Mereka benar-benar sahabat sejati. Air mata adalah bahasa kalbu ketika tidak ada kata-kata apa pun yang mampu merepresentasikan perasaan keduanya.

Pertemuan dengan Tante Agusman menggunakan bahasa lain lagi yaitu bahasa Minang. Keduanya berbincang cukup lama. Tante Agusman usianya jauh lebih muda dari Nenek. Tapi persahabatan memang tidak ada hubungannya dengan usia.

Buat saya Nenek adalah tokoh yang sangat unik. Dia bukan tipe perempuan yang lemah lembut. Seperti umumnya orang Minang, dia suka ceplas-ceplos kalo ngomong. Kadang saya merasa, dia tidak memikirkan perasaan lawan bicaranya. Tapi anehnya, dia tetap disukai banyak orang dan dia mempunyai banyak teman.

Nenek sangat terhibur dengan kedatangan sahabat-sahabatnya.  Vina, istriku, memang luar biasa. Segala pikiran yang ada di kepalanya dia curahkan untuk membahagiakan Nenek. Sepertinya dia adalah bidadari yang sengaja diturunkan Tuhan, bukan hanya untuk saya tapi untuk kami sekeluarga.

Vina masih belum merasa puas. Dia mendesak saya untuk terus menginvestigasi ibu-ibu lain yang dekat sama Nenek. Setelah berusaha semampunya, saya menyerah. Ibu-ibu yang lain tidak terlacak lagi. Sementara yang lainnya kebanyakan sudah meninggal dunia.

“Entar gue ajak Nita kemari juga. Suaminya, kan, orang Belanda. Biar belum kenal pastinya Nenek seneng bisa ngobrol pake bahasa Belanda.”

Nita adalah teman saya, seorang pemain piano. Dia punya band yang anggotanya semua perempuan. Nita juga pernah jadi guru pianonya Leon.

“Ah, gile lo! Masak orang nggak kenal disuruh besuk Nenek?”

“Gapapa. Kita coba semua hal buat Nenek.” Vina bersikeras.

Sekali lagi Vina tidak pernah salah. Nenek terlihat senang berbicara dalam bahasa Belanda dengan suaminya Nita. Apalagi suami teman saya ini orangnya ganteng pula. Hahahaha...

Seiring berjalannya waktu, kondisi Nenek semakin memburuk. Beberapa kali dia kejang-kejang dan dilarikan ke RUSPAU atau Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara yang terletak di Halim. Namun kondisi Nenek tetap merosot. Kami tidak tau lagi apa yang bisa dilakukan untuk kesembuhan Nenek.

Pikiran kusut membuat kaki saya melangkah menuju balkon dan merokok di sana. Eh, tau nggak? Sejak Nenek tinggal di rumah, frekuensi merokok saya jauh berkurang. Kenapa? Karena saya selalu dimarahi kalo Nenek mengetahui saya merokok. Padahal usia saya sudah kepala 4, beli rokok pakai uang sendiri, merokok di rumah yang saya beli sendiri dan saya masih diomelin juga. Hehehehe...

Otak saya terus traveling menyusuri berbagai memori. Kami harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Nenek bisa pergi kapan saja. What do you expect? Dia sudah tua sekali. Kadang saya suka bertanya pada diri sendiri, panjang usia itu berkah atau bencana? Banyak yang bilang itu berkah asal badannya sehat. Saya meragukan pendapat itu. Emang kita sanggup menikmati hidup, sementara temen-temen kita sudah pada mati semua? Nggak mudah juga bukan? Kita akan merasa menjalani hidup di jaman yang salah.

Eh, sekarang sudah bulan September. Berarti bulan depan Nenek akan berulang tahun. Tepatnya tanggal 11 Oktober. Saya masuk ke kamar Nenek hendak menanyakan apakah dia berminat untuk merayakan ulang tahunnya.

Di kamar Nenek, saya melihat Leon sedang berakting seperti dokter yang sedang memeriksa Nenek. Dia memasang stetoskop di telinga sementara ujung lainnya dia tempelkan ke dada Nenek.

“Wah, Nenek sebentar lagi sembuh!” kata Leon dengan lucunya.

Saya menatap wajah Nenek yang sangat pucat. Kasihan sekali melihatnya. Kesehariannya hanya diisi dengan berbaring dan mendengarkan lagu-lagu Elly Kasim. Maklum sejak muda Nenek itu penggemar berat Elly Kasim. Sepertinya semangat hidupnya cukup terangkat setiap mendengar lagu-lagu Minang tersebut.

"Mungkin kita harus manggil Elly Kasim di ultah Nenek nanti," kata Vina.

"Wuiiih ide jenius, tuh! Kita bisa nyewa banquet di Stamford buat bikin pestanya ya?"

Kembali saya menggeleng-gelengkan kepala. Vina tidak pernah berhenti membuat saya kagum. Dia selalu saja punya ide brilyan tentang bagaimana menyenangkan hati mertuanya.

Dengan lincah, kayak petasan injek, saya langsung mengontak temen-temen pemusik yang saya kenal. Kurang dari 30 menit, saya sudah mendapatkan nomor HP penyanyi Minang legendaris tersebut. Tanpa menunda waktu lagi saya langsung menelpon dan langsung tersambung. Amazing...rejeki anak soleh, nih.

"Halo, Tante Elly. Ini Budiman Hakim," sapa saya memperkenalkan diri.

Setelah memperkenalkan diri dan berbasa-basi sejenak, saya bercerita panjang lebar tentang rencana mengundang Elly Kasim ke pesta ulang tahun Nenek.

"Boleh, Bud. Tante kebetulan lagi kosong di tanggal itu..." kata suara di seberang sana. Kayaknya Tante Elly ini orangnya asyik. Baru kenalan saja dia langsung manggil saya Bad, Bud, Bad, Bud...

Sayangnya saya langsung lemes mendengar harga yang dipatok oleh Tante Elly. 'Buset, kalo harga segitu, sih, mending gue ngedatengin Burger Kill aja.' Eh tapi Nenek mana doyan sama musiknya Burger Kill. Hehehehehe...

"Kok kamu diem aja, Bud? Kemahalan, ya, harganya?" Suara berlogat Minang itu terdengar lagi.

"Mahal banget, Tante. Nyerah, deh, saya."

"Sebetulnya itu nggak mahal, Bud. Peralatan musiknya, kan, banyak, sound system-nya gede dan Tante kan harus bawa sendiri. Belum lagi penari-penarinya."

"Sebetulnya saya nggak butuh semua itu, Tante. Ibu saya ngefans banget sama Tante. Di kepala saya, Tante cukup dateng dan nyanyi pake gitar doang 2 atau 3 lagu. Segitu aja cukup," jelas saya.

"Jangan begitu, dong, Bud. Itu, kan, pesta ibu kamu. Tante kepikiran nanti Tante dan para penari akan narik Ibu kamu ke panggung lalu menari bersama-sama kami. Pasti seru, deh."

Mendengar ucapannya, saya langsung menjelaskan bahwa Ibu saya, jangankan menari, berdiri aja sudah nggak sanggup. Lalu dengan detil saya menceritakan kondisi Nenek. Rupanya Tante Elly cukup tersentuh hati mendengarnya.

"Masya Allah! Kamu anak baik, Bud. Tante sampe mau nangis denger cerita kamu. Kamu bener-bener anak berbakti. Kalo gitu gini, deh. Tante akan bawa 3 orang pemusik akustik untuk ngiringin Tante menyanyi. Kamu cukup bayar mereka aja. Tante Ellynya nggak usah dibayar. Okay?"

Alhamdulillah! Dan perjanjian pun terjadi. Ongkos bayar pemusik pun sangat terjangkau. Sehabis menelpon, saya langsung menghampiri Nenek, duduk di samping tempat tidurnya dan menceritakan kabar baik itu.

"Ma, nanti pas ulang tahun kita bikin pesta, ya. Kita undang Elly Kasim untuk nyanyi."

Mendengar kata Elly Kasim Nenek membuka matanya lebar-lebar lalu berkata dengan suara sangat lemah, "Emang dia mau dateng ke pesta Mama?"

"Saya udah telepon Tante Elly dan dia mau."

"Oh, ya?" Meskipun suaranya lemah dia terlihat sangat antusias. Nenek berusaha duduk namun tidak berhasil.

"Makanya Mama harus sehat. Harus yakin bahwa Mama bisa sehat," kata saya lagi. 

Nenek girang sekali mendengar berita itu. Meskipun sudah tua, meskipun sudah sakit parah, Nenek itu tetap perempuan. Dia langsung minta cermin dan berkaca di sana. Rupanya dia sudah membayangkan seperti apa rupanya di pesta ultahnya nanti.

Sayangnya Tuhan berkehendak lain. Kesehatan Nenek lagi-lagi memburuk. Dokter Yeyen yang menanganinya memang pernah mengatakan bahwa Nenek tidak boleh terlalu excited karena hal itu bisa menyebabkan dia kejang-kejang lagi. Saya tersadar bahwa rencana kami untuk mengundang Elly Kasim sedikit banyak menjadi penyebab yang membuat kondisinya semakin memburuk.

Saya mengontak Tante Elly dan meminta penundaan waktu show-nya.

"Iya gapapa, Bud. Kasih tau Tante aja kapan Ibu kamu bisa. Tante akan usahakan ngosongin waktu untuk beliau," katanya.

Tepat di pertengahan bulan Ramadan, kami membawa Nenek ke Singapura untuk dirawat di sana. Tepatnya di RS Mount Elizabeth. Seluruh keluarga ikut pindah ke kota Singa tersebut. Untuk pertama kalinya, kami sekeluarga melakukan ibadah puasa dan berlebaran di negeri orang.

Supaya lebih mudah, kami menyewa dua apartemen besar yang letaknya tidak jauh sehingga kami bisa berjalan kaki ke rumah sakit.   Semua anggota keluarga bergantian menjaga nenek.

Dokter yang menangani Nenek namanya Dokter Chan Tiong Beng. Kami menyerahkan seluruh berkas medis berupa riwayat penyakitnya dari brochitis, epilepsi sampai ke osteoporosis. Setelah melakukan berbagai macam test pada Nenek, dokter itu melaporkan hasilnya.

“Kami sudah melakukan test laboratorium dan kesimpulannya Ibu Anda tidak mempunyai epilepsi,” kata Sang Dokter ketika saya dan Vina berkonsultasi dengannya.

“Ah, mana mungkin, Dok? Ibu kami sudah makan obat epilepsi, setiap hari secara terus menerus, selama 15 tahun,” sahut saya.

“Setiap hari?” tanya dokter takjub.

“Iya, setiap hari, Dok. Karena kalau tidak dimakan satu hari saja dia langsung kejang-kejang,” sahut Vina.

“Obat yang Ibu Anda makan itu hanya menghilangkan kejangnya. Bukan penyebabnya. Sementara penyebab kejang ada banyak sekali.”

“Jadi penyebab kejangnya apa, Dok?” selak Vina penasaran.

“Menurut penelitian kami, kejangnya disebabkan oleh kurangnya supply oksigen ke otak gara-gara penyakit paru-parunya.”

“Wah? Yang bener, Dok?” tanya saya dengan hati mencelos.

Terus terang saya dan Vina sangat shock mendengar kabar itu. Bayangkan! Setiap hari Nenek mengonsumsi obat epilepsi selama 15 tahun dan Si Dokter tiba-tiba mengatakan dia tidak punya penyakit epilepsi.

“Dan pemakaian obat yang secara terus menerus itu adalah penyebab osteoporosisnya.” Sepertinya Sang Dokter punya banyak bahan untuk membuat kami shock terus menerus. 

Kami sekeluarga sangat terpukul dengan berita itu. Kondisi Nenek semakin kritis dan sulit bernapas. Dokter melubangi lehernya untuk saluran ventilator yang terhubung pada paru-parunya. Ventilator adalah alat medis yang digunakan untuk membantu pernapasan pasien. Alat ini sering kita lihat digunakan dalam pengobatan intensif di unit perawatan intensif (ICU) rumah sakit.

Untuk saluran makanan, di hidung Nenek dipasangi sonde. Jadi segala makanan dan obat-obatan dimasukkan melalui corong yang terdapat dalam sonde tersebut. Ah, sedih sekali melihatnya. Waktu ketemu lagi dengan Dokter Chan Tiong Beng, kami menanyakan kemungkinan kesembuhan Nenek.

Si Dokter menghela napas panjang lalu berkata, “That’s the best we can do. I am so sorry.”

“Maksudnya Ibu saya sudah tidak ada harapan lagi, Dok?” tanya Vina.

Dokter itu menghela napas panjang lagi sebelum berucap, “Lebih baik Ibu dibawa pulang ke Jakarta. Biarkan dia tinggal di rumah. Bahagiakan hatinya. Saya rasa itu pilihan yang terbaik.”

Setelah merayakan hari Lebaran dengan situasi memprihatinkan, kami pun kembali ke Jakarta. Saya dan kakak tertua, Bachrul Hakim, patungan membeli ranjang seperti di rumah sakit. Sebuah ranjang yang bisa diatur posisinya menjadi posisi duduk dan berbaring. Lengkap dengan tongkat tempat menggantungkan infusnya.

Kakak saya yang nomor dua, Chappy Hakim, memanggil seorang dokter dan seorang perawat untuk selalu stand by menjaga Nenek di rumah kami. Kamar Nenek sekarang sudah tidak ada bedanya dengan kamar rumah sakit. Saking miripnya, kadang Nenek merasa masih merasa berada di rumah sakit dan minta diajak pulang.

Keluarga dan team Dokter menjaga Nenek 24 jam secara bergantian. Kesehatannya terus dimonitor. Perlengkapan medis di kamar Nenek semakin lengkap. Ventilator terhubung dengan monitor lain, seperti monitor jantung (ECG) dan monitor tekanan darah (blood pressure monitor), sehingga memberikan pemantauan yang komprehensif terhadap pasien.

Di Group Keluarga Hakim, secara berkala, saya memberi laporan langsung sehingga seluruh keluarga dapat mengetahui kondisi terakhir dari Nenek. Hari itu saya memutuskan tidak tidur untuk menemani Nenek.

Tut...tut..tut...Suara monitor terdengar terus tanpa henti. Sebetulnya suaranya kecil namun di tengah malam suaranya menjadi bergema dan terasa keras sekali. Kondisi Nenek semakin kritis. Saya masih terus menulis pesan di group Keluarga:

Tensi Nenek 65/20

Tensi Nenek 59/20

Tensi Nenek 45/10

Nenek meninggal

Innalillahi Wainnailaihi Rojiun

Kematian Nenek memang sudah terprediksi tapi ternyata kami tidak pernah siap. Kesedihan melada keluarga besar Hakim. Air mata tertumpah dari pipi saya. Vina juga terlihat shock dengan kepergian Nenek. Dia memang bukan cuma menantu seperti yang diucapkan Nenek. Vina telah mendedikasikan diri untuk merawat Nenek seperti ibu kandung sendiri.

Jenazah Nenek dibawa ke Bendungan Hilir untuk memberi kesempatan pada para tetangga untuk menyampaikan salam terakhir. Dari sana Nenek kami bawa lagi ke pemakaman Tanah Kusir, ditumpang dengan kuburan Ayah. Semoga suami istri itu berbahagia bisa berkumpul kembali di atas sana. Aamiin.

Selesai acara pemakaman, Saya, Vina dan Leon kembali ke rumah. Beberapa petugas dari RUSPAU sedang beres-beres di kamar Nenek. Semua peralatan milik RS, mereka bawa kembali. Kamar itu sudah kosong melompong. Tidak ada lagi suara ventilator dan monitor lainnya. Yang tersisa hanya kenangan pada Nenek.

“Nenek sekarang ada di mana, Ayah?” tanya Leon dengan polosnya.

“Nenek udah pindah, Le. Sekarang dia tinggal bersama Allah,” sahut saya sambil memeluk Leon.

“Kursi rodanya, kok, nggak dibawa? Boleh buat Leon?” tanya Si Kecil lagi.

“Hahahahaha....” Aduh, lagi suasana sedih begini, kenapa anak saya ngelawak melulu?

Pesta ulang tahun Nenek akhirnya nggak pernah terjadi. Sehari setelah pemakaman, saya menelpon Tante Elly lagi mengabarkan wafatnya Nenek.

"Innalillahi...yang tabah ya, Bud. Kamu anak berbakti. Meskipun acara kita nggak jadi tapi nawaitu kamu udah dicatet sama Tuhan," kata Tante Elly.

Saya terharu mendengar perkataan Tante Elly. Tidak salah Nenek mengidolakannya. Tante Elly bukan hanya seorang artis besar tapi dia juga orang baik.

Nenek memang luar biasa. Justru dalam keadaan sakitnya itulah dia membuat keluarga besar Hakim menjadi sering bertemu, saling bersilaturahmi. Kami merasa semakin dekat satu sama lain. Setelah Nenek tidak ada, apakah kami sekeluarga bisa tetap dekat seperti sebelumnya? Wallahu alam.

Saya sering mengagumi ketangguhan Nenek. Dia mampu membesarkan 7 anak sekaligus dengan situasi ekonomi yang memprihatinkan. Kami saja yang cuma punya dua anak merasakan betapa sulitnya mengasuh mereka dengan baik. Betul kata orang: Seorang ibu mampu mengurus 7 anak. Namun 7 orang anak belum tentu mampu mengurus seorang ibu.

Ibu adalah seorang tokoh yang paling tangguh di dunia ini. Ada pepatah kuno yang berbunyi: Tuhan tidak bisa bekerja sendiri, karena itulah Dia menciptakan seorang ibu. Al Fatihah.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.