Seni Kerajinan Perak Kotagede

Perdagangan kerajinan dari Kotagede melambung pesat justru pada masa kolonial Hindia Belanda. Ketika banyak pedagang VOC yang memesan peralatan rumah tangga untuk orang-orang Eropa.

Seni Kerajinan Perak Kotagede
Perajin perak di Kotagede pada 1930-an. (File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Zilversmederij in Kotagede of Jogjakarta TMnr 60054140.jpg - From Wikipedia, the free encyclopedia. Unknown author.)
 
Seni kerajinan perak Kotagede adalah sebuah seni kriya kuna yang sudah ada sejak abad ke-16. Kekriyaan yang bahkan sudah dimulai sejak masa Kerajaan Mataram Islam dengan Panembahan Senopati sebagai raja pertamanya, yang tumbuh bersama dengan berkembangnya Kerajaan Mataram Islam tersebut. Ketika ibu kota kerajaan dipindah dari Kotagede, para perajin tetap tinggal di situ dan meneruskan kriyanya.
 
Kemudian, saat Kerajaan Mataram Islam pecah menjadi Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta, para perajin perak Kotagede menjadi semakin sibuk karena harus melayani permintaan empat kraton sekaligus. Yaitu, Kasultanan Ngayogyakarta, Kasunanan Surakarta, Puro Pakualaman, dan Mangkunegaran.
 
Menurut seorang pengusaha dan perajin perak di Kotagede, ada sebuah keunikan dari seni kriya perak Kotagede yang tak dimiliki oleh perajin perak dari daerah-daerah lain di Indonesia. Yaitu, seni ukir dan tatah perak. Keunikan inilah yang membawa kekriyaan perak Kotagede ke masa keemasannya. Ukiran-ukiran pada perak Kotagede tersebut terinspirasi oleh ukiran-ukiran pada candi-candi semisal Candi Prambanan dan lainnya.
 
Awalnya, kriya perak di Kotagede merupakan produk terbatas. Dimulai oleh Panembahan Senopati pada masa Kerajaan Mataram Islam, yang memerintahkan abdi dalem kriya membuat perhiasan dari emas dan perak untuk keperluan pribadi. Lama kelamaan, kegiatan ini berubah menjadi industri seperti sekarang.
 
Masa keemasan kerajinan perak Kotagede adalah di sekitar 1930-1940-an. Saat itu, semakin banyak bermunculan usaha-usaha kerajinan perak. Berbagai motif baru ukiran perak juga diciptakan. Kualitas hasil kerajinan perak juga semakin ditingkatkan.
 
Perdagangan kerajinan dari Kotagede melambung pesat justru pada masa kolonial Hindia Belanda. Ketika banyak pedagang VOC yang memesan peralatan rumah tangga untuk orang-orang Eropa. Sendok, garpu, sendok nasi, panci, piring, dan cangkir. Tak hanya yang terbuat dari perak, tapi juga dari bahan-bahan lain seperti emas, tembaga, dan kuningan. Sejak saat itu, Kotagede pun menjadi sebuah sentra kerajinan perak.
 
Keseriusan Kotagede sebagai sentra seni kriya perak semakin terlihat ketika Java Instituut pada 1939 mendirikan Kunstambachtsschool, atau Sekolah Seni Kerajinan Sedyaning Piwoelang Angesti Boedi. Sayangnya, Perang Dunia II pecah pada tahun yang sama, dan Hindia Belanda direbut Jepang. Sekolah tersebut hanya sempat meluluskan satu angkatan, sebelum akhirnya ditutup.
 
Namun, sentra perak Kotagede tak mati. Setelah kemerdekaan RI, semakin banyak saja perusahaan-perusahaan perak yang didirikan, dan yang lalu pesat berkembang. Mereka menciptakan berbagai perhiasan seperti kalung, gelang, cincin, dan anting-anting. Begitu pun berbagai dekorasi semisal miniatur bangunan dan candi, serta hiasan dinding lainnya.
 
Kerjasama dengan pihak luar negeri juga berkembang. Pada 1960-an, sudah banyak pengusaha perak yang mengekspor berbagai bentuk hasil kriyanya ke Malaysia, Pakistan, Arab, Romania, dan lainnya.
 
Era kejayaan mencapai puncaknya sekitar 1980-an dan 1990-an. Lalu, meredup pada saat krisis moneter 1998. Saat itu, harga bahan baku perak melonjak tajam, dan tak pernah turun sampai sekarang. Harganya hampir sama dengan harga emas, sementara berbeda dengan emas, nilai jual perak malah turun.
 
Sebagai akibat lain dari krisis moneter 1998, banyak perajin yang alih profesi. Regenerasi menjadi semakin tersendat, yang diperburuk dengan semakin banyaknya generasi muda yang tak tertarik untuk terjun ke dunia kriya perak.
 
Kemunduran ini mengakibatkan banyak toko atau perusahaan kriya perak yang tutup. Karena, tak sanggup membayar ongkos produksi, sewa toko, atau membayar perajin dan pegawai tokonya. Yang masih bertahan, lebih banyak menerima pesanan saja. Tak sanggup membuat stok terlalu banyak untuk isi showroom toko.
 
Kalau dulu omzet sebuah toko bisa mencapai nilai puluhan juta rupiah dalam sebulan, kini hasil penjualan bisa kurang dari sepuluh juta per bulan saja sudah bersyukur. Penurunan sampai mencapai sekitar 75% dari biasanya.
 
Banyak sebab yang menyebabkan toko-toko kerajinan perak sepi pelanggan. Antara lain, karena membanjirnya perhiasan-perhiasan murah dari Tiongkok dan Korea. Penyebab lain adalah, karena banyak orang yang sekarang lebih suka belanja daring daripada ke toko.
 
Tentang belanja daring, justru sebenarnya di situlah kesempatannya. Seperti yang dilakukan oleh pemilik brand aksesoris perak Sweda, Surya Aditya, yang dengan kreatifitas dan inovasi baik di pemasaran maupun pada kriyanya sendiri, berhasil menembus pasar Amerika Serikat.
 
Seperti yang dilansir laman Satu Tumbuh Seribu, Sweda berhasil menarik sejumlah public figure dan musisi besar Amerika Serikat seperti OG Slick, Bone Thug N Harmony, Machine Gun Kelly, rapper Joey Bada$$, dan atlet skateboard Christian Hosoi untuk membeli produk-produk Sweda. Bahkan, brand ternama Tribal menghubungi Sweda sendiri untuk memesan produk secara langsung.   =^.^=
 
[Artikel ini pernah diterbitkan di media daring Koran Sulindo dalam dua bagian, pada 26 September 2021]
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.