Nasi Kuning Sangkuriang

Sebuah keputusan NEKAT

Nasi Kuning Sangkuriang

 

Suatu keputusan yang paling nekat yang pernah saya ambil selama menjalani usaha restoran Rempah Kita di Plaza Indonesia.

“Lily, tolong dong. Saya lagi punya masalah. Saya lalai, benar-benar lupa. Mati deh, bisa-bisa kepala saya digorok sama boss nih!” Ibu Mellisa (bukan nama sebenarnya) setengah berteriak terdengar agak panik di ujung telepon.

“Ada apa Ibu Mellisa?” tanya saya kebingungan.

“Saya perlu dua ribu nasi kuning kotak. Kamu harus bisa bantu saya.” Nada tekanan suaranya sangat khas, tegas terkesan memaksa.

*****

Hari itu hari Kamis, sekitar jam tiga sore, saya sedang siap-siap berkemas ingin pulang dari Rempah Kita. Di kantor restoran yang sangat kecil (sewa lahan di mall harus dimaksimalkan ruangan untuk berjualan) hanya berkapasitas untuk dua orang duduk, saya masih memberi arahan kepada kepala kasir.

Tiba-tiba telepon kantor berdering. Kasir yang duduk di sebelah saya menjawab telepon tersebut. Saya tidak memperhatikan sama sekali pembicaraan mereka karena saya sudah tergesa-gesa ingin pulang.

Ketika saya sudah hampir melangkah keluar, kasir tersebut memanggil saya dan mengatakan Ibu Mellisa ingin bicara dengan saya. Nyaris saya meminta kasir agar dia saja yang melayani Ibu Mellisa. Namun menimbang karakter lbu Melissa yang unik dan seringkali rumit permintaannya, saya tidak tega kepada sang kasir.  Dia nanti akan kewalahan melayani Ibu Mellisa.  Jadi saya pun memutuskan menjawab telepon.

“Siap Bu. Saya akan bantu. Untuk kapan?”

“Besok pagi jam delapan.”

Saya terdiam sesaat. Tidak paham maksudnya. Besok? Pukul delapan pagi? Nasi kotak harus siap sejumlah 2000, dan nasi kuning pula. Tas yang sudah saya sandang di bahu, saya letakkan kembali ke atas meja, dan perlahan saya duduk. Gagang telepon masih tetap di telinga saya.

“Ly, Lily!”

“Iya, Bu.”

“Bisa ya. Please!!” kalimatnya pernyataan bukan pertanyaan, khas Ibu Mellisa sering memaksa kehendaknya.

“Bu, saya ini juru masak, bukan tukang sulap. Kok bisa sih Bu, ini kan urusan besar, kenapa bisa sampai lupa….” jawab saya lirih.

Hening. Helaan napas Ibu Melissa yang berat terdengar jelas, menandakan kegelisahannya. Menyadari dia sedang berada dalam kesulitan, akhirnya saya tidak tega juga.

“Bu Mellisa, beri saya 15 menit.  Akan saya diskusikan dulu dengan tim,” ucap saya memecah keheningan.

Setelah menutup telepon, saya langsung memanggil tim inti operasional. Mereka berdiri berjejer berdesakan di dalam kantor sempit itu. Sehabis menjelaskan masalah Ibu Mellisa, saya menatap wajah mereka satu persatu. Sebagian menggelengkan kepala, pertanda agar saya jangan mengambil order ini. Sebagian lagi justru tampak bersemangat.

Saya sejujurnya bingung. Saya menoleh pada kasir yang menerima telepon, meminta pendapatnya.

“Terserah Ibu saja,” jawabnya.

Saya paling tidak suka mendengar kata “terserah”.  Jawaban itu justru membuat saya spontan tertantang dan memutuskan mengambil order tersebut.

Saya pun langsung membagi tugas.  Kebetulan pemasok bahan baku di Rempah Kita rata-rata mulai berdagang di Pasar Inpres Simprug sekitar pukul empat sore. Jadi untuk bahan-bahan baku tidak ada masalah.

Beberapa staf saya minta langsung pergi ke Pasar Senen untuk membeli perlengkapan makan seperti kotak nasi, sendok-garpu plastik, tisu, dan kantong plastik.

Saya juga segera meminjam panci-panci masak serta kukusan besar dari tante-tante saya yang gemar mengadakan pesta.

Masalah tersulit adalah memperoleh izin lembur dari manajemen gedung. Pengalaman membuktikan birokrasinya berlapis dan berbelit. Untungnya Ibu Mellisa memiliki koneksi erat dengan pemilik gedung, jadi izin lembur pun dengan cepat dapat kami kantongi.

Pekerjaan pun dimulai. Semua karyawan saya minta untuk lembur. Bahkan beberapa karyawan yang sudah pulang diminta kembali masuk kerja. Menu yang harus disiapkan adalah nasi kuning, ayam goreng, lalapan, sambal, dan tahu goreng.

Masakan pertama yang tim dapur siapkan adalah mengaron nasi kuning, lalu mengukusnya. Metode memasak nasi kuning yang dipakai pada waktu itu tidak sama dengan cara yang dipakai pada resep standard dapur. Resep biasa yang dipakai cukup rumit. Beras harus direndam sekitar 25 menit terlebih dahulu, lalu dikukus. Setelah itu baru dimasak dengan santan. Terakhir beras baru masuk ke dalam kukusan untuk proses akhir.

“Bu, boleh tidak pakai cara lain. Cilaka kita kalau pakai cari resep Ibu, ga mungkin selesai besok pagi,” tanya kepala koki.

Saya terdiam beberapa detik, memang SOP dapur tidak ada yang boleh merubah resep baik bahan maupun proses memasak tanpa ada persetujuan bersama.

“Ok. Aron,” jawab saya singkat.

Cara mengaron adalah memasak beras dan semua bumbu beserta santan dalam kuali besar. Sesudah santan sudah terserap semua, beras yang sudah menjadi setengah nasi kuning itu pun dikukus.

Nah, walaupun proses memasak nasi kuning sudah dipersingkat, sekitar jam tiga pagi terjadilah kepanikan yang luar biasa. Saya sudah dapat memperkirakan bahwa kami tidak akan mampu menyelesaikan order tepat waktu. Keterbatasan jumlah kompor dan peralatan masak adalah kendala utama. Mengaron nasi kuning dan mengungkep ayam goreng ternyata memakan waktu lebih lama daripada perkiraan.

Akhirnya saya menginstruksikan beberapa staf untuk membeli nasi putih dari kawasan yang masih ramai selepas tengah malam, seperti tempat karaoke dan pub. Di era pada waktu itu belum marak restoran saji yang buka 24 jam, jadi tidak mungkin bisa beli nasi putih dari mereka. Saya pun sempat menelepon suami saya dan membangunkannya untuk membantu mencari nasi putih sekitar warung di dekat rumah.

Setelah nasi putih terkumpul dari berbagai tempat, saya segera menggoreng nasi itu. Bumbu nasi goreng yang saya pakai tersebut terdiri dari bawang merah, bawang putih, kencur, ketumbar, merica, garam, dan kunyit yang cukup memberi warna kuning.  Jelas ini sebenarnya bukan nasi kuning seperti biasanya, namun nasi goreng kuning.

Berkat jalan pintas ini, selesailah 2.000 kotak nasi kuning beserta lauknya tepat pada jam tujuh pagi. Timbul lagi persoalan baru, supir menyatakan kalau dia tidak akan bertanggung jawab bila terlambat sampai di Tangerang. Hari itu Jumat pagi. Pasti lalu lintas padat. Macet.

Saya pantang menyerah. Segera saya meminta bantuan kepada kepala keamanan gedung. Begitu pun berkat koneksi yang dia miliki, pengiriman makanan dapat dilakukan dengan kawalan voorijder. Dalam kurang dari 15 menit, dua motor besar pun datang. Mobil box di kawal dengan dua motor besar menuju Tangerang.

Ketika melepas mobil dan motor itu pergi, saya sempat tersenyum. Geli dalam hati. Saya saja belum pernah pergi dengan kawalan voorijder malah masakan saya mendapat kehormatan mendapat pengawalan.

Ya. Wow, sangat membantu! Makanan selamat sampai di tempat tepat pukul delapan pagi.

Hari itu luar biasa melelahkan. Saya sama sekali tidak sempat pulang dari pukul tiga sore hingga pukul delapan pagi keesokan harinya. Tanpa sempat duduk sedetik pun. Sekujur tubuh saya terasa remuk.

Ketegangan syaraf yang berlangsung selama 16 jam ternyata tidak mudah lenyap begitu saja. Badan  walau sudah direbahkan sekali pun, tidak bisa terlelap beristirahat. Otak pikiran dan hati masih tetap berputar atas aktivitas gila itu.

Upah dari semua ini adalah ucapan terima kasih yang bertubi-tubi dari Ibu Mellisa. Dia berkomentar nasi kuningnya harum walau agak berminyak. Hmm…. Sampai detik ini sang Ibu tidak tahu kalau itu sebenarnya nasi goreng.

“Lily, kamu telah menyelamatkan nyawa saya! Thanks, Ly!” Suaranya terdengar melengking girang.

Saya tertawa karena turut senang bisa membantunya.

Lewat 2000 kotak nasi kuning, Ibu Melissa memberi saya pembelajaran hidup yang luar biasa. Saya sering membagikan pengalaman ini kepada para pemula dunia kuliner. Selain akumulasi jam terbang, tanggap cepat dalam mengambil keputusan perlu diasah dari waktu ke waktu. Tentu hal yang terpenting lainnya dalam hal ini, memiliki tim yang sangat solid. Itulah yang menjadi kunci dari keberhasilan semua ini.

Seandainya saya mendapat order yang sama lagi, saya pun akan sepuluh kali berpikir ulang sebelum mengambilnya. Order dalam jumlah besar dan dalam waktu singkat memiliki risiko tinggi. Salah-salah kepala saya bisa hilang digorok pemesan.  

Ibu Melissa, di mana pun Anda berada, terimakasih!

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.