Night Shift

Night Shift

 

Bekerja sebagai perawat itu yang paling engga enak adalah waktu shift malam.  Tapi namanya tugas, lama kelamaan akhirnya jadi  suka juga, suka males hehehe…Saya sendiri tidak mengerti mengapa dulu milih profesi sebagai perawat yang sudah tahu ada shift malamnya. Yang saya pahami hari ini bahwa Tuhan mengijinkannya untuk terjadi dalam hidup saya. 

 

Shift malam sebenarnya bukan cuma perawat yang merasa terbebani, bagi orang-orang yang produktifnya di pagi hari, yang istilahnya Early Bird, shift malam pastilah perjuangan. Sementara  Nigh Owl atau orang yang  produktif di waktu malam ya  jaga malam  bisa jadi adalah hal  menyenangkan.

 

Perjuangan orang Erly Bird seperti saya bukan cuma menahan beratnya kelopak mata, tapi juga lambung yang perlu beradaptasi. Lambung yang tidak terbiasa diisi  malam hari, rasanya sulit beroperasi saat sudah larut malam. Dan di tempat saya bertugas biasanya kami baru bisa makan malam sekitar pukul 01.00-02.00 wib. Entah ini namanya makan malam, atau makan tengah malam, makan sahur, entahlah. Yang pasti, makan di jam seperti itu seenak apapun makanannya, saya hanya mampu makan sekadar saja, sebatas mengganjal perut. Untunglah catering rumah sakit memahami situasi ini sehingga selalu menyediakan menu sayur berkuah untuk bisa mendorong makanan lebih mudah masuk.

 

Lain cerita kalau shift malam dengan teman yang hobi masak dan makan. Selalu saja  ada ide membuat suasana makan tengah malam menjadi semangat, tidak ada bedanya dengan makan siang atau pun makan ketika kita piknik ke tepi sawah. Terkadang berangkat jaga malam tentengannya seperti abang gofood anter pesanan. Apa saja  dibawa.

 

Suatu malam saya berkesampatan shift malam dengan seorang teman pencinta kuliner ini. Ketika   waktu makan tiba, sungguh menjadi sebuah kejutan luar biasa untuk acara makan kali ini. Di meja makan sudah tersedia macam-macam makanan yang berhasil menyingkirkan catering rumah sakit. Ada tempe yang digoreng tanpa tepung berwarna keemasan, baru saja dihangatkan kembali mencuri waktu dinas.  Ikan kembung goreng, lalapan, sayur lodeh dan sambal  yang dibuat mendadak beberapa menit sebelum kami makan. Ach, baru kali ini saya begitu antusias  makan malam di bangsal.

 

Idealnya makan di rumah sakit adalah bergiliran.  Ada sebagian perawat yang stand by, sementara yang lain makan dengan harapan acara makan tidak terganggu. Hanya saja di tempat saya bertugas, kami berdinas malam  hanya tiga perawat. Alangkah tidak eloknya kalau satu orang berjaga dan yang lain makan. Maka malam itu kami putuskan untuk makan bersama, toh semua obat yang perlu diberikan sudah kami berikan, semua botol infus yang perlu kami ganti sudah kami ganti dan 30 menit waktu yang kami pakai untuk makan rasanya cukup aman dari  panggilan pasien.

 

Di depan meja makan bukannya berdoa, kami malah berdiskusi untuk memutuskan siapa yang harus makan dengan tangan, siapa yang makan menggunakan sendok supaya ketika ada pasien yang memanggil kami bisa lebih cepat datang. Berhubung saya yang paling junior, tatapan kedua senior saya menuduh sayalah yang perlu memakai sendok. Saya pun menolak mengingat makanan malam ini engga cocok untuk dinikmati dengan sendok makan. Akhirnya kami pun sepakat menyantap makanan dengan tangan. Kami bertiga menyingsingkan baju dan siap menyapu bersih setiap isi piring yang begitu menggoda. Rasa pedas dari sambal yang baru saja dibuat mengajak tangan-tangan kami untuk lebih sering menambahkan makanan ke dalam perut. Nafas kami pun berkejaran karena pedas dimulut yang terasa seperti  ada bara api.


 
Ditengah asyiknya kami menikmati makanan, tiba-tiba ada suara bel dari kamar pasein berbunyi. Saya pun melongok dari pintu ruang makan mencari tahu kamar yang memanggil. Ternyata bel berasal dari sebuah kamar yang menjadi tanggung jawab saya. Saya pun menghentikan makan, mencuci tangan dan menghampiri kamar dengan lampu kamar yang belnya menyala masih dengan bibir  bergetar karena pedas.

 

Saya :”Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya saya sambil menahan getaran bibir.
Pasien:”Saya sesak, Sus. Mau minta oksigen.”
Saya pun memasangkan selang oksigen pada kedua lubang hidung pasien. Masih di sisi ranjang  pasien,
Pasien: “Terima kasih, ya, Sus. Udah lebih enak “, kata pasien setelah saya beri beberapa liter oksigen dan sedikit saya perbaiki posisi tidurnya supaya lebih nyaman.
Saya :”Iya, Pak. Bapak boleh tidur lagi.” balas saya.
Pasien:”Maaf ya, Sus kalo saya mengganggu makan malam Suster.” Tambahnya.
Saya:”Ga papa, Pak. Mmmm, Tapi… dari mana bapak tau kalo saya lagi makan?” tanya saya heran. Mengingat saya sudah berhasil menahan getaran bibir saya.
Pasien:”Tangan Suster bau sambel.”

Gubrakkkk
Rasanya tuh engga kepengen makan lagi.

Yang saya tahu selama ini rumah sakit melarang kami para perawat untuk makan menggunakan tangan saat berdinas dengan alasan supaya kami bisa lebih cepat menanggapi panggilan pasien dan juga menghindari kemungkinan resiko infeksi dari tangan kami yang sudah menyentuh banyak hal. Tapi malam itu saya mendapatkan satu alasan baru yang khusus diperuntukkan bagi saya.

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.