Lebai, Latah dan Lost Control: Kelakuan Para Pemabuk Digital di Indonesia

Lebai, Latah dan Lost Control: Kelakuan Para Pemabuk Digital di Indonesia

Anda pernah mabuk?

Mabuk biasanya dikaitkan dengan minuman keras. Hanya saja, mabuk tidak selalu disebabkan alkohol. Kata mabuk di KBBI online juga dicontohkan akibat konsumsi gadung berlebih. Selain akibat makanan/minuman (alkohol, gadung, dan lainnya), situasi tertentu bisa menyebabkan mabuk. Perjalanan misalnya.

Mas Heri, rekan kerja saya dulu, selalu membawa jeruk ketika melakukan perjalanan. Dia selalu mencium-cium kulit jeruk sebagai penangkal mabuk. Maklum saja, perjalanan naik bis berkelok-kelok di Pulau Flores, jelas bakalan mengaduk isi perut. Belum lagi menghirup bau muntahan penumpang kiri kanan, atau aroma hewan ternak yang kadang ikut diangkut masuk dalam bis. Cerita ini terjadi sekitar lima belasan tahun lalu, ya. Sekarang tentunya transportasi di sana sudah sangat membaik.

Selain mabuk perjalanan, ternyata ada lagi jenis mabuk karena situasi tertentu. Salah satunya adalah mabuk digital.

Istilah mabuk digital ini saya baca dalam buku Sapiens di Ujung Tanduk (SDUT), terbitan Bentang tiga bulan lalu.

Penulis buku ini adalah Iqbal Aji Daryono, salah satu selebgram yang makin ke sini makin berkibar jambulnya prestasinya. Iqbal, begitu dia biasa disapa, atau sering juga ditulis sebagai IAD (singkatan namanya), adalah contoh seorang writerpreneur sejati. Dia penulis buku, editor, esais, dan mentor di sebuah kelas menulis daring. Dia mendapat petak untuk menulis esai mingguan di sebuah media online terkenal selama sekitar setengah dasawarsa. 

Menurut pengakuan IAD, total ada sekitar 500-600 tulisannya yang tersebar di media online. Pantas saja jika ia kemudian melabeli dirinya sebagai praktisi medsos penuh waktu di buku berwarna hijau ini. Sangat jelas bahwa dia karib dengan dunia digital.

Buku nonfiksi ini tergolong tipis, yaitu 160 halaman. Ketika saya mulai membaca, beberapa terasa familiar. Ternyata tigapuluh tulisan dalam buku ini ia pilih dari sekitar 300-an esai yang pernah ditulisnya secara berkala untuk sebuah media online. Keterangan ini tidak dicantumkan dalam buku. 

Agak tidak biasa, ya? Karena penasaran, saya mencoba mencari informasi. Menurut IAD, ia sudah menuliskan keterangan tersebut, tetapi penerbit memilih tidak mencantumkannya.

"... kalo sdh dikumpulkan dlm 1 tema, keutuhan rangkaian itu akan terasa sebagai tulisan baru." Begitu tulis IAD menyebutkan alasan penerbit tidak mencantumkan keterangan itu. 

Saya menanyakan hal tersebut via pesan telegram, dan dia meresponnya dalam hitungan waktu tidak lama. Ya, dia terkenal sebagai orang yang sangat menjaga jalinan komunikasi dengan siapa pun. Dengan teman, murid di kelasnya, bahkan orang yang tak dikenal. Suka berteman adalah sifat yang dimilikinya. 

Esai-esainya hampir selalu berangkat dari cerita kesehariannya bersama keluarga, teman, geng rondanya, atau orang-orang yang dijumpainya. Sebuah awal yang nantinya akan dia belokkan untuk membahas berbagai isu yang sedang hangat. Trik yang sepertinya mudah, tetapi tidak semua orang sepiawai IAD.

Buku ini adalah buktinya.

Tulisan-tulisan dalam SDUT disajikan dalam bahasa yang mudah dipahami, meskipun angle tulisannya selalu unik. 

Misalnya, dalam sebuah tulisan, IAD berangkat dari suasana angkringan di Yogya, lalu belok ke arsitektur rumah Jawa dan struktur sosial masyarakat, belok ke urusan demokratis dan paternalis, belok ke medsos yang disebutnya sebagai angkringan 4.0, lalu membahas kelemahan medsos, lalu menutupnya dengan saran.

Kepiawaian IAD menulis dengan bridging antar paragraf (dan bagian) yang mulus berbelok-belok, itulah yang membuat pembaca terus membaca hingga akhir tulisan. Keterampilan ini layak diacungi jempol. Keterampilan yang terasah karena IAD memang rajin menulis. 

Jelas dia sudah melewati 10.000 jam hitungan si Malcolm Gladwell untuk mencapai sebuah keahlian tertentu dalam bukunya berjudul Outliers. Tetapi mungkin juga karena IAD adalah mantan supir truk kurir di Perth, Australia, bertahun lalu. Tentunya dia terampil belok tanpa menyebabkan barang bawaannya babak belur. Hehe.

Nah, yang istimewa dari buku ini adalah tema yang dipilih. Usai membaca buku ini, saya mendapat banyak pemahaman perilaku orang di dunia digital, termasuk urusan mabuk digital itu tadi.

Berlimpahnya informasi di era digital, membuat banyak orang menjadi mabuk. Iya, mabuklah. Gimana enggak mabuk? Gawai tak pernah lepas dari genggaman, mata mencereng siap membaca tiap lintasan info, dan (biasanya) langsung dilahap. Enggak peduli hoaks atau bukan. IAD sangat jeli dan tepat menuliskan perilaku-perilaku orang-orang ketika bermedsos.

Tidak hanya istilah-istilah yang biasa kita jumpai dalam dunia digital, misalnya viral, buzzer, dan share loc, yang bertebaran di buku ini. Ternyata, ada istilah-istilah baru, misalnya terforsir aplikasi, kesakitan psikologis kolektif, demokrasi wacana dan mabuk digital.

Seperti orang mabuk pada umumnya, pemabuk digital juga bertingkah laku aneh. Dari buku ini saya menemukan tiga L, yaitu lebai, latah dan lost control, yang menjadi perilaku pemabuk digital.

IAD yang paham betul etika jurnalisme, tentu saja tidak hanya menuliskan buruknya kelakuan orang bermedsos. Ia juga menawarkan banyak ide atau solusi untuk mengantisipasi dampak buruk medsos.

Peran pendidikan dan kurikulum sekolah untuk meningkatkan tingkat literasi dan kelas intelektual yang diharapkan menulis di medsos adalah dua contohnya. IAD menyarankan 'ngeli ning aja keli' atau ikut arus, tapi tidak hanyut (halaman 47) untuk kita pengguna medsos.

SDUT sangat cocok dibaca oleh berbagai kalangan, terutama yang menyukai dan terjun di dunia digital. 

Buku ini nyaris sempurna dengan hanya dua salah tik. Beberapa catatan kaki ditambahkan oleh penyunting untuk memperjelas tulisan. 

Sayangnya, menurut saya ada satu kekurangan buku ini. IAD tidak membahas tentang orang-orang yang memutuskan tidak ikut arus, alias menghindari dunia digital. Orang-orang yang memilih tidak memiliki akun Facebook, Twitter, IG dan lainnya. Kemungkinan jumlahnya kecil, tetapi tentu menarik untuk dicermati.

Mungkin memang terlewatkan oleh IAD untuk menuliskannya. IAD sendiri terlihat 'ngeli' alias menjadi bagian yang ikut arus. Semoga saja dia tidak hanyut, atau mabuk. Hehe. (rase)

 

Judul: Sapiens di Ujung Tanduk

Penulis: Iqbal Aji Daryono

Penerbit: Bentang

Cetakan Pertama April 2022

ISBN: 978-602-291-897-4

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.