Lampiran Tak Terduga

Lampiran Tak Terduga

Seminggu mogok, seminggu cuma tidur-makan-tidur, kamar kos berantakan, kertas bertebaran di segala penjuru arah mata angin, mangkuk bekas indomie nangkring di meja, gelas kopi juga ada di tempat yang tak biasa. Tiduran sambil baca novel lusuh yang kalau bisa teriak mungin sudah lapor polisi karena lelah disiksa bolak-balik halamannya kayak pekerja rodi.

Seminggu ngambek sama dosen pembimbing, rasa terintimidasi dan terzolimi menguasai diri, malas melihat file skripsi, jenuh dengan laporan yang belum terlihat ujungnya.
Akhirnya memaksakan diri keluar dari gua, niatnya keliling kota naik bus, masih tanpa tujuan.

Kota Solo tahun 2001 masih sangat sepi. Pasca kerusuhan yang membuat perekonomian lumpuh total, pusat perbelanjaan cuma ada satu dan itu sangat jauh dari kata menarik dibandingkan dengan kota Yogyakarta saat itu. Di atas bus yang melaju terbersit ide berhenti di pasar Gede, yang letaknya tidak jauh dari pusat kota, dan menjadi ikon kota Solo.

Keliling di pasar Gede yang legendaris, blusukan sampai ke pojok pasar, terus nembus samping pasar mencium aroma rempah, jamu dan segala macam ramuan obat-obatan dari toko tua khusus Cina yang biasa disebut Shin Se. Seperti menemukan ide yang bisa menjadi tambahan bahan skripsi, maka saya berjalan mendekati toko obat Cina itu dengan penuh harapan.

Dari luar tampak toples kaca bundar yang diletakkan di meja kayu tinggi. Tiap toples kaca berisi rempah yang berbeda. Setiap toplesnya ditempelkan tulisan Cina, hingga siapapun tak akan bisa membacanya kecuali pengunjung yang bisa berbahasa Cina. Di pojok meja kita akan dihadapkan pada lelaki yang sepertinya dia adalah Shin Se yang memeriksa pasien, dan dipanggil cukup dengan Koh.

Bak seorang dokter kita akan mengatakan setiap keluhan pada Koh dan dengan cekatan tangannya akan menuliskan resep pada tumpukan kertas coklat yang sudah tersedia di meja. Jangan salah, Koh menuliskan resep bukan dengan bahasa Indonesia tetapi dengan bahasa Cina yang disebut aksara Han. Yang jelas hanya bisa dibaca oleh juru obat yang siaga di balik meja disamping Koh.

Buat saya, pemandangan ini sangatlah unik. Semua orang yang berada di balik meja bekerja dengan sigap, tanpa banyak bicara. Kalaupun berbicara mereka menggunakan bahasa Cina yang tidak dimengerti oleh pasien. Ada
6 orang pasien di depan saya, semua saya perhatikan dengan takjub. Kini giliran saya duduk di depan Koh, saya tersenyum dan dibalas senyum.

"Kamu tidak sakit, mau apa kesini?" ujarnya pelan.

"Kamu lagi ada masalah, kamu cuma butuh tidur bukan obat," tambahnya dengan suara yang terdengar lucu di telinga saya karena ia bicara cadel dengan dialek khas orang Cina.

"Gini Koh, saya butuh wawancara buat skripsi saya, saya lagi meneliti soal etnis Tionghoa di Solo. Saya butuh narasumber, saya bingung jadi langsung ke sini, karena pasti Koh orang penting di kota Solo."

"Pantesan kamu nunggu jadi orang paling akhir, saya perhatikan semua pasien kamu kasih duluan. Saya pikir kamu baik sekali mau antri paling belakang. Pinter kamu, ya," ujarnya sambil tertawa.

"Tapi kamu harus beli teh ini, biar kamu bisa istirahat," ujarnya sambil menulis resep dikertas cokelat lalu memberikannya pada asisten di sampingnya.

Saya berdiri untuk menebus resep itu. Seingat saya, waktu itu saya membayar 27.000 untuk sekantong teh yang wanginya campuran antara rempah, melati dan juga teh kering.

"Seduh di mug, minum saat hangat-hangat kuku, ya. Bagus buat relaksasi." Penjelasan Koh pada saya yang masih memandang sekantong teh di tangan saya. Kemasan teh itu pun tampak unik karena memakai kertas cokelat yang sama seperti kertas untuk menulis resepnya.

Suasana toko obat yang sudah sepi membuat kami bisa ngobrol dengan santai.

"Kamu mau apa?" Kini suaranya lebih serius.

"Saya lagi nulis skripsi tentang etnis Tionghoa di kota Solo pasca reformasi, saya butuh sekali narasumber untuk di wawancarai. Koh bisa bantu saya, ya?" pinta saya penuh harap.

"Kamu tau rasanya jadi orang Cina?" ucapnya membuka obrolan. Saya menggelangkan kepala, sambil tangan saya memegang tape recorder untuk merekam obrolan kami siang itu.

"Jadi orang Cina itu susah. Jadi orang Cina itu tidak bebas, jadi orang Cina itu harus berani menderita. Orang Cina itu kaya salah, miskin apalagi lebih salah. Jadi kami orang Cina memutuskan harus menjadi kaya. Koe orang kira sekarang kita sudah merdeka? Belum sepenuhnya merdeka, tapi lebih baik dari sebelum reformasi kemarin. Dulu kita orang Cina tidak berani merayakan Imlek, tidak berani pasang Barongsai, atau nonton Liong pasti sudah dipenjara. Sekarang boleh menikmati perayaan Imlek dengan bebas dan meriah. Tapi jangan tanya hati ini bagaimana, kami sudah terlanjur takut dan trauma." Penjelasan panjang itu cukup membuat saya terkejut.

"Kenapa orang Cina selalu dianggap hidup individual? Tak pernah bisa membaur dengan masyarakat pribumi?" Pertanyaan yang saya lontarkan dengan keraguan.

"Siapa yang bilang tidak membaur? Kami hidup dengan berjualan, semua orang Cina jualan, jadi pastilah kami membaur. Bahkan kami biasa hidup dengan orang yang di pasar yang kata orang adalah menengah ke bawah. Justru kami hidup karena selalu membaur dengan mereka. Kalau kami tidak membaur bagaimana mereka mau belanja di kita? 
Tapi itulah, kami tetap tidak pernah dianggap bisa membaur," jawabnya tegas.

Sambil mendengarkan Koh ini bercerita panjang tentang bagaimana etnis Cina yang minoritas ini ikut berjuang saat melawan penjajahan, bagaimana mereka akhirnya menjadi kaum minoritas yang selalu menjadi kambing hitam hingga di masa reformasi diberi sedikit kebebasan untuk menunjukkan identitas kecinaanya di negeri ini, walau harus membayar mahal untuk itu semua.

"Kamu nekat, kenapa ambil topik tentang Cina?" tanya Koh pada saya.

Sambil tersenyum dia menunggu jawaban saya atas pertanyaannya itu.

"Karena saya suka dan cinta budaya Cina, Koh," jawab saya juga sambil tersenyum.

"Kamu orang pernah nonton Barongsai? Pernah ikut perayaan Imlek?" tanya Koh pada saya.

"Belum pernah, Koh. Memangnya saya bisa ikut nonton, Koh?" tanya saya bersemangat.

"Kamu anak perempuan berani. Harusnya ada banyak anak muda kayak kamu, baru saya yakin negeri ini damai," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Merasa tersanjung saya lalu tertawa.

"Koh, sampai hari ini setiap ada yang bertemu saya dan menanyakan skripsi saya terus saya ceritakan apa materi yang saya ambil semua bilang saya gila. Baru Koh yang bilang saya pemberani. Ternyata lebih keren dari dibilang gila," ujar saya tertawa.

Ada banyak sekali pertanyaan yang saya ajukan pada Koh, dan semua dijawab dengan uraian yang panjang sekali. Entah kami menjadi akrab dan seperti kehabisan waktu.

"Ini ada undangan buat kamu, besok malam bisa ikut melihat latihan Barongsai dan Liong. Kamu bisa juga wawancara beberapa pemuda pemain Barongsai, kamu pasti kaget karena pemain Barongsai 70% pemuda pribumi," ujar Koh sambil memberi kertas yang bertuliskan alamat tempat latihan Barongsai dan Liong pada saya.

Seperti mendapat hadiah, saya yakin akan datang memenuhi undangan istimewa ini. Membayangkan tambahan mateti skripsi di luar prediksi.

***

Tempat latihan Barongsai dan Liong ini letaknya di dalam kampung pecinan, masuk ke dalam gang sempit dan jalan berkelok. Bila tidak hapal jalannya pasti akan kesasar. Ternyata saya pun baru mengetahui bahwa di dalam kampung ini ada lapangan yang lumayan luas karena letaknya yang sangat tersembunyi.

Puluhan pemuda yang memakai seragam merah sedang bersiap-siap. Saya sengaja mengambil tempat duduk di tribun yang tengah, agar bisa melihat ke sekeliling dengan leluasa. Sejak awal saya datang sebenarnya banyak yang memandang saya dengan aneh, mungkin karena mereka baru pertama kali melihat saya di sini.

Kami saling menyapa hanya dengan senyum, yang awalnya kaku kemudian  menjadi tawa lebar. Saya pun diijinkan untuk mengabadikan kegiatan mereka dalam bentuk foto, walau mereka sangat ragu dan curiga.

"Sini duduk, jangan foto terus biar kamu bisa menikmati Barongsai dan Liong," ujar Koh yang ternyata sudah datang dengan seplastik kacang rebus.

"Iya Koh, saya ijin foto tadi buat tambahan di lampiran, biar skripsinya tebal sama foto bukan sama laporan," ujar saya disambut tawa kami berdua.

"Akal kamu boleh juga ya, pantesan dosenmu larang kamu bergaul sama orang Cina," ujarnya membuat kami tertawa semakin lepas.

Sepanjang pertunjukan yang ada hanya rasa takjub menyaksikan permainan Barongsai dan Liong dengan atraksi yang luar biasa. Musik dan ornamen kedua pertunjukan ini sangat membius, rasanya tak ingin berkedip. Bagaimana kelincahan para pemain, kerjasama dan ketangkasan yang penuh totalitas.

Ada penjelasan dan filosofi yang beliau jelaskan pada saya tentang Barongsai dan Liong, dan semuanya membuat saya semakin mencintai budaya ini. Terbius oleh pertunjukan membuat saya seolah menjadi orang paling beruntung diberi kesempatan langka untuk mempelajari budaya Cina.

Kesenian Barongsai sebagai lambang perayaan Imlek yang dahulu tidak pernah bisa dinikmati secara bebas, di mana mereka secara diam-diam melakukan atraksi pertunjukan agar tidak diketahui oleh aparat. Bahkan gedung tempat latihan ini adalah saksi bisu bagaimana perjuangan mereka di masa lalu. Merayakan Imlek dalam keheningan, menerima diskriminasi dengan sabar dan kuat, bagaimana mereka berusaha mengubur identitas kecinaan walau tetap usaha mereka tidak pernah dianggap tulus. 

Saya beruntung bisa menikmati Barongsai secara utuh malam itu, bisa berbagi apapun dengan semua orang yang terlibat untuk perayaan Imlek di kota Solo saat itu. Bisa berjumpa hampir dengan semua orang penting yang memiliki kontribusi untuk kesuksesan perayan Imlek. Dan saya bisa membawa pulang sekotak kue keranjang, serta ilmu yang tak pernah habis sepanjang masa.

Apa yang ditakutkan dari Barongsai? Bukankah tarian Barongsai adalah tarian keberuntungan bagi masyarakat dan menjauhkan dari malapetaka. Tarian indah yang sarat makna, terutama lima simbol warna yang ada pada Barongsai. Unsur warna kuning melambangkan bumi sebagai pusat, hitam lambang air sebagai utara, hijau lambang kayu sebagai timur, merah lambang api sebagai selatan dan putih lambang logam sebagai barat.

Masih banyak hal yang bisa dipelajari dari Barongsai, bisa dibayangkan banyaknya ilmu yang kita dapat dari mempelajari budaya Cina ini karena hampir setiap ornamen adalah ilmu yang asik untuk dipelajari.

Sejujurnya, setiap mendekati Imlek ada banyak kisah yang ingin saya bagikan terkait dengan masa 6 bulan menyusun skripsi. Di masa itu setiap hari ada saja hal baru yang saya pelajari, ada cerita tentang berhari-hari saya sebagai tamu spesial di vihara, bisa bebas masuk untuk mendapatkan banyak ilmu di sana, ngobrol dengan Biksu yang membuat saya memahami bahwa hati kita harus tetap diisi dengan kasih tanpa pernah lelah untuk berprasangka baik pada alam. Ada juga kisah tentang pagar besi tinggi yang menjaga tiap bangunan pemukiman di pecinan, ini kisah paling memilukan yang saya janji akan membaginya suatu hari nanti. Ada lagi kisah bagaimana ritual dalam sehari mereka yang sejatinya tak pernah melupakan para leluhur mereka ada nilai kepatuhan, pengabdian dan ketaatan di sana.

Berbicara tentang budaya Cina selalu membuat hati saya bergetar, sering saya mengatakan bahwa saya sangat mencintai budaya Cina, entah apa yang membuat saya sangat kagum pada budaya yang satu ini.

Saat saya menghadap dosen pembimbing, menceritakan semua pengalaman saya, menjawab setiap pertanyaan bagaimana saya mendapatkan data dan foto sebagai lampiran, dengan lugas saya menceritakannya, hari ini saya masih bisa mengingat tatapan dosen pembimbing saya itu dan ucapannya, "Donna, kamu beruntung bisa mendapatkan pengalaman yang luar biasa. Lampiran di skripsimu cuma secuil dibandingkan semua pengalaman yang kamu dapatkan saat mencari data dan menjalani proses menulis yang sulit ini. Selamat, ya."

Setelah sekian tahun saya baru bisa memahami apa yang dikatakan oleh dosen saya itu, ternyata untuk sebuah sebuah mimpi ada tekad dan ikhtiar yang kuat untuk mewujudkannya hingga akhirnya bisa menjadi pengisi jiwa yang abadi.

Saudara di kota Solo yang merayakan Imlek, terima kasih untuk semua pengalaman hidup, ijinkan saya kembali menceritakan semua kisah ini membagikan setiap detail indah pada semua setiap Imlek.

20 tahun berlalu dan saya masih saja bergetar bila mengingatnya. Masih membayangkan saya dengan tas ransel, setelan jins dan kaos oblong serta sweater, berkerudung hitam melilit leher berjalan menyusuri tiap lorong di pecinan kota Solo. Menemui banyak tokoh masyarakat di sana untuk sekadar wawancara guna menambah informasi, menikmati semangkuk mie buatan Oma yang tanpa saya bertanyapun saya tahu dia akan memberikan makanan halal untuk saya. Kami duduk makan bersama dengan tawa dan merasakan jemarinya mengusap lembut tangan saya saat saya bersalaman lalu akhrirnya mendapat bisikan pesan dari mereka, "terima kasih sudah datang ke sini, terima kasih sudah menjadi bagian dari kami, ajaklah teman-temanmu ke sini. Kita ngobrol banyak tentang berbagai hal agar tak ada sekat di antara kalian dengan kami karena kita adalah satu, Indonesia."

GONG XI FA CAI, untuk semua saudara yang merayakan Imlek, semoga kita semua diberi keberkahan dan keberuntungan di tahun mendatang.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.