Harusnya Owner Barbershop Mikirin Ini Sebelum Buka Barbershop-nya

Andai semua kapster itu bawel, pastilah kebahagiaan hidup pria lebih meningkat.

Harusnya Owner Barbershop Mikirin Ini Sebelum Buka Barbershop-nya
Dua pria sedang dalam keadaan canggung.

Biasanya saya cukur rambut di barbershop teman SMA saya. Selain memang sudah jago, konsultasi dan ngobrolin hal lain selain cukur rambut juga lebih nyaman dan ngalir.

Namun, suatu hari, teman saya merasa enggak enak badan dan menolak permintaan saya yang ingin cukur rambut. Mendapati kenyataan itu, saya terpaksa harus mencari alternatif barbershop lain.

Di situlah letak masalahnya, saya selalu merasa enggak nyaman kalau mau cukur rambut di barbershop lain. Bukan masalah performa dari kapsternya, tapi … ah sudahlah, nanti Anda akan tahu dengan sendirinya seiring membaca cerita ini sampai selesai.

Saya meriset barbershop yang sekiranya oke menurut saya melalui Google Maps. Alhamdulillah, saya mendapatkan barbershop yang saya rasa oke dari segi pelayanan, tempat dan juga keahlian kapsternya menurut beberapa testimoni dari pelanggan lain.

Tanpa pikir panjang, saya mantapkan hati saya untuk memilih barbershop tersebut, nama brand-nya adalah Lek Man Barbershop (samaran nama brand aslinya). Kebetulan juga dekat dengan tempat tinggal saya, jadi ya cus saja.

Sesampainya di sana, apa saja yang dikatakan oleh pelanggan di Google Maps benar adanya. Kapsternya tampak ramah, tempatnya elegan, pokoknya tampak meyakinkan, lah. Cuman mungkin rambut-rambut malang yang tak berdaya di lantai bisa jadi mengganggu, tapi maklum, lah.

Saya pun duduk, menunggu giliran dari anak kecil yang ditemani ibunya dengan request gaya rambut, ‘‘Dirapiin aja, Mas.’’ Begitu kata ibunya. Sambil sesekali geser-geser halaman utama HP tanpa tujuan, biar enggak kelihatan gabut aja, sih.

Beberapa menit kemudian, anak itu pun selesai dari urusan potong rambutnya, lalu berdiri dan menunggu ibunya menyelesaikan pembayaran. Oh iya, murah saja, kok, cuman 30 ribu rupiah harga jasa barbershop-nya (menurut saya itu terbilang murah, ya, soalnya dapat air mineral botol gratis kalau haus dan juga keramas setelah cukur).

Nah … inilah masa-masa menyebalkan yang bikin saya enggak nyaman kalau cukur rambut di barbershop lain

Sekadar informasi, saya pengidap miopia (minus 4 kanan kiri) dan pastilah kacamata saya harus dilepas agar tidak mengganggu proses cukur rambut di kepala saya. Setelah melepas kacamata, Anda bisa bayangkan, semuanya blur.

Pertanyaan pertama yang akan kapster lontarkan tentu saja adalah, ‘‘Mau potong apa, Mas?’’

‘‘Mullet, Mas, tapi poninya dirapiin dikit aja, jangan dikurangin banyak-banyak,’’ jawab saya. Setelah itu, angguk-angguk dari kapsternya saya terima dan ia pun mulai memasangkan kain ke area depan tubuh saya dan memasangkan semacam tisu ke leher saya, semuanya demi menghindarkan saya dari potongan rambut yang bikin gatal.

Saya benci momen ini. Momen yang bikin saya terlihat seperti orang culun atau orang nganggur atau mungkin tampak seperti orang yang banyak masalah. Masalahnya bukan di cukur rambutnya, sebab kapsternya bekerja dengan baik sesuai permintaan saya, cara mengatur kepala saya untuk nunduk atau miring pun juga enggak kasar.

Namun, masalah besarnya adalah … antara saya dengan kapsternya itu pasti kayak orang lagi musuhan. Semacam dua teman yang terpisah silaturahminya karena utang. Diem-dieman alias momen canggung!

Bisa Anda bayangkan atau mungkin Anda rasakan bagi Anda yang juga mengidap miopia yang cukup besar. Dalam kondisi seperti itu, pelanggan (yaitu saya) nampak seperti korban yang paling terintimidasi.

Pertama, pandangan saya buram, objek macam apa yang bisa saya beri perhatian lebih untuk mengisi ruang-ruang canggung yang tercipta di antara diri saya dengan kapsternya?!

Kedua, kapsternya enak karena dia bisa memberikan fokus lebih ke rambut saya, lah tangan saya harus fokus ke mana? Masa garuk-garuk terus? Masa harus membentuk tangan berjurus seperti di Naruto?

Ketiga, yaitu sumber masalah utamanya, saya enggak terlalu pede buat ngajak ngobrol. Bukan enggak punya topik, tapi saya keseringan pesimis, takut jawabannya tak sesuai dengan yang saya harapkan. Padahal, saya yakin 99% kalau kapsternya itu baik dan ramah.

Keempat, mungkin kapsternya juga berpikir demikian. Enggak pede buat ngajak ngobrol duluan ke pelanggannya. Padahal, saya juga bakal jawab dengan ramah, hahaha. Paling-paling, cuman segelintir orang yang jawab dengan ketus, itu pun karena lagi ada masalah berat atau belum gosok gigi.

Dari keempat masalah di atas, saya akan merasa selamat apabila; si kapster mengambil clipper yang berbeda di atas meja, menengok pelanggan baru yang membuka pintu, si kapster sedang berbicara dengan rekan kerjanya atau si kapster menanyakan pertanyaan wajib di dalam dunia perpangkasan rambut, yaitu ‘‘Segini kurang atau cukup, Mas?’’ atau ketika si kapster mengurus bagian belakang rambut saya dan saya harus menunduk. Baru kali ini, selain menunduk dalam salat, ada rasa menenangkan dalam menundukkan kepala. Karena itu adalah momen emas untuk saya, karena ada perasaan, ‘‘Wah, emang harus waktunya nunduk, nih.’’ Mata saya bisa fokus lihat kaki.

Anda yang pengidap miopia juga merasakannya, enggak, sih? Bencana canggung kemudian kembali terjadi ketika sudah boleh mendongakkan kepala. Mata tertuju ke cermin, kalau pandangan mata saya statis ke arah cermin rasanya kek orang bodoh. Kalau pandangan mata saya berganti-ganti arah, rasanya kek enggak sopan. Kalau mata saya lihat ke kapsternya dan di saat yang bersamaan si kapster juga lihat ke arah cermin … hahaha. Anda bisa bayangkan, lah, itu canggungnya bakal nambah!

Selain dari itu semua, rasa canggung yang memuakkan akan kembali mengisi pikiran dan hati saya ketika si kapster kembali fokus memangkasi rambut saya.

Rasanya itu aneh. Dua kepala sedang berdekatan, tapi mulut dan telinganya tidak saling berkomunikasi. Aneh, kan? Apalagi, si kapster itu kan mulutnya dekat banget, ya, sama kuping saya. Kenapa enggak ajak bicara gitu, lho. Tanya alamat, kek atau tanya asli mana, kek.

Namun, saya sadar saya juga salah atas momen canggung itu. Saya juga tidak pede buat ajak ngobrol duluan.

Pokoknya, momen seperti itu benar-benar membuat saya tampak seperti orang bodoh. Mata enggak tahu harus fokus ke mana karena minus. Baru akan merasa lega kalau si kapster mengalihkan perhatian ke arah lain atau menanyakan pertanyaan template, ‘‘Cukup, Mas?’’ sambil memperlihatkan pantulan cermin portabel yang kapster bawa dari belakang.

Adegan canggung itu akan semakin parah kalau kapsternya pemula, introver. Karena apa? Lamaaa! Untungnya, kapster di Lek Man Barbershop ini saya rasa sudah profesional, jadinya cekatan, cepat dan tetap bagus hasilnya.

Memang, enggak semua kapster kayak gitu, ada pula yang bawelnya kebangetan sampai milih topik yang enggak relevan sama sekali. Malah kadang ada yang tanya ke hal-hal privasi yang sebenarnya kurang sopan untuk ditanyakan. Namun, kalau ketemu kapster dengan tipe pendiam itu yang bikin kurang nyaman!

Saya merasa lebih ‘‘selamat’’ ketika bagian cukur rambut telah usai dan berganti ke bagian cuci rambut. Kalau cuci rambut, mata kita sudah pasti mendongak ke atap, kan? Untungnya posisi si kapster tidak tepat di atas kening saya, sehingga keempat mata tidak harus saling bertautan. Posisi si kapster saat itu agak ke belakang dan mata saya benar-benar terhindar dari wajahnya, yang saya lihat hanyalah atap. Di situ rasanya enak, enggak ada canggung, karena mata saya tiba-tiba ditutup dengan handuk agar tak terkena sampo. Nyaman sudah pikiran saya, bisa merem dan mikirin, ‘‘Nanti lewat mana, ya, waktu pulang dari barbershop?’’ atau pikiran-pikiran lainnya.

Setelah keramas usai, rambut saya dikeringkan dan ditata ulang, selesai sudah proses pelayanannya. Bagian terakhir tentu saja adalah pembayaran dan saya juga ditawari member untuk mendapatkan gratis cukur di cukur yang ke-9 kalinya di Lek Man Barbershop. Dan … saya pun keluar dari pintu dengan membawa segudah kelegaan batin.

Nah, sampai juga ke inti cerita ini. Saya ingin sekali menyampaikan ke semua owner barbershop atau calon owner barbershop. Sesuatu yang ingin saya sampaikan ini mungkin saja malah jadi strategi marketing yang unik dan baik.

Begini, mungkin para owner barbershop bisa sedikit memberikan instruksi atau semacam brief pada kapster Anda untuk mengajak pelanggan ngobrol. Entah waktu briefing sebelum barbershop dibuka atau waktu si kapster melamar di barbershop Anda.

Beneran, deh, dampaknya pasti baik. Enggak harus ngobrolin hal-hal yang mendalam dan panjang lebar dari awal cukur sampai selesai, cukup yang relevan aja, tapi dengan momentum yang tepat. Mungkin sekitar dua menit sekali itu sudah cukup.

Di dua menit awal bisa tanya, ‘‘Asli mana, Mas?’’ di dua menit kedua bisa tanyakan, ‘‘Sebelumnya cukur model apa, Mas?’’ di dua menit selanjutnya bisa tanya, ‘‘Sebelumnya cukur di mana, Mas?’’ di dua menit selanjutnya lagi bisa tanya, ‘‘Tahu tempat ini dari mana, Mas?’’ dan beragam pertanyaan lain yang relevan, tapi tetap perhatikan timing. Jangan terlalu memborbardir pertanyaan ke pelanggan, karena enggak semua pelanggan suka sama kapster bawel. Namun, saya jamin hampir semua pelanggan enggak suka sama kapster yang enggak ngajak ngobrol.

Kalau sudah begitu, yakin deh, pelanggan Anda akan merasa lebih nyaman dan punya ikatan batin yang baik dengan kapster Anda. Karena perasaan terintimidasi pelanggan akan sirna. Bayangin aja, kepala dipegang-pegang sambil dilihatin terus, tapi enggak ngajak ngobrol, pelanggan macam apa yang nyaman dengan perlakuan seperti itu?

Saya pun merasa nyaman dengan teman saya karena cukur rambut sambil ngobrol.

Jadi, begitulah. Barangkali ada kapster yang baca cerita ini, semoga bisa memotivasi Anda untuk mengajak ngobrol pelanggan Anda. Bukankah pekerjaan Anda akan menjadi lebih enjoy kalau sambil ngobrol sedikit-sedikit? Tapi entahlah, mungkin Anda yang kapster butuh fokus untuk memberikan hasil terbaik untuk kepala pelanggan Anda.

Cerita ini hanya keluhan saya, bukan anjuran keras untuk para kapster ataupun owner barbershop.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.