Damai di Desa Pasahari

Damai di Desa Pasahari
Foto koleksi Martua Sirait
 
Akhirnya, datang juga kesempatan bagi saya untuk mampir di Desa Pasahari. Tepian laut pada desa di utara Pulau Seram ini dipenuhi oleh hutan bakau, yang kaya dengan biota laut. Salah satu peneliti yang bergabung dalam ekspedisi kami saat itu, tengah mengadakan penelitian di hutan bakau tersebut. Itulah yang membuat saya tertarik untuk mampir, dalam perjalanan menuju ke basecamp utama ekpedisi kami.
 
Hanya beberapa hari saja saya berada di desa itu. Tapi, begitu banyak hal yang saya alami di sana. Selain ikut menjelajah ke hutan bakau yang masih perawan itu bersama tim penelitian, saya juga berkesempatan untuk bersosialisasi dengan penduduk setempat. Semuanya terasa sangat menyenangkan, sampai-sampai hati sedikit berat ketika perjalanan harus dilanjutkan.
 
Desa Pasahari sendiri merupakan desa dengan penduduk yang beragama campuran, Islam dan Kristen. Di dalam desa, hunian atau rumah penduduk beragama Islam berada di satu sisi, lengkap dengan musala-nya. Rumah-rumah penduduk yang beragama Kristen berada di sisi lain desa. Gereja yang lumayan megah untuk ukuran sebuah desa, dapat ditemukan di bagian ini.
 
Penduduk yang beragama Islam umumnya merupakan kaum pedagang. Disebutkan bahwa, dengan uang hasil perdagangan mereka menjadi mampu untuk membangun rumah bertembok putih dan berlantai keramik. Sementara, hunian penduduk yang beragama Kristen kebanyakan masih sangat tradisional. Terbuat dari gaba-gaba (pelepah pohon sagu), beratap rumbia, dan berlantai tanah.
 
Mengapa demikian besar perbedaannya? Sebabnya, bukan karena penduduk yang beragama Kristen itu miskin adanya. Melainkan, karena mereka masih hidup lebih secara tradisional. Bermatapencaharian sebagai pemburu, dan merambah hutan semisal menokok dan mengolah sagu. Dalam melakukan pekerjaannya ini, mereka akan menetap selama berhari-hari di hutan, pada hunian-hunian sementara yang disebut bivak. Itu sebab rumah bagus di desa tak mereka perlukan.
 
"Mengapa rumah-rumah antara orang Islam dan Kristen berkelompok terpisah? Karena, bila kami memasak daging babi, kami tak mau bau dan asapnya mengganggu saudara-saudara Muslim kami," Bapak Pendeta di Pasahari—sayang saya lupa namanya—menjelaskan.
 
Sekembalinya di desa, penduduk Kristiani akan menyisihkan sebagian dari hasil hutan yang mereka bawa pulang. Diserahkan ke saudara-saudara Muslim-nya untuk diperdagangkan.
 
Kehidupan antarumat beragama di desa itu memang sungguh harmonis. Pembangunan rumah-rumah ibadah dilakukan secara gotong-royong, oleh semua penduduk tanpa memandang agama.  Demikian pula bila ada perbaikan yang harus dilakukan pada salah satu rumah ibadah.
 
"Dalam pernikahan, apabila pasangan calon pengantin berbeda agama, maka kami akan berembug dan bermusyawarah. Salah satu harus pindah agama, silahkan pilih yang mana saja," Pak Pendeta melanjutkan penjelasannya ke saya.
 
Menikmati suasana yang menyenangkan itu, saya merasa beruntung bahwa saya masih berada di situ ketika Minggu tiba. Artinya, saya bisa menghadiri misa di gereja.
 
"Kita duduknya di belakang saja ya," ajak saya ke kawan-kawan peserta ekspediri yang Kristen dan hendak menghadiri misa.
 
Hari Minggu yang lalu saat berada di Desa Manusela di pedalaman, saya sempat juga menghadiri misa di gereja setempat. Diam-diam saya duduk di deretan paling belakang dengan santai. Maka itu, saya pikir di Pasahari bisa melakukan hal yang sama.
 
"Nggak bisa! Kita di sini tamu istimewa. Di setiap misa kita mendapat kehormatan untuk duduk di bangku paling depan," jelas teman saya Martua.
 
Waduh!
 
Artinya kan harus serius tuh. Tak enak juga kalau ketahuan saya hadir hanya untuk menikmati suasana di saat mereka beribadah suci. Kalau begitu, saya perlu juga membawa injil donk, demikian pikir saya. Maksudnya, supaya saya terlihat sebagai umat juga. Sayang, tak seorang pun dari teman saya ada yang membawa injil lebih dari satu.
 
"Mar, gue pinjem kamus Inggris saku lo donk," kataku pada Martua.
 
Maka, bermodalkan kamus saku itu, saya ikut teman-teman Kristen ke gereja. Saat semua membuka Injil, ya saya buka kamuslah jadinya.
 
Senang sekali bisa merasakan dan melihat suasana misa di gereja Desa Pasahari. Di situ memang tak ada ensamble musik bambu seperti di gereja Manusela, yang suaranya sungguh dahsyat sampai membuat saya merinding total. Namun, suara merdu paduan suara gereja Pasahari juga tak kalah indahnya.
 
Selesai kebaktian di gereja, Desa Pasahari disibukkan oleh acara pernikahan. Upacara berlangsung di rumah salah satu penduduk yang beragama Islam, dengan tata cara Islam. Ketua panitia pelaksana yang merangkap sebagai pembawa acara adalah, Bapak Pendeta yang memimpin misa pagi tadi di gereja.
 
Setelah upacara pernikahan yang cukup unik dan berjalan lancar itu selesai, tibalah saatnya menikmati santapan. Hidangan setempat yang merupakan olahan ikan, dendeng daging rusa, sagu, dan lainnya; tersedia melimpah. Sangat membahagiakan hati. Sedang enak makan begitu, Pak Pendeta datang mendekati dan menegur saya dengan ramah.
 
"Kakak ini ternyata Muslim ya," tanyanya ramah.
 
Eh!? Koq beliau tau?
 
"Saya lihat tadi kakak menengadahkan tangan secara Islam saat berdoa di akad nikah," jelas beliau seolah membaca pikiran saya.
 
Mati gue!!! Kalau sudah begini, tak bisa lagi melanjutkan kebohongan dari tadi pagi.
 
"Hehe, iya, saya Muslim. Maaf ya Pak Pendeta, tadi pagi saya ikut misa di gereja," dengan malu-malu saya mengaku dosa.
 
"Oooh..., tidak apa-apa! Saya malah senang bahwa kakak yang Muslim bersedia masuk gereja dan menghadiri misa kami," jawab beliau.
 
Aih, senangnya! Malu saya hilang. Kami ngobrol dengan santai dan berguna, sampai waktunya Pak Pendeta menutup acara. Mempersilahkan para tetamu pulang, supaya pengantin baru dapat menjalankan urusannya.   =^.^=
 
 
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.