Aku Pamit

Aku Pamit
Image by pixabay.com

Menghabiskan waktu dengan menelusuri Lorong perpustakaan, tak cukup membuat Dru untuk dapat bernafas lega.

 

Seharusnya Dru berhenti di Lorong 3 baris ke 5, posisi novel-novel yang menjadi langganan Dru di library@orchard.

Tak ada nafsu, tak ada gairah untuk sekadar membuka halaman pertama novel yang akan menemaninya membunuh waktu hari itu.

 

“Dru, bosan baca novel?”. Mr. Ang menyapa.

“Hei, Ang. Belum ganti shift?”

You answer my question with question?”

“Sorry Ang.”

 

Dru menghela nafas, menatap Mr. Ang dengan tajam lalu membalikkan badannya.

“Druuuu, may I help you?”
“Hmm, No Ang. Aku cuma bosan di asrama saja.”

“Bosan, ya balik lah kau ke Indo.”

 

Kali pertama aku tak mau kembali ke Indonesia. Bukan tak rindu, hanya terlalu takut untuk bertemu orang-orang.

Sebetulnya tak ada satupun yang tahu dengan kondisiku saat ini. Tapi entah kenapa, aku belum siap untuk sampaikan bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.

 

Jarak Singapura Indonesia yang hanya sekelabat kaki seharusnya bukan menjadi alasan untuk aku tidak pulang.

Tapi aku pulang sendiri.

 

Sudah terbayang, setiap pertanyaan yang akan meluncur tajam dan aku malas untuk menjawabnya.

 

Jalanan Orchad tidak terlalu ramai, seharusnya siang tadi aku bertemu dengan Bram di Charlie Brown Café. Waktu untuk bertemu sudah disepakati jam 11. Saking semangatnya bertemu Bram, jam sepuluh Dru sudah meninggalkan condo menuju café.

 

“Aglio e olio,please!”

 

Ini menu andalanku, harganya tidak terlalu mahal dan sudah dapat es lemon tea. Masih ok untuk kondisi dompetku yang semakin tipis.

Porsinya tidak terlalu banyak, sengaja aku makan sambil baca Pengakuan Eks Parasit Lajang punya Ayu Utami, agar menu yang kupesan masih tersisa saat Bram datang.

 

Sampai pada halaman Susumu berkunjung ke rumah A, seharusnya setelah halaman ini adalah halaman yang tambah menyenangkan untuk terus aku baca. Sayangnya ketiadaan Bram sepertinya sudah mulai merusak fokus membaca Dru.

Satu jam berlalu dan tanda-tanda batang hidung Bram untuk muncul belum juga tercium.

Ini bukan kebiasaan Bram.

 

“Dru…”
“Bram, aku pikir kamu ga akan datang. Tumben Bram kamu terlambat?”

“Hmmm iya Dru, maaf.”

“Duduk dong Bram.!”

“Dru aku harus pulang. Pekerjaanku di sini telah habis kontrak.”
“Maksudmu Bram?. Bukannya masih ada satu tahun Bram untuk kontrakmu?”

“Entahlah, aku tidak paham. Besok aku pulang ke Indo dan sepertinya aku dan kamu cukup sampai di sini.”
“Sorry Bram, aku di Indonesia, kamu di Indonesia lalu apa masalahnya kalau kamu kembali ke Indonesia?”
“Aku tidak terbiasa LDR.”
“Hey Bram, aku masih WNI dan aku pasti pulang.”
“Sorry Dru, aku yang tidak mau pulang sama kamu.”

 

Damn, Dru tidak mengerti dengan Bram.
Cara dia untuk memutuskan pertemuan dengan Dru sungguh tidak masuk di akal.

Terlalu bodoh untuk lama-lama dipikirkn oleh Dru. Dru terduduk lemas. Dia tutup Ayu Utami, dia habiskan lemon tea, dia siksa sisa Aglio e olio kemudian dia tinggalkan mejanya begitu saja.

Dru marah.

 

“Hey Dru, melamun saja sampai selama itu. Kau tadi datang sendiri, perpustakaan masih kosong melompong dan sekarang pun tak ada pengunjung lagi selain kau.”

 

Breeeet, Dru, merobek Novel di tangannya.

“Hey Dru. Aku tak suka caramu Dru. Kau boleh marah tapi tidak merusak bukuku.”
“Ini novelku Ang, dan ini urusanku. Pergi kau!”

 

Ang mengalah, bukan saatnya menegur Dru. Ang tandai novelnya, dia harus segera cari pengganti sebelum pihak perpustakaan mengetahui bahwa salah satu koleksinya rusak.

 

Sebentar lagi jam shift Ang habis. Ang bersiap mengambil jaketnya.

Di sudut Lorong Dru masih saja melamun dan menghabiskan novelnya menjadi sobekan-sobekan kecil.

 

Mata sipit Ang semakin memipih perhatikan Dru.
Gadis bermata bulat dengan rambut yang selalu dibiarkan terurai sejujurnya menarik perhatian Ang.

 

Dru yang selalu menyapa Ang dengan sumringah, pipi chubbynya menyembul dan lesung pipi yang tidak ketinggalan menyimpan nilai tersendiri untuk Ang.

Namun karena setiap Ang ajak bicara, selalu saja tentang Bram, maka Ang yakin Bram adalah laki-laki istimewa utuk Dru.

 

“Dru, aku pulang. Kau masih boleh di sini. Ada Mike yang gantikan tugasku.”

Ang membelai rambut Dru yang sudah sedikit berantakan, gerakan tangan Dru yang membolak balik belahan rambut nya, membuat pola zig zag tampak nyata di kepala Dru.

 

Ang tinggal di Flat HDB Kawasan Pasir Ris, jarak yang lumayan jauh dengan satu kali transit MRT harus Ang tempuh dengan perasaan tidak nyaman.

 

Ang teringat Dru. Kalau saja Dru tahu, bahwa Ang mulai menyimpan rasa untk Dru sejak Dru tak pernah berhenti bercerita soal pekerjaannya bila Bram pulang lebih dulu.

Biasanya, bila Ang sudah selesai shift, mereka berdua menyusuri Orchard Road hanya untuk sekadar melemaskan dan menghangatkan kaki.

 

Baru saja tiba di MRT Bugis, Ang tak tahan.

Dia putar badan, keluar pintu stasiun MRT kemudian masuk kembali dan Ang membiarkan kakinya kembalike Orchard.

 

“Druuu…”
“Ssssstttt, Hey Ang. Be Quiet!”
“Sorry Mike. Kamu lihat Dru?”
“Nih…”

 

Mike memberikan secarik tulisan, _3 Mount Elizabeth_.

“Dru…..”

 

Ang berlari sekuat tenaga, dicarinya cab.

Kali pertama Ang sepanik ini, tidak tahu apa yang terjadi dengan Dru. Mike tidak sampaikan apapun. Semoga Dru baik-baik saja.

 

Ang meminta driver untuk menambah kecepatan. Keringat dingin yang semakin dingin karena AC semakin membuat Ang tak nyaman.

Tak sampai tiga puluh menit, Ang sampai di rumah sakit dan tak kesulitan mencari ruangan Dru.

Dru koma.

 

“Hei Ang, apa urusanmu di sini?.”
“Bram, saya yang seharusnya bertanya padamu. Kau telah menyakiti Dru dan sekarang kau ada di sini. Apa urusanmu?. Atau jangan-jangan kau melukai Dru?. Atau kau meminta orang lain untuk melukai Dru.”
“Hus, apa sih kamu Ang. Kamu diam saja. Aku yang seharusnya marah padamu.”
“Apa yang sebenarnya terjadi Bram?”
“Tunggu saja Dru siuman. Semoga tidak lama lagi Dru pulih. Aku tidak tahu yang terjadi dengan Dru, yang pasti sayatan di lengan Dru telah membuat Dru pingsan, petugas setelahmu terlambat menemukan Dru. Atau sengaja membuat Dru terkapar. Entahlah.”

 

Ang tidak mengerti. Mike tak mungkin biarkan Dru terkapar. Lantas apa yang sudah terjadi?

Ang meminta izin untuk memasuki ruangan Dru, sayangnya perawat tak izinkan Ang untuk masuk.

Dru masih kritis.

 

Perawat memberikan tas Dru, tas yang seseorang titipkan pada perawat saat Dru sampai di Mount Elizabeth Hospital.

 

Ang genggam erat tas Dru. Ang pejamkan mata lalu memanjat doa dengan segenap hatinya.

 

“Dru, jangan pergi. Aku mencintaimu. Seandainya kau masih sisakan waktu untukku akan aku jaga dirimu dengan baik.”

 

Tepat di antara jari tangan Ang, Ang merasakan sesuatu, Buku.  Penasaran, Ang buka tas Dru dan Ang temukan diary Dru.

Tak baik untuk Ang buka buku diary Dru, namun Ang berharap ada cerita penting dari kasus Dru hari ini.

 

 

08 Juni 2019

 

Dear Diary,

Aku tidak tahu lagi bagaimana cara membuat cemburu laki-laki itu. Sejak aku melihatnya aku jatuh hati. Berulang kali aku datang, tak ada satu kali pun kesempatan yang bisa aku manfaatkan dengan baik.

Kau tahu, setiap dia menatapku ada perasaan yang tak biasa. Dia bisa membuatku tersenyum bahkan tertawa terbahak-bahak.

 

Ang menghentian bacaanya, marah dan cemburu dia tujukan pada Bram. Menarik nafas dan dia lanjutkan kembali.

 

Setiap hari banyak rindu yang aku tunggu untuk bertemu. Tatapan matanya yang tajam tak bisa aku lepas begitu saja.

 

Diary, besok bantu aku untuk sampaikan perasaanku ya!

 

 

09 Juni 2020.

 

Dear Diary,

Hmmm setahun sudah aku melupakanmu. Kau tahu banyak cerita yang terlewatkan olehmu.

Maaf ya, aku mengingatmu kalau sedang sedih saja.

 

Siang ini ada berita yang tidak mengenakkan. Kau tahu, rupanya dia tidak sendiri. Mike bilang, dia akan mengakhiri sendirinya sebentar lagi.

 

Sudah terlalu banyak hari yang dia berikan padaku, semuanya indah. Dia berhasil mengembalikan kehidupanku, dia berhasil membuatku bangkit dari keterpurukanku bahkan dia sudah membuatku menjadi manusia utuh.

 

Kalau saja kehadirannya untuk membuatku bertambah sakit, untuk apa dia ada dan untuk apa aku ada?

 

Blep, Ang terdiam.

Aku tak paham. Dia. Siapa Dia di sini?. Ada Mike?

 

“Puas kau menyakiti Dru?”

“Aku tak menyakiti Dru. Aku tak paham Bram.”
“Bodoh kau. Aku muak dengar namamu. Setiap kali aku coba masuk di kehidupan Dru, Dru selalu menolak dengan caranya. Baginya kau terlalu istimewa Ang.”

“Aku?”
“Iya kamu tolol. Aku sampai mempercepat kontrakku karena aku sudah mulai mual dengar Dru bercerita tentangmu. Telingaku sudah benci mendengar celoteh Dru tentangmu. Dan hari ini Mike sampaikan bahwa dia akan menikah denganmu. Menjijikan.”
“Bram, I’m a normal. Aku bukan gay. Aku bukan homosexual.”
“Lantas maksudmu Mike berbohong.”

“Memang aku normal Bram. Bagaimana cara aku membela diri.”
“Tidak usah, aku tak perlu pembelaanmu aku hanya mau Dru pulih. Aku tidak mau pesan yang masuk ke handphoneku adalah pesan terakhir dari Dru. DIa harus tahu bahwa akulah yang menyayanginya sepenuh hati. Bukan Kamu”

“Tapi Bram..”

 

Bram buka kembali Iphone yang dia beli seragam dengan Dru. Di klik nya Telegram terakhir hari ini dari Dru.

 

Bram, maafkan aku.

Aku paham maumu, aku mengerti setiap arti senyum dan tatapmu. Tapi Bram, aku bukan perempuan yang baik, aku tidak laik untuk menjadi baik.

 

Aku pamit.

 

#10 Juni 2020

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.