SEMANGAT KARTINI DI MASA PANDEMI

Kita wujudkan cita-cita luhur Kartini, sebagai perempuan kita tidak harus mengikuti ungkapan lama ‘Suwargo nunut – neroko katut” Banyak pekerjaan yang dulunya hanya bisa dilakukan oleh laki-laki, kini perempuan pun bisa melakukannya, seperti Pilot, Angkatan Bersenjata, Presiden, Gubernur, Bupati/Wali Kota; di dunia pendidikanpun banyak dijabat oleh perempuan seperti Rektor, Dekan, Kepala Sekolah, Kepala Rumah Sakit, dan sebagainya

SEMANGAT KARTINI DI MASA PANDEMI
R A KARTINI

 

 

            Jelang memperingati hari lahir Kartini setiap tahun nya yaitu pada tanggal 21 April, pembaca pasti ingat Buku: “Habis Gelap Terbitlah Terang”, yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda (aslinya, yaitu: “Door Duistrnis Tot Licht”. Sayang….. beliau harus berpulang kehadirat penciptanya di usia yang sangat belia (lahir 21 April 1879 – wafat 17 September 1904).

            Namun, semangatnya masih bergaung sampai kapan pun, semangat ini abadi di hati setiap insan yang memiliki semboyan ‘tidak mudah menyerah!’ (never ever give up!). Apalagi di saat kondisi Indonesia yang diterpa pandemi covid-19 seperti sekarang ini, yang bisa kita lakukan adalah bertahan dan mencegah meluasnya wabah serta mengelola tata kehidupan baru atau yang dikenal dengan istilah new normal dengan baik dan benar.

            Menerapkan protokol kesehatan secara ketat, bahkan sampai Pemerintah RI pun turun tangan dengan ‘melarang mudik lebaran’ tahun 2021 ini; karena belajar dari pengalaman yang lalu manakala ada hari-hari libur yang cukup panjang berimbas naiknya atau melonjaknya korban covid-19. Pelaksanaan pemberian vaksin terutama untuk para lansia, tenaga kesehatan dan pendidik serta tenaga kependidikan terus dilakukan agar Indonesia bangkit terutama di bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi yang selama pandemi covid-19 ‘terpuruk’.

            Sebagai warga negara yang menyadari dan ikut mendukung pemerintah yang sangat prihatin dengan ‘ambruknya’ ekonomi dan ‘pedih’ nya dunia pendidikan yang dahulunya penuh keceriaan, pekik suara anak-anak yang riuh, kini sepi-sunyi, kampus pun ‘kosong’, duh Gusti…….! Persoalan seperti ini tidak dapat diselesaikan dengan mengeluh dan meratapi diri berlama-lama. Kita semua harus bisa menerima dan adaptasi, terlebih para pelaku pendidikan harus pintar-pintar melihat sisi positif disetiap aktivitas pembelajaran yang perlu disyukuri karena masih dapat dilaksanakan secara daring.

            Dari pada kita ‘tenggelam’ dan makin ‘terpuruk’, mari kita nyalakan semangat Kartini. Semangat seorang perempuan di zaman nya (zaman penjajahan Belanda) serba terkungkung; kini kita sudah merdeka 76 tahun, kita satukan tekad bahwa “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Kita wujudkan cita-cita luhur Kartini, sebagai perempuan kita tidak harus mengikuti ungkapan lama ‘Suwargo nunut neroko katut” yang artinya kurang lebih, posisi perempuan sebagai seorang istri selalu ikut suami dalam kondisi suka maupun   duka. Perempuan harus bangkit, dia bukan ‘konco wingking’ (teman di belakang), dengan ‘beban’ rumah tangga, bekerja di rumah secara tradisional, memasak, mencuci, menyeterika, menyapu, mengepel dan se gudang lagi pekerjaan yang harus diselesaikannya sepanjang hari dan dari hari ke hari sepanjang waktu.

            Di masa pandemi covid-19 ini begitu banyak (dua kali lipat) tenaga kerja perempuan yang terkena PHK dibanding tenaga kerja laki-laki. Ada jutaan orang di Indonesia yang kehilangan sumber penghidupannya (per Oktober 2020 ada 2,1 juta pekerja yang mengalami PHK dan atau di rumahkan tanpa upah, sumber Kementrian Ketenagakerjaan); sedangkan versi Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2020, ada sekitar 2,56 juta pekerja kehilangan pekerjaan dan menganggur akibat ganasnya pandemi covid-19 dan bahkan hal ini akan terus bertambah, terbukti per Februari 2021 sudah meningkat menjadi 6,47 juta.

            Melihat kenyataan menyedihkan seperti itu, bagaimana peran kaum perempuan yang dulu digadang-gadang Kartini untuk maju dan sejajar dengan kaum laki-laki, kini harus segera berpikir dan bertindak cepat agar dapur tetap bisa ngepul. Perempuan harus dapat membuktikan bahwa dia perkasa, sehingga tidak terjadi kesenjangan (gap) yang semakin mengangnga. Sekalipun pada kenyataannya hal itu mudah diucapkan namun sulit dilakukan. Pada awalnya pandemi sungguh-sungguh merupakan masalah besar, karena kita tidak siap menghadapi perubahan sedemikian mendadaknya, akan tetapi berhubung tak seorangpun yang tahu kapan pandemi ini berakhir maka mau tidak mau memaksa kita untuk menerima situasi tidak nyaman ini dengan lapang dada, yang penting semangat tidak boleh padam.

            Bangkit dan tataplah masa depan ini dengan optimis, ingat semangat Kartini. Kalau masa pandemi covid-19 kita ibaratkan sebagai suatu masa yang gelap, maka pasca wabah kita sambut terang yang dapat mengantarkan kita kepada kehidupan baru yang bermakna dan semua itu harus dipersiapkan sejak dini, mulai sekarang (take action now not tomorrowbecause tomorrow is late). Kita melihat perempuan-perempuan yang menunjukkan prestasi gemilang, seperti negara-negara yang dipimpin perempuan: Denmark, Finlandia, Eslandia, Selandia Baru, Jerman, Taiwan dan Slovakia telah mencatat respon yang paling efektif terhadap covid-19 ini.

            Pemimpin-pemimpin perempuan itu bertindak proaktif (be pro active) dengan mengimplementasikan social distancing yang sangat ketat, membuat strategi yang komprehensif dengan perhitungan matang, serta menggelorakan semangat agar negara yang dipimpinnya patuh dan menunjukkan transparansi dalam semua perannya. Perempuan terbukti bisa berpikir rasional, inklusif, komunal dan yang tidak kalah pentingnya ia tetap memiliki sifat keibuan dan tidak meninggalkan kodratnya sebagai ibu. Di balik laki-laki sukses, tentu ada perempuan hebat di belakangnya. Kenyataan lain membuktikan bahwa begitu banyak pekerjaan yang dulunya hanya bisa dilakukan oleh laki-laki, kini perempuan pun bisa melakukannya, seperti Pilot, Angkatan Bersenjata, Presiden, Gubernur, Bupati/Wali Kota; di dunia pendidikanpun banyak dijabat oleh perempuan seperti Rektor, Dekan, Kepala Sekolah, Kepala Rumah Sakit, dan sebagainya.

            Jadi, mulai sekarang hentikan anggapan bahwa perempuan adalah kaum lemah, tidak mampu mandiri, sangat tergantung; bukankah pada hakekatnya kita adalah makhluk interdependensi (kesalingtergantungan), tidak baik menjadi manusia soliter tapi manusia yang solider (mempunyai rasa solidaritas yang tinggi). Akhirnya, marilah kita terus kobarkan semangat Kartini di bumi Pertiwi, Indonesia tercinta.

 

Jakarta, 19 April 2021

Salam sehat dari penulis: E. Handayani Tyas – tyasyes@gmail.com  

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.