Rezeki Tanpa Pintu

Aku hanya menelan hinaan itu dan mengambil plastik berisi mie dan telur dari tangannya.

Rezeki Tanpa Pintu

"Dek, aku dipecat dari kantor," ujar suamiku melalui pesan Whatsapp. Aku termenung membaca pesan tersebut. Terbayang penagih hutang yang sudah beberapa kali datang ke rumah, terbayang hutangan bahan pokok di warung tetangga, terbayang anak-anak kami yang beberapa hari ini hanya makan mie. Belum lagi Win, bayi kecilku, anak kami yang kelima, yang belum genap 1 tahun usianya dan masih banyak kebutuhannya. Aku menghela nafas berat, memeluk si kecil yang memandangiku dengan tatapannya yang polos. 

"Ma, lapar." Itu suara si Minda anak keempatku yang tubuhnya kurus, meminta jatah makan siangnya.

Ibra, anak keduaku dan Eva anak ketigaku masih tertidur di kasur, kegiatan yang mereka lakukan untuk menghemat tenaga. Untung saja sulungku sudah bisa mencari rezeki sendiri walaupun ia harus tinggal berjauhan dengan kami.  

"Sebentar ya, Kak, Ibu ke warung dulu." ujarku sambil membawa bayiku.

Sesampainya di warung, aku memanggil dengan lirih, "Permisi, beli,"

Pria pemilik warung berjalan keluar dan mendecakkan lidah, "Mau beli atau ngutang?"

Aku hanya terdiam menunduk. 

"Mau ngutang apa hari ini?" ujarnya sinis. 

Dengan menelan ludah aku menjawab, "Mie satu sama telur, Pak. Maaf saya berhutang lagi."

Sambil memasukkan sebuah mie dan sebutir telur, pemilik warung menyindir, "Hutang itu tidak boleh dibiasakan. Seharusnya seorang istri bisa mengelola uang dari suaminya bukan malah habis lalu menambah beban dengan berhutang. Berhutang itu memang ciri khas orang yang tidak bertanggung jawab." 

Aku hanya menelan hinaan itu dan mengambil plastik berisi mie dan telur dari tangannya. Ingin aku segera pulang agar tidak tumpah air mataku di depannya dan memunculkan celaan lain dari mulut bapak itu. Setibanya di rumah, aku memasakkan makanan untuk Minda: sepiring mie dengan kuah yang banyak dan telur yang harus bisa dibagi tiga dengan Ibra dan Eva. Untuk mengenyangkan mereka, kumasak juga setengah liter beras. 

Lalu aku menyusui anakku sambil menerawang. 

"El, kamu masak apa untuk berbuka nanti?" tanya ibu mertuaku. 

"Belum tahu, Bu, Elin baru masak untuk Minda saja dan sisanya nanti untuk Ibra dan Eva berbuka." jawabku trenyuh. 

"Buat Ibu sama Bapak apa? Kok kami tidak dipikirkan?" tuntut ibu mertuaku. 

"Nanti Elin masak nasi goreng bawang ya Bu?" ujarku membujuk. 

"Nasi sama bawang itu lagi? Tak pakai telur atau baso? Kami kan orangtua, Lin, butuh makanan bergizi. Sudah, coba Ibu pinjam dulu Rp.100.000, biar Ibu ke warung sebelah beli kolak dan cemilan" ujarnya ketus.

Dengan berat hati kurogoh dompetku yang hanya menyisakan selembar merah seratus ribu, sementara puasa baru berlangsung beberapa hari. Aku menitikkan air mata dalam diam, meskipun dadaku membuncah dengan kesedihan. Kuambil gawaiku dan mencari sebuah nama yang pernah membantuku dengan informasi saat nenek kami di rawat di rumah sakit. Kuketikkan pertanyaanku di dalam kotak pesan Mbak Ren. 

"Mbak, jual ginjal di mana ya?" sungguh pikiranku sudah buntu, sehingga harapanku hanya tinggal menjual apa yang ada di diriku asal anak-anakku terselamatkan. 

"Ginjal? Buat apa?" balas Mbak Ren kebingungan. 

"Aku terbelit hutang Mbak, anak-anakku kasihan. Suamiku juga baru di-PHK hari ini. Kasihan anak-anak hanya makan mie sehari-hari," kutumpahkan semua resah yang kutahan sedari tadi. 

"Suamimu latar belakang pengalamannya apa? Coba aku dishare CV-nya ya," ujar Mbak Ren. 

Aku langsung segera mencari dokumen CV suamiku di dalam gawai dan mengirimkannya pada Mbak Ren. 

"Lin, ini aku usahakan suamimu bisa masuk di kantor suamiku. Cuma harus sabar ya, karena pergantian atau penambahan karyawan itu biasanya setelah lebaran atau akhir tahun." jelas Mbak Ren. 

Hatiku kembali nelongso dan terdiam lama, sampai dikejutkan oleh getaran gawaiku lagi. 

"Alamat rumahmu di mana, aku mau kirim sesuatu untuk anak-anak," ujar Mbak Ren lagi. 

Aku serta merta memberikan alamatku dan berdoa semoga Mbak Ren mengirimkan makanan untuk Ibra, Eva dan Minda. Paling tidak dengan demikian sedikit bebanku terangkat, dan aku hanya perlu memikirkan Win. Tak kupedulikan lagi apa sindiran mertuaku atau bila suamiku marah karena orangtuanya terabaikan. 

Tak berapa lama, gawaiku bergetar lagi. "Lin, ini aku kirim dari T*K*PED*A: sosis dan nugget untuk makan anak-anak. Lalu, aku ingin tanya, kamu bisa masak kah?"

Sambil mengucap syukur atas kiriman Mbak Ren, aku menjawab, "Insya Allah bisa Mbak"

"Jadi begini, aku dan kelompokku ada gerakan berbagi pangan #Nasi3Lauk yang baru mulai awal tahun ini. Di gerakan ini kami merekrut orang-orang yang sedang tertimpa kesulitan untuk menjadi pemasak dari makanan yang akan dibagikan tersebut. Jumlah makanannya berkisar 100-200 porsi sekali masak. Upah yang didapatkan pemasak cukup menarik, sekitar 200-300 ribu per 100 porsi. Apakah kamu tertarik?" tawar Mbak Ren padaku. 

Bagaikan atlet sepakbola yang berhasil membuat gol ke gawang lawan, aku langsung bersujud bersama bayiku. "Alhamdulillah Mbak, aku mau. Aku mau Mbak, mau", ketikku berkali-kali karena kehabisan kata-kata. Sungguh aku bersyukur pada Tuhan yang memberikan aku kemudahan dan kekuatan di tengah permasalahan yang bertubi-tubi.

"Oke, kalau begitu, aku transfer dananya hari ini untuk 100 porsi, lusa makanannya dibuat dan dibagikan ke masyarakat ya. Jangan lupa dokumentasi saat memasak dan pembagian makanannya. Usahakan tetap menjaga kebersihan dengan memakai sarung tangan, masker dan penutup rambut, agar makanan yang dibagikan untuk masyarakat tidak terkontaminasi." ujar Mbak Ren.

"Siaaap, Mbak, terima kasih atas kepercayaannya untukku. Insya Allah aku tidak akan mengecewakan Mbak!", ujarku berjanji. 

"Sama-sama Lin, semangat ya." Mbak Ren menyudahi percakapan kami. 

Setelahnya, aku segera mengambil air wudhu untuk menghaturkan sembah syukurku pada Tuhan. Ia tak pernah memberikan kesulitan yang tak sanggup aku tanggung, ia menyorongkan bantuan melalui tangan-tangan yang penuh kepedulian. Dalam doaku, aku berjanji akan selalu ingat masa ini dan mematri di dalam hati untuk menyisihkan sebagian rezekiku untuk berbagi. 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.