Keping Keenam: Kenang Luka

Keping Keenam: Kenang Luka
: :

 

Kindly play the music while reading.

Pagi hari selalu menjadi yang paling menyebalkan bagi Kala. Karena kuliah dan hal-hal lainnya, dia diharuskan memulai aktivitas sebelum matanya benar-benar ingin terbuka. Selain itu, ia benci dituntut untuk melakukan hal yang tidak disukainya.

Namun di atas itu semua, Kala paling benci bangun dalam keadaan sendiri.

Lelaki itu meraba nakas di samping ranjangnya untuk meraih ponselnya yang masih berdering. Bukan alarm, melainkan sebuah panggilan masuk. Nama Hendra tertera di sana. Dengan mata yang masih setengah tertutup, dijawabnya telepon itu.

“Alo ….”

“Buset, Kal. Lo pasti baru bangun ya?”

Kala menggeram. “Berisik lo. Buruan, ada apa?”

“Kelas pagi ini di-cancle. Diganti jadi nanti siang sama Pak Abdul.”

Mendengar itu Kala sedikit senang, itu berarti ia bisa kembali tidur. Respons terbaiknya adalah menguap lebar-lebar.

“Buset lo, ya! Pasti mau balik tidur nih anak.”

“Nah, bener lo. Makasih, ya, Hen. Sampe ketemu ntar siang.”

Sambungan diputus olehnya. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari tidur sampai siang, pikirnya. Kala kembali menarik selimutnya hingga menutupi kepalanya. Ia tidak ingin terganggu oleh sinar matahari yang masuk melalui jendela, tapi malas juga untuk bangkit dan menutup tirai.

Untuk lima detik selanjutnya, napasnya kembali teratur. Tanpa pikiran, Kala merasa dirinya sudah hampir terbenam lagi ke dalam mimpi. Sayang sekali, benaknya tiba-tiba mengarah pada sesuatu.

“Mama,” gumamnya. Kali ini matanya benar-benar terbuka lebar.

Kala menyingkap selimutnya dan beranjak turun dari ranjang. Sekilas dilihatnya layar ponsel yang menunjukkan pukul 8:35. Kala harus bergegas.

[*****]

Dari rumahnya di Cisitu Baru ke RS Hasan Sadikin ditempuh Kala dengan motornya selama kurang lebih sepuluh menit. Jalanan pagi itu tidak terlalu ramai seperti biasa, yang memungkinkan dirinya untuk sampai lebih cepat.

Tanpa menoleh pada papan petunjuk atau bertanya pada satpam, Kala melangkahkan kakinya menuju ruang ICU. Tempat itu sudah menjadi rumah keduanya sejak dua tahun lalu. Saking seringnya mengunjungi tempat itu, beberapa perawat tampak menyapa Kala seiring ia memasuki ruangan, bahkan aturan jam besuk tak berlaku baginya. Kala terus berjalan sampai kakinya berhenti tepat di sudut ruangan.

Di sana, terbaring di atas ranjang yang sekelilingnya dipenuhi alat-alat aneh, tertutupi oleh tirai hijau, wanita yang sangat ia kenal bernapas dengan tenang. Mata indahnya tertutup rapat—untuk waktu yang sangat lama semenjak terakhir kalinya bersinar penuh harap. Napasnya teratur, dan ia tampak baik-baik saja kecuali semua selang yang memenuhi sekujur tubuhnya. Meski begitu, wanita itu telah tertidur tiga tahun lamanya.

Kala berlutut di samping ranjang dan menggenggam jemari dingin itu. Sebuah nama panggilan dibisikkannya, terdengar begitu halus di bawah napas beratnya. “Mama … apa kabar?”

Kala tersenyum kecil sambil mengeratkan genggamannya pada jemari dingin sang Mama. Meski dipenuhi selang dan tampak pucat, Mama selalu cantik di matanya. Baginya, wanita itu selalu hangat dan tersenyum.

Kala menarik kursi yang selalu ada di sudut dekat tabung oksigen. Ia meletakkan kursi itu di sisi ranjang kemudian duduk di atasnya. Diturunkannya side rail pada ranjang sehingga ia bisa dengan bebas menyentuh mamanya tanpa penghalang.

Seperti biasa, yang ada di antara mereka berdua hanya keheningan. Detak jarum jam, deru napas yang bertabrakan, dan suara monitor hermodinamik, adalah semua yang mengisi hampa itu. Di balik tirai hijau yang ditarik Kala untuk menutupi mereka sepenuhnya, suara-suara perawat dan pasien di sisi lain ruangan terdengar begitu samar.

Kala menyukai bagaimana ia dan Mama memiliki ruang pribadi yang tak tersentuh dunia luar.

“Ma, kuliah Kala ditunda sampai nanti siang. Nggak tau ah, Ma, Pak Abdul aneh banget orangnya.”

Seperti biasa, Kala mulai bercerita, seolah-olah Mamanya terbangun dan mendengar segala keluhannya. Kala sudi saja dianggap gila karena berbicara pada orang yang tertidur selama hampir tiga tahun. Kala masih dan akan terus percaya bahwa Mama akan bangun suatu hari nanti. Ia percaya bahwa Mama akan mengelus lagi surainya dan menertawakan kekonyolannya yang bicara pada wanita itu ketika ia terbaring di ranjang rumah sakit.

Karena kalau bukan Mama, siapa lagi yang hendak ia percayai?

Tentu saja ia punya keluarga. Punya Papa dan Kakek serta Nenek, juga saudara-saudara sepupunya, Tante dan Omnya. Namun, melebihi itu semua, ikatan keluarga dan batin yang paling kuat dijalinnya hanya dengan sang Mama.

Lagipula, sejak dua tahun lalu, bertepatan dengan hari diumumkannya diagnosa pendarahan pada otak mamanya, yang menyebabkan wanita itu mengalami koma sampai sekarang, Kala berhenti menganggap Papa sebagai keluarganya. Sejak hari itu, semua yang berkaitan dengan Mama diurus oleh dirinya sendiri, berbekal dukungan finansial dari keluarga Mama di Jakarta dan uang yang masih mengalir dari Papa.

Meski lelaki itu yang membuat Mama bisa terbaring dengan tenang di ruang ICU terbatas, yang diperuntukkan bagi orang-orang tertentu saja, dengan suplai obat yang menunjang stabilnya kondisi Mama, tetap saja Kala membencinya setengah mati. Karena lelaki itulah alasan sang Mama terbaring di sana.

Kala meninju pelan side rail yang dingin dengan kepalan tangannya. Ia tak susah-susah mengontrol napasnya yang mulai tak beraturan. Suara Mama dari tahun-tahun yang sudah lewat kembali terdengar.

“Kala, kalau marah jangan dipendam. Amarah berhak untuk dilampiaskan, asal dengan cara yang benar dan pada sesuatu yang benar juga.”

Kala merasa satu-satunya menuntaskan amarahnya saat ini adalah dengan membiarkan dirinya tersiksa dengan ingatan yang kembali terbentuk dalam benaknya. Ingatan yang membentuk sebilah pisau tajam, digerakkan oleh tangan tak kasat mata, menyayat satu per satu bagian tubuhnya dengan pelan. Cara yang sangat menyiksa untuk berujung mati tak berdaya.

Hari itu adalah hari kelulusannya dari bangku SMA. Acara wisuda dan pelepasan dilakukan di sekolah dengan mengundang segenap peserta didik dan wali murid. Kala merasa bangga menerima penghargaan siswa terbaik dari jurusan Bahasa. Satu-satunya yang ia tunggu adalah kedatangan orang tuanya, meski ia tak meragukan lagi kalau papanya melupakan kelulusan anaknya sendiri.

Acara dimulai tanpa halangan. Waktu berjalan dan yang Kala lakukan dari kursinya adalah berulang kali menoleh ke arah pintu aula, berharap melihat Mama atau Papa datang menghampirinya. Semakin mendekati akhir acara, Kala semakin hilang harapan bahwa akan ada yang mendampinginya pada acara wisuda.

Tetap saja, Kala harus maju ke panggung untuk menerima penghargaan, tanpa wali yang mendampinginya. Acara belum sepenuhnya selesai ketika Kala diam-diam mengundurkan diri untuk pulang ke rumah. Di sepanjang perjalanan, yang bisa Kala pikirkan adalah senyum bangga orang tuanya melihat piagam penghargaan yang ia bawa. Prestasi yang ia capai harus mendapat apresiasi.

Kala baru saja berpikir akan pura-pura merajuk pada Mama, ketika didengarnya suara benda pecah dari dalam rumahnya. Lelaki itu segera memarkirkan motornya dengan asal di halaman dan bergegas masuk ke dalam rumah.

Dari ruang tamu, didengarnya suara Papa dan Mama saling tumpah tindih. Dari bawah dapat Kala lihat Mama berdiri di ujung tangga, dengan Papa yang bersiap melempar vas bunga. Kala tidak bisa mengingat apa yang mereka teriakkan. Yang ia ingat hanyalah panik yang menyerangnya tiba-tiba, suara Papa yang paling kasar, Mama yang melengking marah dengan linangan air mata.

Keduanya sama sekali tak menyadari Kala sedang dalam perjalanan menaiki tangga untuk melerai, ketika tiba-tiba Papa melayangkan tamparan kuat pada wajah Mama. Mama yang hilang keseimbangan, tubuhnya oleng ke belakang. Hari itu kejadiannya sangat cepat, tapi saat ini Kala dapat mengingatnya dalam mode slow motion. Mamanya tak dapat lagi menemukan pijakan di belakangnya, membuatnya terjatuh, berguling di tangga dan berhenti tepat di dekat kaki Kala.

Darah bercecer di beberapa anak tangga terakhir. Kepala Mama yang terbentur berulang kali, Kala tak tahu lagi bagaimana mendeskripsikannya. Yang ia ingat selanjutnya adalah jeritan dirinya sendiri, tetangga yang menerobos masuk, dan sebuah tatapan. Tatapan yang dilayangkan papanya dari ujung tangga satunya.

Dari bawah, sambil berusaha memapah Mama dan memanggil-manggil wanita itu, Kala dapat merasakan tatapan itu dari sudut matanya. Tatapan dingin, kecewa, dan entahlah. Kala tidak yakin untuk menyebutnya sebagai tatapan bersalah.

“Ma, kapan Mama bangun?”

Kala merasa bersalah dan menyesal telah melontarkan pertanyaan yang tak pernah ia ucapkan sebelumnya. Kala mengusap sudut matanya, menghilangkan jejak air mata di sana.

Dalam penantiannya selama hampir tiga tahun, Kala tak pernah merasa serindu dan selemah ini. Namun sekali ini saja, hanya untuk kali ini, ia membiarkan pertahanan dirinya runtuh. Seperti prajurit tanpa senjata dan tamengnya, Kala luruh dalam tangis.

[*****]

Sudah menjelang petang ketika Kala sampai di kafe. Ia cukup lelah, tapi tentu saja tak bisa bolos bekerja begitu saja. Ia kembali dari rumah sakit tanpa kembali ke rumah terlebih dahulu. Belum lagi, kuliah yang jamnya dimundurkan membuat jadwal bertabrakan denan kelas selanjutnya. Kala bahkan tak sempat pergi ke kantin untuk makan di antara pergantian kedua kelas itu. Mood-nya yang sudah buruk sejak pagi jadi berkali-kali lipat lebih buruk.

“Kal, lo kemana aja, sih? Mestinya gue udah balik dari sejam yang lalu, lho!”

Sambil memasang apronnya, Kala mengangguk lelah. “Maaf, Bang,” ujarnya pada seniornya yang bergiliran shif dengannya hari ini. Kala rasa wajar saja ia marah. Jadi ia tidak memprotes, tapi karena merasa lelah, permintaan maafnya pun setengah-setengah.

Kala mendengarkan saja ocehan seniornya itu. Namun merasa diabaikan, ia membentak Kala. “Lo denger nggak?”

Kala sedikit tersentak. “Iya, Bang. Maafin gue.”

Beberapa menit kemudian Kala dapat keluar menuju meja bar dengan tenang. Beberapa temannya memandangnya iba. Memang, tak biasanya Kala lalai seperti ini. Kala berusaha menyamankan diri, berjaga di balik meja bar tanpa memedulikan tatapan-atapan itu.

Ia tak banyak bicara selama dua jam berikutnya. Mungkin aura suramnya begitu jelas terlihat sehingga yang berani mengajaknya bicara cuma seniornya yang berposisi sebagai waiter. Lelaki yang ia panggil Mas Ilham.

“Lo kenapa dah, Kal? Muka kusut amat hari ini.”

Kala menghela napas, berhenti memainkan jemarinya pada tuas-tuas di mesin grinder di depannya. “Capek banget gue, Mas. Hari ini kuliah dimundurin, jadi padet banget ketambah jadwal satunya.”

Ilham sebagai mahasiswa semester enam yang sudah mencicipi hal-hal semacam itu—bahkan lebih buruk—hanya tertawa kecil. “Ututu, kasian banget. Udah makan belum lo? Nih, ya, perut kenyang itu memperbaiki segalanya.”

Kala sedikit tertawa mendengarnya, meski pada akhirnya ia kembali mengeluh. “Mana sempat makan, Mas. Yah, pas jalan kemari sih, udah ganjel pake roti.”

Ilham menggelengken kepalanya. “Parah lo. Abis ini break, lo kudu makan. Sakin ntar.”

Kala meletakkan tangannya di dada. “Aduh, Mas, perhatian banget, sih. Gue heran lo belum dapet cewek sampe sekarang.”

“Anjir, lo,” umpat Ilham, menjitak dahi Kala. Sedikit banyak, Kala bisa kembali tersenyum. “Gue serius, nih. Kalo lo sakit, siapa lagi yang sukarela kerja-kerja dobel di sini?”

Ilham mengacu pada kebiasaan Kala yang suka berganti-ganti profesi ketika kafe sedang sepi. Barista muda itu bisa saja menjelma sebagai waiter, kadang belajar memasak menu sederhana di dapur, atau tak jarang juga ia didapati membersihkan meja-meja dari piring dan gelas kotor.

Mendengar itu, Kala terkekeh sambil menepuk bahu Ilham. “Iya-iya, Mas. Gue makan deh, abis ini.”

“Permisi.”

Obrolan mereka terjeda oleh sebuah suara dari sisi lain meja bar. Di balik sana, berdiri seorang lelaki yang mengenakan jaket dan helm berwarna senada. Dapat dipastikan ia adalah salah satu pekerja jasa pesan-antar makanan online.

“Iya, Mas?” sapa Kala. Sekilas ia melambai pada Ilham yang berjalan kembali ke belakang.

“Saya mau mesen.”

“Oh, kalau pesan silakan ke kasir aja.”

Lelaki itu menggelang. “Kata Mbaknya ini, saya bisa langsung ke baristanya. Ah, yang namanya Mas Kala.”

Kala mengernyit. Apa-apaan ini?

“Ah, saya sendiri,” jawabnya. Meski merasa aneh, Kala tetap melayaninya. “Mau pesan apa?”

“Iced Cappuccino satu, sama Potato Wedges satu porsi.”

Kala mengangguk dan mengoper pesanan makanan ke dapur. “Silakan ditunggu ya, Mas.”

Kala mengamati lelaki itu pergi ke tunggu bangku khusus di sudut. Sambil memikirkan siapa yang cukup aneh untuk memesan padanya bahkan tahu namanya, Kala meracik kopi pesanannya.

Iced Cappuccino telah selesai dibuat oleh Kala. Ia tinggal menunggu Potato Wedges dikemas dan ia dapat memberikannya pada lelaki tadi. Namun sebelum pesanannya dipanggil, lelaki itu kembali menghampirinya.

“Ada apa, Mas? Pesanannya bentar lagi jadi,” ujar Kala. Ia mendapati wajah lelaki itu menampakkan ekspresi bingung.

“Eh, gini, Mas. Ada note dari Mbaknya,” ujar lelaki itu sambil berulang kali mengecek ponselnya. “Ah, coba Mas baca sendiri.”

Kala memandangnya aneh, meski tetap menerima ponsel yang disodorkan padanya ia membaca sebuah pesan pada layar ponsel itu.

User12790

Mas, tolong bilang pada barista bernama Kala tadi, berikan aku buku bagus lagi untuk dibaca.

User12790

Percayalah, dia pasti mengerti maksudku.

Hampir saja Kala tertawa membacanya. Rupanya ia sangat kenal pesan itu. Tidak ada orang lain yang dikenalnya yang akan meminta rekomendasi buku padanya selain Luna. Ia merasa begitu bodoh karena tidak memikirkan gadis aneh itu yang melakukan keisengan seperti ini padanya.

“Sebentar, ya, Mas,” ucap Kala pada lelaki itu, yang masih berdiri di depan meja bar dengan raut bingung. “Saya ambil dulu bukunya.”

Kala berjalan keluar dari balik meja bar, menuju rak buku di sudut ruangan. Matanya tertuju pada rak nomor dua, tempat ia menyimpan buku-buku koleksi pribadinya. Menimbang-nimbang selama beberapa saat, Kala akhirnya meraih sebuah buku bersampul cokelat, dengan judul Hero dan Leandros yang tertera di sana.

Kala kembali ke balik meja bar, menulis sesuatu di kertas kecil, dan memasukkan kertas itu ke dalam buku. Pesanan yang sudah dikemas, dimasukkannya lagi ke dalam plastik yang lebih besar, tak lupa dengan buku di dalamnya.

“Ini, Mas, pesanannya,” ujar Kala sambil tersenyum. “Nanti kalau ketemu Mbaknya yang mesen, tolong bilang ya, Mas. Mestinya dia tahu cara yang lebih bagus untuk minta rekomendasi buku.”

Kala tidak dapat menahan senyumnya mengembang. Sekali lagi, masih ada alasan baginya untuk tersenyum hari ini.

 30420, ©ranmay.

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.