Cindy Sang Dewa Penolong

Cindy Sang Dewa Penolong

“Yoyo!” terdengar suara memanggil.

Saya menengok ke arah suara tersebut dan melihat seorang perempuan cantik memandang dan tersenyum ke arah saya.

Saat itu saya sedang di apotik untuk membeli Aspirin dan test pack. Untuk kesekian kalinya saya nge-test kehamilan. Walaupun hasilnya selalu positif, saya terus mencoba dan mencoba lagi sambil berharap ada satu saja yang hasilnya negatif yang mungkin memberi saya sedikit harapan baru.

“Hai, kamu Yoyo, kan?” Perempuan itu memanggil lagi sambil menghampiri.

“Cindy? Kamu Cindy?” sahut saya dengan suara tidak percaya.

“Iya, aku Cindy,” sahut perempuan itu menghampiri saya dengan tangan terbuka.

“Haaaiiiiii….Cindy,” teriak saya seraya setengah berlari menyambutnya.

Kami pun berpelukan erat sekali. Saya sangat bahagia bisa bertemu dengan Cindy. Dia adalah teman saya semasa di SMP. Selama 3 tahun kami sekelas bahkan duduknya pun sebangku.

Saya suka banget sama Cindy ini. Dia orangnya liar tapi baik hati. Dulu setiap kali ada cowo-cowo yang mengganggu saya, dia selalu tampil membela. Maklumlah, saya kan Cina dan menuntut ilmu di sekolah negeri sehingga tidak jarang saya diganggu oleh murid lain. Sehari-hari saya sering dikatain Cina dan tidak jarang pula dimintain duit dengan ancaman.

Dan Cindy adalah pahlawan saya. Dia bukan hanya mencegah supaya saya tidak diganggu bahkan dia sampai menantang orang-orang itu berkelahi. Saya sering terpesona pada keberaniannya.

Cindy berasal dari Menado. Wajahnya cantik, tubuhnya langsing dan tingginya mungkin sekitar 170 Cm. Rambutnya hitam legam panjang sampai sepunggung. Di suka sekali menggelung rambutnya ke atas membentuk konde model konde Cina jaman dulu.

Sepak terjangnya sering tidak terduga. Orangnya juga cenderung tomboy. Hobinya main sepakbola dan seni bela diri Wushu. Cindy sangat mahir dalam olahraga ini. Bahkan saat SMP konon dia sudah memegang sabuk hitam. Hebat ya? Mungkin karena itu pula dia jadi tidak takut pada siapapun.

Mungkin ada yang belum pernah mendengar seni bela diri Wushu. Saya ceritakan sedikit ya? Kata Wushu berasal dari dua kata yaitu “Wu” dan “Shu”. Arti dari kata “Wu” adalah ilmu perang, sedangkan “Shu” adalah seni. Sehingga Wushu bisa juga diartikan sebagai seni untuk berperang atau seni beladiri. Anak jaman sekarang senang menyebutnya dengan Martial Art.

Kalau dibandingkan dengan seni bela diri Indonesia, mungkin Wushu bisa disejajarkan dengan pencak silat. Karena dalam Wushu, kita juga mempelajari seni, olahraga, kesehatan, beladiri dan mental. Jadi jangan pernah menyangka bahwa Wushu hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan gerakan fisik dan kekerasan saja. Wushu juga melibatkan pikiran. Kita harus belajar mengolah pernafasan, memahami anatomi tubuh kita, dan juga mempelajari ramuan atau obat-obatan untuk memperkuat tubuh maupun untuk pengobatan.
Seni bela diri Wushu dikembangkan oleh etnis Cina yang menetap di wilayah Asia Tenggara. Kalau di Indonesia, dulunya Wushu lebih dikenal dengan istilah Kuntao.

“Cup! Cup! Cup!” Cindy memegang kepala saya dan mencium tiga kali. Dua kali di pipi kiri dan kanan, sedangkan yang terakhir jatuh di bibir. Dari dulu dia selalu mencium saya seperti itu. Saya sering merasa jengah setiap kali dia mencium di bibir tapi karena sikapnya yang terlihat tulus, saya tidak pernah protes apa-apa.

“Kamu ngapain di Amerika, Yo? Lagi liburan sama keluarga, ya?” tanya Cindy sambil tangannya terus merangkul pinggang saya erat sekali.

“Aku kuliah travel di kota ini. Kamu ngapain di sini?” Dari dulu kami selalu membahasakan diri sendiri dengan ‘aku’ dan ’kamu’.

“Aku udah nikah dan tinggal di Long Island sama suamiku.”

“Oh ya? Kok buru-buru amat nikahnya? Nggak kamu banget kayaknya.” Saya selalu ingat Cindy selalu berkata bahwa dia ingin menikah paling cepat umur 35 tahun. Mau mengejar karir dulu sebagai atlet Wushu lalu merambah ke dunia film dan modeling.

“Hahahaha iya, aku bunting duluan sih sama Mark.”

“Astaga! Kamu serius, Cin? Mark itu siapa?” tanya saya kaget. Cindy tak pernah berhenti membuat saya terkejut. Saya aja pusing tujuh keliling dengan kehamilan ini, sementara dia dengan ringan mengatakan bahwa dia ‘bunting duluan’ tanpa beban.

“Mark itu suamiku. Ketemunya juga di tournament Wushu di sini. Dia peserta Wushu kontingen dari Amerika.”

“Terus kamu pacaran dan hamil?” Saya coba mengurutkan ceritanya.

“Ga pacaran, sih. Abis tournament, Mark ngajak aku party ke club, rame-rame bareng sama temen-temen yang lain juga sih.”

“Terus gimana?”

“Terus aku nggak inget apa-apa lagi. Pas bangun pagi harinya, aku udah telanjang di apartemennya dengan kepala hang over.”

“Aduh! Kamu shock dong, ya?”

“Shock? Nggak sih. Cuma aku nyesel aja kenapa melakukannya sambil mabuk. Karena jadinya aku lupa apa menimati atau nggak.”

“Oh...terus gimana?”

“Dan yang paling nyebelin, aku lupa nyuruh dia pake kondom. Padahal aku bawa kondom banyak di tas. Ada yang rasa strawberry, banana, grape bahkan ada yang glow in the dark segala.”

“Hihihihi...” Saya nggak bisa menahan tertawa mendengar omongannya Cindy.

“Dua bulan kemudian setelah berada di Indonesia, aku hamil.”

“Terus kamu mau gugurin?” terka saya lagi mengingat karakternya seperti itu.

“Ya, iyalah. Ngapain aku punya anak umur segitu?” sahut Cindy. Ternyata dugaan saya benar 100%.

“Tapi sebelum aku aborsi, aku kirim message ke Mark bahwa aku hamil dan mau aku gugurin.”

“Maksudnya kamu mau minta dia tanggung jawab?”

“Nggak. Cuma pemberitahuan aja sih, sama sekali nggak minta pertanggungjawaban. Dan kamu tau nggak reaksi Mark kayak apa?”

“Apa reaksinya?”

“Dia bilang, jangan aborsi dulu. Dia bilang akan segera menemui aku di Jakarta.”

“Oh? Mungkin dia ingin mempertanggungjawabkan dengan cara nganter kamu ke ginekolog, ya?”

“Tadinya aku pikir juga begitu. Tapi ternyata aku salah. Dan kamu juga salah, sayangku,” jawab Cindy sambil tersenyum penuh kemenangan.

“Jadi apa maunya? Ngawinin kamu?”

“Persis! Dia langsung nemuin Papi dan Mami, langsung melamar saat itu juga.”

“Oh ya? Wah hebat banget!” Secara otomatis pikiran saya langsung membandingkan sikap Mark dan Ernest. Aduh! Ampuni aku, Tuhan. Tidak seharusnya saya membanding-bandingkan diri sendiri dengan nasib orang lain. Saya menarik napas panjang berusaha menenangkan hati.

“Aku tadinya mau nolak. Ngapain aku nikah di usia muda? Tapi Papi dan Mami terus merayu aku suruh terima lamaran Mark.”

“Logis banget sih, pikiran Papi dan Mami kamu.”

“Kata mereka, jarang-jarang ada lelaki sejantan dan penuh tanggung jawab seperti itu.”

“Betul! Jarang cowo mau menempuh puluhan ribu mil untuk bertanggungjawab mengawini perempuan yang tidak terlalu dikenalnya,” ucap saya sambil mengenang Ernest lagi dengan suara ngenes.

“Papi bilang gitu juga. Mami langsung nambahin lagi ‘kamu seiman lho sama Mark’.”

“Orangtuanya Mark dateng ke pernikahan kamu?” tanya saya pengen tau.

“Ya, iyalah. Akhirnya aku menikah dan diboyong Mark tinggal di sini.”

“Terus anak kamu udah umur berapa?” tanya saya polos.

Mendengar pertanyaan saya, tiba-tiba Cindy terdiam dengan muka mendung. Cukup lama dia berdiam diri. Perasaan saya langsung tidak enak. Waduh! Mungkin saya telah lancang melemparkan pertanyaan itu.

“Aku keguguran, Yo. Kata dokter aku terlalu capek dengan semua pernikahan lalu dilanjutkan dengan penerbangan panjang dari Jakarta ke New York,” jawabnya dengan suara pelan.

“Aduh! Maaf ya, Cin. Aku nggak bermaksud menyakiti hati kamu,” kata saya sambil memeluk dia kembali.

“It’s okay, Sayangku. Aku tegar kok. Aku udah membuat pilihan dengan hidup di sini. Keguguran itu mungkin salah satu konsekuensi dari pilihan yang aku ambil,” katanya sambil memeluk balik dengan erat.

Sejenak kami terdiam lagi. Hidup memang adalah pilihan. Papa saya sering memberi nasihat; minimal sekali dalam hidup, kita harus berani mengambil keputusan yang penting. Mungkin keputusan yang kita ambil keliru tapi paling tidak kita lebih ikhlas menghadapinya karena pilihan itu kita sendiri yang memutuskan. Bukan orang lain.

“Kamu bahagia nggak dengan pilihan itu?” tanya saya penasaran.

“Bahagia itu bukan apa yang terjadi pada kita, Yo. Bahagia itu adalah bagaimana kita menyikapi apa yang terjadi pada kita.”

Mendengar ucapan Cindy saya terpaku. Kelihatannya saja anak ini urakan, padahal dari omongannya barusan, terasa sekali kalau pengetahuannya tentang hakikat hidup telah begitu dalam. Tanpa disadari kalimatnya barusan membuat kesedihan saya mencuat ke permukaan.

“Aku selalu inget omongan kamu, bagaimana Tuhan kamu yang namanya Sidharta Gautama meninggalkan istana, hidup miskin, menggelandang ke mana-mana tapi toh hidupnya bahagia.”

Saya semakin terdiam dengan hati yang sangat galau.

“Dan Budha pernah berkata ‘Tidak mengharap maka tidak kecewa. Tidak memiliki maka tidak kehilangan’ Aku nggak akan pernah lupa cerita kamu soal itu. Begitu terpesonanya sama cerita itu, sampai sempet terpikir olehku untuk pindah ke agama Budha.”

“Huhuhuhuhuhu...,” Tangis saya tiba-tiba meledak. Emosi saya langsung menguak keluar tubuh. Saya menangis kenceng sekali dengan airmata berderai tanpa henti seperti mata air yang menjebol batu karang, tak terbendung sampai airnya menyembur ke permukaan bumi.

“Yo! Kamu kenapa?” Cindy kaget bukan main meihat reaksi saya. Dia langsung memeluk saya lagi.

“HUHUHUHU....!!” Sayangnya semakin dipeluk, tangis saya malah semakin keras. Kehangatan pelukan itu seperti tempat pelampiasan yang tepat. Maka makin menangislah saya menggerung-gerung. Air mata saya membasahi baju Cindy sampai basah kuyup.

“Sudah, sudah, Yo! Kamu tenangin diri dong. Yuk, kita minum kopi dulu.”

Cindy mengajak saya ngopi di kafe seberang jalan. Untungnya tempatnya sepi dan nyaman. Kami duduk berdampingan di pojok dan saya masih sibuk dengan tangisan saya.

“Good morning ladies. Are you ready to order something?” Tiba-tiba bartender yang sekaligus bertindak sebagai waiter menyapa kami.

Bartender ini bertubuh tinggi besar. Kulitnya separuh albino. Celananya berwarna hitam. Perutnya gendut mengenakan baju putih dan dilapis lagi dengan rompi yang juga hitam dilengkapi dengan dasi kupu-kupu berwarna merah maroon berbintik-bintik putih. Meskipun wajahnya terlihat garang namun kegarangannya langsung menguap saat dia tersenyum manis.

“Give us a minute,” sahut Cindy sambil terus memeluk dan menepuk-nepuk pundak saya.

“Okay ladies. Take your time. I’ll be in the bar. Just call me when you’re ready.” Habis berkata begitu dia kembali ke kandangnya di bar.

Beberapa saat kemudian, kami pun ngopi sambil menikmati sandwich yang dipesan oleh Cindy. Setelah perasaan saya agak tenang, saya pun menceritakan apa yang terjadi antara saya dan Ernest pada sahabat saya ini.

“Bangsat tuh cowo! Dasar cowo pengecut!!” Cindy langsung murka mendengar cerita saya. Dan itu reaksi yang selalu terjadi setiap mengadu padanya saat saya diganggu oleh teman-teman sekolah waktu SMP.

“Kamu nggak boleh memaki Ernest begitu. Put yourself in his shoes. Dia anak satu-satunya. Dia harapan keluarga. Nggak mungkin dia ngawinin aku dan mengecewakan keluarganya,” jawab saya mencoba membela Ernest.

Cindy memeluk saya lagi erat-erat, “Dari dulu kamu selalu begitu. Kamu nggak pernah mau nyalahin orang lain padahal orang itu jahat sama kamu.”

“Ernest nggak jahat!” kata saya separuh berteriak dan mulai menangis lagi.

“Iya..iya...! Ernest nggak jahat. Kamu jangan marah,” katanya sambil memeluk saya lagi lebih erat.

“Saya bingung harus ke mana. Saya nggak mungkin tinggal sama Ernest tapi saya juga nggak mungkin kembali ke Indonesia.”

“Emang kenapa kalau kamu pulang?”

“Aku nggak mau Mama tau. Aku nggak mau nyakitin hatinya.”

“Tapi suatu hari dia pasti akan tau juga kan?” debat Cindy lagi.

“Iya betul tapi setidaknya jangan sampai dia tau. Minimal sampai anak ini lahir.”

Kemudian kami terdiam lagi, terhanyut pada pikiran masing-masing. Suasana hening karena tidak ada satupun tamu lain kecuali kami berdua. Yang terdengar hanya suara bartender yang sedang asyik mencuci gelas dan suara air menyembur dari kran menghajar dasar sink yang terbuat dari alumunium.

“Okay, kalau kamu maunya begitu. Kamu tinggal aja sama aku dulu.” Akhirnya Cindy memecah keheningan itu.

“Aku nggak bisa. Aku nggak mau ngerepotin kamu,” jawab saya tegas.

“Kalau kamu nggak mau, terus kamu mau ke mana?”

“Belum tau, tapi yang pasti nggak tinggal sama kamu.”

Mendengar jawaban saya, Cindy memeluk saya lagi, “Yoyo, dengerin aku. Kalau kamu nggak mau tinggal sama aku...okay, fine! Tapi kamu belum tau mau ke mana kan? Kamu nggak ada tempat tujuan, kan?” katanya.

Saya masih sesunggukan.

“Sebelum kamu dapet tempat tujuan, kamu tinggal sama aku aja dulu. Minimal sampe bayi itu lahir.”

Saya masih belum bisa menghentikan sesunggukan ini.

“Kamu mau kan tinggal sama aku? Sementara aja dulu. Nanti kalau kamu udah ada tempat tujuan, silakan kalau kamu pergi.”

Sedu sedan yang kata Chairil Anwar tidak perlu itu ternyata masih mendominasi emosi saya.

“Okay kan, Yo? Please? Kalau kamu nggak melakukannya untuk kamu, lakukanlah untuk anak kamu.”

Gara-gara dia menyebut demi anak yang ada di dalam perut, saya jadi berpikir ulang,‘Iya betul. Anak saya tidak boleh terlunta-lunta nasibnya.’ Saya tidak bisa menolak lagi. Saya peluk Cindy seerat mungkin dan pecahlah kembali tangis saya. Kali ini kencang sekali sehingga Si Bartender kembali menghampiri.

“Excuse me, Ladies. Is she sick? How can I help you? I can call a doctor if you like,” kata Sang Bartender.

“No worries. We are fine,” sahut Cindy ketus.

Hidup adalah tentang membahagiakan orang lain. Saya bersyukur ternyata Tuhan mendengar doa saya. Akhirnya Cindy mengajak saya untuk tinggal bersamanya di Long Island. Dia bersama suaminya menjalankan usaha travel di sana. Saya bersyukur sekali dia bersedia menampung saya di rumahnya. Saya tau, Sang Budha akhirnya turun tangan melalui Cindy untuk menolong saya.

Long Island adalah sebuah pulau di negara bagian New York. Luasnya 3567 km² dengan panjang sekitar 190 kilometer dan lebar sekitar 27 kilometer. Populasi penduduknya kira-kira 7,536 juta jiwa. Pulau ini merupakan pulau terpadat di Amerika Serikat. Secara administratif pulau ini dibagi menjadi empat county. County itu mungkin artinya hampir sama dengan kabupaten kalau dalam bahasa Indonesianya.

Suami Cindy nama lengkapnya adalah Mark Anderson. Dia orang yang sangat menyenangkan. Tingginya sekitar 182 cm. Rambutnya coklat dengan kumis tipis yang terpelihara dengan baik. Setiap minggu sore, bersama dengan Cindy, Mark juga mengajar Wushu pada anak-anak tanggung di halaman rumah mereka.

Mark ikut sibuk mengurus kehamilan saya. Dia membeli popok, kereta bayi, baby chair, baju bayi dan lain-lain. Naluri seorang ayah yang gagal karena isterinya keguguran, dia lampiaskan ke jabang bayi yang ada dalam perut saya. Saya sering terharu melihat dia sibuk mengurut-urut punggung saya ketika saya mual dan memuntahkan semua isi perut ke dalam kloset. Dengan sigap dia membuatkan sup dan teh panas untuk membuat perut saya terisi kembali.

Dan yang menyenangkan, saya ternyata bisa bekerja membantu Cindy di perusahaan travelnya. Kadang saya membantu di bagian administrasi, kadang saya juga berfungsi sebagai tour guide. Intinya adalah saya bisa menghidupi diri saya sendiri. Betul apa yang dikatakan sebuah wisdom 'God always work in mysterious way'. Saya yang drop out dari sekolah Travel and Tourism justru mendapat pekerjaan sesuai dengan cita-cita saya.

Mendekati usia kandungan 9 bulan, Cindy memaksa saya cuti dari bekerja. Dia takut terjadi apa-apa pada bayi dalam kandungan kalau saya terlalu letih. Trauma pada keguguran yang dia alami rupanya membuat Cindy berusaha mencegah risiko sekecil apapun. Saya menurut dan mengisi hari dengan membaca berbagai buku yang saya beli di toko buku yang letaknya tidak jauh dari rumah Cindy.

Hari yang sangat bersejarah pun tiba. Diantar oleh Mark dan Cindy, saya pun pergi ke Eastern Long Island Hospital. Letaknya cuma 15 menit berkendara dengan mobil dari rumah Cindy. Meskipun menyadari bahwa proses persalinan normal itu sakit, saya tetap meminta persalinan normal. Sebagai perempuan yang memilih untuk mempunyai anak, rasa sakit adalah resiko yang harus saya tempuh. Jika takut pada rasa sakit, tidak usah punya anak. Atau kalau mau, Anda bisa minta dokter melakukan operasi caesar.

Sejak masih SD kita sering dijejali wejangan agar kita berbakti pada ibu. Alasannya, seorang ibu telah melalui penderitaan yang hebat karena mengandung kita selama 9 bulan. Seorang ibu harus berkorban menghadapi kesakitan yang luarbiasa ketika kita dilahirkan. Dan nasihat itu sampai sekarang belum juga berhenti. Masih sangat sering saya terima nasihat seperti di atas, entah melalui email berantai atau aplikasi chatting lainnya.
Dulu saya sangat terpengaruh oleh derita ibu tersebut. Saya sulit membayangkan bagaimana perut ibuku ditusuk dan diiris dengan pisau tajam karena beliau harus melahirkan saya secara caesar. Saya berpikir, betapa luar biasanya pengorbanan seorang ibu bagi kita. Dia rela menanggung nyeri yang teramat sangat bagi anak-anaknya.

Tapi pemahaman tersebut sekarang berubah. Saya sekarang sudah menjadi seorang ibu. Dan bisa saya katakan bahwa semua nasihat tentang pengorbanan seorang ibu adalah keliru besar. Kenapa pemikiran saya berubah? Karena selama mengandung 9 bulan, saya tidak merasakan ada pengorbanan. Sayalah yang ingin hamil. Sayalah yang ingin punya anak. Dan ketika akhirnya saya mengandung, tak ada rasa tersiksa sama sekali. Mengandung buat saya adalah masa yang sangat indah dan jauh dari penderitaan.

Mengusap perut ketika hamil adalah quality time yang saya lakukan bersama si bayi. Saya senang sekali bisa merasakan pertumbuhannya. Saya bahagia sekali ketika babyku menendang perut dari dalam, seolah dia tak sabar untuk mengajak ibunya bermain bola. Saya sering menangis sendiri karena dilanda kebahagiaan semasa kehamilan. Percayalah... masa kehamilan itu penuh keindahan. Bohong besar kalau ada yang bilang itu pengorbanan.

Setelah 4 jam mengejan, akhirnya anakku terlahir. Yang membuat semakin takjub adalah tangisan Si Baby membuat rasa sakit sirna seketika dan langsung menguap entah ke mana. Yang ada lagi-lagi hanya kebahagiaan semata. Thank God.
Hari-hari berikutnya lagi-lagi hanya diisi dengan kebahagiaan.

Anakku yang belum mengetahui konsep siang dan malam, seringkali terbangun. Hampir setiap jam dia menangis, kadang karena popoknya basah, haus atau kepanasan. Tentu saja saya harus begadang dan mengurus anak tercintaku ini. Tapi apakah saya menderita? Tidak! Apakah saya melakukan pengorbanan? Juga tidak! Saya enjoy sekali menggendong anak saya tiap malam, menyusuinya, mengganti popoknya, pokoknya apa saja. Menepuk-nepuk punggungnya sampai dia bersendawa adalah pengalaman yang luar biasa menyenangkan.

Jadi buat siapa pun di dunia ini, berhentilah menasihati orang untuk berbakti pada seorang ibu, dengan beralasan ibu telah menderita dan berkorban. Nasihat seperti itu hanya akan membuat ibumu terkesan pamrih. Percayalah, seorang ibu tidak pernah merasa melakukan pengorbanan saat melahirkan.

Seorang ibu selalu senang dan rela melakukan apapun untuk kebahagiaan anaknya. Dan apa yang dilakukan dengan senang dan rela, itu pasti bukanlah pengorbanan. Seorang ibu selalu berusaha membahagiakan anaknya. Karena kebahagiaan ibu adalah melihat anaknya berbahagia. Jadi bisa disimpulkan; adalah kekeliruan fatal bila kita membebankan dan menggunakan rasa sakit itu untuk menuntut balas jasa terhadap anak kita kelak.

“Oeee...oeeee...” Tiba-tiba tangisan Si Bayi kembali memanggil. Saat itu, saya sudah kembali ke rumah Cindy.

“Kenapa nangis, Nak? Cindy anakku, anak Mama yang cantik!” kata saya sambil menggendong my baby.

Yak, betul. Sebagai penghormatan pada sahabat saya yang begitu besar jasaya, saya beri nama anak saya ‘Cindy’ juga. Nama itu akan menjadi monumen hidup dari rasa syukur pada Cindy, sahabat yang telah rela menampung di saat saya sedang menghadapi cobaan.

Hari itu adalah minggu kedua Cindy kecil menjalani hidupnya di dunia. Dia jatuh tertidur kemudian saya letakkan di box yang posisinya tepat di samping tempat tidur. Saya selalu betah memandangi wajahnya yang sedang lelap. Parasnya damai dan sekilas saya melihat senyuman tersungging di bibirnya yang mungil menggemaskan.

Sekonyong-konyong Cindy masuk dan langsung menyapa dengan suara excited. “Yoyo, kamu kedatangan tamu istimewa. Ayo, coba tebak siapa?”

“Siapa?” Saya balik bertanya dengan dada berdebar-debar sambil berdoa semoga tamu istimewa yang dimaksud bukanlah Ernest.

Belum sempat Cindy menjawab, seorang perempuan paruh baya dan seorang anak muda nyelonong masuk dan langsung menghambur ke ranjang saya. Yang perempuan berteriak,
“Yoyo sayang!”

“Mamaaaa...!!” Saya terkejut bukan main. Karena yang datang ternyata adalah Mama saya bersama Yo Thian Sim, kakak lelaki saya.

“Yoyo!” Mamah langsung memeluk saya dengan erat.

“Mama...Mama...maafin Yoyo...!!” kata saya langsung menangis tertahan. Sedih hati saya telah menyakiti perasaan ibu kandung saya ini.

“Nggak ada yang perlu dimaafkan, Yoyoku. Justru Mama yang merasa bersalah karena terlambat mengetahui masalah ini,” sahut ibuku dengan wajah bijaksana.

“Jadi...jadi Mama nggak marah? ” tanya saya terbata-bata sambil memeluk Mama lebih erat.

“Mama nggak marah, Yo. Kamu sehat-sehat aja kan?” tanya Mama. Kali ini saya bisa melihat air mata mengembeng di kedua matanya.

“Saya baik-baik aja, Ma. Saya sengaja nggak kasih kabar karena takut Mama marah.”

Ibuku memeluk lebih erat lagi. Dengan sedikit terisak dia bergumam, “Ya, Sang Budha, kasihanilah anakku. Dan maafkanlah saya karena lengah dan membiarkan dia menanggung penderitaan ini sendirian. Saya ibunya dan seharusnya saya selalu ada dan mendukungnya ketika cobaan datang.”

“MAMAAAAAAAAAA.....!!!!!!!!” Mendengar doa Mama, meledaklah tangis saya tanpa bisa ditahan lagi. Saya peluk Mama seerat mungkin sambil menangis meraung-raung.

Cukup lama, kami saling memeluk dan saling bertangis-tangisan. Sampai akhirnya Mama mendorong tubuh saya dan berkata, “Itu ada kakakmu. Sapa dia dulu.”

“Hai, A Koh.” sapa saya ke pemuda itu sambil tersenyum dan mengusap air mata. Saya selalu memanggil dia A Koh yang artinya kakak.

A Koh menghampiri saya, duduk di ranjang. Sambil membalas senyuman, dia meraih tangan kanan saya, menggenggamnya erat sekali.

“Ya ampun! Anak kecil ini ternyata sudah punya anak kecil,” kata A Koh seraya mengusap-usap pipi saya.

Saya menarik tangan A Koh dan menciumnya berkali-kali. Hubungan saya dan A Koh sebetulnya kurang begitu akrab, karena itulah saya sangat terharu dia mau jauh-jauh datang ke Long Island hanya untuk mendukung adiknya.

“Gue boleh gendong ponakan gue ini?” tanya A Koh sambil menatap ke arah bayi yang berada dalam box.

“Boleh tapi cuci tangan dulu pake sabun. Tangan lo kotor, kan?” Saya dan A Koh selalu ber ‘Lu gue’ sejak dari kecil.

Tidak lama kemudian, A Koh dan Mama sibuk bermain dengan Cindy kecil sedangkan Cindy yang besar ngobrol dengan saya.

“Kamu yang menghubungi Mama, ya? Dasar kamu kawan yang nggak bisa dipercaya,” kata saya sambil tersenyum.

“Kamu, kan, anak Mama. Bayi itu cucu Mama. Mama kamu berhak tau tentang keberadaan cucunya,” sahut Cindy sambil mengusap-usap kaki saya.” Dan kamu pernah bilang bahwa Mama kamu jangan sampai tau sampai bayi ini lahir. Nah, bayi kamu sudah lahir, kan?”

Luar biasa ya sahabat saya ini. Dengan caranya sendiri, Cindy telah membereskan semua persoalan saya. Dia menampung ketika saya terlunta-lunta. Dia menghubungi Mama dengan keyakinan seorang Nenek berhak mengetahui keberadaan cucunya. Dan yang lebih hebat lagi, ketakutan saya bahwa Mama akan marah ternyata tidak terjadi.

Benar kata orang bahwa 90% dari ketakutan kita, biasanya tidak terjadi. Kita tidak boleh lari dari masalah. Hadapi saja sebesar apapun masalah yang menghadang di hadapan kita.

Tiga bulan lamanya Mama dan A Koh tinggal menemani saya, sebelum akhirnya kami berbondong-bondong pulang ke Jakarta. Mark dan Cindy mengantarkan kami sampai airport.

Selesai check in Cindy berkata,“Okay kami hanya bisa mengantar sampai di sini. Passport dan boarding pass jangan sampe lupa, ya?”

Saya memeluk sahabat saya ini dengan perasaan campur aduk; bahagia, sedih, terharu sekaligus. Betapa beruntungnya bisa memiliki sahabat seperti dia. Saya peluk dia erat-erat dengan mata membasah, “Thank you, Cin. Aku nggak tau apa jadinya kalo nggak ada kamu.”

“I love you, Yoyoku,” katanya sambil membalas memeluk. Lalu seperti biasa dia mencium dua pipi saya dan yang terakhir ciumannya kembali jatuh di bibir. A Koh dan Mama melihat peristiwa itu tapi untunglah mereka tidak bertanya apa-apa sehingga saya juga tidak perlu repot-repot mencari jawaban.

Pengalaman hamil dan melahirkan ternyata memberi banyak sekali pelajaran tentang hidup. Mempunyai anak ternyata memberikan perasaan luar biasa yang sangat sulit untuk dijelaskan. Kalau orang bertanya pada saya, ‘bagaimana rasanya punya anak?’ Saya yakin tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan hal itu.

Kenikmatan punya anak sama sekali tidak bisa diceritakan. Kita harus punya anak sendiri, barulah kemudian mengerti rasanya. Memiliki anak telah membuat level saya meningkat dari seorang perempuan biasa menjadi seorang ibu. Sang Budha pernah berkata, “Ketika seorang bayi terlahir, maka lahir pula seorang ibu.”

Bersambung 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.