Tangisan Pohon Kelor

Tangisan Pohon Kelor
foto: rase

Nyaman sekali pagi ini kurasakan. Udara hangat karena mentari tersenyum. Angin sepoi-sepoi membuat mataku kembali terpejam. Meskipun bukan di pantai, ini rasanya seperti sun bathing. Anget.

PRAAAAKKKK!!!

“ADUH!”

Aku berteriak sambil seketika membuka mata karena terkejut. Aku meringis. Ternyata dahan pohon kelor menimpa sisi depan kepalaku. Yang kumaksud sisi depan kepala adalah atap teras. Salah satu genting paling pinggir pecah dan menjatuhkan potongan pecahan ke lantai undakan.

Ya, aku si rumah nomor 39. Di halaman depan, ada si ganteng pohon kelor. Di sisinya ada si kekar pinus, yang masih pundung, hidup segan mati tak mau gara-gara badannya patah kena angin kencang beberapa tahun lalu.

“Ada apa ini? Pagi-pagi sudah ada huru-hara??” batinku. Aku mengerjabkan mata, mencoba melihat apa yang terjadi.

“Nyonya, please aku jangan ditebang,” rintih si pohon kelor berlinang air mata.

“Keluarga pipit bondol dan teman-temannya butuh dahanku yang tinggi untuk hinggap. Biasanya mereka bercengkerama dan bercanda di sana.“ Sesenggukan si pohon kelor mencoba menjelaskan kepada nyonya.

Aku baru melihat, bahwa nyonya ada di halaman depan. Ia duduk di tangga aluminium sambil memegang gergaji. Ia memotong dahan-dahan pohon kelor. Wajahnya serius, mulutnya berkomat-kamit.

“Shhhh … tahan tangismu, pohon kelor,” bujukku, “itu nyonya bilang apa?”

Pohon kelor menahan tangisnya. Angin pun berhenti semilir, demi membuat suasana sepi. Semua ingin mendengar apa yang diucapkan nyonya.

Please forgive me. I am sorry. Thank you. I love you. Please forgive me. I am sorry. Thank you. I love you. Please forgive me. I am sorry. Thank you. I love you ….

Teryata nyonya mengucapkan kata-kata minta ampun, minta maaf, terima kasih, dan kata cinta kepada pohon kelor. Berulang-ulang, sambil memotong dahan-dahan.

“HHUUUUAAAAAA ….” Pohon kelor tidak lagi bisa menahan tangisnya. Ia menangis keras-keras. Ia menangis karena dahan-dahannya digergaji, sekaligus karena mendengar kata-kata yang diucapkan nyonya.

Mendengar kehebohan di halaman depan itu, tiga pipit bodhol terbang mendekat. Mereka bertengger di dahan pinus. Dengan wajah bengong dan tanpa suara mereka menyaksikan nyonya memotong  dahan-dahan yang biasa mereka jadikan meeting point.

Peluh mengalir di wajah nyonya. Sesekali ia berhenti memotong, memindahkan gergaji ke tangan kirinya lalu jemari tangan kanannya dibuka-tangkupkan. Kadang ia mengerenyit seolah kesakitan. Usai memotong satu dahan, ia akan melihat dengan seksama dahan-dahan berikutnya. Ia melanjutkan memotong dahan-dahan.

“Dengar, teman-teman,” ujarku minta perhatian semua yang ada di halaman.

“Aku yakin nyonya tidak punya niat jahat terhadap kita. Kita semua selalu lihat bagaimana nyonya sangat sayang kepada kita, kan?” Aku mencoba mengajak yang lain berpikir jernih.

“Tapi … tapi yang dilakukannya hari ini sungguh keji …,” ujar pohon belimbing sambil terisak.

Segera terdengar beberapa gumaman. Semua merasa heran dan ngeri melihat kelakuan nyonya hari ini.

“Mungkin aku tahu alasan nyonya,” bisik pohon temulawak.

Semua terdiam mendengar bisikan pohon temulawak. Semua baru sadar bahwa pohon temulawak memar kejatuhan dahan pohon kelor.

“Sepertinya nyonya ga enak hati sama tetangga. Daun-daun kelor kering terbang ke mana-mana. Kapan hari nyonya memang pernah disuruh potong pohon kelor.” Perlahan pohon temulawak menjelaskan sambil sesekali meringis.

“Lha? Kan pohon kelor ada di halaman rumah nyonya?” sergah si pinus tiba-tiba. Sejak patah setengah badannya, pinus menjadi lebih pendiam. Kalaupun ia bicara, selalu sarkastik.

“Memang situasi yang rumit,” kataku cepat-cepat sebelum yang lain menimpali ujaran pinus, dan menjadi keributan tambahan.

“Menurutku, nyonya ada di posisi sulit. Ia pasti ingin tetap membiarkan pohon kelor menjulang tinggi. Ia tahu kalo itu meeting point rombongan pipit bondhol.  Nyonya sering memperhatikan kelakuan para burung dari jendela di kamarnya, bahkan sambil senyum-senyum. Tetapi jika tetangga terganggu dengan sampah daun kelor yang terbang dibawa angin … nyonya juga pasti merasa tidak enak.”

“Itu nyonya sudah selesai memotong,” pohon andhong memotong kata-kataku.

Semua melihat ke arah nyonya. Pohon kelor dipotong semua dahannya, dan hanya menyisakan batang utama setinggi sekitar satu meter. Pohon kelor sudah berhenti menangis, hanya saja bekas air mata masih ada di pipinya.

“Maafkan aku teman-teman. Aku harus memotong pohon kelor. Burung-burung, maaf aku menghilangkan meeting point kalian. Kalian pindah meeting point ke halaman belakang saja, ya. Maaf juga untuk teman-teman yang terluka karena kena dahan yang kupotong tadi. Semoga kalian memaafkan aku. I am so sorry. Please forgive me. Thank you. I love you.” (ras)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.