Ribed Ratangga

Ribed Ratangga
 
"Payungnya ditutup dulu, bu," tegur petugas yang berada pada puncak tangga di akses masuk ke stasiun Ratangga alias MRT.
 
Iiih, nggak sabaran amat sih si mas-nya. Padahal saya hanya hendak menepi ke ujung atas tangga. Supaya tak menghalangi lalu-lalang orang, saat menunggu teman seperjalanan yang sedang sibuk oprek-oprek tas-nya. Ia tengah mencari ponsel-nya, buat check-in dengan QR scan pada akun Peduli Lindungi-nya. Sebab hujan maka ponsel tadi dimasukkannya ke bagian dalam tas. Sungguh ribed.
 
Secara umum, SOP yang harus kita jalani sejak pandemi memang bikin hidup jadi lebih ribed. Namun, sesungguhnya naik Ratangga itu memang sudah rada ribed sendiri, bahkan sejak sebelum berlangsungnya pandemi. Lihat lah, setelah meliwati gerbang metal detector, kita harus buka tas. Petugas lalu memeriksanya, dengan menggunakan sebatang tongkat rotan pendek.
 
Sementara, kita juga sudah harus siap dengan kartu e-money untuk tap in di gate yang berjarak satu meter dari meja pemeriksaan. Orang-orang yang tak terlalu sigap—contohnya adalah saya—merupakan mereka yang paling merasa repot. Yang sigap, seperti teman saya yang sedang mencari ponsel-nya itu, menempatkan kartunya sedemikian rupa sehingga dapat dikalungkan di leher. Sesuatu yang bagi saya pada masa sekarang malah semakin ribed, karena pada leher sudah melingkar gantungan masker. Ditambah, sebuah tas kecil yang menyelempang dari pundak.
 
Berkat pandemi, keribed-tan dipertebal oleh SOP pandemi. Selain kehadiran gantungan masker di leher, ada kesibukan macam menggosok tangan dengan desinfektan, QR scanning memakai ponsel, dan lalu pengukuran suhu tubuh. Dalam situasi ribed-pandemi ini, dengan satu tangan memegang kartu, dan satunya lagi memegang ponsel untuk dapat yang memperlihatkan bahwa saya sudah scan si QR, membuka tas atau ransel menjadi hal tersulit untuk dilakukan di semesta ini. Pemilik tas harus melakukannya sendiri. Kalau kita tak cepat membukanya, akan segera keluar perintah, “tolong buka tas-nya”.
 
Satu lagi tambahan ribed khusus bagi saya pribadi adalah, karena saya yang aktif naik ojol selalu memakai dan membawa helm sendiri. Awal-awalnya, saya sering lupa untuk segera melepaskannya. Turun dari ojol, langsung nyelonong masuk stasiun. Konsentrasi sudah tersita pada mendesinfektankan tangan dan mengeluarkan ponsel serta kartu e-money. Satu kali, saya tak menangkap apa yang diucap petugas, sampai mendadak sadar bahwa helm masih di kepala. Bentuk helm yang rapat telah mengakibatkan daya pendengaran menjadi agak berkurang.
 
"Sebentar mas, saya buka helm dulu," kata saya cepat-cepat.
 
Mas-nya tersenyum simpatik.
 
"Tadi mas bilang apa?" tanya saya.
 
"Tadi saya minta ibu agar buka helm terlebih dahulu. Sekarang kan sudah," katanya masih dengan senyum simpatiknya.
 
Haduh! Kalau saja tangan tak repot dengan segala sesuatu kebutuhan hidup di jaman new normal ini, saya bakal tepok jidat karena tengsin.
 
Sejak saat itu, saya selalu ingat buat buka helm begitu dua kaki sudah turun dari ojol.
 
Puncak keribed-tan di Ratangga dalam hidup saya tercapai beberapa hari lalu. Hari di mana karena suatu sebab saya harus membawa dua buah laptop. Satu di ransel, satu lagi dalam tas kanvas yang mencangklong cantik di bahu kiri. Sudah tentu ada helm yang selalu setia menyertai perjalanan saya, yang pencangklongannya terjadi di lekukan siku lengan kanan. Dua tangan masing-masing sudah siap dengan tugasnya, pegang ponsel dan kartu e-money. Untungnya, pengukur suhu tubuh model kamera otomatis. Jadi, tak perlu ngacung tangan seperti sebelumnya.
 
Sampailah di meja petugas. Perlu dicatat, karena saya membawa ransel, maka artinya saya harus melepaskannya dari punggung terlebih dahulu. Tentunya, bukan hal remeh temeh ketika dua tangan sudah sibuk, lalu ada cangklongan tas kanvas dan helm. Repotlah! Mungkin, karena itulah saya jadi agak naik pitam saat keluar perintah untuk segera membuka ransel.
 
"Sebentar mas, tangan cuman dua nih".
 
Ya ampun, saya keceplosan mengucapkan hal itu. Padalal, kalau orang mengatakannya kepada saya, saya akan jadi sangat sebal sesebal-sebalnya.
 
"Eh, maaf," saya segera berucap lagi.
 
Maksudnya, maaf karena sudah memakai frasa 'tangan cuman dua'.
 
Ransel dan tas kanvas selesai diperiksa. Ponsel dan e-money tadi saya letakkan terlebih dahulu di meja petugas. Demi bisa membuka dan menutup ransel.
 
"Titip sebentar ya, mas".
 
Maksud saya, titip ponsel dan e-money di mejanya.
 
"Silakan," jawabnya sopan.
 
"Naik MRT harus periksa-periksa tas begini, bikin ribed ya," ucap saya ringan sambil menutup ritsleting ransel.
 
"Biasa sih, bu, kalo emak-emak pasti ya ribed," jawabnya.
 
Eh, bukan maen! Itu sungguh ucapan yang cukup menohok, dan saya hanya bisa merespon dengan cengengesan.   =^.^=
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.