Pelajar Utusan

Berbekal selembar surat, Ayah yang masih pelajar sekolah di jaman penjajahan Jepang melakukan perjalanan dan kunjungan antarsekolah.

Pelajar Utusan
Image by Peter H from Pixabay
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Kalijati antara Jepang dan Belanda, pada 8 Maret 1942 di Kalijati, dekat Subang, Jawa Barat—mengutip laman tirto.id—maka, resmilah Indonesia masuk ke dalam cengkeraman penjajahan Jepang. Jaman Jepang, demikian masa itu disebut secara populer.
 
Waktu itu ayahku berusia 18 menjelang 19 tahun—beliau lahir Desember 1923. Masih murid SMA. Kekejaman bangsa penjajah Jepang menimbulkan rasa benci dalam diri Ayah, sampai-sampai Ayah tak sudi masuk sekolah. Apalagi, karena ada yang namanya mata pelajaran bahasa Jepang.
 
Sebagai anak rantau yang jauh dari orang tua, hidup Ayah sangat kreatif. Berbagai masalah bisa ditanganinya dengan cerdik. Dicarinya akal supaya tak perlu bersekolah di bawah penjajahan Jepang. Buat Ayah, lebih baik melakukan petualangan. Berbekal selembar surat keterangan yang menyatakan bahwa Ayah adalah pelajar utusan, yang dikirim untuk berkunjung ke sekolah-sekolah di kota-kota di luar Batavia, beliau lalu berangkat.
 
Berkat surat sakti itu juga Ayah bisa naik kereta api secara gratis ke manapun tujuannya. Di kota-kota tujuan, Ayah mendatangi sekolah-sekolah setempat, dan melaporkan kedatangannya dengan memperlihatkan surat tersebut. Tentu saja Ayah disambut sebagai utusan pelajar dengan tangan terbuka. Dijamu, dan disediakan tempat menginap. Tanpa harus bayar. Namanya saja utusan yang dimuliakan, kan.
 
Saya tak ingat lagi detil cerita Ayah akan berapa lama perjalanan tersebut berlangsung, dan kota mana yang jadi tujuan terakhirnya. Pastinya, sekolah terakhir yang Ayah kunjungi ternyata kepala sekolahnya merupakan kerabat Ayah sendiri. Akibatnya, perjalanan Ayah berakhir di situ secara mendadak.
 
"Ketahuan deh bahwa surat keterangan yang Ayah bawa adalah palsu,” Ayah berkata padaku sambil tertawa berderai.
 
Ya, surat itu Ayah sendiri yang bikin. Surat palsu hasil kreatifitas.
 
"Terus, Ayah diapakan?" tanyaku penasaran, setelah ikutan tertawa bersama Ayah.
 
"Dibelikan karcis kereta pulang ke Batavia, dan diberi peringatan untuk tidak minggat di tengah jalan. Ayah juga disuruh sekolah yang benar," Ayah menutup ceritanya.   =^.^=
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.