Pelacur Bersabda

Pelacur Bersabda
Image by pixabay.com

Patahan lipstick tak beraturan, berantakan. Siapa pelakunya? Apa maksudnya?. Lantas kenapa hanya lipstick yang dibuat berantakan, kenapa tidak yang lain?.

Lelah belum terbayar dan sekarang harus mengumpulkan tenaga untuk memastikan kamar kostku baik-baik saja. Selama aku kost di sini rasanya belum pernah aku menemukan kejadian aneh.

Berminggu-minggu aku tinggalkanpun tidak pernah ada yang mencurigakan. Lalu ada apa dengan malam ini? Apa ada hubungannya dengan pertengkaranku tadi siang? Selemah itu Rio harus melemparkan rasa bersalahnya untuk membuatku menjadi tersudut?.Tapi Rio tidak punya kunci cadangan. Apa Rio merusak pintu kamar kostku?.

 

Limbung, pusing…

 

Sepertinya kejadian tengah malam yang disambung dengan pertemuan pagi tadi, benar-benar membuat aku kacau. Rio yang sangat aku andalkan tak berkutik. Sebagai laki-laki sungguh tak punya pendirian. Sempat Rio berkilah, ini untuk kebaikan.

 

Apa?. Kebaikan apa? . Tidak ada kebaikan, yang ada nafsu egoismu sebagai lelaki yang bermain. Laki-laki macam apa yang ingin aman di label kata lelaki.

 

Marah...amarah membuat lemah.

 

Kuambil Mac di meja kerjaku, aku siapkan lintingan tembakau beberapa saja dan kusiapkan espresso untuk aku bawa pergi.

 

Ada kata terakhir yang aku ingat, “aku sayang kamu, aku masih sayang kamu. Aku minta kamu mengerti, saat ini aku bingung”.

Dalam detik terakhir intonasinya tak ada satupun pengharapan. Selayaknya kudapan yang siap untuk dimakan, aku lenyap.

 

Entah apa yang merasuki otak bejadku senja itu, bisa-bisanya aku berjalan kaki tanpa tahu kaki melangkah harus dibawa kemana. 5 menit Rio tak ada kabar. 30 menit sepertinya Rio baik-baik saja. 1 Jam Rio masih juga tak menghubungi aku.


Kampret kamu Rio, dasar laki-laki penakut. Kecil sekali nyali kamu, cemen.

 

Akhirnya, handphone ku bergetar.

Rio Calling…

Dasar hati sudah panas, otak sudah ngebul, mulut sudah berbusa, maka kata yang pertama keluar adalah, “ngapain kamu telpon?. Ga usah telpon aku lagi, kamu itu yah benar-benar menyebalkan. Otakmu masih segel? Sampai tidak tahu harus bagaimana?”.

Seandainya saat itu aku pegang stopwatch, kira-kira 15 menit, mulutku ngomel ga jelas. Dan you know Rio bicara apa?.

 

“Kamu bisa paham ga sih yang terjadi dengan aku?. Rupanya kamu ga mau mengerti aku. Blep. Mati”

 

Dasar kampret, bener-bener kamu ya Rio, gue benci sama lo.

 

Lari, espresso di tangan kananku terlepas, kontan aku teriak karena termos itu aku beli menggunakan kartu kredit 6 kali cicilan dan baru masuk ke cicilan 3, masa cicilan belum kelar termosnya udah rusak. Kan sayang ya?.

 

Rupanya handphoneku belum mati, dan Rio mendengarkan teriakanku.

 

“Hallo, kamu di mana?”

 

Hah, ko ada suara? Angka di handphoneku masih berjalan, sambil mengusap ingus, aku kembali umbar emosi.

“Ngapain kamu tanya-tanya aku? Pergi sana, gue benci sama lo”.
“Kamu di mana?”.

Berkali-kali Rio tanya dan berkali-kali aku tidak menjawab.

 

Brak…

Semua terjatuh. Kutinggalkan suara Rio, dalam sumpah yang kuselipkan, awas kamu Rio, suatu saat aku akan datang kembali untuk membalas dendam. Aku tak akan pernah tulus bila aku tersiksa sendiri.

 

Aku tak mau kembali ke kantor, chat di handphone terus bermunculan. Semua sama pertanyaannya, yaitu kamu di mana?. Baru aku ingat, tas dan dompet masih aku tinggal di mejaku. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, artinya percuma aku kembali ke kantor, semua pasti sudah pulang.

 

Lapar, badan gemetar.

 

Menyusuri jalan pulang menuju tempat kost, sunyi, senyap dan jantungku berdegup kencang. Ya Tuhan jauh sekali tadi aku berjalan. Kuputuskan untuk kembali ke kantor, aku perlu uang untuk aku makan malam ini dan besok sarapan lalu aku harus bayar laundry pula.

 

Security Gedung masih ada rupanya, pintu Gedung pun tumben terbuka terus, sepertinya automatic door ini sudah harus diperbaiki. Melewati garis batas lalu menuju lift. Tak aada yang menegurku. Tumben.

 

Muka mereka masam semua, ya sudah maaf pa kalau gedungnya sudah dibersihkan lalu harus ada jejak sepatuku yang sedikit kena lumpur di ubin Gedung. Kalau saja aku tadi bawa dompet aku ga akan kembali ke kantor. Bener deh.

 

Perasaanku masih tidak karuan, sampai-sampai tanpa aku sadar aku sudah berada di depan mejaku.

Damn, tasku tidak ada berserta semua isinya.

Aku cari di seluruh ruangan, bersih.

Kemana tasku?, kenapa tidak ada satu chat yang isinya, kamu di mana? Tasmu aku simpan biar aman dan kalau ada apa-apa kamu telpon aku.

Tidak ada, tidak ada chat yang isinya seperti itu.

Menyebalkan.

 

Aku keluar kantorku, pintu masih terbuka lebar, artinya saat aku tadi lewat pintu memang tidak terkunci dan artinya pula OB masih ada di dalam.

“Bang…”

“Bang Kotan…kamu di mana?. Lihat tas dan dompetku tidak” Tidak ada suara.

Jam di handphone ku sudah menunjuk pukul 22.00 dan Bang Kotan masih ada di dalam?. Ko aneh.

Aku bergegas pergi, mulai takut karena lampu di Lorong tiba-tiba mati jangan sampai lift ikut mati.

Pintu lift terbuka, bukan satu tapi semua.

Waduh mak, bagaimana ini. Aku cari cctv, aku cari nomor kontak security Gedung. Tidak ada.

Gila, aku harus turun 30 lantai. Itu artinya ada 60 tangga dengan masing-masing 10 anak tangga, gempor atuh lah.

 

Tidak ada pilihan, aku berjalan sambil nafas yang kutarik sangatlah berat.

Kali pertama aku terperangkap di dalam Gedung, aku harus cepat sampai lantai bawah, berharap café di bawah masih ada yang buka, setidaknya sedang beres-beres, karena kalau saja mereka sudah tutup, lampu sudah mati maka aku harus menginap di Musholla, yang dinginnya luar biasa dan tentunya aku tak yakin bisa tidur dengan nyenyak.

 

Whuft, sampailah aku di lobby, eh bukan. Ini bukan lobby tapi…

Kali ini aku baru tahu kalau tangga darurat itu bukan menuju lobby tapi langsung menuju meeting point para Ojol. Ko Aneh.

Artinya kalau ada niat buruk, bisa saja orang masuk lewat pintu darurat dan tidak perlu melewati security check in. Main bas bus aja, gampang banget.

 Persetan dengan security Gedung, aku harus cepat menuju tempat kostku sebelum gerbang ditutup.

“Rio…?”

Ngapain ini orang di sini?, ngapain so cari aku?, pake muka lusuh segala, alah paling juga drama sambil kasih penjelasan ke ibu kost atau hanya modus agar marahku mereda.

Aku melipir sedikit aku ambil jalan samping, masih marah dan tak mau ketemu Rio. Biar saja dulu dia di bawah Bersama ibu kost.

Ku buka kamar perlahan, kulepas sepatu dengan buru-buru. Badanku sangat lengket dan aku ingin segera mandi.

Segera ku cari handuk yang biasa aku simpan di samping cermin, di cermin tertulis coretan lipstick merah.

Rio, Bagaimanapun, kau bukan milikku. Aku tak ubahnya pelacur yang memaksa kau untuk jadi milikku.

Saat kamu temukan aku, aku hanya ingin kau peluk dan kau cium untuk terakhir kalinya.

Bawa aku ke pulang, dan simpan di samping kedua orangtuaku.


#Bandung, 2503

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.