PANACEA UNIVERSAL

Peradaban tak lebih dari konflik kepentingan di atas kebenaran yang disembunyikan, ia menunggu manusia-manusia pemberani untuk membukanya.

PANACEA UNIVERSAL
Photo credit: Clive Varley on VisualHunt

Selalu, jalan yang sama akan ditempuhnya sepulang praktek dokter di rumah sakit Sanglaria, dekat kantor bea cukai bersebelahan kantor walikota, sendirian. Hanya kali ini, dia tidak pulang ke rumahnya, mobilnya masuk ke dalam tol luar kota arah puncak Paraban.

Memang buat banyak orang akan jadi pertanyaan, kok gadis berparas mendekati Ida Iasha-bintang film Indonesia era 80-an yang kecantikannya lebih maju dari jamannya dan dengan usia lewat seperempat abad ini, masih saja belum punya pasangan. Awas expired kalo candaan teman-temannya. 

Don't care tampaknya sikap yang ia ambil, sibuk menenggelamkan diri ke hal lain; buku. Buku bukan sembarang buku, bukan sekedar buku kedokteran yang telah banyak dikoleksinya. Berjejer. Saat ada waktu senggang, ia sibukkan dirinya dengan membaca buku pengobatan alternatif di masa lalu terutama terkait hal kimia dan supranatural, alkimia bahasa kerennya. 

Agak ngga nyambung memang, tapi ilmu kimia adalah minor yang ia kuasai selain sedang dalam proses meneruskan spesialisasinya sebagai dokter penyakit dalam. Apa yang ditelitinya tentang alkimia bukanlah sembarang alkimia melainkan salah satu hal penting yang diusahakan para ahli alkimia dari waktu ke waktu yaitu Panacea Universal. Obat yang dapat menyembuhkan segala penyakit dan memperpanjang usia. 

Dokter Lea, demikian kawan-kawan sejawatnya memanggilnya, kacamata dengan ganggang tipis warna biru donker menjadi penambah aksen gaya muda yang pas dengan mata sipitnya. Lahir dari garis keturunan Cina, memiliki campuran darah Jawa. Ia tak bisa menghindari pertemuan kedua kultur hebat ini.

Garis-garis kepercayaan Jawa-Kejawen dan pengobatan tradisional Cina sungguh memberi rasa ketertarikan besar baginya semenjak ia kecil dahulu. Semakin besar, minat ini berkembang pada alkimia yang sayangnya harus ia geser prioritasnya. Keluarga besarnya kebanyakan dokter, ia pun auto diminta meneruskan profesi tersebut. Ok, masih sejalanlah pikirnya.

Dokter Lea rajin mengumpulkan artikel terkait alkimia dan Panacea Universal ini, semua difolder rapi sesuai pribadinya yang sedikit OCD. Harapannya, ia bisa menemukan Panacea Universal atau setidaknya sisa-sisa pengetahuan tentangnya yang akan membantu dunia kedokteran untuk meningkatkan harapan hidup dan kesembuhan umat manusia. Mulia bukan?

Sayangnya praktik alkimia yang kiblat utamanya di Eropa itu pernah mendapat sentimen negatif saat disandingkan dengan praktik sihir dan mistisme. Jaman gereja Khatolik berkuasa penuh, para penggiat alkimia bisa kehilangan nyawa karena dianggap penyihir dan bersamaan dengan itu terjadi pembakaran buku-buku serta catatan pengetahuan mereka. Hanya sedikit informasi yang berhasil diselamatkan hingga masa kini.

Mendekati pecahan jalan, Honda Brio merah yang dikendarai Dokter Lea mengambil lajur keluar tol. Paraban, 60 Km. Ia sedang menyendiri di villa keluarganya dekat puncak Paraban yang dingin, cuti selama seminggu untuk memfokuskan diri pada studi S2-nya dan tak lupa, alkimianya. Tapi kasus pendarahan usus yang sulit ditangani membuatnya harus turun ke kota membantu dokter spesialis disana. Lagi-lagi kalau bukan permintaan dari ibu-nya, pemilik rumah sakit tersebut, ia malas turun ke kota. Selintas sumpah dokter mengingatkannya, ia akhirnya turun menunaikan tugasnya sebagai dokter.

Malam itu, sembari menyetir di atas mobil ke arah villa keluarganya, ia sedang bertelepon dengan mantan teman sekelasnya saat kuliah kedokteran di Jerman dulu. Temannya ini membantu mencari potongan informasi tentang alkimia di sekitaran Eropa, mereka punya hobi yang sama, alkimia. Dan telepon ini penting buatnya setelah tadi siang temannya sempat mengirim pesan bahwa ia sudah berhasil menemukan potongan petunjuk tentang Panacea Universal dari sebuah diari catatan kuno.

Diari itu berasal dari abad 13, milik seorang dokter pribadi keluarga bangsawan pemilik kastil di Inggris yang masih merupakan keturunan Ordo Rosicrucian, ordo purba yang pengajarannya merujuk pada awal mula alkemi di Mesir 1500 SM. Dan copy buku tersebut didapatnya lewat pasar gelap. Baru mulai saja, keduanya sudah terlibat pembicaraan seru seolah menemukan harta karun terpendam. Dokter Lea dan temannya excited saling berbagi informasi.

Baru 10 Km keluar dari tol, terlihat untaian panjang mobil beriringan pelan menuju puncak Paraban yang memang terkenal sejuk dengan pepohonan cemara dan city light-nya yang indah. Shit! This is long weekend! Ia lupa. Beruntung ia paham jalan kecil, putar balik lalu sedikit berbelok, mobilnya memasuki areal perkampungan dengan rumah-rumah berdinding lapisan kayu yang dicat warna-warni. Sedikit berguncang, jalanan tak mulus dilewatinya, malam itu semua terasa lebih sepi. Paling penduduk kampung sedang keluar menjajakan dagangan di tengah kemacetan tadi pikirnya. Pelan berjalan, ia masih asik ngobrol dengan temannya di telepon.

Setelah melewati sebuah Mushola, ada belahan jalanan lagi. Dokter Lea berbelok ke kanan, menanjak ke arah perkebunan teh yang sunyi. Seram? Pikirannya jauh dari kata seram dan takut, logikanya tak menerima begitu saja istilah setan dan hantu sebagaimana ia juga tak begitu saja menganggap alkimia sebagai ilmu sihir. Lagian, dia sudah terbiasa dengan mayat bukan?.

Orang jahat? Ohh.. dia tau betul sifat penduduk sekitar daerah itu yang sangat halus dan ramah, bahkan catatan kejahatan daerah tersebut sangatlah minim bila tidak bisa dikatakan nol. Memang agak sedikit rusak jalanannya tapi setidaknya bisa menghemat satu jam lebih ketimbang stuck di kemacetan tadi.

"Kalo lo mau, gua kirimin file copy-annya yah?" tanya temannya.

"Ngga!" jawab Dokter Lea sembari mengontrol kemudinya pelan.

Temannya agak kaget dengan penolakan Dokter Lea.

"Ngga ragu-ragu maksud gue, hahaha.. japri aja ke WA ama email yang biasanya yah," lanjut Dokter Lea.

"Ok Cici jenius, sekejap!"

Cici adalah panggilan akrab temannya untuk Dokter Lea yang memang satu-satunya mahasiswi bermata sipit di kelas mereka dulu. Jenius, yah itu udah ga usah diperdebatkan lagi, dia termasuk dokter muda yang menguasai spesialisasi penyakit dalam dengan cepat. "Cling", terdengar bunyi notifikasi, file copy-an telah berhasil dikirim ke email dan whatsapp Dokter Lea.

"Tapi Ci, lu musti ati-ati juga," kata temannya mengingatkan.

"Ati-ati? Lu masih diikuitin orang-orang itu?" tanya balik Lea.

"Gua males ceritain, malah jadi parno sendiri, so far ga ganggu sih. Nah, balik ke diari tadi, ada keterangan menarik di bagian tengahnya,"

"Keterangan apa? Kunci mecahin rumusan kimiawinya atau fungsi praktik okultisme yang terakhir kita bahas?"

"Bukannnn... buku ini memang ada catatan alkimia si dokter tapi kalo diteliti, kebanyakan lebih ke resep-resep obat berbahan alam, sisanya ada kode-kode yang lu musti pecahin sendiri. Tapi yang bikin menarik, itu buku diari nyebutin kalo aliran alkimia pengobatan pernah meneliti Jesus Christ di abad ke 3 Masehi."

"Hmm, Jesus Christ?"

"Iya, lu baca aja di bible, dia banyak bikin mujizat terkait kesembuhan dan tiap kali menyembuhkan seseorang, ada semacam energi yang keluar darinya,"

"Hoo.. jadi mereka pikir dia jadi kunci untuk mempelajari Panacea Universal itu?"

"That's right! Sepertinya dia bukan saja nabi dalam sejarah para nabi di agama Islam ataupun mesias dalam konteks penyelamat dosa manusia kalo di versi agama Kristen atau Khatolik. Tapi dari versi alkimia, dia penggenapan dari sang sumber pengetahuan alkimia obat-obatan yang sudah dimulai 1500 tahun sebelumnya di Mesir."

"Danke1 bro, that's a good point,"

"Eee.. itu belum seberapa, tahan yah.. jangan kaget nih. Kira-kira pas abad ke-5, setelah mereka meneliti Jesus Christ dan mujizat kesembuhannya, out of the blue2 sebagian dari mereka cabut ke Cina."

CIIIITTT, decit bunyi rem mobil Dokter Lea terdengar keras di heningnya perkebunan teh meski ia tak sedang mengebut, hanya sebuah injakan rem mendadak di jalanan menurun. Dokter Lea diam memegangi setirnya, ia seperti agak shock mendengar kalimat terakhir temannya perihal pengetahuan alkimia itu dibawa ke Cina. Pegangannya masih mencengkram kuat, nafasnya sedikit tak beraturan, bola mata membesar dibarengi kedua pundaknya yang menegang. Ia benar-benar shock seolah teringat akan suatu hal yang sangat penting.

Tiba-tiba bayangan masa kecil itu seperti melintasi pikirannya, Dokter Lea masih ingat betul almarhum Kakek-Nenek dari pihak ayahnya yang cukup dekat dengannya. Ia adalah cucu ketiga sekaligus kesayangan meski bukan anak laki-laki. Kata mereka, Lea adalah cucu spesial karena lahir di tanggal dan bulan yang unik, bahkan ia memiliki nama Cina tersendiri yaitu Fenghuang atau kalau di barat dikenal dengan sebutan burung Feniks atau Phoenix. Tanda lahirnya di punggung kirinya juga berbentuk seperti burung itu.

Mereka jugalah yang menceritakan beragam pengobatan tradisional Cina kuno pada Lea kecil sembari mendongengkan kisah-kisah legendaris termasuk kisah dongeng burung Feniks versi mereka. Dikisahkan Kaisar dan seratus orang pembesar kepercayaannya mengalami keracunan makanan, pihak musuh yang melakukan ini masih diburu. Racun ini membutuhkan waktu tiga hari untuk mulai melumat organ dalam sebelum membunuh korbannya. Titah sang Kaisar diberikan kepada para tabib istana, sebelum tiga hari mereka harus bisa menemukan penawarnya atau mereka semua akan dihukum mati, menuju alam baka bersamanya.

Para tabib tahu penawarnya adalah sebuah tanaman yang bisa tumbuh di suhu ekstrem, sayangnya tanaman itu berada di ketinggian yang sulit digapai, bibir kawah sebuah gunung berapi aktif. Di tengah keresahan para tabib, seorang tabib muda datang membawa burung Feniks langka  peliharaannya yang telah dilatih mengenali dan mengambil beragam daun obat-obatan. Burung tersebut bisa mereka gunakan untuk mengambil dedaunan yang diinginkan.

Singkat cerita, beberapa tabib termasuk tabib muda itu, membawa sang burung Feniks ke titik terdekat dengan gunung berapi tersebut. Burung Feniks yang juga memiliki ketahanan terhadap suhu ekstrem, mulai terbang mengambilkan dedaunan dari tanaman yang tumbuh di dekat bibir kawah tersebut. 

Setelah mendapatkan beberapa daun obat, para tabib khawatir burung itu akan kelelahan dan jatuh ke dalam kawah api. Merekapun memutuskan untuk membuat ramuan tertentu yang ditambahkan dengan beberapa lembar daun hasil petikan sang burung Feniks dari bibir kawah. Ramuan selesai, diberikan ke burung Feniks, kemudian ia terbang lagi.

Dan benar saja, saat sedang membawa potongan dedaunan ke sekian kalinya, burung Feniks tersebut terbang merendah, kelelahan. Tiba-tiba beberapa batu terlontar dari letupan kawah mengenai sang burung Feniks, menjatuhkannya ke dalam kawah. Para tabib panik, jumlah daun obat masih kurang setengah dan harapan mereka satu-satunya hilang.

Dalam ketakutan mereka, tiba-tiba sang burung Feniks muncul dari dalam kawah seolah bangkit dari kematian. Rupanya saat terpicu api kawah, ramuan obat yang diberikan kepada burung Feniks tersebut menjadikan tubuhnya berkilau seperti emas disertai pusaran cahaya api yang bersinar memutari sayap dan kepalanya. Para tabib amaze dengan kejadian tak disengaja itu sambil memandangi sang burung Feniks yang tampak membara. Sang burung melanjutkan tugasnya, bagian tubuhnya perlahan normal kembali hanya tersisa pusaran cahaya yang masih memutarinya.

Akhirnya tugas pengumpulan daun obat berhasil diselesaikan oleh sang burung Feniks tersebut sebelum akhirnya ia terbang ke arah barat dan tak pernah terlihat kembali. Tak ada yang bisa menangkap atau memanggilnya pulang termasuk tabib muda tersebut. Waktu berpacu, merekapun bergegas pulang menyiapkan obat.

Esoknya, setelah minum ramuan obat tersebut, Kaisar dan seratus pembesarnya mulai pulih kembali. Para tabib merasa lega terhindar dari hukuman mati. Dan dongeng pun berakhir disini. Begitu kira-kira isi dongeng burung Feniks tersebut. 

Pikiran Dokter Lea mencoba mentautkan kejadian para tabib Cina memberi ramuan obat kepada sang burung Feniks dengan keberangkatan para alkimia Eropa ke Cina di abad ke 5. Apakah mereka terkait? Apakah alkimia diturunkan dari mereka kepada tabib Cina di kekaisaran tersebut?

Memang kisah dongeng ini dimaksudkan untuk mengajarkan pesan moral tentang balas budi, tapi sekarang Dokter Lea menyadari bahwa kisah tersebut bisa jadi bukan dongeng semata, itu kejadian nyata! 

Sementara pikirannya masih menyusun puzzle, sebuah ingatan lain menyambar masuk. Ia ingat, Kakek-Neneknya meninggal secara bersamaan tapi ia tak diijinkan melihat prosesi pembakaran jenazah mereka. Hanya beberapa orang dewasa dari keluarga inti dan para biksu yang boleh mengikuti prosesi pembakarannya.

Tentu ia sedih karena Kakek-Nenek adalah sosok yang dekat dengan Lea kecil. Tetapi dua tahun kemudian, ada sepasang suami-istri yang tak pernah ia lihat sebelumnya, mereka tiba-tiba datang berkunjung ke rumahnya saat perayaan Imlek.

Dan anehnya, pasangan ini memberikannya permen gula-gula jahe persis seperti yang diberikan Kakek-Neneknya dulu. Sikap mereka juga seolah telah lama mengenal Lea kecil. Waktu itu Lea kecil merasa bingung tapi di satu sisi ada rasa nyaman karena merasa bertemu lagi dengan sosok Kakek-Nenek kesayangannya yang telah tiada namun dalam versi lebih muda.

Keduanya tetap datang berkunjung setiap kali Imlek hingga Lea kecil berusia 13 tahun-saat haid pertama, mereka pun sudah tidak pernah terlihat lagi. Herannya, tak satupun anggota keluarga mengenal pasangan itu, mereka tahu, tapi ngga kenal. Lea bahkan sudah bertanya kesana kemari termasuk kepada ayah-ibunya.

"Kerabat jauh katanya, entah yang mana tapi dia hapal keluarga besar kita. Lagian juga inikan Imlek, rumah kita terbuka buat siapa aja yang datang merayakannya," jawab ibunya sembari menyiapkan hio dan lilin untuk sembayang. Lea kecil hanya bisa menerima jawaban sang ibu dengan rasa penasaran, ia yakin betul bahwa pasangan tersebut terlihat seperti Kakek-Neneknya. Namun semakin dewasa, ia tak lagi mengingat mereka hingga barusan saat temannya bercerita soal para ahli alkimia pengobatan Eropa yang berpindah ke Cina.

"Ci! Cici! Lu kenapa? Lea! Lea!" panggil temannya berkali-kali dengan panik.

Dokter Lea menggoyang kepalanya dengan cepat, bangun dari lamunannya sendiri. Ponny tail-nya tampak bergerak kesana kemari, ia menegakkan tubuh, mengambil botol tumblernya dan meneguk air putih, banyak. Satu teguk, dua teguk, tiga teguk hingga delapan tegukan sebelum kembali ke handphonenya.

"Verzeihen Sie3, gua gpp. Gua cuma kaget aja soal tadi elu cerita tenta.."

BRAK! Terdengar suara gaduh, yang selanjutnya disusul teriakan temannya jauh di seberang sana, di flatnya yang ada di Jerman. Tampaknya ada beberapa orang masuk secara paksa ke dalam flat temannya, terdengar bunyi pukulan, teriakan panik temannya dan bergesernya kursi serta meja. Dokter Lea kini gantian memanggil-manggil nama temannya, bunyi keributan masih terdengar sebelum akhirnya tiba-tiba menjadi silent.

"Vincent? Vin? Elu gppkan? Vin? Switch ke mode video call yah!" pinta Dokter Lea.

"Hallo," sebuah suara asing dari seorang pria yang terdengar berat, sesekali disela oleh bunyi hisapan rokok kretek dan hembusan asap rokok dari mulutnya.

"Iiii.. iini siapa?" tanya Dokter Lea

"Namuh siton'a namuh tou thiw ing reff su," balas suara disana.

"Hah? Vincent? Mana Vincent? Atau saya laporkan ke kepolisian Jerman" tanya Dokter Lea lagi, sedikit intimidatif.

"Selanjutnya dirimu.. Indonesia, Paraban, Dokter Lea. " jawab suara tersebut sebelum menutup sambungan telepon yang tak bisa dihubungi kembali meski berkali-kali Dokter Lea mencobanya. Sia-sia, putus sudah.

Siapa orang itu? Kenapa bisa tahu posisinya? Apakah ini terkait diari yang ditemukan Vincent? Dan yang terpenting, apakah Vincent baik-baik saja? Semua pertanyaan itu memborbardir pikirannya bak air raid4. Ia coba menghubungi perwakilan di Jerman, belum ada yang merespon.

Dengan kesal ia lemparkan handphonenya ke jok belakang lalu memukul-mukul setir mobilnya. Suara klakson mobil terdengar bertalu-talu memecah keheningan perkebunan teh tersebut. Malam masih berkuasa. 

"Namuh siton'a namuh tou thiw ing reff su, manusia bukanlah manusia bila tanpa penderitaan," ucap Dokter Lea lirih. Ia tahu penggalan kalimat tersebut berasal dari bahasa terhilang salah satu suku di Afrika. Kalimat yang menarik manusia untuk kembali membumi dan realistis. Dokter Lea menerka-nerka maksud kalimat tersebut dengan penemuan yang dilakukan Vincent, mungkin terkait.

 "Gua harus nemuin Panacea Universal, secepatnya!". Mobil Brio merah itu berjalan makin dalam ke area perkebunan teh. Lampu mobil menjadi satu-satunya cahaya yang menembus gelap malam area tersebut selaras dengan kesendirian Dokter Lea yang kini sendirian menyingkap kebenaran yang tersembunyi dalam kegelapan.

 

1. Danke = Terima kasih (Jerman)

2. Out of the blue = Tiba-tiba saja (Inggris)

3. Verzeihen sie = Maafkan aku (Jerman)

4. Air raid = Serangan udara (Inggris)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.