Menggali Komunikasi Sebagai Pencegah Perceraian

Perceraian masih menjadi momok tersendiri dalam kehidupan rumah tangga di Indonesia. Angka yang  terus meningkat membuktikan publik butuh edukasi yang lebih komprehensif tentang ketahanan keluarga. Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin mengatakan, angka perceraian di Indonesia khususnya yang beragama Islam, pada tahun 2019 mencapai 480.618 kasus. Angka tersebut mengalami peningkatan setiap tahun sejak tahun 2015.

Amin menjabarkan pada tahun 2015 terdapat 394.246 kasus, kemudian pada tahun 2016 bertambah menjadi 401.717 kasus, lalu pada tahun 2017 mengalami peningkatan yaitu 415.510 kasus dan tahun 2018 terus mengalami peningkatan menjadi 444.358 kasus. Sementara itu, pada 2020, per Agustus jumlahnya berada di angka 306.688 kasus.

"Itu artinya jumlah perceraian di Indonesia rata-rata mencapai seperempat dari dua juta jumlah peristiwa nikah dalam setahun," kata Amin dalam keterangan pers yang dikutip Merdeka.com.

Dengan kenaikan yang rata-rata mencapai 9% per tahun, penyebab perceraian yang paling dominan ternyata persoalan komunikasi. Seperti dikutip Katadata.co.id, pada 2018, perselisihan dan pertengkaran tercatat sebanyak 183.085 kasus, faktor ekonomi berada di urutan kedua dengan 110.909 kasus. 

Masalah komunikasi yang berujung keretakan rumah tangga juga pernah dijelaskan oleh salah satu konsultan pernikahan, Teresa Atkin yang dilansir laman Your Tango. Menurutnya, ada empat penyebab utama sebuah pernikahan dapat bubar di tengah jalan.

Pertama, pasangan suami istri yang terlalu sering membicarakan masalah ternyata berisiko tinggi untuk bercerai. Menurutnya, jika terdapat persoalan maka suami istri harus mengutamakan komunikasi efektif dua arah dan mengesampingkan ego masing-masing. 

Kedua, suami istri yang sama-sama memiliki kesibukan terlampau tinggi terancam kemungkinan perceraian yang lebih tinggi dibandingkan pasangan lain. Menurut Atkin, hal ini bisa ditanggulangi dengan diskusi tentang meluangkan waktu hanya untuk berdua. 

Lalu yang ketiga, suami istri yang terlibat perselisihan perlu mencari akar persoalan terlebih dahulu dengan berdialog saat situasi mulai kondusif. Jika masalah berasal dari salah satu pihak, maka keduanya harus sama-sama menjernihkan pikiran agar menemukan solusi yang terbaik. 

Kemudian yang terakhir, tidak boleh ada perasaan salah satu pihak merasa lebih dominan dan berharga dari yang lain. Hal itu dianggap bisa teratasi dengan berdiskusi empat mata untuk mengenal lebih dalam satu sama lain. 

Dari empat hal di atas, dapat terlihat bahwa komunikasi berperan penting terhadap keutuhan rumah tangga. Dengan teknologi yang semakin terjangkau untuk banyak pihak, sarana diskusi menjadi lebih mudah dan murah. 

Menurut psikolog, RR Finandita Utari, M.Psi., komunikasi terbagi ke dalam 2 jenis, yaitu verbal dan non-verbal. Dalam komunikasi verbal, seseorang akan mengungkapkan sesuatu secara lisan atau dengan bahasa tulisan. Sedangkan pada komunikasi non-verbal, dilakukan dengan bahasa tubuh, mimik, sentuhan, atau suara. 

Dari kedua jenis komunikasi tersebut, perempuan cenderung lebih mudah berkomunikasi secara verbal. Sedangkan laki-laki akan berkomunikasi secara non-verbal. Dalam hal ini, suami-istri perlu mengenal satu sama lain karakter komunikasi pasangannya.

Komunikasi juga tak hanya bisa dilakukan secara langsung. Teknologi yang semakin canggih memungkinkan masyarakat saling menyapa dan bertukar kabar lewat sambungan telepon atau internet. Perusahaan seperti Telkom Indonesia menjadi salah satu sarana telekomunikasi yang paling banyak dipakai oleh masyarakat Indonesia dengan kualitas jaringan yang luas serta terjangkau. Di zaman yang semakin modern, jarak sudah bukan menjadi alasan bagi pasangan untuk saling bertukar rasa sekaligus merajut asa.