MENGEJAR ASA

MENGEJAR ASA
Sumber : Digitalartonline.co.uk/Mercedes deBellard

Dita  baru saja  mengambil honor   di kantor redaksi majalah sastra.  Begitu sampai di luar, wajahnya terasa seperti terbakar. Bergegas dia berjalan kaki menuju halte bis Trans Jogja.  Biasanya akan   makan  waktu sepuluh menit.  Udara siang yang panas memaksanya berjalan lebih cepat agar segera sampai di sana.

 HP-nya berbunyi sebelum sampai di halte . Walaupun merasa terganggu oleh suara  telpon ketika sedang berjalan,  Dita tetap mengambil HP-nya untuk memastikan siapa yang menelponnya.  Dio  si penelpon itu. Temannya semasa SMP dulu. Facebook yang mempertemukan mereka kembali. Belum pernah bertatap muka .  Biasanya mereka berkomunikasi lewat WA. Kadang-kadang Dio menelpon hanya mengajaknya bercanda. Sesaat dia bimbang, antara menjawab telpon Dio atau membiarkan saja.  Mungkin siang ini bukan saatnya bercanda, begitu  pikirnya. 

 “Aku mau ke Yogya minggu depan.  Kita bisa ketemu  untuk membicarakan bukumu ,” Kali ini suara Dio  terdengar serius . Secercah harapan mulai tumbuh di hati Dita. Rasanya sudah hampir putus asa setelah beberapa kali buku kumpulan cerita anak  yang ditulisnya ditolak penerbit. Dio berjanji membantunya  menerbitkan buku itu secara indi.  Sebenarnya yang dibutuhkan Dita adalah pinjaman uang untuk  biaya cetak buku. Dia berjanji  akan  mengembalikan uang pinjamannya setelah buku laku.

“Oke, aku tunggu.  Hari apa kita ketemu?” kejarnya.

“Aku sampai di Yogya Rabu pagi tapi ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan. Bagaimana kalau Rabu sore kita ketemu di hotel ?” Dio memberi tawaran

“Di mana kamu menginap?” masih tak sabar dia kembali bertanya

“Belum tahu.   Sekretarisku yang akan mengurusnya. Kukabari kamu setelah aku sampai di sana.”

“Oke, aku cukup sabar menunggu,” sahutnya datar.

“Aku nggak sabar pengin cepat ketemu kamu ,” seru Dio .

“Sekarang aku lagi  kepanasan di jalan,” keluh  Dita .

“Oh, Maaf. Sampai ketemu di Yogya ya !” Dio mengakhiri percakapan.

Dita  teringat masa-masa SMP ketika sering mengganggu Dio.  Ketika kelas dua SMP, Dio menjadi murid baru di sekolahnya. Dia adalah anak Bupati yang baru saja pindah ke kotanya. Gaya rambutnya klimis seperti Superman, kulitnya putih dan kacamatanya tebal Penampilan Dio membuat Dita  selalu ingin menggodanya. Dia sering menghampiri jendela kelas Dio untuk memanggil-manggilnya dengan sebutan Dioman yang merupakan kependekan dari Dio Si Superman. Aksinya itu baru terhenti setelah guru kesenian yang sedang mengajar di kelas Dio menariknya masuk kelas lalu menyuruhnya menyanyi. Sungguh memalukan mengingat kejadian itu karena dia terpaksa memperdengarkan suaranya yang fals di depan  Dio dan teman-teman sekelasnya.

Anehnya Dio malah  menyukainya. Pada masa itu, kalau kita menyukai seseorang maka yang dilakukan adalah pura-pura meminjam buku lalu menyelipkan surat di dalamnya.  Berkirim surat maupun membalasnya dilakukan dengan cara seperti itu. Belum mengenal gadget seperti sekarang  tetapi lebih menyenangkan dibandingkan dengan berkirim pesan lewat BBM atau WA.  Mendebarkan saat harus menunggu  untuk saling bertukar buku. Tetapi Dio tidak melakukan itu. Dia  menyuruh temannya  untuk menanyakan pada Dita apakah mau menjadi pacarnya. Ah, sebetulnya berpacaran di waktu  SMP bukanlah ide yang baik , karena itu Dita langsung menolaknya.

Ketika Dita merayakan ulang tahun yang ke tujuh belas  , Dio datang ke rumahnya meskipun tidak diundang. Mereka tidak satu sekolah lagi dan tidak pernah berhubungan lagi sejak lulus SMP. Pada hari itu dia kelihatan senang bisa berkumpul kembali  dengan teman-teman SMP . Dia  bernyanyi dengan suara pas-pasan  sambil bermain gitar.  Dita sudah lupa  lagu apa yang dinyanyikannya. Satu hal yang tidak pernah dilupakan adalah kesalahan yang  dilakukan salah seorang teman SMP mereka yang bernama Ria. Sehari sebelum perayaan ulang tahunnya,  Ria memberikan kado  kepada Dita.  Ternyata itu adalah kado ulang tahun Dio untuk Ifa . Ulang tahun Ifa memang hanya selisih sehari dengan Dita. Ria mengira Dio menyuruhnya memberikan kado itu kepada Dita  karena mengira Dio masih memiliki perasaan istimewa pada Dita. Ternyata perhatian Dio telah beralih kepada Ifa setelah Dita menolak cintanya. Dengan kesal Dita mengantarkan kado itu ke rumah Ifa  sedangkan dia sendiri tidak mendapat kado apa-apa dari Dio. Mungkin Dio hanya diajak teman-temannya yang akan menghadiri pesta ulang tahun Dita.

Halte sudah  terlihat di depan mata  ketika selesai mengurai kenangan tentang Dio.  Sudah banyak orang  yang menungu di dalamnya . Dia berharap tidak harus berada di sana terlalu lama.   Halte itu terlalu sempit  untuk  menampung para penumpang yang  terlalu banyak di siang hari sehingga mereka harus berdesak-desakan. Bahkan di dalam bis nanti pun , berdiri berdesak-desakan masih akan dilanjutkan. Siang dan sore menjadi jam-jam padat penumpang untuk bis Trans Jogja.

“Mbak Dita” Ada yang menyapanya . Seorang lelaki setengah baya berbaju batik. Dia tetangganya di kontrakan yang lama  dulu. “Mau ke mana ?”

"Mau pulang , Pak. Bapak mau ke mana?” sekedar berbasa-basi Dita ganti bertanya.

"Mau ke rumah saudara ,” ujarnya sembari melihat ke luar halte. Bis yang ditunggu belum juga datang. “Sasha sudah besar, Mbak? “

"Iya, Pak. Sudah kuliah.”

"Masih kontak dengan Papanya?”

“Ya,  tapi jarang, “ Dita terpaksa menjawab meskipun  enggan.

“Sebaiknya Mbak Dita menikah lagi supaya ada teman hidup untuk berbagi suka duka. Hidup sendiri itu nggak enak.,” tutur si Bapak seperti sedang menasehati anaknya. “Cari kenalan duda  yang  mau diajak nikah !”

Meskipun berdesak-desakan, para calon penumpang kelihatannya masih sempat menguping isi pembicaraan Si Bapak . Ada di antara mereka  yang penasaran ingin melihat sekilas wajah Dita.  Untungnya bis yang ditunggu sudah datang. Kesempatan baik untuk segera menghilang dari pandangan orang-orang di situ.  Setelah berpamitan kepada Si Bapak, dia meloncat ke dalam bis. Masih ada satu kursi kosong untuknya sebelum penumpang lain berebutan masuk .  Tetapi dia tidak yakin akan bisa mendapatkan kursi setelah dua kali transit nanti.  Jalur yang dilewatinya termasuk jalur padat. Berdiri sepanjang perjalanan sudah menjadi resikonya .

 Sesampainya di rumah dia mendapati  TV masih hidup sementara Sasha tertidur di depannya. Piring dan gelas usai makan belum dikembalikan ke dapur.  Di dekat gelas ada tempat obat yang berisi  beberapa butir kapsul.  Awalnya Sasha sering tidak mau minum obat.  Menurutnya, obat itulah yang membuatnya menjadi gemuk. Minum obat  yang diresepkan psikiater membuatnya banyak tidur yang  juga diikuti dengan  banyak makan. Tetapi kalau dia tidak minum obat, halusinasi suara masih sering datang mengganggunya. Suara-suara itu kerap menyuruhnya pergi meninggalkan rumah , kadang menyuruhnya tertawa atau menangis. Pernah menyuruhnya bunuh diri  tetapi dia berhasil melawannya karena masih bisa berpikir rasional. Psikiater menyebut gangguan yang dialami Sasha sebagai sebuah episode depresi dengan gangguan psikotik.   Dita menduga penyebabnya adalah stress karena kuliahnya yang padat dan banyak tugas  dengan sedikit libur. Diperparah lagi oleh perceraian orang tua  yang membuatnya hanya dibesarkan oleh Mamanya sebagai single parent. Kemarahan, kesedihan den kekecewaan pada nasib yang harus dijalani membuatnya tidak bisa bahagia.

Kini kesadaran Sasha  minum obat mulai membaik setelah menyadari terapi apapun yang dilakukan tidak akan berhasil tanpa obat. Psikoterapi yang dijalani tidak bisa bekerja  jika dia sering melewatkan waktu minum obat. Berkali-kali therapist yang menanganinya menegaskan hal itu.  Butuh waktu lama untuk menyadarkan dan meyakinkannya. Sampai-sampai sang therapist meminta Dita membuat buku catatan minum obat untuk memastikan obat diminum sesuai anjuran psikiater.  Dua bulan terakhir ini buku seperti itu tidak diperlukan lagi. Setiap bepergian, obat selalu ada di dalam tas. Sasha sudah hapal jam minum obat dan selalu mematuhi jadwalnya. Perkembangannya cukup menggembirakan. Setelah setahun minum obat, kemungkinan psikiater akan menurunkan dosis obatnya.

“Sudah pulang Ma?” Sasha terbangun. “Obatnya sudah hampir habis, Ma.”

“Ya, minggu depan kita ketemu dokter Rini.”

“Sampai kapan aku harus minum obat Ma?”

“Mudah-mudahan tidak lama.”

“Aku bosan minum obat terus ,” gumamnya lirih.

“Kalau kamu patuh minum obat sesuai dosis dan selalu minum tepat waktu, Mama yakin kamu tidak harus minum obat dalam waktu yang lama. Pelan-pelan dokter Rini akan mengurangi dosisnya sampai akhirnya bisa berhenti minum obat,” Dita menerangkan untuk menenangkan Sasha.  Tangannya mengusap lembut rambut Sasha. Dia sendiri menyadari betapa berat jika harus minum obat dalam waktu yang sangat lama. Mudah-mudahan Sasha bisa bersabar menghadapi keadaannya yang terpaksa membutuhkan obat untuk bisa hidup normal seperti kebanyakan teman-teman seusianya.

Usai boarding  Dio langsung mengabarkan kedatangannya kepada Dita lewat  WA tetapi  tidak dibaca. Mungkin Dita masih sibuk mengurus rumah sehingga tidak mendengar  ada pesan masuk. Biasanya pagi-pagi dia menyapu halaman, mencuci pakaian lalu menyiapkan sarapan. Dia bukan tipe orang yang membawa gadget ke mana-mana. Apalagi kalau  sudah di depan laptopnya . Bisa seharian menulis tanpa menghiraukan apa saja yang terjadi di sekitarnya. Lebih -lebih jika  deadline semakin dekat.  Bahkan makan dan mandi bisa dilupakan.  Mudah-mudahan kebiasaan buruk itu  tidak terlalu sering dilakukan

Sandra dan Satrio, Suaminya,  sudah menunggu sejak setengah jam yang lalu. Mereka mengajak Dio sarapan gudeg di sekitar Wijilan sebelum berangkat ke Gunung Kidul. Sudah cukup lama Dio menunda keberangkatan ke Yogya karena kesibukannya di Jakarta. Terlebih lagi sudah sangat lama dia mengabaikan wasiat almarhum Bapaknya untuk segera membangun sekolah.  Masih bimbang  dalam memilih lokasi, antara Bandung atau Yogya. Sandra adalah teman satu tim ketika mereka sama-sama bekerja di sebuah LSM di Jakarta. Setelah menikah, Sandra yang asli Bandung   mengikuti Suami tinggal dan menetap di Yogya  Sandra yang merekomendasikan Gunung Kidul sebagai tempat untuk pembangunan sekolah alternatif yang digagas oleh Dio dan yayasan keluarganya. Kedatangannya kali ini adalah untuk menyelesaikan akta jual beli tanah.

"Check in jam berapa?" Sandra bertanya ketika mereka sudah  di dalam mobil

" Nanti sore saja setelah pulang dari Gunung Kidul.  Kamu ikut ke hotel ya! Kita ketemu Dita."

"Oh, teman mas Dio yang penulis itu? Lembaga kita jadi sponsor penerbitan bukunya begitu maksudnya Mas?"

"Ya, begitulah."

"Apakah itu masuk kegiatan pendidikan ?" Sandra nampak ragu. 

" Dia menulis cerita anak yang ada unsur edukasinya," jelas Dio mencoba meyakinkan. " Nanti kalian bicarakan teknisnya saja."

"Apakah Mas Tomi, Si Bos Besar sudah setuju ?" Lagi-lagi Sandra meragukan karena baru pertama kali ini lembaga yang mereka dirikan bersama untuk memfasilitasi penelitian dan kegiatan pendidikan harus mendanai penerbitan buku cerita anak. Tapi semuanya tergantung pada MasTomi sebagai pengambil keputusan.

" Nanti aku yang bilang Mas Tomi," lanjut Dio menghapus keraguan Sandra.

" Okelah kalau begitu,”  sambung Sandra berusaha melucu kemudian mengalihkan pembicaraan. “Kemarin Meti datang"

" Sekarang di rumahmu ? Dari Kanada? " sambut Dio begitu antusias meresponnya.

" Nggak. Dari Bali, " sahut Satrio dari balik setir.

" Hampir setahun praktek terapi holistik di dekat Kuta," lanjut Sandra menuturkan kegiatan sang adik.

" Nggak sabar pengin  diterapi. Nanti sore ajak ke hotel  sekalian. Biar bisa terapi  anaknya Dita," Dio berharap.

" Baik Yang Mulia," kata Sandra lagi diiringi tawa kecil.

 Perjalanan ke Gunung Kidul makan waktu sekitar satu setengah jam. Pemandangan sepanjang perjalanan sungguh menarik. Gugusan pegunungan dan jajaran pepohonan yang menyita pandangan mampu menghapuskan kejenuhan akibat kesibukan dan rutinitas harian yang dijalaninya di Jakarta.  Namun dia tidak tahan berlama-lama di kota itu. Begitu urusannya selesai ,  ingin segera kembali ke Yogya. Sandra masih menahannya beberapa saat untuk makan siang nasi merah di rumah makan langganannya.

Setibanya di hotel, dia segera mengirim pesan WA kepada Dita. Meskipun pesannya dibaca, ditunggu beberapa jam sampai hampir Maghrib tidak ada balasan apapun dari Dita. Dio mencoba meredam kegelisahannya sembari bercanda dengan Sandra dan Meti di tepi kolam renang.

HP- nya berbunyi, Dio berharap Dita yang menelpon. Benar saja. Dita dan Sasha sudah di lobi. " Mereka sudah datang," Dio mengajak Sandra dan Meti menemui mereka di lobi.

Mereka duduk di salah satu kursi di lobi hotel. Kedatangan Dio diiringi dua perempuan menimbulkan tanda tangan di wajah Dita. Apakah istri Dio salah satu di antara kedua perempuan itu? Belum lagi bisa memastikan siapa mereka, Dio sudah mengulurkan tangannya. Mengajaknya bersalaman kemudian memperkenalkan mereka satu per satu .

 " Kita duduk di sana saja Mas Dio!" Meti mengusulkan.

"Ayo Dita.  Sasha!" ajak Dio .

Meti dan Sandra duduk saling berhadapan dengan Dita dan Sasha sedangkan Dio memilih duduk di ujung meja di antara  Sandra dan Dita.  Terdengar lirih suara Dio, “ Dita ini dulu pernah kulamar waktu SMP tapi dia menolakku.”  Semua yang mendengarnya tersenyum melihat raut wajah Dio yang berpura-pura sedih.

" Kita pesan minum ?" tanya Sandra kepada Dio yang dijawab anggukan.

Mereka memesan minuman dan sepotong pizza ukuran besar. Makan dan minum pelan-pelan sambil sesekali bercanda. Dita bisa melihat hubungan Dio dan Sandra sangat akrab. Sementara Sasha nampak senang bercerita hal-hal kecil kepada Meti. Dia sendiri merasa canggung berada di antara mereka. Dadanya berdebar-debar setiap kali berbicara kepada Dio. Ini pertama kalinya Dita berada di dekat Dio dan berbicara secara tatap muka dengannya. Waktu sudah berlaku begitu cepat. Tak terasa mereka telah sama-sama tua. Kerutan halus di dahi Dio mengisyaratkan usianya tidak muda lagi.

"Sandra yang akan mengurus penerbitan bukumu. Nanti kalian diskusikan sendiri. Buatlah proposal sederhana dan email ke aku. Sertakan rincian dananya juga selain sinopsis dan target pembacanya, " Dio menjelaskan prosedur yang harus diikuti Dita. " O, ya , Sasha, ini ada Tante Meti , ahli terapi holistik, dia bisa membantumu . Dia akan tinggal di Yogya beberapa lama, kamu dan Mama bisa datang kapan saja.

Dita mengangguk, tersenyum lantas berkisah sedikit tentang cerita di dalam buku yang akan diterbitkan. Dia  memberikan satu buku kumpulan cerita pendek dan satu novelnya yang telah terbit kepada Dio.

 " Sudah sejak tahun lalu aku ingin memberikannya kepadamu." 

 " Iya, kita lost contact sejak pertengahan tahun lalu ya," gumam Dio.

  " Mas Satrio Sudah otw ke sini," Sandra memotong pembicaraan mereka.

 " Dita bisa pulang agak malam?" Dio ingin tahu. Dita melemparkan pandangan ke arah Sasha . Anak gadisnya mengangguk lalu dia pun mengangguk kepada Dio.

 " Ikut kami makan malam di Java Cafe ya !" ajaknya. " Sandra apa mobilnya cukup?"

 " Kayaknya nggak cukup."

 " Ya sudah,  nggak apa-apa kan kalau kalian naik motor ke sana. Nggak jauh kok dari sini. Nanti ikuti mobilnya saja."

Pembicaraan mereka tentang rencana penerbitan buku tidak terlalu mendetail. Dio sudah menyerahkan semua keputusan kepada Sandra. Dita hanya perlu melakukan pendekatan dan komunikasi yang lebih intensif lagi agar semua berjalan sesuai harapannya. Maka dia pun setuju makan malam bersama mereka di sebuah kafe keluarga di ring road utara. Mengikuti kemauan mereka untuk berkaraoke sebelum dan sesudah makan.  Satrio, Dio dan Sandra bergantian menyanyi. Kemudian empat teman Sandra dan Satrio datang. Tiga di antaranya perempuan muda yang kelihatannya masih lajang. Satunya lagi seorang Ibu dengan dua anak remaja dan suaminya.  Dita dan Sasha menyalami mereka satu persatu setelah Dio memperkenalkannya sebagai seorang penulis.

" Mama kapan kita pulang?" Setengah berbisik Sasha bertanya kepadanya. " Kita seperti orang yang nyasar di sini."

" Sebentar lagi. "

" Makananku sudah habis," Sasha mulai tidak sabar.

" Dio, kita pulang dulu ya?" pamitnya .

 Dio melihat jam tangannya. " Setengah jam lagi ya."

 Sasha terpaksa menyetujuinya. Apalagi kemudian terdengar suara Dio, " Besok pagi-pagi Oom sudah pulang ke Jakarta. "

Meti memintanya datang  keesokan harinya agar bisa segera melakukan terapi kepada Sasha. Rupanya Dio sudah menceritakan semua yang terjadi pada Sasha. Tidak ada salahnya dicoba. Siapa tahu bisa membantu pengobatan medis yang sudah dijalani. Ternyata  terapi itu tidak hanya untuk Sasha tetapi Dita juga harus ikut. Padahal tujuan Dita hanya ingin menciptakan chemistry dengan Sandra agar ke depannya lebih mudah dalam menjalin kerjasama.

"Ikatan di antara kalian terlalu dekat. Itu tidak baik," Meti menyampaikan pendapatnya. " Ibu menjadi sakit karena terlalu kuatir kepada anaknya, lalu anak ikut merasakan sakit juga. Karena itu aku harus memutuskan ikatan itu."

Dita tidak menyanggah tapi tidak sepenuhnya setuju. Meski begitu dia tidak keberatan menjalani terapi. Sasha yang lebih dulu diterapi. Dia disuruh berbaring di lantai yang beralaskan karpet dengan mata terpejam. Meti sesekali memijat bagian kaki dan perut Sasha diselingi mengucapkan kalimat-kalimat pernyataan terima kasih kepada  Allah dan pemberian maaf kepada orang-orang yang pernah menyakitinya. Cara yang sama juga dilakukan kepada Dita setelah Sasha tertidur. Begitulah yang mereka lakukan seminggu sekali dalam dua bulan.

" Ada perubahan?" Dita mencari tahu apa yang dirasakan Sasha

"Kepalaku agak enteng. Mama gimana?"

" Dada Mama juga nggak terlalu sesek lagi."

Tapi bagaimana dengan upaya mendapatkan dukungan dana untuk penerbitan buku kumpulan cerita anak ? Kelihatannya Sandra  tidak benar-benar ingin membantunya. Setiap Kali Dita menjelaskan teknis penerbitan dan biaya cetaknya, dia hanya mengangguk-angguk sambil menulis di block note-nya tanpa menanggapinya. Sesekali bertanya tentang sistem penjualan dan jumlah buku yang akan dicetak. Lagi-lagi cuma ditulis tanpa ada kepastian kapan dana cetak buku akan diberikan dan berapa jumlahnya.

"Sudah email Mas Dio?"  Sandra balik bertanya ketika akhirnya Dita meminta kepastian.

“Sudah,” tegasnya.

"Sabar dulu ya. Mas Dio sibuk sekali. Dia habis operasi . Katanya ada kista di lengannya. Sesudah itu dia pergi ke Korea , Vietnam ,  dan Singapore, “ Sandra berdalih.

Tanpa kenal lelah, Dita  kembali berusaha menawarkan tulisannya ke beberapa penerbit di Yogya. Menjelaskan kepada mereka apa keunikan ceritanya dan bagaimana prospek penjualannya. Harapannya, usahanya membuahkan hasil yang menggembirakan.

"Ceritanya sangat segmented. Kisah anak-anak single parents. Siapa target pembacanya ?" Seorang Bapak  dari Divisi Penerbit buku anak meragukannya.

"Semua yang peduli pada anak. Orangtua, guru, psikolog, mahasiswa, pelajar dan anak-anak usia 12 tahun ke atas, " terangnya.

"Kita akan bicarakan dulu dengan anggota tim yang lain," janjinya . " Dua Minggu lagi kita kabari."

Setidaknya ada kepastian, begitu pikirnya. Diterima atau ditolak itu soal lain.   Dari pada menunggu Dio tanpa kepastian. Meskipun demikian dia tidak percaya kalau Dio akan mengecewakannya setelah menumbuhkan harapan yang begitu besar. Sebagai sesama muslim, mestinya Dio tidak akan mengkhianati kepercayaannya.

Dio ragu untuk menyapa Dita kembali sekalipun hanya lewat  WA. Terbayang harapan yang menyala di matanya. Namun kini semua itu harus pupus olehnya. Mas Tomi tidak menyetujui pendanaan penerbitan buku cerita anak karena tidak sesuai dengan misi pendidikan yang diemban perusahaan. Proposal yang diajukan Dita ditolak . Apalagi bisnis mereka sedang turun sehingga pendanaan kegiatan yayasan agak tersendat. 

Kalau saja dia punya cukup uang, mudah saja baginya untuk membantu merealisasikan impian Dita untuk menerbitkan bukunya. Tetapi tidak ada yang tahu bagaimana kehidupannya. Sejak dia berbuat kesalahan lima tahun yang lalu, semua gaji dari perusahaan langsung ditransfer ke rekening istrinya atas perintah Mas Tomi. Dio dijatah uang saku bulanan secukupnya. Via , sang istri, yang memegang kendali atas uangnya. 

 Kesalahannya memang cukup besar. Lima tahun yang lalu dia pernah menikah siri dengan seorang gadis muda yang belum lama dikenalnya. Keduanya terpaut usia 17 tahun. Meski Mas Tomi tidak merestuinya, dia nekat menikah. Alasannya karena tidak ingin berzina. Via sudah lama mengabaikannya . Bahkan mereka sudah tidak sekamar lagi. Laki-laki mana yang mampu bertahan dengan kehidupan perkawinan seperti itu?  Sayangnya gadis muda itu hanya mengejar uangnya . Tidak benar-benar mencintainya. Perkawinan itu pun hanya bertahan lima bulan.

Penghasilan Dio dari mengajar sebagai dosen tamu di sebuah perguruan tinggi swasta tidaklah banyak. Gaji besar  yang dia dapatkan dari perusahaan keluarga yang dijalankan bersama kakak dan adiknya menjadi  hak Via  dan anak-anaknya. Dio tidak bisa melakukan apa-apa untuk memprotesnya.

Sudah malam, Via pasti sudah tidur di kamarnya tapi dia yakin kalau Dita masih terjaga di depan laptopnya. Ingin kembali menjalin komunikasi tapi dia tak punya kata untuk menjelaskan keadaannya. Sangat sulit baginya untuk jujur kepada  Dita. Sudah pasti Dita sangat kecewa kepadanya. Bahkan mungkin sangat membencinya kini. Lalu rasa yang kembali hadir di hatinya setelah pertemuannya dengan Dita di Yogyakarta itu pun akan sia-sia.  Namun dia yakin bahwa takdir Allah lebih baik dari semua yang diinginkan.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.