Mendengarkan dengan Telinga dan Hati

"Suami isteri harus memiliki komunikasi yang baik. Harus saling mendengarkan. Selain memakai telinga, dengarkan pula dengan hati," Pak Damai menambah wejangannya.

Mendengarkan dengan Telinga dan Hati
Gambar dibuat dengan aplikasi Canva

"Kan aku selalu bilang apa mauku? Itulah, kalo aku bicara, tidak pernah didengarkan. You only hear, but never listen." Begitu sergah Rima dengan suara gemetar menahan emosinya.

Sore itu, Rima dan suaminya, duduk di ruang tamu bersama Pak Damai. Amir, suami Rima, mengenal Pak Damai melalui kawannya. Amir bersyukur Pak Damai mau berkunjung ke rumahnya. Pak Damai ini memang sering dimintai tolong menjadi penengah perselisihan, terutama persoalan yang dihadapi suami isteri.

"Saya tidak ngerti apa mau isteri saya, Pak," jawab Amir spontan ketika Pak Damai bertanya tentang masalah yang dihadapi suami isteri itu. Jawaban yang membuat Rima langsung bereaksi keras itu.

Untuk beberapa saat, Rima menumpahkan segala isi hatinya. Bagaimana ada banyak hal yang dia sudah sampaikan, namun tidak dipedulikan suaminya. Pak Damai dan suaminya diam mendengarkan. Melihat suaminya kali ini sepertinya mendengarkan, tumbuh harapan Rima, bahwa permasalahan rumah tangganya selama ini, bisa diatasi. Apalagi suaminya sepertinya sangat menghormati Pak Damai. Semoga dia mau diajak mencari solusi, begitu harapan Rima dalam hati.

Rima menyetujui usulan suaminya untuk meminta Pak Damai membantu mereka. Awalnya Rima ragu menceritakan masalah keluarga kepada orang yang baru dikenalnya. Ketika dengan mata kepala sendiri ia melihat sosok Pak Damai yang terlihat bijak dan tenang, Rima merasa bisa memercayainya.

"Apakah Pak Amir memahami yang disampaikan Bu Rima?" tanya Pak Damai usai Rima melampiaskan uneg-unegnya.

"Iya, Pak," jawab Amir seperti terbangun dari lamunan.

"Pernahkah Pak Amir mendengar Bu Rima menyampaikan hal itu ke Pak Amir?" tanya Pak Damai hati-hati.

"Sepertinya pernah, Pak," akhirnya dengan lambat Amir menjawab.

"Lalu?"

"Saya lupa, Pak," Amir mengaku.

"Tuh, kan, Pak? Bukan saya yang ngga pernah bilang," serang Rima bagai api disiram bensin. "Saya sampai capek berkali-kali bicara tidak didengarkan. Jadinya malas ngomong sama dia, lebih baik diam saja. Hemat energi."

"Lah, Bu Rima kok kayak lampu LED yang hemat energi?" Pak Damai tersenyum sambil menepuk pundak Pak Amir yang duduk di dekatnya.

"Pak Amir harus belajar mendengarkan ketika isteri berbicara," ujar Pak Damai. "Bu Rima, di sisi lain, tidak boleh sering ngambeg," pandangan Pak Damai kini ditujukan kepada Rima.

"Iya, Pak. Dia bisa diam berhari-hari. Bahkan pernah berminggu-minggu. Kan saya pusing? Saya salah apa? Saya tanya juga dia ga jawab," Pak Amir membeberkan kelakuan isterinya jika sedang marah.

Ketika suasana panas akhirnya mereda, Pak Damai memberikan wejangan kepada pasangan itu. Betapa tiap orang adalah unik, tidak sama satu sama lain. Betapa orang sering kali mementingkan dirinya sendiri.

"You only hear what you want to hear. Pernah dengar kalimat itu?" tanya Pak Damai. "Orang hanya mendengar tentang apa yang ingin didengarnya, bukan apa yang disampaikan orang lain."

"Sering kali hati orang tertutup, jadi tidak bisa berempati, bahkan tidak mau berusaha mendengarkan lawan bicaranya. Maunya dia yang benar, orang lain pasti salah. Itu yang banyak terjadi di dunia ini. Coba saja perhatikan, mengapa negara-negara saling berperang?" Begitu antara lain yang disampaikan Pak Damai. Amir dan Rima mengangguk, mengiyakan ucapan Pak Damai.

"Coba kasi tau saya, bagaimana Anda berdua saling kenal?" tanya Pak Damai membelokkan topik.

Amir, yang seorang ekstrovert, segera menjawab. Dengan gayanya yang bersemangat dan heboh, ia menceritakan pertemuannya dengan Rima, sebelum akhirnya mereka menikah. Pak Damai memperhatikan Rima yang diam membiarkan suaminya berbicara. Suami isteri ini memiliki sifat yang berkebalikan.

Mendengar cerita Amir yang menggebu-gebu, Pak Damai tersenyum. Apalagi dia melihat Rima sungguh-sungguh mendengarkan dan tetap mengikuti pembicaraan meskipun dalam diam.

"Kaya tumbu ketemu tutup, begitu istilah orang Jawa," kata Pak Damai mengambil kesimpulan ketika Amir menyelesaikan ceritanya. "Anda berdua ini pasangan serasi sebenarnya, dan masih saling cinta. Benar, kan?" tanya Pak Damai menggoda kedua tuan rumah itu.

Senyum malu-malu yang nampak di wajah Amir dan isterinya menjawab pertanyaan itu. Suasana kini benar-benar cair. Rima yang awalnya tidak nyaman berbicara urusan pribadi di depan Pak Damai yang baru dikenalnya, kini lebih santai. Bertiga akhirnya ngobrol rileks tentang banyak hal.

"Sebenarnya, untuk apa coba Anda berdua menikah?" tanya Pak Damai setelah beberapa saat mereka berbicara santai. "Emangnya untuk bertengkar?" sambungnya.

Amir dan Rima kompak menggeleng. Tentu saja tujuan pernikahan bukan untuk bertengkar atau berselisih. Apalagi saling marah. Suami isteri itu selanjutnya lebih banyak diam mendengarkan perkataan Pak Damai. Sesuai namanya, Pak Damai membuat pasangan itu perlahan mereda luapan emosinya.

"Suami isteri harus memiliki komunikasi yang baik. Harus saling mendengarkan. Selain memakai telinga, dengarkan pula dengan hati," Pak Damai menambah wejangannya. "Jika orang mau memakai telinga dan hatinya dengan baik, tidak ada yang namanya perang di dunia ini," Pak Damai menutup pembicaraan. Ia memiliki janji pertemuan dengan pasangan suami isteri lain untuk sesi konsultasi berikutnya. Pak Damai pulang diantar rekahan senyum di bibir suami isteri itu. Dalam hati pasangan ini berjanji saling mendengarkan dengan telinga dan hati. Janji yang terucap ditandai eratnya kedua tangan saling menggenggam. (rase)

 

​​​Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Menulis The Writers, dengan tema: "Semua Masalah Dapat Diselesaikan dengan Komunikasi"

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.