Maskerku dan Dastermu

Balada masker seorang supir truk

Maskerku dan Dastermu

Kubuang rokok yang masih menyala, walau masih ada separuh yang belum kuhisap.

“Sudah mau jalan lagi, Bang?” tanya Suti si pemilik warung kopi langgananku. “Kopinya dihabisin. Sayang… masih anget, tuh!” sambungnya.

“Iya, Neng. Perjalanan masih jauh,” jawabku sambil memasukkan kotak rokok dan korek api ke dalam saku bajuku.

“Wah… ati-ati, yaaa… Makanya kopinya dihabisin, biar ‘nggak ngantuk. Balik lagi kapan?”

“Hmmm… emang kenapa? Kangen? Ini udah ketemu, masih kangen aja,” jawabku santai. “Yah paling dua hari juga udah nyampe sini lagi. Cuma bongkar muatan di Bekasi besok pagi, terus besoknya ambil muatan di Cikarang.  Udah, abis itu langsung balik.”

“Oleh-oleh, yaaa…,” pintanya manja. “Biasa, manisan kesukaanku. Jangan lupa, ya Bang!”

“Siappp…!” sahutku sambil memasang maskerku.

“Eh… maskernya cakep banget, Bang. Tapi jadinya gantengnya ‘nggak keliatan. Kumisnya ketutup hehehe…,” Suti mengomentari maskerku.

Suti memang ramah dan suka bercanda. Bukan hanya kepadaku. Ia selalu melayani semua konsumen warung kopinya dengan senyuman dan obrolan ringan yang menghibur. Maka, banyak supir truk yang  sengaja mampir di warungnya untuk minum kopi atau sekedar beristirahat sambil mendengarkan celotehnya. Termasuk aku. Sehari-hari kami harus berada di jalan dengan beban angkutan yang sering tidak memungkinkan kami mempercepat laju kendaraan. Di pihak lain, kami dituntut untuk tiba di tempat tujuan tepat waktu. Sementara,  jumlah kendaraan di jalan yang makin lama terasa makin banyak menuntut konsentrasi yang makin tinggi pula. Belum lagi, gangguan-gangguan lain, seperti bajing loncat dan bajing berseragam, yang sering menghambat kami melakukan pekerjaan.

Kehadiran Suti di tengah perjalanan yang memenatkan merupakan oasis bagi kami. Penampilannya biasa saja. Tidak berpoles make-up. Hanya bermodal pemulas bibir saja. Itupun warnanya tidak mencolok. Yang membuat kami nyaman berada di sekitar Suti memang bukan tampilan fisiknya, melainkan caranya menyapa kami, menanyakan keadaan keluarga kami, mengomentari cerita-cerita kami tentang kejadian di perjalanan, dan canda rianya.

“Maskernya motif batik, ni yee…!” kembali Suti mengomentari maskerku.

“Iya, dong! Cakep, ya?” sahutku sambil melompat masuk dan menutup pintu truk. “Yuk, sampai lusa yaaa…!”

Memang sejak PSBB mau tidak mau kami harus mengikuti protokol kesehatan yang sudah ditentukan. Kalau tidak, resikonya kami tidak boleh dengan bebas mengendarai truk dan memasuki wilayah-wilayah tertentu. Semua demi kesehatan dan keamanan. Lebih luas lagi, demi terputusnya penyebaran virus corona ini. Wah, kalau aku sampai sakit, dan kena virus ini…. Ihhh takut aku membayangkannya! Kalau sampai aku tidak bisa melakukan pekerjaanku, bagaimana nasib istri dan kedua anakku nanti? Jadi, walau agak ribet, aku tetap memakai maskerku. Apalagi masker ini buatan istriku sendiri. Terasa lebih nyaman, penuh cinta dan doa hahaha…

----

Selesai sudah semua tugas, tinggal meluncur kembali balik ke kampung halaman. Warung kopi “Neng Suti” sudah tampak dari kejauhan. Ramai. Sebenarnya aku ingin cepat kembali pulang, tapi teringat pesanan manisan yang sudah kubeli untuk Suti. Aku membelokkan truk masuk ke pekarangan warung.

“Neng, ini manisannya. Maaf, aku ‘nggak ngopi, yaaa…. Mau terusan aja. Sudah ditunggu istri di rumah.” Aku tidak turun dari kendaraan trukku yang mesinnya kubiarkan tetap menyala.

Suti berjalan mendekatiku. “Iya, deh. Lebih kangen istri daripada kangen aku, yaaa…?” candanya sambil mengambil bungkusan manisannya. “Wah, tu masker batik masih setia aja,” lanjutnya.

“Ya, punyanya cuma satu ini. Gimana lagi?” sahutku.

“Salam untuk anak bojo, yaaa…,” teriak Suti sambil melambaikan tangan.

Aku membalas lambaiannya dan terus melanjutkan perjalanan.

---

Tiba di rumah aku sudah disambut istriku dengan senyum khasnya. Ahhh… ia tampak cantik mengenakan daster batik. Dasternya model “you-can-see” tanpa lengan. Kelihatan seksi sekali.

“Daster baru, ya?”

“Iya. Bagus, ‘nggak? Matching ‘kan dengan maskermu, Mas?”

 

“Tumben kamu pakai model seksi gitu. Tapi aku suka, kok.”

“Soalnya bagian lengannya aku potong untuk buat maskermu, Mas. Hehehe…!”

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.