KOMUNIKASI JIWA

KOMUNIKASI JIWA
https://unsplash.com/photos/F0ZiHWliGGM?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink


“Pi, boleh cerita ga?” Gue memulai percakapan dengan suami. Akhirnya gue memutuskan untuk mengeluarkan semua ketakutan dan keparnoan gue. 

“Ayo, boleh. Kamu mau cerita apa?” Suami gue menanggapi dengan adem.
Dari sini saja gue udah bereaksi sendiri di dalam hati, “Tuh, dia itu sayang sama lo. Heran deh, masih aja mikirin yang enggak-enggak.”
“Iya, iya, tau.. bawel. Ya udah diem, gue mau ngobrol nih.”
Percakapan di luar belum mulai, yang di dalam udah berisik aja.

“Pi, saya kayanya tau sekarang kenapa saya parnoan banget sama kamu. Dan ini bukan tentang kamu, ini tentang saya. Maaf ya, selama ini saya udah membebankan semuanya ke kamu, padahal ini luka saya. Jadi, yang mau saya ceritain, ini perasaan saya. Saya gak bermaksud menyalahkan kamu, sekali lagi ini perasaan saya. Kali ini, anggep aja kita lagi sahabatan kaya dulu dan kamu lagi dengerin saya curhat. Ya?”
“Oke.. oke..”

Gue butuh beberapa waktu sampe akhirnya memutuskan cerita tentang semua perasaan takut dan parno gue ke suami gue. Rasa itu udah terlalu menyiksa gue, sampe gue bahkan mulai kepikiran mending mati aja kayanya nih daripada terus-terusan merasa gak berharga dan ketakutan ditinggalin. Capek dengan drama di pikiran gue yang gak ada berentinya.

“Selama ini, setiap kamu ke luar kota, saya ngerasa panik setiap malem. Gak bisa tidur, takut. Mikirin kamu di mana, dengan siapa, semalam berbuat apa, kenapa jadi kaya lagu Kangen Band sih.. Gak usah nyanyi kamu..” Biasanya dia langsung nyanyiin soalnya. Berhubung situasinya serius dia lumayan bisa menahan syaraf nyanyinya. 
“Hehe.. tau aja sih kamu.. Ayo cepet lanjut, lanjut. Daripada saya gak tahan keburu nyanyi.”

“Iya.. rasanya tuh gak suka banget pokoknya setiap kamu ke luar kota. Apalagi kalo mikirin kamu ketemu cewek yang hebat-hebat di luar sana, sedangkan saya lagi gak bisa kerja, di rumah terus gak ke mana-mana. Saya tuh insecure banget sama cewek cantik dan hebat. Saya merasa diri saya gak berharga.”
Suami gue terus menatap gue dan menunggu gue melanjutkan cerita.

“Saya tau, kamu kesel dengan perasaan saya kaya gini. Dan karena itu ketakutan saya jadinya menggulung tambah besar. Muter-muter kaya bola salju. Saya sadar kalau saya begini terus, kamu bisa tambah kesel dan tambah males kan sama saya. Terus nanti kalo kamu tambah males sama saya, kamu bisa aja beneran tinggalin saya..“ Sampai di situ gue gak bisa menahan tangis lagi. Karena memang itu yang berputar-putar di kepala gue selama ini.

Membayangkan dia ninggalin gue karena dia gak tahan dengan recehnya gue dan kemudian dia menemukan perempuan yang lebih baik daripada gue, itu super menakutkan dan melelahkan buat gue. Gue inget nyokap yang hancur waktu tau bokap selingkuh. Kilasan pengalaman itu bikin gue makin merasa tenggelam di rasa takut yang makin lama bikin gue makin gak bisa nafas.

Dia bergeser dan meluk gue. Beban perasaan yang gue simpan bertahun-tahun akhirnya keluar. Di saat itu, ada bagian diri gue yang malah kesel ama diri gue sendiri, "Kenapa sih gue bego gini..” Tapi gue pikir ini perlu gue selesaiin. Kalo gak, bukan cuma diri gue yang rusak, tapi juga hubungan gue ama suami. Gue gak mau yang gue takutin beneran kejadian kan.

“Saya capek dengan perasaan ini. Saya juga mau bisa tenang selama kamu ke luar kota. Tersiksa.. Saya tau kamu pergi untuk kerja. Tapi saya gak bisa berenti merasa takut dan terus keluar pikiran aneh-aneh.”

Gue melanjutkan sambil masih sesenggukan. Secara sadar gue masih cukup waras untuk berusaha nyampein bahwa sebetulnya gue percaya sama dia, karena gue temenan ama dia sejak SD. Cuma ini, rasa parno bikin gue bego.

“Saya tau, kamu bukan Papa saya. Tapi saya tetep takut. Takutnya ini yang bikin saya capek dan gak tahan. Saya cuma mau cerita sama kamu, karena saya gak tau harus cerita sama siapa. Saya cuma bisa cerita sama kamu. Maap ya kalo saya ngeselin dan bikin kamu gak betah. Saya juga takut kamu capek sama saya.” Gue nangis lagi.. 

Suami gue meluk makin erat sambil tepuk-tepuk punggung gue. Dia paham bahasa kasih gue adalah sentuhan, dipeluk dan ditepuk-tepuk saat bete adalah obat terbaik buat gue. Dan itu memang cukup bikin gue lebih nyaman untuk menyelesaikan luapan hati gue.

“Terakhir, saya cuma mau bilang, saya sadar sekarang bahwa saya juga bukan Mama saya. Saya ya saya, kamu ya kamu, dan kita beda sama Papa Mama.” Kalimat terakhir ini sebetulnya gue ucapin ke diri gue sendiri, supaya gue bisa memisahkan antara perasaan Mama ke Papa dan perasaan gue ke suami. 

Selama ini gue cenderung larut dan mencampuradukkan perasaan. Dan suami gue yang kena muntahan perasaan gue, padahal ini sebenernya bukan tentang dia sama sekali. Gue tiba-tiba sadar sendiri bahwa hubungan terjadi dari interaksi dua belah pihak yang terlibat. Cara gue menjalin hubungan dengan suami, bisa berbeda dengan cara Mama dan Papa gue. Gue menyadari bahwa gue ternyata punya kendali untuk membangun model hubungan yang berbeda. Gue punya contoh yang gue gak mau, cuma selama ini gue gak berpindah fokus ke hubungan seperti apa yang gue dan dia mau. Hubungan yang hangat, kuat, saling mengasihi. Hubungan yang menjadi rumah untuk kami bertumbuh bersama. Dan gue baru sadar bahwa kami selalu bisa memilih untuk mewujudkan hubungan itu bareng-bareng.

“Hmm.. iya, saya ngerti. Dah sini nangis dulu sampe puas. Keluarin semua.” Suami gue akhirnya mulai menanggapi.

Tangis gue udah mulai berhenti, udah mulai terasa plong di dada. Udah lama gue gak merasa selega ini..  “Udah.. kayanya udah keluar semua. Tinggal keluarin yang lain.” 

“Hahaha.. aseekk.” Dia hafal kalau gue mulai keluar beloknya tandanya gue udah mulai normal. Normalnya gue ya belok begitu. 

Giliran gue yang diam dan menunggu tanggapan dia.
“Gini..” dia memulai, “Kamu tau gak, salah satu impian besar dalam hidup saya?”
“Gak tau.” 

Arahnya ke mana sih ini, dalam hati gue mikir. Apa dia mau bahas soal pentingnya pekerjaannya dan bahwa dia memang harus sering pergi ke luar kota dan ninggalin gue di rumah? Nah kan, pikiran gue bawel lagi. 
“Emang apa?” Gue memberanikan diri bertanya, apapun jawabannya gue terima. Biar sekalian.

“Kamu. Kamu itu impian pertama saya. Saya selalu suka dan nyaman sama kamu. Dan saya gak kepikiran bisa nikah sama orang lain selega saya nikah sama kamu. Dari dulu setiap saya bayangin saya nikah, yang muncul selalu kamu. Bahkan ketika saya lagi pacaran sama siapa pun, selalu munculnya kamu. Makanya, bisa nikah sama kamu, itu anugerah banget buat saya.”
Tangis gue pecah lagi, ada segelondong rasa takut yang lepas lagi. 

“Mungkin saya gak pernah bilang sama kamu ya, karena saya pikir kamu udah tau. Tapi ternyata denger kamu cerita semua barusan, saya sadar bahwa kamu perlu denger itu berkali-kali dari saya ya. Bahwa you are the only one. Dan cuma kamu yang saya mau dari dulu. Cuma sama kamu saya merasa nyaman. Kamu itu rumah saya. Saya gak akan menyia-nyiakan impian terbesar saya. Saya bisa nikah sama kamu, itu aja saya bersyukuuuurrr banget.” Dia ngomong itu semua sambil menatap mata gue, dan suaranya sedikit bergetar. Matanya berkaca-kaca.

“Maaf ya, saya gak paham perasaan kamu. Saya juga maunya ke mana-mana sama kamu, tapi kamu kan lagi hamil sekarang. Saya gak tau sebesar itu ternyata rasa takutmu. Mulai sekarang, cerita aja ya. Kamu gak usah takut bikin saya kesel. I’m okay. Yang penting, kamu tau bahwa kamu sangat berharga untuk saya. Ya?”
Gue mengangguk-angguk, tapi gak sambil berseru trilililili sih. Emangnya gue burung kutilang..

Suami gue masih menatap dengan tatapannya yang membuat gue ngerasa bahwa gue harusnya tau dia emang sayang sama gue. Tatapan yang masih sama seperti dulu jaman SMP ketika gue curhat apapun padanya. “I love you..” Dia meluk gue lagi.

"Makasi ya.. I love you too.. Thank you.”
“Sama-sama.. I love you. I love you. I love you..”

Hampir 6 tahun berlalu sejak percakapan itu. Percakapan yang sangat menyembuhkan bagi gue. Hubungan kami bertumbuh sampai sekarang, dan ada banyak percakapan seperti itu di waktu-waktu selanjutnya. Kami saling membuka diri, membuka perasaan, dan tidak jarang, kami saling menyenggol luka masing-masing, tetapi dengan tujuan untuk saling membantu menyembuhkan. Karena kami paham sekarang, bahwa hubungan yang bahagia adalah hubungan yang dibangun oleh dua orang yang bahagia. 

Kami belajar bahwa masing-masing dari kami perlu sembuh terlebih dahulu, sehingga tidak lagi saling melukai ke luar. Dan kami belajar, bahwa yang terpenting dalam hubungan adalah bagaimana kami berkomunikasi dengan jiwa pasangan. Bukan hanya melihat apa yang muncul dan tertampak di luar, melainkan juga menyelami ke dalam di balik itu semua. Berbicara dengan luka itu menyembuhkan. Dan begitu luka sembuh, masalah di permukaan memudar dengan sendirinya karena pemicunya sudah lenyap. 

Lucunya, saya dan suami juga jadi menyadari bahwa pasangan kita itu ternyata berjodoh dengan kita karena dialah yang bisa paling banyak membuka luka kita. Tujuannya, membantu kita menyadari bahwa masih ada luka di sana sini yang sering kali tertutup namun perlu disembuhkan. Karena ini, kami juga jadi semakin saling merasa berterima kasih satu sama lain.

Maka hubungan dengan pasangan sejatinya adalah hubungan untuk saling menyembuhkan jika kita menyadari bahwa hubungan adalah cermin yang membantu kita menelaah diri. Memang bisa terasa seperti neraka jika kita hanya terpaku pada sakitnya luka saat disenggol-senggol. Tapi saat kita mulai bisa menyadari bahwa semuanya adalah untuk membebaskan dan menyembuhkan luka kita di dalam, hubungan itu terbuka untuk menjadi surga kita di dunia.

What we think we become
What we feel we attract
What we imagine we create

Semuanya tentang apa yang ada di dalam, maka berkomunikasilah dengan yang ada di dalam. Semua apa, mengapa, dan bagaimana ada jawabannya di dalam sana.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.