FUNCTIONAL BENEFIT VS EMOTIONAL BENEFIT

FUNCTIONAL BENEFIT VS EMOTIONAL BENEFIT

Di dunia marketing sering ada perdebatan mengenai Functional benefit dan emotional benefit. Banyak orang departemen marketing lebih suka menggunakan Functional benefit daripada emotional benefit. Alasannya, "Orang laboratorium kita udah capek-capek bikin benefit, masak bukan itu yang kita angkat? Gila kali lo yeeee?"

Sebetulnya bedanya apa, sih? Jawabannya sederhana: Perbedaannya ada di sasaran tembak. Functional benefit mengirim pesan pada consciuos mind Si Konsumen (pikiran sadar). Sedangkan emotional benefit mengarah pada subconscious mind (pikiran bawah sadar).

Conscious mind adalah domain dari logika. Dengan membidik conscious mind artinya kita mengajak konsumen untuk berpikir dan membandingkan produk kita dengan produk lain. Misalnya: Kita punya produk kecap dengan brand 'Cinta'.

 

FUNCTIONAL BENEFIT

Di sini biasanya brand owner memberi pesan bahwa kecap CINTA bukan cuma menyedapkan makanan. Berbeda dengan merek lain, kecap CINTA juga mengandung protein yang lebih tinggi. Bahkan diperkaya dengan omega 9 dan DHA yang sangat diperlukan oleh tubuh.

Pendekatan functional benefit sangat mudah digoyahkan oleh produk pesaing. Mereka tinggal mencari tau, apa kelebihan kecap kita? Kenapa konsumen memilih brand CINTA? Apa yang salah dengan brand mereka? Setelah penelitian dilakukan, bukan cuma jawabannya yang diperoleh tapi dengan mudah mereka juga mampu menemukan cara menghabisi kita.

"Oh, gitu doang ternyata? Kalo gitu tambahin lagi, deh, produk kita dengan Vit A, B dan C. Plus non-karbohidrat," kata Pak Kompetitor.

Lalu apa yang terjadi? Konsumen yang ditembak conscious mind-nya langsung pindah karena (secara logika) mereka menemukan hal yang lebih baik. Apalagi kalo mereka sangat peduli pada kesehatan.

 

EMOTIONAL BENEFIT

Di sini biasanya brand owner mengajak konsumen membangun pertalian hati. Misalnya dalam konteks soal kecap CINTA tadi. Kita bisa bilang: Rahasia kebahagiaan keluarga itu cuma satu, yaitu: CINTA. Simple banget, kan?

Nah, campaignnya, kita tinggal bikin berbagai happy moment dalam keluarga lalu biarkan Sang Kecap senantiasa hadir dan menjadi bagian dari happy moment itu. Artinya Kecap CINTA adalah bagian dari kasih sayang keluarga.

 

BRAND LOYALTY

Pada taraf launching, sebuah brand baru memang perlu menampilkan functional benefit. Namanya juga masa perkenalan, kita harus menerangkan siapa kita dan apa manfaat dari kita. Setelah masa perkenalan dirasa cukup, kita bisa melangkah ke pendekatan emotional benefit. Dan itu mutlak harus dilakukan. Makanya saya suka heran ngeliat sebuah brand yang masih saja melakukan pendekatan functional benefit padahal dia sudah exist selama lebih dari 10 tahun.

Emotional benefit biasanya lebih kokoh. Karena pesan yang masuk ke subconscious mind gak ada hubungannya dengan logika. Mereka menyukai kecap CINTA bukan hanya karena fungsi tapi karena emosi. Emotional bonding yang terjadi antara konsumen dan produk itu sudah masalah hati. Kalo udah masalah hati berat, tuh, untuk dipisahkan karena sudah terjadi apa yang dinamakan Brand Loyalty.

 

KALAU CINTA SUDAH MELEKAT, TAI KUCING RASA COKLAT

Sama kayak orang lagi jatuh cinta; Kalo udah cinta mati, kita tiba-tiba gak peduli apakah pacar kita miskin, jelek dan beda agama. Biar ada cowok kaya, ganteng dan seiman, ceweknya tetep aja gak peduli. Karena fondasi hubungan mereka itu berlandaskan emosi. Sementara ganteng, kaya dan seiman itu soal fungsi.

Kalo lagi bengong di malam hari sambil gulak-gulik di ranjangnya, cewek itu kadang suka mengevaluasi dirinya sendiri, "Kok bisa jadi begini, ya? Padahal dari dulu gue pengen dapet pasangan yang kaya, cakep dan seiman."

Malam berikutnya Si Cewek mikir lagi secara logika,' Gimana, ya? Kalo gue kawin sama dia, keluarga gue pasti gak setuju. Temen-temen pasti banyak yang musuhin."

Lucunya abis mikir gitu, akhirnya dia kawin juga sama cowok jelek, miskin dan beda agama itu. Dari sini dapat disimpulkan; se-rasional apapun sebuah logika ternyata gak cukup kuat untuk mendobrak hubungan emosional.

"Abis dia BAIK banget, sih. Aku selalu NYAMAN bersama dia. Udah gitu sexnya jago banget pulak." Begitu jawabnya kalo ditanya orang-orang terdekat.

Terlihat di sini bahwa bukan cuma orang lain tapi logikanya sendiri aja gak mampu memisahkan hubungan keduanya. Jadi begitulah kedahsyatan ilmu marketing dengan pendekatan emotional benefit. Pesan yang tertanam di subconscious mind akan berdiri kokoh tak terkalahkan oleh pengaruh apapun, baik dari luar maupun dari dalam.

Persis seperti yang Gombloh bilang "Kalo cinta sudah melekat, tai kucing rasa cokelat."

 

ps: Artikel ini saya tulis tahun 2004 dan ada di buku saya yang berjudul 'Lanturan Tapi Relevan'. Saya lengkapi dengan faktor subconcious mind dan concious mind setelah belajar dari Asep Herna

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.