[Cerpen] Kembang Jambu

Kelanjutan dari cerpen berjudul "Cinta Kedua Aleda"

[Cerpen] Kembang Jambu

 

 

Dari sisi mana pun, Aleda tetap terlihat sempurna di mata Dante. Apalagi ketika istri tercintanya itu tengah berbadan dua seperti saat ini. Bahkan, keseksian Aleda seolah berlipat ganda. Mungkin karena binar-binar bahagia yang selalu aktif berlompatan dan menari di sekeliling Aleda. Membuat hatinya makin terperangkap dalam pesona Aleda.

Tapi....

Dante menatap cermin yang tergantung di dinding kamar mandi. Pantulan wajahnya terlihat sempurna. Bahkan hingga ke detail dagu dan bagian atas bibir yang sudah bersih seusai dicukur.

Ia tampan? Pasti. Kalau tidak, mana Aleda tertarik kepadanya?

Ia tersentak ketika pintu kamar mandi diketuk dari luar. Dimatikannya keran bak mandi.

"Ya?" serunya.

"Papa masih lama? Aku dah kebelet, nih!"

"Lha, baru mau mandi." Dante menyahuti Aleda.

"Dari tadi ngapain aja? Luluran?"

Dante membuka sedikit pintu kamar mandi. Berujar, "Nih, baru selesai cukuran."

Kesempatan itu tak disia-siakan Aleda. Ia segera menerobos masuk.

"Hei!" Dante berusaha mencegah, tapi gagal. "Pakai kamar mandi belakang, kan, bisa?"

"Dibilang dah telanjur kebelet," gerutu Aida. "Mau numpang pipis doang ini. Kan, Papa tahu sendiri, aku kebeletan banget akhir-akhir ini."

Dante hanya bisa menggeleng sambil tersenyum lebar ketika Aida menyerbu toilet. Ia melanjutkan acara mandinya dengan santai. Ketika ia mulai menyabuni wajahnya, terasa pinggangnya dicolek sedikit.

"Ih, Papa seksi, deh!" Aleda tertawa jahil sambil melenggang keluar.

Dante mengulum senyum sepeninggal Aleda.

Seksi?

Sekilas ia melihat ke seluruh tubuh, sejangkau matanya bisa memandang.

Seksi dari Hongkong?

Dulu, sebelum menikah dengan Aleda, ia memang cukup menjaga kondisi tubuhnya. Agar tetap prima selama menjalankan tugas sebagai seorang dokter dan pemilik sebuah klinik ibu dan anak yang cukup besar.

Setelah menikah?

Ohohoho.... Dante meringis.

Tiga bulan pertama, bobot tubuhnya naik secara mengagumkan. Empat kilogram. Bulan berikutnya, Aleda kedapatan hamil. Minggu-minggu setelahnya, seiring dengan makin membuncitnya perut Aleda, ia pun tak mau kalah. Saat ini, saat kehamilan Aleda masuk ke usia tiga puluh minggu, lingkar perutnya sudah nyaris setara dengan perut hamil empat bulan Aleda.

"Perasaan makanku nggak kalap-kalap amat." Begitu ucapnya ketika mengadu kepada sang mama.

Mamanya tergelak

"Iya, nggak kalap, Dan. Tapi hatimu sudah tenang dan bahagia karena sudah menikah. Makananmu jadi daging semua. Eh, jadi daging atau lemak, ya?"

Ia hanya bisa nyengir ketika tawa mamanya makin seru.

Barangkali ucapan mamanya benar. Keseluruhan hari dan hidupnya terasa jauh lebih indah dan ringan setelah menikah dengan Aleda. Sesekali terselip perasaan menyesal. Kenapa tidak dari dulu saja menikah? Tapi ia segera menyadari, bahwa mungkin saja jodohnya adalah benar Aleda, bukan perempuan lain.

Ia mengedikkan bahu. Segera menyelesaikan acara mandinya.

* * *

Kebelet pipis adalah satu-satunya alasan Aleda agar bisa sedikit menikmati pemandangan indah semurni-murninya sosok seorang Dante. Jatuh cinta pada Dante? Tentu saja! Ia tak ingat kapan ia 'terjatuh'. Ia hanya ingat, pada akhirnya ia dan Dante bisa saling menautkan rasa.

Tentu saja ia juga masih ingat, seberapa lebar mata ayahnya terbelalak ketika ia memperkenalkan Dante kepada ayah-ibunya. Dante bukan orang baru dalam keluarga mereka. Jadi, saat itu ia memperkenalkan Dante lebih sebagai kekasihnya. Dan, sang ayah pun langsung menyeretnya ke ruang tengah rumah mereka.

"Kenapa harus dia?" Kening sang ayah berkerut. Sorot matanya terlihat tak puas.

"Lha, memangnya kenapa kalau dia?" Aleda balik menatap ayahnya. "Ayah, kan, tahu sendiri bahwa dia lelaki baik-baik idaman para mertua." Aleda menutup ucapannya dengan cengiran jenaka.

Saat itu, Aleda bisa melihat bahwa hati ayahnya terbelah. Antara setuju dan tidak. Setuju karena memang benar Dante adalah menantu idaman para mertua, tidak setuju karena usia Dante.

Dante adalah sahabat Dudy, ayah Aleda, sejak masa kanak-kanak. Puluhan tahun bersahabat dengan Dante, Dudy pun sudah mengenal Dante luar-dalam. Tak ada alasan untuk menyebut Dante sebagai lelaki yang tak layak untuk dijadikan menantu. Apalagi status Dante adalah lajang selajang-lajangnya. Kalau saja tidak kepentok faktor usia, tentu dengan ringan Dudy akan segera mengangguk.

Tapi memang Dante berada jauh di atas garis layak untuk diperjuangkan. Pun, Dante sendiri cukup ngotot untuk menjadikan Aleda sebagai permaisuri hatinya. Hingga Dudy pun akhirnya mengeluarkan 'sertifikat' restunya. Dengan sederet syarat, tentu saja. Syarat yang hanya mengacu pada satu hal. Kebahagiaan Aleda.

Pada awalnya, Dante memang seperti ayah kedua bagi Aleda. Apalagi ketika ia mulai hidup mandiri selepas kuliah. Mulai meniti karier di kota lain, yang kebetulan Dante pun tinggal di sana. Rumah Dante pun tepat berhadapan dengan rumah indekosnya. Pemilik rumah indekos itu orang tua Dante pula. Membuat kedua orang tua Aleda menitipkan sang anak gadis kesayangan kepada sang sahabat.

Intensitas pertemuan dengan Dante pun meningkat pesat. Dari hanya sekadar say hello saat bertemu muka, hingga pada akhirnya menyadari bahwa hati mereka ternyata saling bertaut.

Seiring dengan makin dekatnya hati mereka, Aleda pun mulai mengubah panggilannya terhadap Dante. Dari 'om', menjadi 'mas'. Hal yang cukup sulit karena panggilan 'om' seolah sudah melekat di lidah dan otaknya. Sudah belasan tahun lamanya.

Sosok Dante yang ngemong benar-benar sudah memikat hati Aleda. Dan, kebahagiaannya melenting tinggi ke langit ketika Dante bermaksud meminangnya. Hal itulah yang membuat keduanya sepakat untuk menghadap secara baik-baik ke orang tua Aleda.

Pada akhirnya restu itu turun juga. Membuat Dante dengan wajah bahagia menggandeng Aleda ke depan altar. Tepat pada hati ulang tahun ke-24 Aleda. Lewat sepuluh hari dari ulang tahun ke-45-nya.

* * *

Terbukanya pintu kamar mandi di dalam kamar mereka membuat lamunan singkat Aleda terputus. Ia mengangkat wajah. Mendapati sosok yang dilamunkannya melangkah keluar dari kamar mandi.

"Tuh, kalau mau nginep di kamar mandi, ngeloni kloset, silakan." Dante tersenyum lebar.

Aleda sedikit tersipu. Hingga detik ini, sosok Dante masih juga berhasil membuatnya tersipu. Apalagi sosok segar beraroma wangi sabun itu saat ini hanya mengenakan celana boxer, bertelanjang dada. Sangat seksi di matanya.

Tak mudah memang mengubah berbagai kebiasaan lajang Dante. Salah satunya, memintanya sekalian membawa baju ganti ke kamar mandi.

"Halah, kayak numpang mandi di SPBU saja." Begitu kilah Dante, membuat Aleda menyerah.

Ketika Dante berpakaian, Aleda pun segera merias diri. Sore itu, mereka harus menghadiri undangan resepsi pernikahan anak salah seorang kolega Dante.

Setelah selesai, keduanya bercermin bersamaan. Mematut diri. Terlihat sangat serasi dengan busana berwarna senada.

Tapi Aleda mendesah. Dante menatapnya melalui cermin.

"Kenapa?"

"Lihat penampilanku," gumam Aleda. "Rok batik ini masih muat, sih. Tapi buncitnya perutku makin nggak bisa disamarkan."

Sekilas Dante mengerutkan kening. Rasa-rasanya tak ada yang salah dengan penampilan Aleda. Rambut pendeknya sudah tertata rapi. Angin puting beliung pun sepertinya tak akan bisa memorakporandakan tatanan rambut Aleda. Belum lagi riasan natural yang menambah cantik wajah Aleda.

Busananya juga enak dilihat. Rok batik lipit yang menguncup ke bawah hingga ke mata kaki, dengan bagian atas melar dan dapat mengakomodasi perut buncit Aleda. Atasan berupa cape brokat pun menutupi tubuh Aleda dengan indah. Jatuhnya pas. Warna marunnya membuat kulit kuning langsat Aleda terlihat bersinar. Tak bisa menutupi kebuncitan perut Aleda, memang. Tapi....

Di mana salahnya, sih? Dante kembali mengerutkan kening.

"Lha, memang lagi hamil tiga puluh minggu, nggak boleh buncit gimana?" Dante kembali menatap Aleda melalui cermin.

"Berantakan begini," keluh Aleda. Aleman.

Dante segera melingkarkan tangan kirinya ke sekeliling bahu Aleda.

"Hei! Perempuan hamil itu seksi, tahu nggak?" ucapnya kemudian. Jujur. "Kamu nggak hamil aja seksinya dah pangkat lima belas, apalagi hamil begini. Beeeuh...." Dante mengacungkan jempol kanannya.

Aleda mencibir, tapi tergelak juga. Di telinganya, ucapan Dante mutlak berisi hiburan sarat gombalan. Tapi tak bisa ia pungkiri, ada nada kejujuran pula di sana. Membuatnya berhasil mengulas senyum cantik yang mewarnai wajahnya.

"Baiklah...," ujarnya kemudian. "Ayo, segera gandeng perempuan seksi ini ke resepsi anak kolegamu."

Tanpa banyak pernik, Dante pun menggandeng Aleda keluar dari kamar. Setelah memastikan Aleda sudah duduk dengan nyaman di dalam mobil, barulah Dante menutup pintu kiri depan dengan halus. Beberapa detik kemudian, sedan berwarna putih itu meluncur keluar dari garasi. Disambut langit senja yang sudah menggelap sebagian di atas sana.

* * *

Dulu, ketika tersiar kabar bahwa seorang perjaka 'senior' bernama Dante akan menikah, hebohlah jagat persilatan. 'Siapa calonnya?' adalah pertanyaan yang paling masif menyerangnya.

Bagaimana tidak?

Ia memang nyaris tak pernah tampak terlibat hubungan cinta dengan perempuan mana pun. Fokus kehidupannya selepas menyelesaikan spesialisasi pediatri adalah pengabdian, karier, dan penambahan ilmu. Tak ada celah secuil pun untuk urusan cinta, apalagi rumah tangga. Dan, tahu-tahu ia akan menikah!

Ia memang tak perlu waktu lama untuk memutuskan melabuhkan hati selamanya pada Aleda. Hanya perlu waktu kurang dari dua tahun sejak berpacaran dengan Aleda hingga pernikahan mereka diberkati pastor. Saat mendapati hatinya sudah terpaut pada sosok Aleda yang sudah dewasa, seketika itu pula ia mendapati bahwa puzzle kehidupannya yang masih tercecer sudah ditemukannya. Ukurannya sungguh pas.

Dan, sosok Aleda pun adalah satu kehebohan tersendiri. Seawet muda dan setrendi apa pun penampilan Dante, tetap saja keimutan Aleda membuat keduanya tetap tampak seperti paman dan keponakan.

Apalagi....

Untuk kelima kalinya Dante sekilas menatap cermin yang tergantung pada dinding kamar mandi. Hanya satu detik saja per tatapan, tapi sudah cukup untuk menangkap secuil semburat keperakan yang muncul di sela-sela rambut hitam modisnya.

Kalau ia masih lajang, seluruh rambut hitamnya berubah jadi keperakan pun tak akan menggoyahkan hatinya. Tapi sekarang?

Dihelanya napas panjang.

Ia tahu, seutuhnya, bahwa Aleda sudah menerima ia apa adanya. Toh, selama ini Aleda tak pernah meributkan penampilannya. Bahkan terkesan bangga bisa jadi belahan jiwa Dante. Tapi Aleda yang jelita dan masih muda itu pastinya masih sangat bisa menarik hati lelaki lain yang usianya masih jauh dari empat puluhan seperti dirinya.

Mendadak, ia merasa resah. Guyuran air segar tak lagi mampu menenteramkan hatinya.

Ketika ia keluar dari kamar mandi, didapatinya Aleda sudah terlelap di atas ranjang. Ia memang pulang agak malam hari ini. Harus turut menangani operasi caesar darurat di kliniknya sore tadi. Harus menangani si bayi prematur yang membutuhkan perhatian lebih.

"Papa dah pulang?"

Didengarnya gumaman Aleda. Dante segera merayap pelan-pelan ke ranjang. Menyusupkan diri di bawah selimut. Mata Aleda tetap terpejam.

"Iya...," bisiknya lembut.

"Kelon...." Aleda mengguman lagi. Manja

Dante segera menuruti permintaan itu. Pelan-pelan, dilingkarkannya lengan ke sekeliling tubuh Aleda. Sedikit demi sedikit, ia pun lupa akan keresahannya.

* * *

Sesuai kesepakatan, sejak si kecil dalam perut Aleda berusia dua puluh minggu, Aleda tidak lagi membawa kendaraan sendiri ke mana pun. Untuk urusan kantor, Dante akan mengantar dan menjemputnya. Dengan caranya sendiri, Dante selalu bisa menyisihkan waktu untuk Aleda. Percuma Aleda protes dengan alasan ia selama ini selalu mandiri. Gelengan kepala Dante mematahkan semua argumennya.

"Kamu bukan perempuan manja, iya, aku tahu," ujar Dante, dengan kesabaran pangkat lima belasnya. "Kamu perempuan mandiri, iya, aku juga sudah paham. Masalahnya, aku nggak mau kamu dan bayi kita kenapa-kenapa. Menyetir mobil pulang pergi rumah-kantor-rumah, belum lagi macetnya, itu sudah bikin stress sendiri, Ma. Pengaruhnya besar ke dirimu dan bayi kita. Tinggal duduk manis di mobil, apa susahnya, sih?"

Kasus ditutup. Dan, Aleda sendiri merasa bahwa seluruh ucapan Dante adalah benar adanya. Perjalanan pergi ke dan pulang dari kantor jadi jauh lebih menyenangkan karena ia tak harus melaluinya sendirian. Ada Dante di sebelahnya, yang terkadang jadi pendengar setia keceriwisannya, dan terkadang pula menghangatkan seisi kabin mobil dengan suara bariton empuknya yang mirip dengan Conroy Scott. Menghangatkan pula hati Aleda.

Saat ini, ketika langit di luar sebuah gedung pusat perkantoran masih bersemburatkan cahaya matahari lewat sedikit dari pukul 16.30, Aleda melangkah ringan keluar dari lift. Beberapa menit kemudian, ia sudah duduk manis di samping Dante.

"Aku nanti langsung balik ke klinik," ucap Dante sambil kakinya menekan pedal gas.

"Sibuk banget, ya, hari ini?" Aleda mengerutkan kening. Ingat bahwa acara makan siang tadi pun batal mereka lewatkan bersama karena Dante tidak bisa meninggalkan klinik. "Tahu begitu, aku naik taksi saja, Pa."

"Nggak apa-apa," senyum Dante. "Masih sempat, kok.  Perkiraan partus-nya masih nanti pukul 8-9. Anak pertama, biasanya agak lama. Tapi, ya, aku harus jaga-jaga. Lagian, rumah kita, kan, nggak jauh dari klinik."

"Mm.... Masih sempat, nggak, kita mampir makan?"

"Masih, kayaknya." Sekilas Dante melirik jam digital di dasbor. "Dah laper lagi?" Ia tersenyum lebar.

"Daripada aku makan sendirian di rumah." Aleda mengerucutkan bibirnya.

Dante terkekeh.

"Memangnya mau makan di mana?" tanyanya kemudian.

"Di lesehan dekat klinik aja."

"Oh, boleh, deh!" Dante langsung mengangguk.

* * *

Ada yang lain....

Sambil menunggu makanan mereka datang, Aleda menatap Dante sambil bertopang dagu. Siku kirinya bertumpu ke meja rendah di depan mereka. Dante sendiri sedang sibuk sejenak dengan gawainya. Membalas pesan penting dari sejawatnya.

Ah.... Dia memang ganteng banget! Pantes saja mbak-mbak di meja sana itu curi-curi pandang terus ke dia.

Tanpa sadar, Aleda mengerucutkan bibir. Ekspresi itu utuh ditangkap Dante yang sudah menyimpan kembali gawainya ke saku kemeja.

"Kenapa?" Dante mengerutkan kening.

Aleda mengggeleng sembari menarik napas panjang. Menggumam, "Bisa nggak, sih, Pa, nggak terlalu ganteng begitu?"

Dante sempat bengong sejenak sebelum tertawa tertahan.

"Kenapa, sih, memangnya?" tanyanya di sela-sela tawa.

"Tuh, setidaknya aku nemu beberapa perempuan di tiga meja berbeda yang curi-curi pandang padamu. Mulai dari gadis bau kencur sampe tante-tante menjelang keriput."

"Oalah...." Dante tersenyum lebar. "Terus, apa yang kamu khawatirkan? Bukannya dari pertama kita jalan bareng dulu, kondisi kita sudah begini ini?

"Iya, sih...." Aleda terpaksa mengakui.

"Hei," bisik Dante. "Aku memang takut sama ancaman ayahmu, tapi aku lebih takut lagi kalau kamu sampai katut laki-laki lain yang jauh lebih singset dan muda daripada aku."

Sejenak Aleda terbengong sebelum tersadar, dan tertawa geli.

"Aku, tuh, lebih suka laki-laki seumuranmu, Pa," ucapnya dengan suara rendah. "Matang, dewasa, nggak kebanyakan gaya, tenang, nyantai. Yah.... Mau dibilang kena elektra kompleks, ya, sudahlah, aku nyerah."

"Enggaklah kalau elektra kompleks." Dante menggeleng dengan ekspresi serius. "Kan, selama ini kamu juga nggak pernah memusuhi ibumu dan saling berebut perhatian ayahmu."

Aleda mengangguk-angguk. Saat itulah ia menatap Dante lebih saksama. Dan, ia pun menemukan 'rasa beda' itu. Dikerutkannya kening sebelum matanya bulat menatap Dante.

"Pa, kamu ngecat rambut, ya?"

Seketika, Dante meringis tak jelas.

* * *

Dante menghela napas panjang. Semuanya berawal dari Tiensy, dan cermin di kamar mandi.

Beberapa minggu lalu, sekitar pukul enam pagi, Barry - ayah Tiensy - muncul di depan pintu dengan menggandeng sang putri. Ditatapnya dengan panik Dante yang membukakan pintu.

"Om, bisa minta tolong?"

"Ya?" Dante melebarkan bukaan pintu.

"Minta tolong antar Tiensy ke sekolah, ya? Hari ini dia wisata ke kebun binatang dan dia nggak mau bolos. Renee sudah kontraksi dari semalam. Mau segera kubawa ke klinik."

"Oh, oke, oke. Nanti kita ketemu di klinik, ya. Mama-papanya sudah tahu?"

"Aku sudah telepon Papa John. Nanti langsung pulang begitu dapat tiket pesawat."

Dante pun mengangguk, dan langsung mengambil alih urusan sekolah Tiensy.

"Tiensy sudah sarapan?" tanya Dante sepeninggal Barry.

"Sudah, Opa," jawab Tiensy manis.

Tiensy adalah putri Renee. Sedangkan Renee adalah putri kedua Youla, kakak sulung Dante. Tinggalnya tak jauh. Rumah mereka hanya berselang empat rumah pada deretan yang sama.

Renee menikah jauh lebih dulu daripada sang paman. Tentu saja! Renee yang waktu itu memang sudah berusia dua puluh lima tahun mantap untuk menikah dengan Barry, kekasih sejak SMP-nya. Sementara sang paman masih bertahan menjomlo.

Saat Dante harus berurusan dengan Tiensy, Youla dan John sedang berwisata ke Bali. Cepat-cepat berburu tiket pesawat untuk kembali dari liburan, untuk menyambut kelahiran cucu kedua mereka.

Untunglah sekolah Tiensy letaknya beradu punggung dengan gedung kantor Aleda. Jadi, Dante tidak keteter. Setelah mengantarkan Aleda, Dante pun mengantarkan Tiensy. Guru TK yang menyambut kedatangan Tiensy sempat menatap Dante tanpa kedip.

"Wah.... Tiensy diantar sama omnya, ya?" Bu guru manis itu tersenyum lebar.

"Oh, ini opa aku, Miss," jawab Tiensy. Nadanya terdengar cukup menohok. "Tuh, ubannya dah banyak."

Dante hanya bisa meringis tak jelas. Sedikit salah tingkah, ia pun berpamitan. Sore harinya, bercermin lama-lama di dalam kamat mandi. Dan, segera saja lebih nyata menemukan beberapa semburat helaian keperakan di antara rambut hitamnya.

Dulu, saat masih lajang, dia senang-senang saja ketika mengajak Tiensy jalan-jalan. Santai-santai saja ketika Tiensy memanggilnya 'opa'. Malah merasa bangga. Sudah opa, tapi masih terlihat awet muda.

Lalu....

Semuanya berubah sejak ia menikah dengan Aleda. Bahkan, usia Aleda pun masih lebih muda daripada Renee. Tapi menyesalkah ia sudah menikahi Aleda? Frasa itu tak pernah tercatat dalam kamus kehidupannya.

Hanya saja....

Kini, Dante menatap lagi cermin dalam kamar mandi. Ada yang berubah. Ubannya sudah menghilang. Tertutup seutuhnya oleh pewarna rambut. Ia terlalu malu untuk ke salon. Maka, ia pun siang tadi di sela-sela waktu senggang meminta tolong kepada ibunya.

Perempuan berusia pertengahan tujuh puluhan itu sempat terbahak. Tapi diturutinya juga permintaan anak laki-lakinya.

Dengan mengorbankan waktu makan siang yang seharusnya ia nikmati bersama Aleda, sang mama pun menyulap warna rambut putranya itu. Menjadi hitam mulus tanpa semburat keperakan. Menambah gagah dan tampan penampilannya yang memang sebetulnya sudah sangat awet muda.

Sayangnya.... Dante menghela napas panjang.

Aleda cemberut sepanjang masa. Bahkan tak menyahut saat ia berpamitan hendak langsung ke klinik seusai menurunkan Aleda di depan pintu pagar.

Saat ia pulang, Aleda sudah bergelung di bawah selimut. Ketika sejenak ia mengelus  kepala Aleda sebelum masuk ke kamar mandi, Aleda langsung berbalik memunggunginya.

Astaga... Kenapa serumit ini, sih, mengurusi kembang jambu? batinnya. Nelangsa.

* * *

Dante hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dari seberang sana, didengarnya bahana tawa ayah mertuanya. Setelah dua hari didiamkan Aleda, akhirnya Dante tak tahan juga untuk tidak mengadu kepada Dudy.

"Dia hanya takut kehilangan kamu," ujar Dudy, setelah tawanya mereda.

"Dia cerita padamu, Dy?" Di luar 'forum resmi', Dudy tetaplah sahabatnya, bukan sekadar ayah mertuanya.

"Enggak, tapi ke ibunya."

"Dia ngadu gimana?"

"Ya, itu tadi, takut kehilangan kamu. Kamu mau ngomong sama ibunya?"

"Aduh, aku harus ngomong apa?"

Tapi, tanpa persetujuan Dante, ponsel di seberang sana sudah berpindah ke tangan Arin.

"Halo, Mas," suara lembut Arin menyapa telinga Dante.

"Eh, iya, Mbak." Pelan-pelan Dante merasa kedua telinganya panas. Malu. "Selamat malam. Maaf, ganggu Dudy malam-malam begini."

Lalu, dengan sabar didengarnya seluruh penjelasan Arin. Ia tak menyela sedikit pun. Beberapa kali Arin terpaksa memastikan bahwa Dante masih 'hidup' di depan ponsel. Setelahnya, ia menarik napas lega.

Diucapkannya terima kasih dengan sangat takzim. Lalu, ponsel di seberang sana pun berpindah kembali ke tangan Dudy.

"Gimana? Sudah jelas?" tanya Dudy.

Dante yakin seyakin-yakinnya bahwa Dudy tengah tersenyum lebar saat ini.

"Ya, sejelas-jelasnya. Tapi...."

"Apa lagi? Sudah malam ini. Aku sudah ngantuk banget. Besok aku harus meeting pagi-pagi."

"Dy, aku sudah bikin Aleda sedih. Tapi kamu nggak akan bunuh aku sekarang, kan?"

Dudy terbahak di seberang sana.

"Menantu koplak!" gerutunya dengan nada geli, sebelum mengakhiri pembicaraan itu.

Sekali lagi, ditariknya napas lega. Ia pun beranjak dari ruang tengah, masuk ke dalam kamar. Sekilas, diliriknya jam dinding. Sudah hampir pukul dua belas tengah malam. Nyaris tanpa suara, ia pun menyelinap masuk ke kamar, dan menyusupkan diri di bawah selimut.

* * *

Aleda nyaris terpekik ketika mendapati Dante tersenyum manis di dalam mobil. Dengan mulut ternganga, ditatapnya Dante.

Plontos???

"Gimana, Ma? Aku tambah jelek, atau malah tambah ganteng?" Dante kembali nyengir, sambil memberi kode agar Aleda cepat-cepat masuk ke mobil. Sudah mulai ada antrean di belakang mereka.

"Ini kenapa lagi, sih?" Aleda cemberut berat.

Dante menekan pedal gas lebih dalam lagi. Sekilas, ditolehnya Aleda.

"Pertama, aku minta maaf soal kemarin, soal aku ngecat rambut. Mama mau dengar penjelasanku?"

Aleda tak menjawab. Sikap yang ditangkap Dante sebagai sinyal 'ya'.

"Aku khawatir Mama jadi merasa turun derajat karena menikah dengan kakek-kakek ubanan," ucap Dante, lirih. "Mama cantik, muda. Bejibun laki-laki di luar sana yang melirikmu. Aku... takut kehilangan kamu, Ma."

Astaga.... Aleda menggeleng. Kenapa jadi rumit amat, sih?

"Justru aku yang takut kehilangan Papa," gumam Aleda, akhirnya. "Sudah ubanan saja Papa masih ganteng banget, apalagi kalau rambut Papa hitam semua. Apalagi kalau...." Aleda menatap Dante dengan sorot mata 'putus asa'. Dihelanya napas panjang. "... botak begini...."

Dante terdiam. Salah lagi....

"Pa, selera perempuan itu macam-macam," lanjut Aleda kemudian, sedikit tertunduk. "Kebetulan Ibu dan aku satu selera. Suka laki-laki yang matang. Ayah, biarpun jauh lebih muda daripada Ibu, tapi Ayah orangnya dewasa. Matang. Dan, Papa, seluruh diri Papa sudah sangat matang pada usia sekarang. Lagian, siapa bilang, sih, laki-laki botak plontos itu nggak seksi?" Aleda menatap lagi Dante. "Aduuuh... Diapain aja Papa itu tetep ganteng!" Ia setengah memekik. Gemas.

Dante meringis sambil mengelus kepalanya yang kini licin mengilat. Botak. Plontos.

"Lain kali ngomong dulu, dong, biar aku nggak kagetan melulu," gerutu Aleda.

"Iya.... Nah, ini permohonan maaf yang berikutnya," ujar Dante. "Kenapa aku pangkas habis rambutku? Pertama, kayaknya bakal rada lama juga kalau harus menunggu cat rambutku luntur, balik lagi jadi ngembang jambu. Nggak tahan juga Mama cemberutin terus. Hehehe...."

Aleda mencubit lembut lengan kiri Dante.

"Sebab kedua, salah satu pasien cilikku, Vania namanya, sedang menjalani kemoterapi. Dia down banget karena rambutnya rontok habis. Makanya, aku sama Dokter Harya janjian botakin rambut siang tadi, buat solidaritas terhadap kondisi Vania. Waktu sore ini tadi aku tinggal, Vania sudah sedikit lebih ceria. Botak ternyata keren juga, kan. Malah dia bisa eksperimen macam-macam pakai berbagai model turban. Tadi sudah dibelikan beberapa lembar syal sama mamanya."

Tanpa terasa, mata Aleda membasah. Dua hal lagi yang disadarinya sudah membuatnya jatuh cinta pada Dante. Kelembutan hati dan empati Dante.

"Ma, kalau aku mau macam-macam, pasti sudah kulakukan sejak dulu, saat aku masih bebas," lanjut Dante, halus. "Sekarang, dalam kehidupanku, yang ada hanya kita dan profesiku. Tak akan ada lagi tempat bagi hal lain-lain."

"Dan, aku...," bisik Aleda. "Apa pun warna rambut alamimu, Pa, sudah lama bikin aku jatuh hati. Apalagi saat ada semburat kembang jambu di sana, hooo... Seksimu maksimal, Pa!"

Dante tergelak mendengar kepolosan Aleda. Tepat pada awal sebuah lampu merah, tangan kirinya terulur, membelai puncak kepala Aleda. Lalu turun, mengelus perut buncit Aleda.

"Barangkali benar aku sudah matang," gumamnya kemudian. "Tapi kita benar-benar masih pengantin baru. Harus tetap belajar lebih keras lagi bagaimana menyatukan visi dan langkah dua pribadi yang berbeda."

Aleda mengangguk.

"Soal kembang jambu ini, kita memang masih rada meleset komunikasinya." Aleda meringis.

Dante terkekeh sedikit.

"Kelak kalau kita lihat kembang jambu di kepalaku, kuharap kita bisa ingat soal segala kemelesetan ini," ujarnya, masih tersenyum lebar.

"Dan, lihat botak seksimu itu, kok, aku jadi lapar, ya, Pa?" gumam Aleda, jahil. Terkikik. "Ingat telur rebus."

"Hayuuuk... Mama mau kita mampir makan di mana?" Suara Dante terdengar antusias.

Ia menurut ketika Aleda menyebut salah satu tempat makan favorit mereka. Ke sanalah ia kemudian mengarahkan mobil.

Sekilas, Aleda menatap Dante. Untuk kesekian ribu kalinya, letupan-letupan kembang api itu masih terasa di dalam dada.

"Kenapa?" celetuk Dante tiba-tiba. "Masih juga mengagumi kegantenganku?"

"Hiiih!" Aleda hanya bisa mencubit lengan kiri Dante dengan gemas.

Lelaki tercintanya itu pun memenuhi kabin mobil dengan gelak tawanya. Begitu menghangatkan hati Aleda.

* * * * *

Ilustrasi: pixabay, dengan modifikasi.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.