Aku Bukan Anak Sholeh

Aku Bukan Anak Sholeh

Sejak aku belajar parenting, aku bertekad akan menjadi orangtua terbaik untuk anak-anakku. Terutama sebagai ibu. 

Aku berusaha menerapkan setiap ilmu dan tips bagaimana membesarkan anak-anak supaya menjadi anak-anak yang sholeh, ceria dan percaya diri. 

Bagaimana menjaga tanpa menjadi terlalu protektif, bagaimana menyayangi tanpa jatuh pada sikap terlalu memanjakan, bagaimana bernegosiasi dengan anak tanpa perlu terpancing emosi, dan lain-lain. 

Menyadari kalau aku orangnya reaktif dan terbiasa mengatakan apa yang ada di pikiran tanpa pikir panjang, maka aku bekerja keras supaya bisa menjaga emosi menghadapi tingkah anak-anak yang menurutku keliru. Terutama menghadapi si sulung Ihsan yang jagoan memancing emosi ibunya. 

"Kakak, anak sholeh ibu, kalau habis main jangan lupa mainannya dirapikan lagi." 

Atau...

"Kakak kan anak sholeh, jagoan ibu yang baik, sama adik berbagi ya. Permen Kakak kan banyak." 

Begitulah. Meski pada awalnya perlu menahan napas melakukannya, aku berusaha. Konon katanya, sebutan yang kita sematkan terutama saat kita sedang emosi bisa menjadi doa tersendiri. maka sekesal apapun aku upayakan mulutku hanya menyebut yang baik-baik untuk anak-anakku (entah, ini teori dari mana. Tak usah search di google ya, percuma wkwk.). 

Suatu hari, Ihsan yang waktu itu masih berusia 4 tahun, berebut ingin dibonceng motor Ayah dengan adiknya. Dua-duanya tidak ada yang mau mengalah. Ayah dan motor memang jadi hal yang sangat menarik di mata anak-anak.   

"Kakak kan udah ikut ayah tadi pagi!" teriak adiknya. Tangannya memegang erat stang motor. 

"Tapi kan tadi nggak pake motor," jawab Ihsan santai sambil naik ke jok di belakang ayahnya. 

"Nggak boleh! Pokoknya sekarang Mbak Izzah yang ikut. Iya kan, Yah." kata si adik keukeuh.

"Boleh," jawab Ayah sambil senyum-senyum. 

"Kakak udah naik, weee. Berarti Kakak yang ikut. Ya, Yah?" sahut Ihsan sambil memeluk pinggang ayahnya. 

"Iya, boleh." Suamiku seperti sangat menikmati pertikaian anak-anak memperebutkannya. 

"NGGAAAK!! Ibuuuu, Kakak tuh, curaaang! Ibuuu...!" Izzah mulai menjerit. Sebentar lagi biasanya tangisnya pecah. 

Aku yang awalnya mau membiarkan terpaksa, eh, tidak terpaksa deng, tapi mau tidak mau harus turun tangan. Kuhampiri TKP. Kupeluk putriku dari belakang. 

"Mbak ikut Ibu aja, yuk. Ibu mau ke warung belakang," rayuku.

"Nggak mau.. Hu hu huu...." 

Benar kan, air mata putriku tumpah. Tangannya semakin kuat memegangi stang motor. Motor sampai oleng dan si Kakak melorot hampir jatuh dari duduknya. 

"Eeehhh, awas, awas!" kataku terkejut. 

Aku beralih ke kakak sulung. 

"Kak, ngalah ya?" bujukku setengah tegas,

Ihsan bergeming. Malah sibuk memperbaiki duduknya yang tadi sempat miring-miring. 

"Kak Ihsan kan anak baik, masa nggak mau gantian sama adiknya. Kakak temenin ibu ke warung, yuk." 

Ihsan menggeleng mantap sambil tersenyum.

"Kaak, anak baik, jagoan ibu...." kubujuk lagi....

"Kakak curaaang huaa...!!" Izzah semakin keras tangisnya. 

Aku menarik napas. Kupegang bahu Ihsan. 

"Kakak kan anak sholeh. Turun dulu, ya." tegasku. Kutahan tandukku yang mulai mumbul-mumbul. 

Apa jawabnya kemudian? 

"Kakak bukan anak sholeh!" katanya dengan nada sedikit meninggi. 

Apa?

"Kakak tuh, anak ayah, bukan anak sholeh. Ya kan, Yah? Berangkat cepet, Yah." katanya cuek dengan mata nakal. 

Ayahnya terbahak. Adiknya terus menangis. Aku speechless.

 

#Batch15

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.