Pemilik Hati

Rieana adalah cinta pertama bagi Heru. Pertama kali dia mengenal cinta dan perempuan, keduanya ada pada diri Rieana. Sampai hari ini, Heru rela melakukan apapun, asal bisa hidup bersama Rieana. Cinta atau sebatas nafsu belaka, keduanya di pertemukan kembali kepada kehidupan dua puluh tahun. Setelah kisah kasih yang lalu. Rieana jatuh hati kepada masa lalunya, yang kembali hadir dalam kisah hidupnya kini. Akankah takdirnya menyatukan cinta Rieana dan Heru? Atau semuanya akan kembali kepada takdirnya saat ini.

Pemilik Hati
Foto: Dokumen pribadi

Pemilik Hati

 

"Untuk apa Mas? Untuk apa semua ini. Apa yang kita harapkan dari hubungan terlarang ini? Bukankah jelas yang kita akan dapatkan adalah sama Mas. Luka hati, kecewa yang akan kembali kita tuai."

"Aku ga bisa Mas. Aku ga bisa merasakan kembali sakitnya kehilanganmu. Sebelum semuanya terlambat, ijinkan aku yang pergi dari semua ini."

"Rie tunggu," Mas Heru mencoba menahan kepergianku, tangannya menahan lenganku lembut, agar aku tetap diam tak meninggalkannya.

"Mas janji Rie. Mas ga akan meninggalkanmu dalam keadaan seperti apa pun. Mas janji semuanya akan baik-baik saja meski hanya kita berdua. Lihat Mas?"

Mas Heru berusaha meyakinkan kembali hubungan ini. Aku memandangnya perlahan dengan air mata yang tak mampu Aku tahan lagi.

"Aku tahu keraguan dihatimu. Namun percayalah kepada Mas. Mas tidak akan pernah meninggalkanmu. Mas mohon. Percayalah." Jemarinya menyeka air mata yang sejak tadi membasahi kedua pipiku. Perlahan Mas Heru merapatkan tubuhnya ke arahku, dan mendekatkan kepalanya di atas kepalaku. Mas Heru mengecup keningku lembut. Terasa begitu hangat Aku rasakan. Mas Heru memelukku erat. Agar Aku tahu bahwa dia akan selalu ada untukku. Sementara hati kecilku berbisik lirih. "Ya Tuhan dosa apa yang sedang Aku ciptakan."

 

Dialah Heru Pratama Atmaja. Laki-laki yang paling memberikan arti cinta dalam hati dan hidupku, selama Aku mengenal apa itu cinta.

Tuhan mempertemukan kami kembali.  Setelah ikatan suci kami sandang masing-masing. Entahlah! Magnet apa yang menarik kami dalam dosa tak berujung ini. Cinta masa lalu yang kami tabur kembali di masa kini.

Sabtu sore Aku duduk di halaman rumah. Menikmati hangatnya secangkir teh dan kue kering homemade. Anak-anak sedang menonton kartun kesukaannya di dalam. Menunggu Ayahnya anak-anak pulang. Sebuah pesan chat di WhatsApp menyapaku. Aku membukanya seakan chat tersebut telah begitu lama Aku nantikan. Aku tersenyum bahagia. Aku tahu benar dari siapa pesan chat tersebut. "Akhirnya yang Aku nantikan hadir juga." Gumamku didalam hati. Berawal pesan chat sore itu. Semuanya kembali bermula. Kisahku bersama Mas Heru.

 

Diujung smartphone kami masing-masing. Kami saling bercerita mencari pembenaran atas kisah kami yang berakhir dengan jalan takdirnya masing-masing.

"Mas sih! Yang ga mau berjuang lebih keras untuk mendapatkanku. Baru segitu aja udah nyerah. Ga mau berusaha lebih keras lagi." Ujarku kepada Mas Heru.

"Siapa bilang Mas ga berjuang keras. Siapa bilang Mas menyerah untuk mendapatkanmu. Semua usaha sudah Mas lakukan. Menemuimu setiap hari. Memohon meminta penjelasanmu. Ada apa sebenarnya tiba-tiba meminta putus. Mas berusaha untuk menemukan jawabannya.

Mas hampir gila memikirkan itu semua. Kehilangan kamu tiba-tiba tanpa penjelasan apapun. Membuat Mas hampir putus asa depresi memikirkan kamu setiap waktu." Suara Mas Heru bernada sedikit tinggi diujung smartphone. Seakan tak terima dengan ucapanku baru saja.

"Kamu tahu Rie?  Sampai akhirnya Mas sadari satu hal. Mungkin memang kita belum berjodoh. Seberapa keraspun usaha Mas untuk mendapatkanmu. Mau bagaimana lagi. Akhirnya Mas belajar untuk menerima dengan lapang hati kepergian kamu Rie." Ucap Mas Heru melanjutkan.

"Sekarang Mas mau nanya serius. Mas mohon jawab pertanyaan dengan jujur. Apa sebenarnya alasan kamu dulu meminta putus dan meninggalkan Mas tanpa penjelasan apapun. Tolong jawab Rie! Agar Mas tahu. Dua puluh tahun Mas terus mencari jawabannya. Tolong kasih tau Mas! Benarkah karena Ayah? Atau laki-laki lain dalam hidup kamu!" Nada Mas Heru penuh penekanan meminta penjelasan dariku.

Aku terdiam. Entah darimana harus Aku mulai kembali. "Udah dua puluh tahun masih belum sadar juga ya. Masih aja nanya kenapa dulu harus berpisah. Masih juga ga sadar apa yang Mas perbuat. Membuat semuanya harus seperti hari ini." Sahutku kepada Mas Heru.

"Ya apa! Kalau Mas belum paham. Bagian mana kesalahan Mas! Bagian mana kekhilafan Mas! Jelaskan kepada Mas!" Semakin tinggi nada suara Mas Heru Aku dengarkan.

"Udah ah! Kalau udah mulai tinggi suara Mas begitu. Udahan aja teleponnya." Klik! Aku tutup teleponnya. Mas Heru mencoba beberapa kali telepon Aku kembali. Tapi Aku abaikan.

 

Anganku pergi ke masa dua puluh tahun lalu. Masa dimana pertama kali takdirnya mempertemukanku dengan Mas Heru. Sebuah Desa dipelosok Jawa Barat.

"Heru." Sebut namanya mengajak ku berkenalan di sebuah pertemuan silaturahmi karang taruna.

Aku menyambut uluran tangannya. "Rieana." Ucapku singkat.

Aku merasakan sejak awal pertemuan kami. Ada yang tidak biasa Aku rasakan di sudut ruang hati ini. Aku bisa merasakannya saat berjabat tangan dengan Mas Heru untuk pertama kalinya. Ada debaran tak beraturan mengusik dadaku. Inikah pertanda semuanya tak akan sampai disini saja.

Sejak perkenalan itu. Pertemuan kami semakin sering.

"Rie." Panggil Mas Heru dengan nada lembut. Suara teduhnya membuat sejuk pendengaranku.

"Ya." Jawabku singkat.

"Boleh Mas mengenal Kamu lebih dekat?"

Aku paham benar maksud dan tujuan pertanyaannya Mas Heru ke arah mana. Aku masih terdiam menyimak kelanjutan kalimat Mas Heru.

"Mas sayang sama Kamu Rie." Ucap Mas Heru di suatu malam. Aku hanya tersenyum menatap Mas Heru kala itu. Rasa bahagia mendengar pernyataan Mas Heru. Aku sembunyikan didalam diamku.

"Rie diam aja? Rie ga merasakan yang Mas rasakan ya?" Tanya Mas Heru melanjutkan perkataannya malam itu. Aku terdiam dan kembali hanya melontarkan senyuman.

"Tidak apa-apa. Kalau belum mau jawab sekarang. Mas akan menunggu jawaban kamu. Tapi ijinkan Mas untuk tetap dekat sama Kamu." Pintanya sebelum berpamitan malam itu.

Sesungguhnya Aku sangat bahagia mendengar pernyataan Mas Heru. Sejak bertemu untuk pertama kalinya. Aku sudah merasakan ada perasaan tak biasa untuknya. Namun entah mengapa bibir ini kelu untuk bicara dihadapan Mas Heru.

 

Waktu terus membuat kami semakin dekat satu dengan lainnya. Hingga suatu malam Mas Heru kembali mempertanyakan pertanyaan yang sama.

"Rie. Sebenarnya sayang ga sih sama Mas? Kenapa selalu diam saat Mas nanya? Apa susahnya tinggal jawab sayang atau ga sama Mas?" Nada suara Mas sedikit tinggi memberikan penekanan. Agar Aku menjawab pertanyaannya.

Lagi-lagi Aku hanya diam dan membalasnya dengan senyuman. Entah kenapa bibirku tak pernah mampu untuk mengungkapkan rasa sayangku kepada Mas Heru. Meski hatiku berbisik. "Aku juga sayang sama kamu Mas."

"Rie. Masih ga mau jawab?" Mas Heru begitu ingin Aku menjawabnya. Sekali saja. Agar dia tahu. Bahwa perasaannya tak sedang bertepuk sebelah tangan.

"Kita jalani saja Mas. Tapi Aku minta jangan ke rumah lagi ya. Mau bertemu disini saja. Dirumah Airin." Pintaku kepada Mas Heru.

 

Bukan tanpa alasan Aku meminta demikian kepada Mas Heru. Keluarga besarku khususnya Ayahku sangat protek terhadap laki-laki. Membuatku nyaris tak pernah membawa teman laki-laki ke rumah meski hanya untuk berteman.

Aku memang tinggal tidak bersama kedua orang tuaku. Melainkan dengan Ibu Angkat yang sudah ku anggap Ibuku sendiri.

Kedua orangtuaku merantau di kota. Namun Ayahku khususnya sesekali pulang untuk menjenguk anak-anaknya.

Satu hari Mas Heru hendak berpamitan untuk pergi ke luar kota. Seperti biasanya Mas Heru selalu berpamitan terlebih dahulu sebelum pergi. Namun kali ini ada yang tak biasa. Dari kejauhan Aku sudah melihat Mas Heru sedang jalan menuju rumah. Entah lupa  dengan kesepakatan kita.

Aku mulai gusar tidak karuan. Malamnya Ayah baru saja datang dari kota. Dari pintu samping Aku memberikan kode dengan mulut dan kedua tanganku. "Jangan ke rumah ada Ayah." Aku berharap Mas Heru paham dan mengurungkan diri untuk melanjutkan langkahnya menuju rumah.

Namun kenyataannya berbeda. Mas Heru tetap jalan menuju ke rumah menemuiku untuk berpamitan. Semuanya terlihat baik-baik saja saat Mas Heru datang ke rumah dan mengucapkan salam. "Assalamualaikum." Salam Mas Heru memecah detak jantungku yang semakin tidak karuan sejak tadi.

"Waalaikumsalam." Jawab Aku dan Ayah bersamaan.

"Duduk." Aku mempersilahkan Mas Heru duduk dengan perasaan campur aduk. Aku tahu pasti setelah ini akan ada badai. Ayah pasti akan sangat marah besar terhadapku.

"Mas Heru. Mas Heru. Kenapa sih harus maksain kerumah." Aku bicara sendiri dalam hati.

"Duduk Mas." Ayah ikut mempersilahkan Mas Heru.

"Ya Pak. Terimakasih."

Mereka saling bicara. Ayah menanyakan asal usul Mas Heru. Tinggal dimana. Anaknya siapa. Pekerjaannya apa. Seakan sedang mengikuti ujian seleksi calon mantu. Aku menyimak dan mendengarkan di sebelah Ayahku. Semuanya terlihat baik-baik saja. Tapi tidak dengan hatiku. Aku tahu benar apa yang akan terjadi setelah ini.

"Pulang dulu Pak." Pamit Mas Heru pada Ayahku. Mas Heru bersalaman. Lanjut mengucapkan salam.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Jawab Aku dan Ayah bersamaan.

"Yah. Antar kedepan dulu." Ayah hanya mengangguk. Perasaan campur aduk setengah marah kepada Mas Heru.

"Kenapa sih tetap maksa ke rumah. Ga tau apa yang akan terjadi setelah ini!" Ucapku kesal kepada Mas Heru.

"Rie. Mas hanya mau berpamitan sama Kamu. Mas mau berangkat itu saja." Mas Heru mencoba menjelaskan.

"Ya. Tapi Aku udah bilang ga usah ke rumah. Ada Ayah. Kenapa tetap maksa ke rumah." Udahlah. Aku pergi dengan perasaan kesal meninggalkan Mas Heru begitu saja.

 

"Rie. Duduk." Pinta Ayah kepadaku. Perasaanku makin tidak karuan.

"Siapa Dia?" Ayah langsung menodongkan pertanyaan yang membuat jantungku berhenti seketika. Aku sangat tahu arah tujuan pertanyaannya.

"Temen Yah." Jawabku dengan bibir gemetar.

"Temen apa temen! Udah bosan sekolah?" Nada suara marah Ayah, semakin membuatku semakin kaku tak berkutik di depan Ayah.

."Tidak Yah." Jawabku dengan sisa tenaga yang ada.

"Ayah tahu masih pacar-pacaran. Ayah nikahin kamu sekalian seperti Mba mu itu.

"Ya Yah." Jawabku singkat. Pergi meninggalkan Ayah dikursi ruang tamu. Masuk kedalam kamar tidurku.

 

Aku terisak pelan. Agar Ayah tak mendengar tangisanku. Aku tahu maksud Ayah baik. Ayah sangat trauma dengan kejadian yang menimpa Mba Kanaya. Meski tidak sampai hamil duluan. Yang dilakukan Mba Kanaya dan pacarnya diluar batas. Sampai akhirnya Ayah menikahkan mereka berdua dengan paksa tanpa restu. Sampai detik ini trauma itu masih sangat menyakitkan bagi Ayah.

Batinku gelisah menghadapi sikap Ayah yang begitu protek terhadap laki-laki. Tak terbayangkan bila semua ini tetap Aku lanjutkan dan Ayah mengetahuinya. Ayah akan benar-benar menikahkanku dengan Mas Heru. Bukan perihal mau ataupun tidak. Tetapi sedikitpun belum terpikirkan dibenakku. Aku masih ingin sekolah. Kuliah. Mengejar cita-cita untuk menjadi seorang Guru.

Aku terus menghitung hari menanti kedatangan Mas Heru. Tak yakin dengan keputusanku. Tapi semua ini tak mungkin dilanjutkan lagi.

Akhirnya Mas Heru kembali dari luar kotanya. Aku sudah meminta Mas Heru untuk bertemu dirumah Airin.

 

Airin. Sahabat baikku yang begitu mengenal dan paham akan perjalanan kisah kasihku bersama Mas Heru. Kami duduk berdua dihalaman rumah Airin. Dengan wajah penuh senyuman Mas Heru menyapaku dengan nada suaranya yang lembut. Perempuan manapun akan jatuh hati bila mendengar suara Mas Heru. Begitu lembut, ringan, seperti air yang mengalir didahaganya hatiku.

"Apa kabarnya sayang?" Canda Mas Heru menggodaku. Sembari mengulurkan tangannya. Suara Mas Heru mengisi seluruh ruang hampa di hatiku selama beberapa waktu kepergiannya. Lupa seketika marahnya Ayah terhadapku saat itu.

"Baik Mas." Jawabku dengan sebuah senyuman.

Mas Heru menggenggam tanganku erat. Seakan begitu rindunya dia terhadapku. Aku merasakan itu. Aku pun sangat merindukanmu Mas. Tapi tak mampu Aku ungkapkan rasa ini.

"Mas kangen sekali sama kamu Rie." Lagi-lagi Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

"Rie. Diterima ya. Maaf Mas belum bisa kasih apa-apa untuk kamu. Semoga kamu suka pemberian Mas. Tolong jangan dilihat dari nilainya. Mas tahu untuk kamu apa yang Mas berikan bukanlah apa-apa. Hal biasa untuk kamu yang dari keluarga terpandang dan berada. Ucap Mas Heru memberikan sebuah bingkisan padaku.

"Apa sih Mas! Aku ga suka kamu bicara seperti itu. Membandingkan status ekonomi dan keluargaku. Memangnya siapa Aku? Sama dengan yang lainnya." Nadaku marah kepada Mas Heru.

"Ya Mas minta maaf. Mas hanya ingin kamu menilai pemberian Mas bukan dari harganya. Melihat dari sisi lain ketulusan Mas. Mas sayang sama kamu Rie." Tangan Mas Heru menyentuh pipiku lembut. Aku memandangnya penuh arti.

"Mungkin Mas bukan siapa-siapa dimata kamu dan keluarga besarmu hari ini. Tapi Mas akan membuktikan dan memantaskan diri untuk bersanding denganmu pada saatnya nanti. Mas janji sama kamu Rie."

Mendengar ucapan Mas Heru. Seakan Aku perempuan paling beruntung yang begitu di cintai oleh pasangannya.

"Terimakasih Mas." Jawabku singkat. Fikiranku mulai terbang di hari Mas Heru berpamitan. Aku lebih banyak diam, bingung dengan semua ini. Mampukah Aku untuk meminta perpisahan dari Mas Heru. Semakin hari Aku semakin merasakan rasa sayang yang begitu dalam darinya untukku. Aku tak punya kekuatan untuk mengatakannya. Bibirku tak sanggup untuk menyampaikan niatku untuk mengakhiri apa yang tak pernah kita mulai. Aku terus diam malam itu.

 

Mas Heru seakan merasakan gelagat itu juga sepertinya.

"Sayang, kamu baik-baik aja? Perasaan Mas lihat kamu melamun terus, ga tenang, gelisah. Ada apa Rie? Cerita sama Mas."

"Tidak apa-apa Mas. Aku baik-baik saja. Jawabku."

"Rie." Mas Heru menggenggam tanganku dengan sangat lembut. Aku berusaha menepisnya pelan. Tapi Mas Heru mencoba menguatkan.

"Tangan kamu dingin sekali Rie. Kamu sakit?"

"Maaf Mas. Aku pamit pulang ya. Aku sedikit ga enak badan." pintaku kepada Mas Heru. Memang tiba-tiba tubuhku mendadak gemetar. Entah karena cuacanya yang dingin. Atau fikiranku yang kacau malam ini.

Mas Heru menyentuh kedua pipiku lembut.

"Kamu demam Rie! Kepala kamu panas sekali." Mas Heru terlihat cemas.

"Aku tidak apa-apa Mas." Ucapku.

"Tidak apa-apa gimana Rie? Badan kamu panas, tangan kamu dingin sekali. Mas antar kamu pulang sekarang.  Agar kamu bisa segera  istirahat."

"Tidak usah Mas. Aku bisa pulang sendiri."

Aku beranjak dari tempat dudukku. Namun Aku nyaris terjatuh kembali. Kepalaku berat sekali, sangat pusing. Tubuhku terasa lemas tak bertenaga.

"Rie, hati-hati sayang. Kita pulang sekarang. Mas antar kamu sampai rumah. Mas tidak mau kamu kenapa-kenapa dijalan nanti."

Perhatian dan kasih sayang Mas Heru padaku. Membuatku semakin berat untuk mengakhiri ini semua. "Ya Tuhan. Bagaimana ini? Bagaimana caraku untuk mengatakannya kepada Mas Heru." Sepanjang jalan nyaris tak dapat lagi Aku merasakan tubuhku.

"Istirahat ya. Jangan memikirkan yang berat-berat dulu. Kalau ada apa-apa kabarin Mas ya." Tangannya begitu lembut menyentuh kembali pipiku.

"Aku masuk ya. Mas hati-hati pulangnya." Ucapku pelan.

Aku masuk dan merebahkan tubuhku di atas kasur. Terlelap dalam lelahnya tubuh dan fikiranku. Alangkah terkejutnya ketika Aku membuka kedua mataku.

"Dimana ini? Aku tidak mengenal ranjang tempat tidurku. Ada apa dengan tanganku?"

Ternyata Aku dirumah sakit. Ibu angkatku bilang, badanku panas tinggi, menggigil hebat. Membawaku kesini, khawatir terjadi apa-apa denganku.

Ada Ayah. Pasti ibu langsung menghubungi Ayah agar pulang.

 

Mendadak Aku cemas. Bagaimana bila Mas Heru datang kesini dan bertemu dengan Ayah. Ayah sedang ke kantin mencari makanan.

Aku terkejut saat pintu ruang rawat inap terbuka.

"Assalamualaikum." Mas Heru dan Ani, tetangga Mas Heru sekaligus sahabatku.

"Waalaikumsalam." Jawabku singkat.

"Kamu sendirian Rie?" Tanya Ani.

"Ibu sedang ambil obat, Ayah sedang ke kantin." Jawabku kepada Ani.

"Gimana keadaan kamu Rie?" Tanya Mas Heru dengan wajah khawatir.

"Aku baik Mas. Mas, jangan lama-lama ya. Ada Ayah disini. Aku mohon mengertilah."

"Rie, segitu khawatirnya kamu sama hubungan kita?" Mas Heru mencoba menenangkan.

"Aku mohon Mas. Pergilah sebelum Ayah datang. Aku tidak ingin berdebat dengan kamu." Aku berharap Mas Heru memenuhi pintaku.

"Kasihan Rieana Her. Bisa ketemu lagi kalau udah pulang dari sini." Bujuk Ani kepada Mas Heru.

"Ya udah,  Mas langsung pulang. Lekas sembuh ya. Mas pamit."

Mas Heru mengusap tanganku lembut dan menciumnya. Aku tersenyum memandangnya.

"Terimakasih Mas." Ucapku singkat.

"Rie, pamit ya lekas sembuh." Ani menyusul ucapan Mas Heru.

Begitu mereka pulang. Aku tersentak kaget saat Ayah tiba-tiba masuk. Apa Ayah bertemu dengan Mas Heru didepan. Tapi Ayah diam saja. Aku pun sedikit lega.

Tapi tidak setelah kepulanganku dirumah.

Ternyata Ayah bertemu Mas Heru dan Ani.

Yang membuat  tak sadar air mataku jatuh begitu saja. Ayah sudah meminta kepada Mas Heru untuk tidak berhubungan lagi denganku. Aku hanya bisa diam.

Setelah Aku benar-benar sehat. Ayah berangkat kembali. Dan menegaskan untuk terakhir kalinya.

"Ayah tidak mau dengar kamu masih berhubungan dengan Heru!"

 

Beberapa waktu Aku benar-benar hanya berbaring dirumah. Setelah Aku merasakan tubuhku cukup sehat untuk keluar rumah. Aku meminta Mas Heru menemuiku di tempat yang telah Aku tentukan.

Untuk apalagi? Untuk mengakhiri semua ini. Jalinan yang entah akan memiliki masa depan ataupun tidak. Aku hanya ingin menuruti kehendak Ayahku. Seperti yang selama ini Aku lakukan.

Akhirnya Aku dan Mas Heru bertemu kembali setelah beberapa waktu. Ada rona bahagia terpancar jelas di wajah Mas Heru. Akupun bisa merasakan bahagia itu.

Mas Heru melontarkan senyumannya. Aku membalas senyumannya dengan getir hati yang Aku sembunyikan. Apakah esok Aku mampu tanpa melihat senyumanmu lagi.

"Apa kabarnya sayang? Kangen sekali Mas sama kamu Rie." Seperti biasanya Aku hanya membalasnya dengan sebuah senyuman.

"Mas." Aku sebut namanya dengan perasaan yang telah pedih di hati. Seakan hati ini telah hancur berkeping sejak Aku memutuskan untuk bertemu Mas Heru hari ini. Aku tak sanggup melanjutkan kata-kata berikutnya kepada Mas Heru.

"Ya." Mas Heru langsung menanggapinya. Selama ini Akupun lebih banyak diam.

 

Aku tak kuasa menahan getirnya hatiku untuk mengatakannya. Namun ucapan Ayah. "Jangan sampai Ayah mendengar kamu masih berhubungan pacar-pacaran. Ayah nikahkan kamu sekalian." Peringatan Ayah memecahkan keheningan malam diantara kita berdua. Tanpa sadar tangisanku pecah. Aku terisak dalam pelukan Mas Heru. Aku sandarkan tubuhku. Aku biarkan Mas Heru memelukku erat dengan kehangatan. Aku tau setelah ini semuanya akan berbeda.

Mas Heru membiarkan Aku menumpahkan tangisanku. Hingga Aku tenang dan merasa lebih baik.

"Udah enakan perasaan kamu?" Mas Heru menatapku dengan rasa penasaran. Aku hanya mengangguk membalas pertanyaannya.

"Kenapa Rie? Lihat Mas, tatap mata Mas." Aku menatapnya dengan sendu dan sembab di kedua pipiku.

"Mas, hati dan jiwaku telah menjadi milikmu. Namun tak pernah mampu Aku katakan itu. Dan kini sebelum kamu tahu bagaimana perasaanku sesungguhnya. Bahkan Aku ingin mengakhiri semua ini." Aku bicara pada diriku sendiri. Mas Heru menyeka air mataku yang masih tersisa dengan lembut.

"Katakan, apa yang ingin kamu katakan kepada Mas. Mas janji akan menerima apapun itu, jika itu membuatmu bahagia. Mas janji." Suara Mas Heru meyakinkan, seolah semuanya akan tetap baik.

"Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi Mas. Aku mau semuanya sampai disini saja. Jangan pernah menemuiku lagi." Dengan bibir gemetar pintaku kepada Mas Heru. Aku tak kuasa untuk menahan tangisanku. Air mataku perlahan tapi pasti mengalir di perihnya hati yang Aku rasakan saat ini. Mas Heru nampak tersentak kaget dengan ucapanku baru saja.

"Jelaskan kepada Mas, kenapa tiba-tiba bicara seperti itu? Apa salah Mas sama kamu Rie? Dimana letak khilafnya Mas. Tolong beritahu Mas." Mas Heru tak terima dengan keputusanku begitu saja. Mas Heru menyeka kembali air mataku dengan lembutnya.

"Katakan Rie. Agar Mas dapat memperbaikinya. Tapi tolong jangan meminta Mas untuk meninggalkanmu. Mas sangat menyayangimu Rie. Meski tak pernah Mas dengar sekalipun. Apakah kamu juga merasakan apa yang Mas rasakan. Apakah kamu juga menyayangi Mas. Tapi Mas tidak perduli dengan itu semua. Bisa menyayangi kamu, mengenal kamu, Mas sangat bersyukur. Mas hanya ingin melihat kamu di setiap waktu. Di dekat Mas. Mas mohon jangan meminta Mas untuk menjauh darimu." Mas Heru menggenggam tanganku erat. Aku terdiam, air mataku kembali membasahi kedua pipiku.

"Berhentilah Rie. Mas tidak sanggup melihat mu seperti ini. Hati Mas sakit melihatmu seakan tersiksa berada di dekat Mas." Tatapan Mas Heru membuatku semakin sedih.

 

"Aku ga bisa Mas. Aku ga bisa melanjutkan lagi hubungan ini dengan alasan apapun. Anggaplah kita tidak pernah saling mengenal. Aku mohon mas, jangan pernah menemuiku lagi. Maafkan Aku Mas." Aku hendak beranjak dari tempat dudukku. Mas Heru menahanku untuk tetap duduk.

"Baik Rie. Mas akan terima apapun keputusanmu. Mas akan pergi jauh dari hidupmu. Mas tidak akan mengganggumu lagi. Mas janji, akan memenuhi apapun kehendakmu. Tapi sebelum itu semua. Tolong jelaskan kepada Mas, kasih tau Mas, dimana letak kesalahan Mas terhadapmu. Bila dengan berpisah membuatmu lebih bahagia. Jelaskan kepada Mas! Mas mohon."

Aku hanya diam dan tetap membisu.

"Rie. Jangan diam saja. Atau jangan-jangan selama ini kamu tak pernah sayang kepada Mas. Tak pernah ada cinta dihati kamu untuk Mas. Sehingga dengan mudahnya kamu meminta kita untuk berpisah begitu saja. Jawab Rie! Jangan diam dan membisu terus."

Mas Heru nampak tak seperti biasanya. Mas Heru begitu emosional. Aku yang sempat tersentak dengan pertanyaannya, membuatku terpancing emosi. Aku pikir mungkin dengan cara mengiyakan pernyataannya, segalanya akan lebih mudah.

"Ya Mas, kamu benar! Aku tidak pernah benar-benar menyayangimu! Aku tidak pernah mencintaimu! Aku hanya ingin bermain-main dengan mu. Aku hanya ingin kamu tahu. Aku bisa mendapatkan laki-laki manapun yang Aku mau. Sudah puas dengan jawabanku? kalau sudah puas Aku pamit. Aku sudah bosan berada di dekat mu."

"Bohong kamu Rie! Pandainya kamu membohongi hati dan dirimu sendiri!"

"Terserah! Aku tidak perduli kamu mau percaya atau tidak. Itu bukan urusanku!

Aku pulang. Terimakasih sudah bermain-main beberapa waktu denganku. Aku sangat menikmati permainan ini!"

Sekuat tenaga Aku sembunyikan bening kristal yang nyaris tumpah kembali.

"Rie. Jangan seperti ini Aku mohon." Mas Heru mencoba menarik tanganku.

 Lepaskan Mas! Mas Heru semakin kencang mencengkeram tanganku.

"Aw! Sakit Mas! Lepaskan tanganku!"

Melihat Aku yg kesakitan akhirnya Mas Heru melepaskan genggaman tangannya. Aku berlalu dari hadapan Mas Heru. Aku setengah berlari, dengan air mata yang tak mampu Aku bendung lagi. Aku tak ingin Mas Heru melihatku menangis. Aku terus berlari dan berbisik lirih. "Aku mencintaimu Mas. Aku menyayangimu. Lebih dari yang kamu tahu dan kamu rasakan. Tapi Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi."

 

Hari berganti dan berlalu dengan kecamuk perasaan yang tak menentu. Rindu disudut hatiku menggelayut direlung jiwaku yang terdalam kepada Mas Heru.

"Aku merindukanmu Mas." Bisikku lirih disela isak tangisku dikamar. Aku semakin merindukannya. Aku mencoba menghibur diri dengan keluar rumah. Hendak main ke rumah Airin. Kagetnya Aku sampai dirumah Airin ada Mas Heru sedang mengobrol dengan Airin. Ternyata Mas Heru berusaha meminta tolong kepada Airin untuk mempertemukanku dengan Mas Heru.

Aku kira Mas Heru tak melihatku. Ketika Aku sudah berbalik arah dan melangkah pergi. Sebuah tangan menahanku lembut. "Tunggu Rie. Aku mohon sebentar saja." Mas Heru menahan langkahku.

"Aku mohon Rie. Jangan bersikap seperti ini." Genggaman tangannya membuat tubuhku gemetar. Aku sangat merindukannya. Aku merindukan belai lembut jemarinya. Aku merindukan suaranya yang begitu teduh di telinga.

"Kita bicara dulu sebentar. Aku mohon sebentar saja. Setelah itu kamu mau pergi silahkan." Mas Heru memohon dan berharap Aku mau mendengarkannya. Aku memenuhi keinginan Mas Heru untuk sejenak bicara berdua dengannya.

 

"Mas sudah tahu semuanya. Mas tahu semua yang kamu katakan kemarin adalah bohong. Meski Mas tak pernah mendengar dari mulut kamu sendiri. Mas yakin, kamu mencintai dan menyayangi Mas. Ya kan?"

Mas Heru mencoba memancingku dengan kata-katanya baru saja.

"Mas tahu. Kamu hanya ingin menjauh dari Mas. Karena Ayah kamu tidak ingin anak perempuannya dekat dengan seorang laki-laki. Mas mohon Rie. Mas janji akan turuti apapun aturan hubungan kita. Apapun kehendak kamu atas hubungan ini. Mas mohon jangan meminta untuk kita berpisah."

Aku terdiam mendengar pernyataan dan pertanyaannya. Bertanya pada diriku sendiri.  Darimana Mas Heru tahu itu semua. Darimana Mas Heru tahu Kalau permintaan perpisahanku dengannya hanya karena kehendak Ayahku saja. Aku semakin bingung memikirkannya.

"Rie. Kita pasti bisa melewati ini berdua, bersama-sama. Tapi tidak dengan jalan perpisahan." Mas Heru menatapku dengan keyakinan.

 

Entah apa yang membuatku luluh. Aku mengiyakan kehendak Mas Heru untuk tidak berpisah. Betapa Aku seakan lupa bagaimana marahnya Ayah terhadapku. Entah bagaimana bila Ayah mengetahui Aku masih menjalin hubungan dengan Mas Heru. Aku menatap Mas Heru dalam diam. Tampak jelas kebahagiaan di wajah Mas Heru. Sejujurnya Aku pun demikian. Meski tanda tanya dihati, masih belum Aku dapatkan jawabannya.

"Ada apa dengan diriku? Rindu apa ini yang begitu kuat didalam sanubari. Benarkah rasa ini? Atau hanya sebatas sebuah pengakuan bahwa Mas Heru adalah milikku. Aku tidak rela bila ada perempuan lain mendekatinya." Aku bicara pada diriku sendiri.

Rentang waktu yang sempat memisahkanku dengan Mas Heru. Aku sempat mendengar kabar Mas Heru sedang dekat dengan Ara. Aku mengenalnya, meski tidak begitu dekat. Aku tidak ingin Mas Heru lebih dekat lagi dengannya. Aku cemburu mendengar kedekatan mereka. Meski tak dapat Aku ungkapkan.

Beberapa waktu semuanya terasa baik-baik saja. Aku tidak perduli bagaimana kelanjutan hubungan Mas Heru dan Ara. Aku tahu Mas Heru takkan berpaling dariku. Aku bisa merasakan itu. Aku kira semuanya itu benar. Cintanya, kasih sayangnya, ketulusannya terhadapku adalah tulus dari hatinya untukku.

 

Obrolan yang tak sengaja Aku mulai bersama Ani, teman sekaligus tetangga Mas Heru. Cukup dekat denganku bersamaan semakin dekatnya hubunganku dengan Mas Heru.

Kami berempat sering pergi berempat. Aku bersama Mas Heru dan Ani beserta Mas Andre.

"An. Aku udah baikan dengan Mas Heru."

Ucapku kepada Ani membuka obrolan sore itu dikamarnya."

"Tapi ada yang aneh Aku rasakan An. Aku seperti begitu merindukan Heru. Rasanya ingin terus ketemu Heru. Aneh aja gitu perasaan di hati saya An." Aku melanjutkan obrolan dengan Ani.

"Kamu bisa merasakannya ya Rie?"

"Merasakan apa An? Maksud kamu apa yang saya rasakan?" Aku langsung bertanya tanpa celah kepada Ani.

"Ya Rie. Maaf ya saya ga ngasih tau kamu sebelumnya. Saya kasihan lihat Heru mikirin kamu terus. Udah seperti orang gila Rie. Heru selama ini datang ke orang pintar, tapi dia lakukan karena Heru sayang banget sama kamu Rie. Dia ga terima diputusin kamu. Saya sudah melarangnya. Nanti kalau Rieana tahu akan semakin marah. Heru bilang biarin aja, biar kamu tahu seberapa besar Heru sayang sama kamu. Bilangnya seperti itu."

Mendengar apa yang disampaikan Ani. Mendadak dadaku sesak. Sulit dipercaya. Orang yang begitu dekat. Orang yang selama ini Aku percaya dengan semua yang dia tunjukkan kepadaku. Ternyata begitu mudahnya mengambil langkah pintas hanya untuk egonya.

"Saya ga percaya Heru melakukan ini An. Melakukan cara kotor sebagai bukti kalau dia benar-benar sayang sama Aku.

"Saya pulang ya An." Aku pamit pulang kepada Ani. Perasaanku murka kepada Mas Heru.

"Rie. Jangan mengulang mengambil keputusan dengan emosi. Lihat sisi lain kenapa Heru melakukannya." Cegah Ani menghalangi langkah kakiku.

"An. Apapun alasannya salah tetap salah. Saya benci ternyata cara Heru memperjuangkan cintanya dengan cara seperti ini."

Ani paham benar akan kemarahan saya kepada Mas Heru.

 

Saat didepan rumah Ani, Mas Heru tiba-tiba datang. Namun Aku abaikan karena marahku.

"Rie." Mas Heru menahan tanganku agar tidak pergi.

"Cukup Mas! Cukup untuk semuanya. Jangan berusaha mencari pembenaran apapun." Aku meninggalkannya yang berusaha untuk menjelaskan segalanya.

Malam hari Aku termenung di keheningan. Rintik hujan diluar seakan turut serta mengiringi kekecewaan hatiku. Sakit rasanya mengetahui semua ini. Demi mengambil hatiku kembali Mas Heru sampai bermain orang pintar.

"Ya Tuhan. Kamu kenapa harus melakukan ini semua sih Mas."

Kepercayaanku seketika hancur berkeping. Benarkah rasa ini buah dari orang pintar. Atau ini semua cara Mas Heru untuk membuktikan bahwa dia memang tulus menyayangiku. Entahlah. Aku tak dapat lagi membedakannya mana ketulusanmu dan kebohonganmu Mas.

Kali ini Aku benar-benar kecewa dengan apa yang Mas Heru lakukan terhadapku. Saat Aku begitu percaya akan hangatnya cinta dan kasih sayangnya. Namun yang Aku dapatkan perjuangan dengan noda orang pintar. Aku berpesan kepada orang rumah ada yang mencari, bilang saja sudah tidur.

Hampir setiap hari Mas Heru berusaha menemuiku. Kerumah, namun tidak pernah aku bukakan pintu. Kerumah Airin memintanya agar membujukku untuk mau menemuinya. Airin sempat kerumah untuk menemuiku. Aku hanya mendengarkan Airin bercerita Mas Heru ingin menjelaskan semuanya kepadaku.

Keesokan harinya Mas Heru masih saja memaksa untuk menemuiku.

"Assalamualaikum Bu. Ibu membukakan pintu untuk Mas Heru. Minta tolong Bu kasih tau Rieana saya mau bicara sebentar saja."

Sampai ibu memintaku untuk menemuinya dulu. "Selesaikan dulu urusan kamu. Biar ga ke rumah terus." Ibu mulai ga nyaman juga dengan kehadiran Mas Heru.

Mas Heru terus mengetuk pintu jendela kamarku yang letaknya dekat dapat terketuk dari luar rumah.

"Rie tolong keluar sebentar saja. Ijinkan saya untuk menjelaskan semuanya."

Tapi Aku tetap diam tak bergeming.

Setiap hari Mas Heru terus datang mencoba meyakinkanku sampai takdirnya mempertemukan kita dirumah Airin.

 

Sesekali Aku masih kerumah Airin. Untuk menghindari Mas Heru sengaja Aku ga main dulu beberapa waktu ini. Aku yang awalnya hendak mampir ke rumah Airin. Seketika Aku pamit pulang kepada Airin.

"Rie tolong. Dengarkan penjelasanku sebentar saja. Aku mohon Rie. Aku melakukan karena Aku ga bisa kehilanganmu kemarin. Terlalu menyakitkan buatku."

Perasaanku seketika mati rasa saat Aku tahu Mas Heru mendapatkanku kembali dengan bantuan orang pintar.

"Maaf Mas. Ga ada lagi yang perlu kita bicarakan. Semuanya sudah selesai."

Aku pergi meninggalkan Mas Heru. Mas Heru tidak tinggal diam. Mas Heru terus mengejar langkahku.

"Mas! Berhenti atau Aku akan teriak. Berhenti mengikutiku." Pintaku dengan marah kepada Mas Heru.

 

Seperti mimpi semuanya harus berakhir begitu saja. Aku memulai kembali hari-hariku seakan tak pernah mengenal Mas Heru dalam hidupku. Aku mencoba tegar bahwa perpisahan ini adalah yang terbaik untuk kita berdua. Semakin hari Aku terus mencoba melupakan segalanya tentang Mas Heru. Meski kenyataannya Aku semakin terus mengingatnya dalam hati dan fikiranku.

"Mas, kenapa harus seperti ini akhirnya?" Bisikku lirih.

Semakin sakit Aku rasakan dihatiku. Saat mendengar Mas Heru bertunangan dan akan segera menikah dengan Ara. Berharap ini mimpi. Saat terbangun semuanya baik adanya.

"Mas. Semudah itukah kamu melupakan apa yang pernah ada diantara kita? Hingga begitu mudahnya kamu mencari perempuan lain, bahkan kamu akan segera menikahinya.  Ya Tuhan sakit sekali Aku mendengar ini semua. Kenapa ada sakit ini? kenapa disaat Aku yakin akan segalanya, kamu harus mengotorinya." Pipiku basah mengingat apa yang pernah ada.

Hanya beberapa waktu berlalu, setelah kebersamaan kita sebelumnya. Anganku pergi mengajak kembali disaat kita masih bersama di sebuah purnama yang hangat dan indah. Seperti hangatnya kisah kita kala itu.

Ada sebuah kebiasaan disini kala purnama datang. Ada sebuah pemandian Tujuh sumur atau Sumur tujuh begitu warga menyebutnya. Apabila sepasang kekasih mandi bersama di sumur tersebut. Maka sepasang kekasih tersebut akan berjodoh. Aku tersenyum saat pertama kalinya mendengar tentang hal itu. Aku pernah berharap dapat pergi dengan seseorang. Tapi tidak pada kenyataannya.

Malam purnama Mas Heru menemuiku. Berniat mengajakku ke Sumur tujuh. Aku tersenyum mendengar ajakannya. Teringat dulu keinginanku akan hal itu. Aku langsung menolak ajakannya.

 "Maaf Mas. Aku ga bisa pergi. Kalau Mas mau pergi, pergi saja dengan teman-teman Mas. Aku ga bisa ikut."

"Ya tidak apa-apa kalau kamu ga mau pergi. Aku ga maksa. Aku akan tetap disini. Sama kekasihku yang hobinya cemberut." Mas Heru mencubit pipiku lembut.

Aku kalah. Aku luluh. Aku tersenyum menatap Mas Heru. Akhirnya kami memutuskan untuk makan malam berdua, dibawah terangnya sinar bulan purnama, langit yang cerah dan udara yang sedikit dingin namun terasa hangat karena keberadaan kita berdua, serta angin malam sesekali menyapa wajah kami dengan lembut. Sederhana namun begitu bermakna malam ini untuk kami. Aku sangat bahagia malam ini. Aku terus diam-diam memandang wajah Mas Heru, saat ia sedang menatap langit. Ketika Mas Heru hendak menghadapkan wajahnya padaku. Aku berpaling menatap purnama. Aku tak pernah mampu bertahan lama pada pandangannya.

Malam purnama terakhir bersama Mas Heru. Malam tanpa pernah Aku tahu, kebersamaan terindah yang pernah tercipta diantara kita berdua. Malam yang dingin, indah, namun hangat akan cinta yang kita punya berdua. Malam yang begitu membekas dalam perjalanan kisah kasihku bersamamu.

Begitu indahnya malam yang penuh kenangan itu khususnya untuk diri kamu Mas.

Hingga Kamu sematkan nama anak pertamamu bersama Ara. "Abizar Akbar Purnama."

 

Mas Heru melirik jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Mas Heru tahu benar jam berapa ia harus mengantarku pulang. Rasanya belum ingin kita kembali ke rumah masing-masing. Purnama seakan enggan melihat kita berlalu dari sinarnya. Purnama seakan ingin tetap kita bercumbu dibawah terang dan dinginnya udara malam ini. Purnama seakan ingin memberi tahu, setelah ini tak akan pernah ada lagi purnama-purnama berikutnya untuk kami berdua. Sampai rumah Mas Heru terlihat begitu berat berpamitan dengan ku.

"Mas pulang ya. Suara Mas Heru memecah keheningan setelah lama memandangku dalam diam. Sayang langsung istirahat ya. Jangan tidur larut." Mas Heru mengusap pipiku lembut.

"Ya Mas. Hati-hati dijalan. Aku masuk ya." Aku menengok kembali ke belakang. Mas Heru masih berdiri ditempatnya. Tersenyum melihatku. Aku berlalu menutup pintu rumahku. Aku membersihkan tubuhku dan istirahat.

Tiba-tiba dadaku terasa sakit sekali. Aku duduk di tepi ranjang tempat tidurku. Minum sedikit air putih untuk mengurangi rasa sakitku. Ada perasaan yang aneh Aku rasakan malam itu. Seolah ada hal yang akan terjadi kepada Mas Heru. Tapi Aku mencoba untuk mengabaikannya. Sampai pada akhirnya waktu yang menjawab semua kekhawatiranku tersebut.

Waktu berlalu dengan cepat. Ada rasa penyesalan didiriku saat menerima sebuah undangan pernikahan. Jelas tertulis nama kedua mempelai yang sangat Aku kenali.

"Ara Ratna Rahayu dan Heru Pratama Atmaja." Undangan dari calon mempelai perempuan.

"Ya Tuhan. Laki-laki yang beberapa saat lalu masih mengungkapkan cinta dan sayangnya terhadapku. Kini akan menikah dengan temanku sendiri. Aku rebahkan tubuhku di atas ranjang tempat tidurku.

Aku berharap ini hanyalah mimpi. Faktanya adalah undangan ini tergenggam nyata erat di tanganku."

Menjelang hari pernikahan Mas Heru. Seorang teman dekat Mas Heru menemuiku.

Andi datang untuk menyampaikan salam Mas Heru kepadaku sebelum besok ia akan melangsungkan akad nikah. Kalau Heru yang datang, Aku pasti tidak akan mau menemuinya. Ucap Andi mencoba menjelaskan padaku.

"Rie. Kamu serius udah ga ada cinta lagi dihatimu untuk Heru? Jujur Akupun ga paham sebenarnya ada apa dengan kalian berdua. Tiba-tiba terjadi seperti ini." Andi memandangku penuh tanya.

"Rie. Heru menitipkan salam buat kamu."

"Waalaikumsalam." Jawabku singkat.

"Aku belum selesai Rie. Heru memintaku untuk menyampaikan ke kamu. Masih ada waktu sebelum besok segalanya akan terlambat. Sungguhkah tidak ada lagi kesempatan untuk Heru memperbaiki semua ini. Heru sayang dan sangat mencintai kamu Rie. Lebih dari yang kamu sadari, lebih dari yang kamu rasakan. Dia belum pernah jatuh hati kepada perempuan sebelum ini. Bila masih ada kesempatan untuk Heru. Dia rela membatalkan pernikahannya besok. Karena perempuan yang Heru cintai kamu Rie, bukan Ara." Andi berusaha sekuat tenaga meyakinkanku demi sahabatnya itu.

Aku hanya diam. Aku tidak tahu harus menjawab apa semua pertanyaan Andi padaku. Bagaimana mungkin Aku menghancurkan sebuah pernikahan yang akan berlangsung besok. Hanya karena nafsu dan egoku semata. Meski jauh didasar hatiku. Aku tak ingin Mas Heru dengan Ara menikah. Aku hanya ingin Mas Heru berusaha lebih keras untuk meyakinkanku. Bahwa cintanya sungguh nyata untukku, bukan karena noda orang pintar kemudian menyerah dan dengan mudahnya menikah dengan perempuan lain.

Hanya seperti itukah cintanya untukku. Aku hanya mampu bicara pada diriku sendiri. Hingga suara Andi membuyarkan lamunanku. Tak terasa ada air mata yang jatuh di kedua pipiku. Aku menyekanya perlahan.

 

"Rie. Malah melamun. Kamu nangis?  Jangan membohongi diri kamu sendiri Rie. Aku serius Rie. Heru sangat berharap sebelum semuanya terlambat. Heru menunggu jawaban kamu dirumahnya. Aku akan langsung menyampaikannya." Ucap Andi.

"Maafin Aku. Semoga Heru bahagia dengan hidup barunya. Makasih ya Andi. Aku pamit ya. Bilang ke Heru, semuanya sudah selesai saat dia datang ke orang pintar untuk cintanya. Aku berharap Heru bahagia bersama Ara."

Aku pergi meninggalkan Andi yang terlihat kecewa dengan keputusanku. Andi tahu benar apa sebenarnya harapan hatiku. Tapi semuanya sudah terlambat.

Sampai tiba waktunya hari pernikahan Mas Heru. Tidak ada undangan dari Mas Heru. Aku sudah berencana untuk tetap hadir bersama Airin ke pernikahan Mas Heru.

"Rin nanti hadirnya saat Mas Heru sedang iring-iringan ya." Ada rasa khawatir pernikahan Mas Heru akan berantakan karena kehadiranku. Gumamku dalam hati.

"Cieeeeee. Masih manggilnya Mas Heru aja. Udah jadi suami orang juga." Ledek Airin kepadaku.

"Apa sih kamu Rin." Sahutku kembali.

 

Didesaku ada satu adat istiadat dari dulu. Entah sejak kapan adanya. Usai petang atau setelah Maghrib. Ada tradisi pengantin laki-laki di arak keliling kampung terdekat.

 "Iring-iring" begitu warga menyebutnya. Iring-iringan tersebut biasanya di iringi dengan beberapa lampu hias penuh warna warni. Lampu-lampu tersebut di letakkan pada ornamen-ornamen bambu yang telah di bentuk ataupun di hias. Ornamen bambu tersebut ada berbentuk kupu-kupu,  bintang, bulan, burung dan bentuk lainnya. Sangat indah menghias malam saat iring-iringan melewati satu desa dengan desa lainnya. Hiburan tersendiri bagi warga desanya. Saat iring-iringan Mas Heru, saat itu pula Aku menghadiri resepsi pernikahannya.

Pukul tujuh malam Aku langsung menghampiri Airin. "Rin. Udah siap?"

"Udah, ayo jalan." Jawab Airin kepadaku.

Kami berdua berangkat menuju lokasi resepsi Mas Heru. Sepanjang jalan ada rasa takut kalau ternyata Mas Heru dibatalkan iring-iringannya. Tapi menurut informasinya Mas Heru akan ada iring-iringan. Rasa lega saat sampai. Dari kejauhan nampak Ara duduk sendirian menunggu iring-iringan Mas Heru datang, kemudian mereka bersanding berdua disana. Artinya Mas Heru belum datang. "Harusnya Aku yang duduk disana. Hussshhhh. Lamunin apa sih kamu Rie." Aku segera tersadar sebelum Airin menyadari lamunanku.

Langkah kakiku mulai gontai saat menuju pelaminan. Ada rasa pilu yang Aku sembunyikan dibalik senyumanku. Aku sedang menghadiri resepsi pernikahannya. Resepsi orang yang beberapa waktu lalu masih mengungkapkan cinta dan sayangnya terhadapku. Setengah mati aku tahan agar bening kristal tak jatuh saat bersalaman dengan Ara.

Alangkah  terkejutnya  Aku  dan Airin saat hendak bersalaman iring-iringan Mas Heru sudah datang. Terdengar riuh yang bergemuruh iring-iringan tersebut datang lebih awal.

Acara bersalaman dengan pengantin di tunda dulu sebentar. Mempersilahkan mempelai laki-laki untuk duduk di pelaminan bersanding dengan mempelai wanita.

 

"Rin. Gimana ini? Ya Tuhan. Saya pulang aja ya Rin." Aku mulai gelisah ga karuan. Bagaimana mungkin Aku bisa naik ke pelaminan dan mengucapkan selamat kepada Mas Heru.

"Rie. Kalau kamu pulang. Itu cukup untuk bukti bahwa kamu masih punya hati untuk Heru. Dan itu yang sedang Heru nantikan, bukti bahwa hatimu masih ada dia dalam hati kamu. Lihat ke pelaminan. Heru sejak tadi terus melihat ke arah kita." Ucap Airin mengagetkanku.

Aku reflek menoleh ke pelaminan. Betapa mata kami saling menatap pilu. Tatapan Mas Heru begitu dalam Aku rasakan. Seakan ia ingin mengajakku pergi dari hiruk pikuk pesta ini. Dan melanjutkan kisah kami dimana tak ada seorangpun mengganggu cinta kami. Aku diam menatapnya dengan getir hatiku. Tanpa aku sadari air mataku jatuh perlahan.

" Ya Tuhan. Aku tidak sanggup untuk berdiri lebih lama lagi disini."

"Rie. Duhhhhh..ko malah nangis disini. Hapus air mata kamu. Ga enak kalau ada yang lihat." Aku mengusap air mataku.

"Rin. Aku mau pulang. Aku titip ya."

"Rie. Bukan begini caranya untuk kamu membuktikan kepada Heru. Agar Heru tahu kamu tak mencintainya lagi. Agar tak mengganggu hidupmu lagi setelah ini. Dia sudah jadi suami orang Rie. Ingat itu Rie." Airin menegaskan kepadaku.

"Tapi Aku ga sanggup Rin. Aku ga  sanggup naik ke atas pelaminan dan mengucapkan selamat kepada Mas Heru. Aku ga sanggup Rin." Aku kembali terhenyak bersama air mataku yg kembali basah.

"Aku akan menguatkanmu Rie. Aku akan menemanimu melalui ini semua. Aku akan mendampingi mu. Percayalah. Setelah ini kita akan langsung pulang. Ayo kita naik sekarang" Airin berusaha menguatkanku.

 

"Rin. Aku ga sanggup." Gumamku lirih.

"Kamu pasti bisa Rie. Ayo." Ajak Airin menuju pelaminan.

Airin jalan terlebih dahulu. Memberikan selamat kepada Ara. Aku mengikuti di belakang Airin. Airin sudah sampai ke Mas Heru. Aku sedang bersalaman dengan Ara.

"Selamat ya Ra. Semoga bahagia."

"Terimakasih ya Rie.

Ya Tuhan. Aku tidak sanggup melanjutkan langkah kakiku. Tubuhku mendadak gemetar.  Tanganku sedingin es. Kakiku kaku tak mau bergerak. Tapi Aku tak bisa terus diam disini didepan Ara. Tamu di belakang ku sudah menunggu. Aku paksakan melangkah dengan sekuat tenaga.

"Bruukkkkkk." Aku terjatuh di hadapan Mas Heru. Ya Tuhan Aku ingin lari dari sini. Ketika Aku hendak lari. Mas Heru membangunkan ku. Mengangkat tubuhku dengan pelan.

Aku mendengar para undangan sempat teriak. Mas Heru menatapku dalam saat membangunkan ku. Seakan dia ingin berkata tetaplah disini Rie. Sebentar saja. Ijinkan Aku untuk melihatmu terakhir kalinya.

"Kamu tidak apa-apa Rie." Tanya Mas Heru kepadaku.

"Aku tidak apa-apa Mas. Terimakasih. Selamat ya Mas. Semoga kamu bahagia." Dengan bibir gemetar ku ucapkan selamat kepada Mas Heru.

"Ya. Terimakasih." Ucap Mas Heru pelan.

Saat hendak melangkah. Kaget ketika tanganku seperti ada yang menarik.

"Rie. Tunggu sebentar. Sebentar saja Aku ingin lebih lama melihat mu" Ucap Mas Heru.

"Mas. Jangan seperti ini. Semua mata memperhatikan kita." Bisikku mengingatkan Mas Heru.

Kagetnya Aku mendengar ucapan Mas Heru selanjutnya.

"Aku ga perduli Rie. Aku ga perduli orang lain akan beranggapan seperti apa padaku. Aku ga perduli dunia akan berkata apa. Aku hanya ingin melihatmu lebih lama Rie."

"Maaf Mas. Tapi aku ga bisa." Aku melepaskan tangan Mas Heru paksa. Tapi balasan Mas Heru jauh lebih mengagetkanku. Mas Heru menarik tangan & tubuhku kemudian melabuhkan ke dalam pelukannya.

Mas Heru memelukku erat. Erat sekali. Aku hampir dibuatnya sesak nafas. Karena kencangnya pelukan Mas Heru.

"Tetap disini Rie. Sebentar saja. Mas mohon Rie." Aku tahu benar pilu hati kamu Mas. Sepilu itu pula hatiku. Aku mulai pasrah dan membiarkan Mas Heru memelukku. Tanpa sadar Aku membalas pelukan Mas Heru dengan air mata yang tak mampu lagi Aku bendung.

"Rie. Mas sayang sama kamu. Sampai kapanpun akan tetap demikian adanya. Ilove you Rieana." Ucapan Mas Heru menyadarkanku kami sedang di lihat seisi ruangan ini.

Aku mengusap air mataku. Melepaskan pelukan mas Heru paksa. "Aku pamit Mas."

Tanpa berfikir panjang Aku turun dari pelaminan lari dari hiruk pikuk resepsi ini. Hatiku hancur, hatiku perih, hatiku sakit dengan semua ini. Sakit ya Tuhan. Sakit sekali. Air mataku tumpah sepanjang jalan. Tak sengaja Aku menabrak seseorang. Bruukkkkkk.

 

"Rie. Kamu lamunin apa. Sampai bercucuran air mata begitu." Suara Airin mengagetkanku.

"Ya Tuhan. Aku melamun saat dari masuk ke ruangan ini. Entah berapa lama Aku begini. Adakah yang memperhatikanku sejak tadi." Bisikku dalam hati.

"Rie..Rie..kamu lamunin apa? Heru? Ayo kata kamu buruan biar ga ketemu dengan iring-iringan Heru. Malah melamun disini. Gimana sih?" Ucap Airin mengingatkanku.

 Airin benar. Kenapa Aku malah melamun. Aku usap air mataku. Memperbaiki makeup ku terlebih dulu.

Airin dan Aku melangkah menuju pelaminan. Airin jalan duluan.

"Selamat ya Ra." Airin sudah bersalaman dengan Ara.

"Terimakasih ya Rin. Makan dulu ya." Balas Ara kepada Airin. Aku mendengarkan dari belakang Airin. Kini tiba giliranku.

"Selamat ya Ra. Semoga bahagia." Ucapku kepada perempuan yang kini telah sah menjadi istri Mas Heru. Mas? Gumamku dalam hati. Aku masih memanggilnya Mas.

"Makasih ya Rie. Makan dulu ya." Ara masih menggenggam tanganku untuk mempersilahkan Aku makan dulu.

"Makasih ya Ra. Saya langsung saja. Mau langsung ke undangan lain." Alasanku kepada Ara.

Dalam perjalanan pulang. Langkah kakiku semakin gontai. Ada pilu dan sesak yang Aku rasakan disini. Ya, disini didadaku yang masih tersimpan namamu Mas.  Masih tak percaya kini kamu telah sah menjadi suami orang. Masih pantaskah Aku memanggilmu Mas. Aku terluka. Aku sakit. Mampukah Aku memulai hari esok tanpamu.

Aku bicara pada diriku sendiri.

"Rie. Melamun lagi?" Suara Airin menyadarkanku dari lamunan.

"Kamu Rin. Buat Aku kaget saja." Balasku.

"Kamu sih dari tadi melamun terus. Ditempat begini masih bisa juga melamun. Kalau dibawa Mbah Kunti bagaimana coba?" Airin melanjutkan perkataannya.

Baru Aku sadari ternyata benar. Kami sedang berada di jalan setapak TPU di Desa Ara. Jangan tanya soal rasa takut kepada kami. Khusus malam ini TPU rasa pasar malam. Banyak orang lalu lalang di jalan setapak ini. Bisa jadi sebagian orang hendak ke resepsi pernikahan Mas Heru dan Ara. Fikirku dalam hati.

"Udah Rie. Heru udah jadi suami Ara. Sudah takdirnya Heru bukanlah jodoh kamu. Ikhlas ya. Aku yakin Allah punya rencana lebih baik buat kamu Rie." Aku hanya diam mendengarkan Airin. Mencoba menghiburku.

"Rin. Aku langsung pulang ya. Kapan-kapan lagi mampirnya." Airin paham benar bagaimana perasaanku malam ini. Perjalanan kisahku bersama Mas Heru. Halaman rumahnya menjadi saksi bisu sebagian hari-hariku bersama Mas Heru.

"Ya. Hati-hati di jalan. Jangan melamun lagi. Nanti nyebur lagi ke Kali." Ledek Airin kepadaku.

Sesampainya di jembatan kali yang Aku lewati. Beberapa meter dari tempatku berdiri saat ini. Aku melihat iring-iringan Mas Heru.

Cukup mudah untuk mencari dimana posisi pengantin pria. Tentu saja di bawah payung berwarna hitam yang di atasnya di hiasi warna warni lampu hias dan bunga melati di sekitarnya.

Aku dengan jelas melihat bahu Mas Heru dari belakang. "Selamat ya  Mas. Semoga kamu bahagia dengan Ara." ucapku lirih bersama dengan air mata yang jatuh di kedua pipiku.

Rasanya Aku ingin berlari, dan memeluknya erat untuk terakhir kalinya. Tapi Aku tahu, hal itu tidak akan pernah terjadi.

 

Beberapa hari setelah pernikahan Mas Heru.  Ada perasaan aneh yang bergelayut di relung sisi jiwaku. Saat termenung duduk dikursi ruang tamu. Aku dikagetkan oleh sebuah ucapan salam. "Assalamualaikum". Ucapan salam dibalik pintu.

"Waalaikumsalam. Sahutku langsung menjawabnya." Bersamaan dengan Aku bukakan pintu rumah.

"Ara? Ani?" Kali ini aku benar-benar kaget dengan kehadiran mereka. Ara temanku sekaligus istri yang baru saja Mas Heru nikahi. Ada keperluan apa mereka kerumah? Tanyaku dalam hati.

"Masuk Ra, Ani." Aku mempersilahkan keduanya masuk.

Setelah kami bertiga duduk. Ara mengutarakan maksud kedatangannya.

"Maaf Rie. Kalau kedatangan saya ganggu kamu. Setelah resepsi pernikahan Heru sakit, demam tinggi. Mau dibawa ke Rumah Sakit. Tapi Heru menolak dan ingin dirumah saja.

Heru terus manggil-manggil nama kamu Rie. Saya kesini mau minta tolong sama kamu. Agar kamu mau menemui Heru sebentar saja. Siapa tahu setelah ketemu kamu, Heru akan lebih baik keadaannya". Pinta Ara kepadaku, tanpa ada rasa canggung atau semacamnya. Meski Aku tahu pasti perasaan Ara hancur mengatakan semua ini padaku.

Ara tahu benar. Sebelum menikah dengannya. Mas Heru hanya mengenal satu perempuan yang dia cintai dalam hidupnya.

Ara juga paham betul sedalam apa perasaan yang dimiliki Mas Heru terhadapku. Meski satu hal yg tidak Ara pahami. Mengapa Aku & Mas Heru berpisah begitu saja.

 

"Tolong ya Rie. Saya mohon sekali ini saja jenguk Heru. Sebentar saja Rie." Pinta Ara lirih padaku. Jelas Aku melihat. Ada bening kristal yang nyaris jatuh di kelopak matanya.

Aku bingung menjawab permintaannya. Aku ingin memenuhi permintaan Ara. Namun disisi lain Aku memikirkan apa kata orang nanti. Jika Aku menjenguk Mas Heru yang baru beberapa hari menjadi suami Ara. Tidak terbayangkan tanggapan orang kedua Desa yang berbeda namun berdekatan kepadaku. Khususnya keluarga besarku.

Aku memikirkan nama baik mereka.

"Ra. Maaf ya. Aku bukan ga  mau mengabulkan permintaan kamu. Jika kamu bertanya padaku? Aku ingin datang untuk menjenguk Heru. Tapi Aku tidak bisa mengorbankan nama baik keluarga besar kedua orang tuaku. Apa kata orang nanti. Cucu pak Haji ini. Anaknya pak itu.

Menemui laki-laki yang sudah menjadi suami orang.

Maafin Aku ya Ra. Aku benar-benar minta maaf. Aku sama sekali ga bermaksud menolak permintaan kamu Ra. Maaf ya."

Aku pegang kedua tangan Ara. Berharap Ara mengerti kondisiku pula.

Rasanya pedih Aku mengatakan ini. Namun hati kecilku ingin menemui Mas Heru. Meski mungkin ini untuk terakhir kalinya.

 

"Ya udah.  Ga  apa-apa Rie. Tapi kalau kamu berubah fikiran. Dateng aja langsung ke rumahku. Aku pamit ya. Terimakasih. Assalamualaikum".

"Waalaikumsalam" jawabku.

"Ani, diam saja." Celotehku sebelum Ani pulang bersama Ara.

"Ya Aku menemani aja. Main ya ke rumah." pinta Ani padaku.

"Ya. Nanti Aku Main." Jawabku kepada Ani.

Setelah Ara dan Ani pergi. Aku terus memikirkannya. Benarkah keputusan yang Aku ambil untuk tidak menjenguk Mas Heru. Aku terdiam di kursi ruang tamu. Ku pejamkan kedua mataku. Berharap Mas Heru segera membaik. Aku terlelap dalam lamunanku.

Keesokan harinya Aku terus memikirkan wajah Ara yang memohon untuk menjenguk Mas Heru. Sepanjang malam Aku terus terjaga. "Ya Tuhan. salahkah jika Aku untuk pergi menjenguk Mas Heru. Anggap saja karena rasa kemanusiaanku. Meski tak berdusta hati kecilku menginginkannya juga.

Aku bergegas menuju rumah Airin untuk memintanya menemaniku.

Sepanjang jalan Aku berfikir keras. Benarkah keputusanku. Sudahlah, Aku niatnya baik. Berharap kehadiranku bisa menyembuhkan sakitnya Mas Heru.

 

Sampai dirumah Ara. Aku dikejutkan keramaian dihalaman rumahnya. Lebih terkejut lagi saat Aku melihat beberapa bendera kuning terpasang disekitarnya.

"Innalilahi wa innailaihi rojiun. Siapa yang meninggal?" Saat Aku mulai menyadari sesuatu. Aku berlari seketika menuju rumah Ara. Disana Aku melihat jenazah yang tertutup kain putih di wajahnya. Namun masih Aku kenali.

Aku jatuh bersimpuh di hadapan jenazah tersebut. Tak sanggup lagi Aku menopang tubuhku sendiri.

"Mas Heru bangun! Bangun Mas! Mas bangun! Aku mohon bangun Mas! Mas Heru bangun! Tidak lucu Mas kamu bercanda seperti ini. Bangun Mas!

Mas Heru banguuuuuuuunnn." Aku menjerit, histeris.

Tangisku pecah di hadapan tubuh yang kini kaku tak bergeming.

"Maafin Aku Mas, maaf kalau Aku terlambat menemuimu. Aku disini Mas, buat kamu. Aku mohon bangun. Bangun Masssss. Aku menyesal." Aku terisak di hadapan jenazah orang yang paling Aku cintai dalam hidupku. Tak perduli meski kini dia telah menjadi suami orang.

Aku akan menjaga cintaku hingga waktu mempertemukan kembali kami nanti.  Aku mencintaimu Mas selamanya.

 

"Rie. Kita udah mau sampai nih. Lanjut atau bagaimana?" Suara Airin mengagetkan lamunanku beberapa saat sebelum sampai dirumah Ara.

"Kamu nangis Rie? Kamu berniat membatalkan untuk menemui Heru? Jangan di paksakan bila kamu tidak nyaman dengan apa yang akan kamu lakukan ini Rie. Turutilah apa kata hatimu." Airin mengingatkan akan keputusanku menemui Mas Heru.

"Tidak apa-apa Rin. Kita lanjutin jalannya." Balasku kepada Airin.

"Assalamualaikum." Airin memberikan salam di depan pintu rumah Ara.

"Waalaikumsalam." Terdengar balasan dari dalam rumah.

"Rieana? Airin? Masuk." Ara nampak kaget melihat kami berdua. Bisa jadi Ara tidak menyangka Aku berubah fikiran untuk mau menemui Mas Heru.

"Rie. Terimakasih ya. Sudah meluangkan waktunya. Aku antar bertemu Mas Heru dikamar." Ucap Ara.

Sejenak Aku termenung tak bergeming. Ada rasa ragu beranjak menuju kamar mereka. Ya, kamar tidur mereka berdua.

"Rie. Melamun? Kalau masih berat tidak apa-apa kita ngobrol-ngobrol dulu disini. Kalaupun kamu berniat pulang lagi tidak apa-apa. Aku tidak memaksa. Aku melakukan ini untuk Mas Heru." Ara mencoba menenangkan hati dan fikiranku yang sudah tidak karuan.

"Ya Ra. Tidak apa-apa ko. Aku hanya bingung harus bagaimana. Heru sedang istirahat jangan di bangunkan. Tunggu saja sampai bangun." Ucapku kepada Ara.

"Dia baru saja minum obat beberapa waktu lalu. Akan lama menunggunya bangun. Tidak apa-apa nanti Aku coba bangunkan Rie. Ayo ikut Aku." Pinta Ara mengajakku beranjak dari ruang tamu.

Rasanya aneh Aku mau masuk ke kamar tidur Mas Heru. Menemui Mas Heru orang yang masih Aku cintai, namun telah sah menjadi suami perempuan lain.

 

"Mas. Bangun Mas, ada Rieana." Ucap Ara sembari membangunkan Mas Heru.

Pelan namun pasti. Mas Heru membuka matanya yang semula terpejam. Memandangku seakan tak percaya. Dihadapannya adalah Rieana Ananda Oktavia. Nama yang sering ia sebut untuk latihan Ijab Kabul. Tapi latihan tersebut kini tinggal sebuah cerita.

Mas Heru mencoba bangkit dari tempat tidurnya. Namun nyaris terjatuh kembali. Tubuhnya sangat lemah sekali. Nampak jelas tidak berdaya dan kepasrahannya terhadap hidupnya kini. Aku refleks berlari mencoba menahan tubuhnya. Tapi Aku lupa disana ada Ara, istrinya yang telah lebih dulu mencoba memperbaiki posisi tubuh Mas Heru.

"Sudah enak Mas? Aku tinggal kalian ke depan dulu ya." Mas Heru hanya mengangguk kepada Ara tanda ia setuju.

Tuhan. Langkah kakiku gamang mendekat kepada Mas Heru. Perasaanku campur aduk seperti naik rollercoaster. Aku tetap jalan perlahan mendekat. Tanganku dingin sedingin es.

"Tidak apa-apa Mas. Jangan memaksakan bangun. Kalau belum kuat untuk bangun. Sudah enak posisinya?" Ucapku kepada Mas Heru.

"Aku akan kuat buat kamu Rie. Aku akan bangun untuk menyapa  kamu. Aku sangat merindukanmu Rie. Sangat. Dan Aku tahu kamu juga merasakan yang sama terhadapku. Aku bisa merasakan itu. Iya kan?" Mas Heru mencari pembenaran bahwa yang ia katakan benar adanya.

Mas Heru tetap bangun untuk dapat duduk di atas tempat tidurnya.

 

"Sudahlah Mas. Semuanya sudah selesai. Fikirkan perasaan Ara Mas. Melihatmu terbaring sakit, menyebut nama perempuan lain. Itu sudah sangat melukai hatinya. Apalagi melihatku disini. Aku kesini karena Ara memohon kepadaku untuk memintaku menemui kamu Mas. Jadi tolong jangan salah paham." Aku tidak ingin Mas Heru beranggapan lain. Meski Aku tahu Mas Heru takkan percaya begitu saja.

"Rie. Bisakah kita tidak membicarakan Ara saat ini. Aku hanya ingin bicara tentang kita. Aku yakin masih ada masa depan untuk kita berdua Rie. Asal kamu bilang iya. Aku akan menceraikan Ara saat ini juga." Mas Heru menggenggam kedua tanganku erat. Bahkan Aku berusaha untuk melepaskannya tidak berhasil. Aku sadar benar dibelakangku ada Ara istrinya. Bagaimana bisa Aku tak menghiraukan perasaannya. Ucapan Mas Heru baru saja. Sangat melukai hatinya.

"Tolong Mas. Kalau Aku kesini untuk mendengar ini semua. Aku pamit pulang. Aku tidak mau melukai hati dan perasaan Ara. Aku perempuan Mas. Aku bisa merasakan luka yang Ara rasakan saat ini. Tolong fikirkan perasaan Ara." Ucapku kepada Mas Heru.

 

"Sejak tadi kamu terus memikirkan perasaan Ara! Ara! Ara! Apa sedikitpun kamu tidak memikirkan perasaanku Rie? Aku sakit Rie, bahkan jauh lebih sakit dari yang kamu tahu. Haruskah Aku menyayat nadiku didepan mu. Agar kamu tahu. Aku lebih baik pergi dari dunia ini. Daripada Aku harus hidup tanpa kamu." Mas Heru serius dengan ucapannya. Mencari benda tajam di sekitarnya. Berusaha untuk menyayat nadinya.

"Kalau kamu tidak percaya seberapa terlukanya Aku karena semua ini."

"Mas jangan! Tolong jangan lakukan ini Mas. Mas lepaskan pisaunya! Jangan gila kamu Mas. Aw!" Aku berusaha mengambil pisau kecil dari tangan Mas Heru. Pisau itu  melukai telapak tanganku sangat dalam karena tergores saat merebutnya dari Mas Heru.

"Aw!" Aku meringis kesakitan. Darah segar mengalir dari telapak tanganku. Sakit sekali. Aku menahan perih sekuat tenagaku.

"Rie! Maafin Aku. Aku ga bermaksud untuk melukai kamu Rie." Mas Heru panik mencari sesuatu untuk menghambat darah yang mengalir ditelapak tanganku. Mengikatkan  kain kencang, untuk menghambat darah agar tidak terus mengalir.

"Aw! Sakit Mas." Luka ini belum seberapa. Dengan perihnya hati kami berdua dengan keadaan ini. Hati yang masih saling berpaut. Namun terpisahkan takdir kehidupan.

"Aku mencintaimu Mas" perih Aku ucapkan dalam hati. Air mataku jatuh diatas tangan Mas Heru yang sedang mengikatkan kain. Spontan Mas Heru menatapku.

"Maafin Aku ya Rie. Maaf." Tangannya menyeka air mataku.

"Kenapa sih Mas harus begitu. Pembuktian apa yang hendak kamu buktikan kepadaku. Bukankah kita sudah punya kehidupan masing-masing hari ini."

Aku minta Ara  untuk carikan kasa dan Betadine dulu.

Tiba-tiba Ara datang dari belakang.

"Astagfirullah Mas. Kenapa ini Mas?" Ara panik melihat darah berceceran di lantai di mana-mana.

"Tidak apa-apa Ra. Tolong bantu carikan kasa & Betadine ya. Cepetan ya. Darah Rieana masih ngalir." Mas Heru begitu cemas. Dia tidak menyangka akan seperti ini jadinya.

"Tahan ya Rie. Maafin Aku ya. Masih sakit ga Rie. Darahnya masih ngalir terus sih."

Mas Heru nampak cemas dan semakin panik.

Ara keluar kamar dengan panik. Airin melihat Ara langsung bertanya.

"Kenapa Ra? Kamu panik begitu?"

"Rieana tangannya terluka terkena pisau. Darahnya ngalir terus. Aku mau nyari Alkohol Betadine dan Kasa. Aku tinggal dulu ya sebentar." Ara pergi dengan panik.

 

Refleks Airin ke kamar dan melihatku.

"Rie. Astagfirullah..Kamu ga apa-apa Rie? Ko bisa kena pisau begini? Gimana ceritanya." Airin nampak kaget melihat darah yang terus keluar dari telapak tanganku.

"Aku ga apa-apa Rin. Kita pulang aja yuk."

"Mas." Belum selesai Aku bicara. Mas Heru sudah menyela ku terlebih dulu.

"Tunggu Rie. Jangan pulang dalam keadaan seperti ini. Darah kamu masih ngalir. Ara sebentar lagi datang."

Aku sudah tidak kuat menahan perihnya luka ini. Badanku mulai lemas. Pandangan mataku mulai kabur. Aku mencoba untuk beranjak dari tempat dudukku. Baru hendak bangun, kepalaku pusing sekali.

"Rie. Kamu tidak apa-apa?" Mas Heru tampak semakin cemas.

"Harus segera bawa Rieana ke klinik terdekat Her. Dia udah kehilangan banyak darah." Airin  semakin panik melihat keadaanku.

Ternyata Ara jauh lebih tanggap dari dugaan kami semuanya. Ara datang membawa dokter ke rumah untuk melihat luka di tanganku.

"Maaf ya lama." Saya khawatir kamu kenapa-kenapa Rie. Saya panggil dokter saja sekalian."

 

Dokter melihat luka di tanganku. Tampak kulitku terbuka lebar karena sayatan pisau. Darah masih mengalir segar. Aku melihatnya dengan linu dan pilu. Sesekali Aku membuang wajahku ke arah tubuh Airin. Aku memeluknya menahan sakit.

"Sabar ya Rie." Airin mengusap tubuhku. Aku menangis menahan perihnya.

"Ya Tuhan. Sakit sekali. Aku merasakan tubuhku semakin lemah. Pandanganku kabur. Setelah itu Aku tidak ingat apa-apa lagi."

"Aku mohon Mas hentikan. Jangan lakukan ini. Lepaskan pisaunya. Lepaskan kataku. Jangan Mas." Aku membuka mataku pelan. Nampak Mas Heru, Airin, Ara menatapku cemas. Kepalaku pusing sekali.

"Rie. Kamu tidak apa-apa?" Mas Heru menatapku cemas.

"Tidak apa-apa Mas. Tapi kepalaku pusing sekali." Aku memegang kepalaku yang berat sekali.

"Mas. Ini saya seduhkan teh manis hangat untuk Rieana. Bisa mengurangi sedikit sakit kepalanya." Ara memberikan teh manis kepada Mas Heru.

"Bangun dulu Rie. Minum teh nya. Biar enakan badannya." Mas Heru entah Aku harus bahagia atau seperti apa. Perhatian mu membuat ku bahagia. Hatiku pilu melihat Ara yang menahan getirnya pemandangan ini.

"Ara. Aku pamit pulang ya. Terimakasih untuk semuanya. Maaf ya Aku sudah merepotkan jadinya." Aku tidak nyaman dengan keadaan ini. Ingin segera pulang dan istirahat dirumah. Aku beranjak bangun. Airin membantuku bangun dari tempat tidur.

"Rie. Yakin kuat untuk jalan pulang. Kamu masih lemah Rie." Ara nampak cemas melihatku.

"Tidak apa-apa Ra. Aku pamit ya. Aku mau istirahat dirumah saja." Aku segera beranjak, berdiri di bantu Airin memapahku.

Saat Aku sudah bangun, hendak beranjak pergi. Sebuah tangan menarikku pelan. Aku tahu pasti tangan siapa itu. Suaranya memecah keheningan kami semua.

"Rie. Maafin Aku. Maaf telah melukaimu. Maaf membuatmu jadi seperti ini. Maafin Aku Rie." Mas Heru menatapku penuh rasa sesal.

"Tidak apa-apa Mas. Maaf sudah merepotkan. Aku pamit pulang ya. Terimakasih untuk semuanya." Aku beranjak jalan setelah berpamitan dengan Mas Heru dan Ara.

 

Campur aduk perasaanku melalui ini semua. Lelah hatiku menghadapi ini semua. Aku ingin benar-benar mengakhiri semuanya. Semuanya tentang kamu Mas. Kisah kasihku bersamamu sudah selesai. Saat kamu mengucapkan ijab mu bersama Ara.

Sejak hari itu. Tak pernah Aku dengar lagi tentang Mas Heru. Entah Aku yang sibuk dengan diriku sendiri. Atau memang Aku sengaja sibuk untuk melupakan segalanya tentang Mas Heru.  Ratusan purnama berlalu hampa didalam  jiwaku.

Namun kamu terus singgah disanubari hati terdalamku. Meski fisiknya tak mampu Aku miliki. Tapi hatiku telah menjadi milikmu sepenuhnya. Kamulah pemilik hatiku.

 

Hingga takdirnya mengulang kisah kami dimasa lalu. Tak ingin semakin melampaui batas takdirnya. Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri. Semua ini tak patut terangkai kembali. Beberapa saat kita mungkin terlena nostalgia kisah kasih kita berdua. Tapi cukup. Sebelum semuanya terlambat menghancurkan nahkoda rumah tangga kita masing-masing.

"Aku tau Mas. Aku tau kamu tidak akan pernah meninggalkanku dalam keadaan seperti apapun. Tapi Aku yang tidak bisa meninggalkan keluargaku demi nafsu ini Mas. Cinta ini bukan lagi milik kita. Cinta kita telah usai dua puluh tahun lalu. Saat kamu menikahi Ara. Aku mohon, kembalilah." Pintaku kepada Mas Heru dengan perih. Mas Heru memelukku erat, seakan memohon padaku, diamlah sejenak saja bersamaku. Agar kelak Aku bisa melanjutkan kembali hidupku tanpamu. 

Pelukan hangat Mas Heru sore itu. Menjadi pelukan terakhir cerita kisah kita. Yang seharusnya tak pernah kita ulang kembali.

Aku memilih untuk membawa kembali kepingan hatiku terkunci rapat. Aku tidurkan rasaku terhadapmu. Karena Aku tak pernah mampu untuk melupakan kamu Mas.

Sesekali Aku bangunkan rasaku. Ketika rindu bergelayut di ujung ruang jiwaku.

 

Dalam hangatnya pelukan, Aku bisikkan kata terakhirku kepada Mas Heru. Berharap setelah ini, kita bisa berdamai dengan hidup bahtera kami masing-masing.

"Mas. Apapun alasannya. Tak ada lagi ruang untuk kita berdua disini. Dikehidupan kita hari ini. Aku mohon, pergi dan tinggalkan Aku. Kembalilah kepada keluargamu. Istri dan anak-anakmu. Anggap cerita kita hari ini hanya persinggahan lelahmu & lelahku. Kita akan kembali melanjutkan hidup kita masing-masing. Cerita kita tidak untuk kita ulang kembali. Untuk mencari kepingan hati lainnya. Karena sejatinya kepingan hati kita telah menemukan pemiliknya masing-masing. Terimakasih kamu telah singgah  meski sesaat. Kisah yang mengajarkan bahwa Cinta akan menemukan hatinya sendiri. Aku berharap setelah ini, Kamu akan belajar untuk mencintai Ara. Dialah cintamu yang sesungguhnya. Kepingan hatimu yang sesungguhnya. Aku mohon Mas. Ikhlaskan semua ini. Jangan lagi menepuk bahuku untuk melihatmu ke belakang. Aku tidak ingin menoleh lagi."

 

Aku lepaskan pelukan Mas Heru dengan sisa tenagaku yang rapuh. Mas Heru berusaha menolaknya. Semakin memelukku erat dalam dekapannya. Ku dengar ada lirih isakkannya menggores dadaku.

"Aku mohon Mas, lepaskan. Biarkan Aku pergi. Aku mohon jangan membuatku menjadi manusia paling jahat membuatmu seperti ini. Pulanglah Mas. Lihat dan tatap wajah Ara, betapa dia sangat mencintaimu lebih dari siapapun perempuan di dunia ini. Aku mohon Mas, lepaskan Aku."

Perlahan Mas Heru melepaskan pelukannya. Ia menatapku dalam diam.

Aku berbisik lirih. "Aku pergi, terimakasih Mas. Maafkan Aku. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Mas Heru menjawab salamku dengan suara yang nyaris tak terdengar olehku.

Sekuat tubuhku untuk bangkit dan segera beranjak pergi dari hadapannya. Tidak, Aku tak sanggup lebih lama lagi berada disini. Hatiku akan goyah menatapmu pilu melepaskanku kembali.

Bersama rintik hujan. Bersama bening kristal perlahan jatuh di pipiku. Seakan tahu agar tangisku tak nampak oleh dunia.

Aku meninggalkan Mas Heru yang masih duduk terdiam di kursi taman. "Maafkan Aku meninggalkanmu  untuk kedua kalinya. Maafkan Aku Mas. Maaf."

Cinta masa lalu mungkin akan selalu kita kenang, tapi tidak untuk terulang diatas janji suci pernikahan.

Ketika bisikan setan menusuk hati

Lupa segalanya akan dosa yang hakiki

Semuanya terasa indah menghias diri

Sejatinya hanya nafsu pemuas diri

 

Maaf, rasaku terlalu suci untuk ternodai

Terlalu murah untuk engkau beli

Terlalu mudah untuk engkau miliki

Terlalu picik untuk engkau khianati

 

Lupakanlah, bila hadirmu sebatas hujan

Setelah basah engkau tinggalkan

Setelah nyaman engkau campakkan

Setelah dingin engkau bekukan

 

Selamat tinggal masa lalu

Jangan lagi menepuk kembali bahuku

Aku tak ingin lagi melihatmu

Selamanya dalam hidupku.

 

Untuk mu pemilik hati di masa lalu

Depok, Desember 24'2020

_Rieana _

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.