Menarilah, Milou…

Menarilah, Milou…
Sumber imaji: instagram Europe on Screen
Film Jerman Dream Factory atau Traumfabrik (2019), adalah film ketujuh yang saya tonton di festival film online Europe on Screen 2020—yang berlangsung pada 16-30 November 2020. Berbahasa Jerman dan Prancis, dengan sedikit Rusia dan Inggris. Berdurasi 2 jam 5 menit. Komedi, drama, dan romansa; adalah genre dari film yang disutradarai oleh Martin Schreier ini.
 
Pertengahan 1961. Selepas dari dinas ketentaraan, Emil Hellberg (Dennis Mojen), dengan bantuan kakaknya, menjadi figuran di studio film DEFA di Bebelsberg. Di situ ia bertemu dengan Milou (Emilia Schüle), seorang penari Prancis yang sedang terlibat dalam sebuah produksi film. Di film mana Emil juga menjadi salah satu figurannya. Namun, sial baginya, Emil malah menyebabkan terjadinya bencana di set.
 
Namanya pun masuk blacklist di studio Bebelsberg, yang, menurut info dari teman saya Nelden yang tinggal di Berlin, berada sebelah barat daya kota Berlin. Tapi, buat Emil yang penting adalah mengetahui perasaan Milou padanya. Masuk blacklist ataupun tidak, bukan urusannya.
 
Sayangnya, Tembok Berlin dibangun tepat pada hari terakhir keberadaan Milou di Jerman. Membuat Milou, yang hotelnya berada di Berlin bagian barat, tak lagi dapat menemui Emil di Bebelsberg sebelum terbang pulang ke Paris keesokan harinya. Berhubung, studio film besar tersebut berada di wilayah Jerman Timur.
 
Dibalik gonjang-ganjing berdirinya Tembok Berlin, bukan hanya Milou yang tak bisa datang lagi ke studio itu. Sangat banyak pekerja film yang menghilang, dan tak dapat kembali bekerja di sana. Studio yang biasanya hiruk-pikuk, kini dilingkup sunyi. Suasana sungguh kacau. Di antara kekisruhan itu, terjadi kesalahpahaman yang membuat Emil dikira sutradara baru di studio.
 
Terdorong cinta dan harapan, dan didukung oleh 'status barunya', keluarlah ide untuk memproduksi film. Tentunya agar dapat mendatangkan Milou ke Bebelsberg. Tak tanggung-tanggung, ia memilih film tentang Celopatra untuk diproduksinya.
 
Pimpinan studio yang mengetahui jatidiri Emil, tak suka dengan rencana produksi film itu. Tapi, apa yang bisa dilakunannya ketika ternyata Emil malah mendapat dukungan dari kamerad partai komunis. Idenya dianggap bagus untuk propaganda soal sosialisme. Tinggallah pimpinan studio membangun rencana-rencana busuk untuk menyabot.
 
Film Dream Factory dibuka dengan hingar-bingar situasi sebuah studio film besar. Berbagai orang mondar-mandir dengan kostum-kostum film yang sesuai dengan masanya. Lainnya sibuk dengan berbagai peralatan perfilman. Ada juga tentara Rusia yang sigap baris berbaris—yang kemudian dijelaskan  mereka adalah figuran tentara. Murah bayarannya.
 
Menurut Schreier, sutradara Dream Factory, film-nya merupakan sikap angkat topinya pada sejarah panjang studio Bebelsberg. Pada studio film terbesar di Eropa itu. Yang tetap aktif berproduksi sejak didirikan pada 1912.
 
Tak soal Tembok Berlin berdiri, ataupun setelah si tembok runtuh. Bahkan sampai sekarang, berbagai film besar diproduski di Bebelsberg. Sebut saja Captain America: Civil War, V for Vendeta, dan The Hunger Games. Adalah sedikit dari banyak film-film besar yang dibuat di situ. Dream Factory sendiri tentunya juga diproduksi di studio ini.
 
Bagi saya, pemandangan keramaian suasana di studio tersebut merupakan pemandangan yang sangat menyenangkan mata. Ada kegembiraan yang menyenangkan hati. Dari kegegapgempitaan itu terasa bagai ada enerji besar yang tersalur keluar. Demikian pula ketika berlangsung adegan shooting film Cleopatra arahan Emil. Yang, entah mengapa, mengingatkan saya pada salah satu film terakhir Satyajit Ray yang juga di-shoot di studio. Film yang juga gegap gempita dan penuh keriangan, mirip situasi shooting film arahan Emil.
 
Sangat banyak unsur kejutan dalam film ini. Untuk saya yang sebelumnya tak tahu bahwa Bebelsberg berada di bagian timur Jerman, adegan Milou tertahan di jembatan saat hendak menemui Emil, adalah sebuah kejutan besar.
 
Saya menduga lokasi Milou tertahan ini adalah Jembatan Glienicke. Jembatan yang kemudian sering menjadi check point dari banyak pertukaran mata-mata antara Barat dan Timur di masa Perang Dingin. Salah satunya adalah seperti yang bisa dilihat dalam film Bridge of Spies, dengan Tom Hanks sebagai pemain utamanya.
 
Di Jembatan Glienicke, Milou dihadang oleh barikade kawat berduri. Tentara segera mengokang dan menodongkan senjatanya ketika ia berkeras untuk melewati barikade. Di titik itu saya segera bersiap diri. Untuk memasuki kesuraman sebagai kelanjutan dari film yang awalnya ceria. Hari itu adalah hari ketika Tembok Berlin didirikan, hari di mana dimulainya darah bertumpah dari mereka yang berusaha melompatinya.
 
Dan, apa-apa yang berhubungan dengan Jerman Timur, Berlin Timur, dan Tembok Berlin; bukankah selalu kelam dan muram? Namun, ternyata kekelaman tak terjadi. Sutradara Schreier melalui webinar Q&A via zoom, kemudian menjelaskan. Bahwa, bukan niatnya untuk membuat film yang muram. Ia ingin membuat film yang dapat menyenangkan hati semua orang yang menontonnya. Film yang memperlihatkan keajaiban cinta. Maka itu, kisah cinta Milou dan Emil pun berakhir dengan manis.
 
Masih tentang kejutan, yang justru paling mengesankan buat saya adalah adegan ketika Emil memperlihatkan keindahan kunang-kunang kepada Milou. Di saat mereka melewati sebuah padang pada satu malam. Selama ini, saya berpikir bahwa adegan kunang-kunang itu 'milik' film-film Asia terutama Jepang. Teori ciptaan saya tersebut langsung buyar, setelah menonton adegan di Dream Factory ini. Adegan yang bikin merinding karena bagusnya.
 
Kejutan lain adalah kehadiran dua ekor gajah Afrika pada adegan Milou menari. Milou pernah bercerita pada Emil bahwa, saat kecil ia pernah melihat seorang penari yang menari bersama gajah. Sejak itu, menari dengan gajah  adalah cita-citanya. Emil sempat mewujudkan kehadiran gajah kayu dari multipleks, pada makan malam yang gagal karena berdirinya Tembok Berlin. Sungguh saya tak duga bahwa Emil kemudian mewujudkan mimpi Milou dengan gajah hidup. Dua ekor pula.
 
Pak sutradara bercerita, bahwa hari shooting dengan gajah di Bebelsberg adalah hari yang sangat luar biasa. Ada perasaan senang dalam diri para kru karena merasa kedahsyatan dari kehadiran dua ekor gajah di produksi mereka. Di sisi lain, merasa cemas. Khawatir para gajah tak merasa senang dan marah mengamuk.
 
Untung kekhawatiran tersebut tak terjadi. Pertanyaannya, dari manakah mereka mendapat gajah-gajah itu? Meminjam di kebun binatang setempat tentunya. Lengkap dengan pawangnya, yang kita bisa lihat di film berdiri memakai kostum pengawal Cleopatra.
 
Saya menduga bahwa Emil pada akhirnya pasti akan menjadi sutradara sejati yang hebat. Ia mempunyai jiwa untuk itu. Ketika terjadi kekacauan akibat sabotase pimpinan studio, Emil segera berimprovisasi dengan menciptakan adegan gempa bumi. Protes pemeran utama bahwa dalam sejarah tak tercatat ada gempa bumi saat upacara Cleopatra naik tahta, dijawab Emil, "Ini film!"
 
Kemudian, pada saat melihat footage hasil shooting adegan gempa bumi itu, ia menyadari sesuatu. Bahwa, yang penting bukan apa yang ada di layar. Melainkan, apa yang dirasakan oleh seseorang saat menontonnya. Dan, bahwa sesungguhnya, perasaan itu adalah nyata.
 
Saya rasa, pada saat itulah Emil malah menjadi matang dalam sekejap. Baik sebagi sutradara secara umum, maupun saat melanjutkan pengarahan film Cleopatra. Membuat film tersebut bukan lagi sekedar untuk merebut hari Milou, yang saat mereka bertemu kembali berstatus tunangan dari pemain utama laki-laki di film Cleopatra.
 
Masih ada hal lain lagi yang saya catat menarik dari film ini. Bahwa, ia digarap secara kilas-balik. Cerita tentang Emil dan Milou disampaikan seorang kakek pada cucunya. Seorang anak laki-laki usia sekolah dasar yang baru saja mengalami patah hatinya yang pertama. Guna menyemangatinya, memperlihatkan bahwa pintu kesempatan akan selalu terbuka bila kita mau terus berusaha. Seperti upaya Emil untuk merebut Milou.
 
Silahkan menduga, siapa sebenarnya si kakek itu.
 
Kalaupun ada hal yang sedikit mengganggu dalam film ini, hanyalah masalah teknis yang datang belakangan. Bukan dari film-nya sendiri. Dan, yang merasakannya terutama adalah orang-orang seperti saya yang tak mengerti bahasa Jerman. Ini tentang subtitle.
 
Subtitle-nya berwarna putih. Menjadi tak terbaca ketika jatuh pada imaji aktor berpakaian putih. Pada dialog yang berbahasa Prancis, keadaannya lebih parah lagi. Karena, terdapat subtitle dalam dua bahasa, Jerman dan Inggris. Dan, dua subtitle tersebut pun saling menumpuk. Akibatnya, semua tak terbaca deh...   =^.^=

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.