Aku Nunggu di Jembatan Pelangi, ya, Ma?

... The happy kisses rain upon your face; your hands again caress the beloved head, and you look once more into those trusting eyes, so long gone from your life, but never absent from your heart. Then you cross the Rainbow Bridge together... -Author Unknown

Aku Nunggu di Jembatan Pelangi, ya, Ma?
Sumber gambar: visualhunt.com

Rasa hangat memeluk tubuhku. Aku masih berbaring dan berusaha menggeliat, tapi punggung dan kaki terasa agak kaku. Mataku masih terpejam. Tiba-tiba kurasa ada usapan di wajah. Kubuka mata perlahan, dan silau cahaya langsung menyergapku. Kukejap-kejapkan mata, dan bayangan samar itu makin jelas.

"Bunda?"

Aku mengernyitkan mata, tak yakin dengan yang kulihat di depanku. Benarkah itu bunda? Ibu kandungku? Terakhir aku bersama bunda sekitar tiga tahun lalu. Aku ingin bangkit, tetapi tubuhku masih terasa lemas.

Aku memandang sekeliling. Aku terbaring di tanah berumput, yang teduh di bawah sebuah pohon besar. Dari kejauhan aku mendengar pekik riang dari kerumunan yang sedang bermain bersama. Matahari bersinar hangat, dan langit berwarna biru cerah. Sebuah lengkung dengan cahaya tujuh warna berpendar cantik menghiasi angkasa.

"Iya, sayang. Ini Bunda. Berbaringlah dulu. Sebentar nanti pasti sembuh," ujar bunda dengan lembut. 

Persis seperti yang kuingat di masa kecilku. Bunda selalu penuh kasih sayang kepada kami, anak-anaknya. Meskipun kami delapan bersaudara, tetapi bunda tak pernah membedakan satu dengan yang lain. Sampai akhirnya, kami harus berpisah.

"Aku di mana ini? Mama mana? Mana mama? Pasti mama khawatir."

Kesadaranku perlahan kembali. Aku ingat mama. Selama aku sakit, mamaku selalu berusaha mendampingiku. Hampir setahun ini, aku menderita epilepsi. Mama yang memberitahu dan menjelaskan kepadaku tentang penyakitku. Ia juga membawaku periksa ke dokter. Hampir selalu dia ada saat aku pulih dari kejang. Sebenernya sih, aku selalu tidak ingat ketika kejang. Biasanya ketika pulih, ada mama yang menemani di sebelahku.

"Sembuh, ya, Mas. Mama sayang Mas Oci."  

Kata-kata itu selalu kudengar diucapkan mama saat kesadaranku kembali. Biasanya mama mengelus-elus kepalaku. Kadang dia menyentuhkan kepalanya ke kepalaku. Menungguku seratus persen sadar. Setelah itu dia akan mengambilkan aku air minum. Atau mengambilkan makan ketika aku kelaparan usai kejang.

"Mas ... Waktunya minum obat ganteng ..." Begitu selalu seruan mama menyuruhku minum obat, tiap hari jam sembilan malam.

Ia menyebutnya obat ganteng. Itu istilah bikinan mama, sih, supaya aku mau minum obat. Misalnya mama ada acara di luar rumah, maka dia akan cepat-cepat pulang untuk membantuku minum obat. Pernah sih sekali dua kali Mbak Diah, kakak angkatku, yang ngasi aku obat, karena mama tak bisa meninggalkan acara sebelum selesai. Aku sangat ga suka minum obat, tapi mo gimana lagi?

Tidak tiap hari aku kejang. Paling cepat sekitar tiga minggu sekali. Pada jadwal kejang, kadang sehari aku bisa kejang tiap dua jam. Pernah sehari, aku kejang dua belas kali!! Saat aku kejang, aku selalu tak sadar, dan tentu saja tidak ingat. Ketika sadar, kadang aku sudah ngompol atau pup, yang keluar tanpa bisa kukendalikan. Air liur berbusa dan meleleh-leleh biasanya masih tersisa di sudut bibir saat aku sadar. Cukup merepotkan mamaku memang. Ia harus membersihkan pipis, pup, dan sisa-sisa air liur. Hampir selalu harus mengepel lantai, karena lebih sering aku kejangnya di lantai.

Di hari-hari biasa, aku ya biasa. Seringnya sih aku di rumah saja. Kecuali tiap pagi, aku dan mama pasti jalan pagi. Biasanya jam lima pagi kami jalan, sekitar setengah jam. Setelah itu mama akan masak dan nyiapin bekal untuk Mbak Diah. Aku paling ga sabar untuk jalan-jalan pagi, dan seringnya aku sudah heboh sekitar Subuh. Kalo Bapak pas di rumah, dia akan marah dan menyuruhku diam.

"Ssshhh... Tenang, ya, Nak. Kamu ga akan merasa sakit lagi," bunda lirih membujukku, sambil memelukku.

Aku kebingungan dalam pelukan Bunda. Aku melepaskan pelukan dan menatapnya. Dengan matanya yang teduh dan senyum tipis di bibir, ia mengangguk. Ia menjelaskan, bahwa ini sebuah tempat penantian. Tempat bagi yang sudah meninggal, menunggu orang-orang yang dikasihinya. Nanti, pada saatnya, mereka yang terkasih juga meninggal dunia, akan bertemu di sini dan bersama menuju surga.

"Berarti, Bunda sudah ...? Kita sudah ...? ... Mati?" tanyaku tak yakin.

Aku merenung. Aku ingat mama. Ia yang selalu sayang kepadaku, meskipun aku bukan anak kandungnya. Mama yang memanjakanku dan tak bosan-bosan memelukku, sampai kadang aku risih dan menolak. Malulah! Aku sudah dewasa, masak masih dipeluk mama? Tetapi aku juga sangat sayang sama mama. Aku selalu menemaninya ketika dia sedih. Ia tak pernah bercerita tentang kesedihan atau kelelahan yang dirasakannya. Aku pun tak pernah bertanya. Aku hanya menemaninya dalam diam, dan ikhlas merelakan diriku dipeluk saat mama kadang terisak pelan. Mama sudah seperti ibu kandungku. Bundaku. Bunda?

Bunda menjelaskan kepadaku, bahwa ia mati karena kecelakaan. Ditabrak mobil di depan rumah kami yang dulu. Bunda di sini menunggu Mas Feri, yang merawat bunda sejak kecil. Aku samar-samar ingat Mas Feri. Kata bunda, ketika aku pergi diajak tinggal bersama mama, Mas Feri menangis berhari-hari. Sodara-sodaraku satu persatu juga pergi. Tinggal bunda sendirian akhirnya.

"Bunda tidak ... luka?" tanyaku heran. Aku akhirnya bisa bangkit berdiri, dan berjalan perlahan mengitari bunda. Tak ada luka setitik pun.

Ternyata, di tempat penantian ini, tidak ada yang namanya sakit. Semua yang dulunya sakit di dunia, sesampai di sini akan sembuh. Itulah mengapa semua sedang bergembira bermain bersama, dalam kelompok-kelompok. Ada juga yang sedang berkejar-kejaran, ada yang hanya duduk-duduk di bawah rindangnya pepohonan. Sisanya bercanda dengan riang.

"Mama sangat sayang padaku, Bunda," laporku pada ibu kandungku. "Aku kerasan tinggal bersama mama dan Mbak Diah. Hanya bapak yang kadang-kadang galak dan marah ke aku."

Pernah juga mama marah ke aku. Sebal, lebih tepatnya. Dan mama terang-terangan menjauhiku. Ketika itu aku usai kejang berkali-kali. Aku jadinya ingin dekat-dekat mama terus. Mama jadi tampak cantik dan menarik, dengan aroma menggoda. Mama kesal dan menyuruhku tak mendekatinya.

"Yang baik, Mas!" sentak mama waktu itu. "Mama bukan Dayang Sumbi! Dan jangan bilang kamu kena Oedipus Complex, ya!"

Aku tak mengerti arti ucapan mama itu. Tapi sekitar seminggu mama tak mau dekat denganku. Padahal aku ingin berdekatan dengannya. Mama hanya mengambilkan makan dan minum keperluanku saja. Tetapi, setelah beberapa hari, keadaan kembali normal, dan perlakuan mama kembali seperti semula.

Kuceritakan kepada Bunda, betapa kadang mama lebih memanjakanku, dibanding ke Mbak Diah. Mbak Diah juga sayang ke aku. Cuman dia bisa sangat cuek dan hanya asyik dengan dunianya. Sekarang dia kelas tujuh, dan tiap hari kerjaannya maen gitar di kamar.

"Beruntunglah kamu, Nak," ujar Bunda penuh syukur. "Sejak kamu dan kakak-kakakmu pergi ikut orang, rumah jadi sepi. Hanya Mas Feri yang selalu baik pada Bunda. Dia pasti sedih ketika Bunda pindah ke sini. Nanti suatu saat, Bunda akan bertemu Mas Feri," ujar Bunda dengan mata berkaca-kaca menerawang.

Kesedihan bunda tak bertahan lama. Selanjutnya ia bercerita kepadaku tentang  teman-teman yang ada di sini. Ingatan akan orang-orang terkasih kadang membuat penghuni tempat ini sedih, tetapi tak lama. Jika lengkung tujuh warna itu berkedip-kedip cahayanya, maka semua warga akan menghentikan aktivitasnya. Itu tanda ada orang terkasih menuju surga, dan salah satu warga sini akan melonjak kegirangan, berlari menjemputnya, dan bersama mereka menuju surga. Warga yang lain bersorak-sorai ikut bergembira.

Aku takjub mendengarkan cerita bunda tentang tempat ini. Ada semacam harapan hangat yang meluap di hati. Yeey!!! Aku akan bertemu lagi dengan mama!!! Mungkin tidak dalam waktu yang dekat, sih, tetapi pasti pada saatnya nanti. Aku akan sabar menantikan waktu itu. 

Aku duduk berdampingan dengan bunda. Memandang ke atas, ke tujuh cahaya yang berpendar. Hangat sinar matahari kurasakan di bulu coklatku. Warna coklat susu sama dengan warna bulu bunda. Kukibas-kibaskan ekorku tanda gembira. Bunda juga mengibaskan ekornya. Bunda menantikan kedatangan Mas Feri, dan aku menantikan kedatangan mama.

"Ma, aku nunggu di jembatan pelangi, ya ..." (rase)

Catatan:
Jembatan Pelangi (rainbow bridge), yang dituliskan dalam sebuah puisi anonim, adalah tempat para binatang kesayangan menunggu pemiliknya, untuk bertemu kembali sesudah mati, dan bersama menuju surga. Tulisan ini mengenang Mochi, anjing kampung berbulu coklat, yang kadang mirip Dingo (anjing Australia), kadang mirip Shiba, (anjing Jepang). Mochi mati pertengahan Oktober 2019 lalu, karena menderita epilepsi hampir setahun.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.